Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 26 April 2021

Sekeping Cinta Menunggu Purnama #20

Cerita Bersambung
(side a)

Galang merasa kesal, ia ingin merebutnya dari Widi. Entah mengapa sikap itu justru membuat Widi curiga.Galang merasa takut kehilangan botol itu, karenanya sangat khawatir kalau Wdi membuangnya. Namun sikapnya membuat Widi bertanya-tanya.

"Apa sebetulnya ini?"
"Itu air keras! Tau? Awas kalau terkena tanganmu sedikit saja bisa meleleh daging dan tulangmu," ancam Galang melebih-lebihkan. Dan itu berhasil. Widi segera meletakkan kembali botol itu dimeja. Galang merasa lega, lalu memasukkannya kembali kedalam plastik dan disimpannya didalam almari mejanya.

"Untuk apa kamu membawa bawa air keras?"

"Untuk menyiram kamu kalau kamu berani mendekati aku," jawab Galang sekenanya.
"Iih, jahat banget kamu. Bohong kan? Mana mungkin air keras dimasukkan dalam botol plastik."
"Suka-suka aku lah."

Galang mengambil ponselnya, ia menulis WA untuk Raharjo. Maksudnya supaya Raharjo datang dan membawa botol itu, supaya tidak menjadi bahan pertanyaan bagi Widi.

"Aku mau keruang om Haris dulu, membetulkan laporanku. Sekarang selisih itu sudah tidak ada lagi. Terimakasih Galang," kata Widi sambil berusaha mencium Galang, tapi Galang menghindar sehingga Widi hampir jatuh terjerembab kedepan.
"Kamu benar-benar jahat Galang. Kamu sudah melakukannya lebih dari ini."
"Diam Widi ! Hentikan bicara kacau itu."
"Benar kan? Dan ingat Galang, bagaimana kalau nanti ternyata aku hamil?" kata Widi sambil mengambil map dari mejanya, lalu keluar dari ruangan.

Galang berdebar-debar. Hamil? Benarkah itu bisa terjadi? Tidak, Galang tak percaya.
Ketika kemudian Raharjo muncul, Galang merasa senang.

"Ada apa mas?"
"Tolong Jo, bawa botol ini keruangan kamu saja, nanti pas istirahat aku akan membawanya ke laborat."
"Oh ya, nggak apa-apa, apa dia mencurigai botol ini?"
"Mungkin karena aku sangat melarangnya ketika dia mau mengambilnya, lalu dia jadi curiga. Sekarang tolong bawa saja dulu."
"Nanti aku akan mengantar mas Galang. Alamat laborat itu aku sudah tau mas."
"Syukurlah Jo, ini.. bawa saja dulu."
"Kemana dia?" tanya Raharjo.
"Lagi menghadap pak Haris. Aku akan segera membeberkan semuanya Jo, aku sudah menandatangani nota palsu, itu bukan kemauanku."
"Ya ampun mas, dia itu benar-benar jahat," kata Raharjo sambil mengambil botol itu.
"Semua harus segera diakhiri. aku tak tahan lagi."
"Sabar mas, setelah hasil dari laborat keluar,  terserah mas Galang mau melakukan apa. Sekarang ini kan mas Galang nggak takut akan ancaman dia ? Oh ya, bagaimana semalam?"
"Waduh Jo, sampai lupa cerita. Ya itu, setelah aku mengatakan semuanya, tampaknya dia langsung shock. Dia dibakar cemburu dan bertindak diluar akal sehatnya. Tapi sekarang dia sudah tenang Jo, syukurlah."
"Aku ikut senang mas, sebuah masalah sudah terlepaskan ikatannya, sekarang mas Galang nggak perlu takut lagi akan ancamannya, justru harus bisa membongkar semua kejahatannya."
"Baiklah Jo, semoga semuanya baik-baik saja..
"Sekarang saya kembali keruangan saya ya mas, nani kalau mbak Widi tau pasti akan lebih curiga lagi.
"Baiklah, terimakasih ya Jo.:
***

Untunglah Raharjo sudah keluar karena Widi hanya sebentar meninggalkan ruangannya.

"Om Haris sedang ada tamu, laporan tertunda. Tapi berkas sudah aku tinggalkan dimejanya." kata Widi tapi Galang tak mengtakan apa-apa, ia sibuk dengan pekerjaannya. Sebenarnya ia ingin membatalkan kesepakatannya dengan Widi tentang nota itu, tapi diurungkannya. Ia harus menemukan bukti kuat untuk melakukan semua itu. Widi harus diberi pelajaran.

"Galang, nanti temani aku makan siang ya?" tiba-tiba Widi memecahkan kesunyian yang beberapa sa'at lamanya mencekam di ruangan itu.
"Ma'af, aku sudah janjian untuk makan bersama Raharjo."
"Oh, kalau begitu kita makan bersama-sama saja," kata Widi nekat.
"Apa?"
"Kita bisa makan bersama, mungkin Raharjo juga akan mengajak Retno, jadi boleh dong bersama aku juga."
"Tidak, hanya aku sama Raharjo saja," kata Galang tandas. Bukankah ia dan Raharjo juga akan ke laborat demi air minum itu?
"Memangnya kenapa sih, cuma makan aja kan bisa beramai-ramai?"
"Nggak sama, selera kita berbeda, aku sama Raharjo cuma mau makan diwarung murahan, nggak level kan buat kamu?"
"Nggak apa-apa, aku juga mau kok.. "
"Nggak usah, aku yang nggak mau." Galang juga nekat.
"Galang, sombong amat, aku ingin kita makan ramai-ramai.. nanti boleh ajak Retno juga, aku yang traktir."

Tanpa menunggu jawaban Galang, Widi sudah memanggil Retno dan Raharjo, mengajak makan bersama sa'at istirahat nanti. Ia yakin akhirnya pasti Galang akan menuruti kemauannya.

"Kamu apa-apaan sih?" Galang merasa kesal, ia bingung bagaimana caranya pergi ke laborat kalau ada Widi bersama mereka.
"Mereka juga mau kok, siapa sih yang nggak suka kalau ada yang mau traktir makan?" kata Widi penuh kemenangan. Galang terdiam.Kemudian ia  mengirimkan pesan melalui WA kepada Raharjo.
"Bagaimana ini, dia mau ikut makan bersama kita, dan nekat, dan mengajak Retno juga," pesan Galang di WA nya.
"Tidak apa-apa mas, tenang saja, nanti aku yang atur." jawab Raharjo dengan WA juga.

Galang tak tau, apa rencana Raharjo, tapi mengetahui Raharjo akan mengatur semuanya, dia merasa sedikit tenang. Raharjo itu pintar, punya banyak cara untuk menyelesaikan masalah, tidak seperti dirinya yang suka bingung dan kehabisan akal.
Mereka kemudian diam membisu, dan Widi mengira Galang menurut karena takut akan ancamannya. Widi senang, ia punya angan-angan.. ia bermaksud mengajak Galang untuk pergi kesuatu tempat, yang sepi.. yang hanya mereka berdua disana, dan apakah Galang bisa menlaknya seandainya ia masih memegang rekaman itu? Widi tersenyum senyum sendiri, merasa bahwa ia telah berhasil menguasai Galang sepenuhnya. Mana berani Galang menentang kalau dia sudah mengeluarkan senjatanya? Galang pasti takut kalau isterinya mengetahui peristiwa itu. Sendainya Widi tau....

Tiba-tiba Galang teringat kata-kata Widi tadi... KALAU AKU HAMIL, BAGAIMANA? Gila.. kata-kata itu sangat megganggunya. Galang ingin segera menyelesaikan masalah ini dan keluar darinya.
Ketika waktu istirahat tiba, Widi sudah mengontak Raharjo daan Retno. Mereka segera masuk keruangan Widi yang dengan gembira menyambutnya.

"Bagus, sekarang sudah kumpul semuanya, ayo kita beraangkat, mau makan dimana?" tanya Widi ramah.
"Terserah mbak Widi saja, kan mbak Widi yang mau mentraktir." jawab Raharjo sambil mengedipkan sebelah matanya kearah Galang.
"Okey, ayo berangkata sekarang. Galang, kok kelihatannya ogah-ogahan begitu, o.. mau digandeng sama aku?" Widi berjalan kearah meja Galang dan menarik tangannya. Galang mengibaskannya dan berdiri kemudian mengikuti Raharjo yang sudah menuju kepintu.
"Galang, iih.. " teriak Widi kesal.
***

Mereka makan disebuah rumah makan mewah. Tak ada yang protes karena Widi bilang dialah yang akan mentraktirnya.

"Beruntung kita bisa makan enak siang ini. Terimakasih mbak Widi," kata Raharjo sambil tersenyum.
"Tapi kenapa kamu hanya memesan minum dan makan hanya sepiring salad?"
"Sudah kenyang mbak, lagian ini aku mau pamit sebentar, ada urusan." kata Raharjo yang tiba-tiba berdiri. Ia melirik kearah Galang yang memandanginya penuh tanda tanya.
"Lho, mau kemana Jo?Kok nggak sama Retno?" tanya Widi.
"Ada perlu mbak, nanti aku titip Retno sekalian dibawa kembali ke kantor, aku mau langsung saja."

Galang memandangi Raharjo masih penuh tanda tanya. Tapi ia tak mengatakan apapun. Ia dan Retno melanjutkan makan.
Ketika kemudian ada kiriman WA, Galang membacanya, dari Raharjo.

"Tenang mas, aku sudah menyimpan botol itu di mobil Retno, sekarang aku akan membawanya ke laborat." pesan di WA itu.
Galang tersenyum. Jadi ini rencana Raharjo? Mau tak mau ia harus berterimakasih pada sahabatnya itu.
"Dari siapa, kok senyum-senyum?" tanya Widi yang merasa curiga.
"Dari isteriku lah, ia kan selalu menanyakan apakah aku sudah makan atau belum?" jawab Galang berbohong. Dilihatnya Widi mencibirkan bibirnya, tapi Galang tak perduli.
"Oh ya Galang, besok Minggu aku mau ajak kalian ke Puncak." kata Widi tiba-tiba
"Apa? Acara apa?" tanya Retno.
"Cuma refreshing, capek. Habis gajihan tuh, tapi jangan khawatir, semua aku yang bayar. Hotel, makan, rekreasi kemanapun.. aku semua, kan aku yang ngajak.Cuma kita berempat, aku, Galang, Retno dan Raharjo. Raharjo pasti senang, bisa berduaan dalam suasana yang tenang, melihat pemandangan indah, hm... bukankah kalian pacaran?"
"Aaap..apa?" tanya Retno gugup. Baru sekali ini ada orang mengatakannya pacaran sama Raharjo. Tiba-tiba Retno berdebar debar.
"Retno, aku lihat kamu itu cocog sama Raharjo. Dia gagah, tampan, hm.. suka punya sepupu seperti dia."

Wajah Retno memerah, untung Raharjo nggak ada. Kalau ada pasti ia akan merasa sangat malu. Retno mencoba bertanya pada hatinya, sukakah ia sama Raharjo? Srjak kuliah dulu mereka sangat dekat, tapi tak pernah mengucapkan kata saling cinta. Perasaan Retno terhalang oleh cinta Raharjo atau Teguh kepada Putri, yang sampai sekarang belum diketahui dimana keberadaannya. Itu benar, selama Raharjo masih mencintai Putri, Retno akan memendam perasaan hatinya, yang belum dia sadari, apakah ia suka, apakah cinta, atau hanya bersahabat biasa. Ia tak perduli, ia sudah merasa senang bisa selalu berdekatan dengan Raharjo, saling menjaga dan memperhatikan.

"Aku nggak ikut." tiba-tiba kata Galang membuyarkan lamunan Retno.
"Galang, kenapa?" kata Widi sambil memandang tajam kearah Galang. Galang melihat mata itu penuh ancaman, Galang tau kemana arahnya, tapi sekarang Galang tidak takut. Isterinya sudah tau semuanya, apa yang ditakutinya?
"Nggak ingin ikut saja, aku mau jalan-jalan sama isteri dan anakku." kata Galang sambil menyendok makanannya.
"Galang, ini salah satu acara kantor juga, refreshing diawal Minggu, jadi kamu harus ikut, kata Widi sambil menandaskan kata harus. Dalam hati Widi berencana akan mengadakan acara itu disetiap awal Minggu, agar banyak kesempatan berdua sama Galang, dan ia tak harus memaksanya dengan kata-kata karena merasa punya senjata.

"Tapi aku nggak mau," tandas kata Galang.
"Galang," Widi menatap tajam kearah Galang. Galang terus menikmati makanannya.
"Baiklah, aku akan menelpon isterimu, barapa nomornya? Ia pasti akan memberi ijin suaminya untuk pergi bersamaku."
Galang sudah menyendok suapan terakhirnya, lalu meneguk minumannya dengan nikmat.
"Terimakasih telah mentraktir makanan lezat ini," kata Galang sambil mengusap mulutnya dengan selembar tissue.
"Galang..." Widi heran Galang tak perduli akan ucapannya.Apa karena merasa bahwa Widi tak punya nomor ponselnya Putri?
"Baiklah, kalau nggak bisa menelpon, aku kerumah saja." kata Widi lagi sambil tak pernah melepaskan pandangannya kearah Galang.
"Sudah lama kita disini, sa'atnya kembali ke kantor, yuk, ajak Galang tanpa memperdulikan kata-kata Widi. Widi sangat heran melihat Galang tampak tenang. Ia ingin mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Dari pak Haris.Tapi suaranya tampak tak bersahabat.
"Widi ! Kamu dimana?"
"Lagi makan om, diluar."
"Kembali ke kantor, cepat !! Nggak beres ini. "
"Ada apa om?"
"Kamu nggak beres! Kamu membuat laporan palsu!!"
"Palsu bagaimana om?"
"Ada nota keluar untuk Yayasan Putra Bakti. Aku sebelum itu sudah menyumbang dana untuk mereka sebanyak 20 juta!! Mana mungkin kamu membayarnya lagi 10 juta?"
Wajah Widi pucat pasi.
"Kembali kekantor sekarang dan menghadap aku!!"

==========
(side b)

Galang memandangi wajah Widi penuh tanda tanya. Mata nyalang yang biasanya menyorot tajam, tampak kuyup. Pasti pak Haris masih marah sama Widi. Pikir Galang.

"Galang, kita kembali ke kantor sekarang," kata Widi sambil berdiri. Galang dan Retnopun ikut berdiri. Ketika Widi menuju kasir untuk membayar, Retno menggamit lengan Galang.
"Ada apa ya?"
Galang hanya mengangkat bahu tanda ta mengerti.
"Kelihatannya pak Haris marah2 lagi, aku takut masuk keruangannya, nanti ikutan diruangan mas Galang dulu ya."
"Oke, nggak apa-apa, ngeri juga kalau mendengar orang lagi marah."
"Pak Haris kalau marah menakutkan. Padahal kalau lagi biasa baik banget .. untunglah aku selalu bisa melayaninya dengan baik."
"Hati-hati dalam mengerjakan sesuatu, itu penting bukan?"

Widi sudah selesai membayar, lalu bergegas menuju mobilnya. Galang dan Retno mengikutinya tanpa bertanya.
***

Begitu sampai diruangannya, Widi meletakkan tas dan bergegas menuju keruangan pak Haris. Galang dan Retno duduk dikursi tamu, sambil menunggu berita dari Raharjo.

"Raharjo kok lama ya mas?"
"Ya, mungkin jalanan macet."
"Dia sudah cerita banyak tentang mbak Widi, aku sebagai sepupunya jadi malu. Perbuatannya sungguh nggak pantas."
"Dulu waktu kuliah kami berteman. Aku nggak tau kalau dia suka sama aku. Ketika aku mau menikah baru dia ngomong. Tapi aku nggak pernah merasa dekat dalam arti saling suka. Kok tiba-tiba ketemu disini dan berbuat senekat itu."
"Padahal dia itu kan cantik, pasti banyak yang suka dan bersedia jadi pendamping dia."
"Biasanya seorang laki-laki kurang suka pada perempuan yang terlalu mengejarnya."
"Oh ya?"

Tiba-tiba Retno berfikir, apakah dia terlalu mengejar Raharjo? Enggah ah, biasa saja, dan Raharjo juga nggak pernah memperlihatkan rasa kurang suka kok. Pikir Retno yang kemudian dijawabnya sendiri.

"Ada apa, kok diam? Lagi mikirin Raharjo ya?" goda Galang.
"Ah, mas Galang ada-ada saja. Kami hanya berteman." jawab Retno tersipu.
"Kamu itu cocok lho sama Raharjo, sungguh. Aku berharap kalian bisa berjodoh," kata Galang serius.
"Mas .. Raharjo itu masih mencintai pacar lamanya. Aku nggak berani donk."
"Masa sih? Katanya dulu sudah bisa melupakan kok. Sungguh, katanya tinggal sekeping, itu dulu, sudah lama, mungkin sekarang sudah tak bersisa, siapa tau."
"Entahlah mas, jodoh itu kan yang mengatur dari sana," kata Retno sambil menungjuk keatas.
"Itu benar, tapi aku berharap kalian benar-benar bisa berjodoh lho."
Retno tersenyum.
"Do'akan yang terbaik saja mas. Kalau nanti tiba-tiba Raharjo ketemu sama pacarnya, sementara aku terus berharap... jadi sakit donk."
Dan tiba-tiba Raharjo pun muncul.
"Lagi ngomongin apa nih?" tanya Raharjo sambil duduk diantara mereka.
"Lagi ngomongin kamu sama Retno."
"Mas Galang tuh, nanti Retno jadi takut sama aku.."
"Ee.. siapa takut?"
"Tuh, sudah ditantang lho Jo."

Lalu ketiganya tertawa berderai. Bagaimanapun Raharjo lah yang takut ditolak. Namun keduanya bisa menjaga hati mereka masing-masing, sehingga persahabatan tetap terjalin. Dan persahabatan itu kemudian mengandung suka atau cinta, waktulah yang akan bicara.

"Oh ya mas, sudah aku bawa tadi ke laborat, hasilnya tidak bisa sekarang,tapi besok."
"Masih besok ya?"
"Iya mas, besok biar aku yang ambil."
"Berapa bayarnya Jo?"
"Gampang mas, pokoknya besok aku ambil dulu."
Tiba-tiba dering telepone berbunyi.
"Ya?" Galang mengangkatnya.
"Kamu kesini Lang !! Cepatt!" itu suara pak Haris, tandas, tak ada ramah pada nada suaranya. Hati Galang tercekat. Jangan-jangan nota itu bermasalah.
"Ada apa mas?"
"Pak Haris memanggilku, nadanya marah. Jangan-jangan karena nota itu."
"Kalau mas Galang dipojokkan, katakan saja semuanya dengan terus terang mas, jangan ada yang ditutupi. Itu lebih baik daripada mas Galang dikira melakukan penipuan sungguhan."
"Baiklah, apa boleh buat, aku kesana dulu."

Galang meneguk minuman diatas mejanya, lalu melangkah keluar ruangan.
***

"Aku tidak mengerti, apa kurangnya semua yang aku berikan untuk kamu Widi? Kamu mendapat kekuasaan penuh atas keuangan yang ada diperusahaan ini, karena kamu adalah keponakanku. Tapi kalau kamu tidak bisa dipercaya, aku malu. Sungguh, lebih baik kamu pulang ke Semarang, aku nggak mau kamu bekerja disini lagi."
Widi hanya menunduk, terdiam, tak tau harus menjawab apa. Pak Haris bersedakap dikursinya ketika Galang masuk dengan hormatnya.
"Selamat siang pak," sapa Galang.
"Siang. Duduklah."
"Terimakasih pak."
"Kamu ini Galang, baru sebulan bekerja disini, aku sudah melihat bahwa kamu bisa menjalankan tugas kamu dengan baik. Aku suka itu, dan kamu pantas jadi seorang pemimpin."

Galang terdiam, pak Haris juga diam. Dipandanginya wajah tampan yang duduk menghadap dihadapannya, tanpa berkedip. Galang sedikit berdebar, suasana itu sungguh suasana yang tidak mengenakkan. Dilihatnya Widi menunduk, mempermainkan jemarinya yang lentik.

"Kamu tau mengapa aku memanggil kamu?"
"Tidak pak."
"Ketahuilah, mungkin ini hari terakhir kamu bekerja disini."

Galang menegakkan kepalanya. Memandangi laki-laki setengah tua yang duduk dihadapannya yang memandanginya dengan tajam.
"Apakah saya melakukan kesalahan?"
"Sangat besar. Kamu, juga dia."

Galang segera menangkap dimana letak kemarahan pimpinannya. Nota itu, nota fiktif yang dibuat Widi dan dia ikut menandatanganinya.
"Lihat, baik-baik. Ada tiga buah nota keluar yang aku tidak percaya. Karenaa....." pak Haris berhenti sejenak untuk melihat reaksi Galang, kemudian dilanjutkannya kata-katanya.
"Ini lihat.... seminggu sebelum nota palsu ini dibuat, aku sudah memberikan dana sebanyak duapuluh juga kepada yayasan anak yatim ini. Ini tanda terima dari sana. Bagaimana kalian bisa membuat lagi nota kepada yayasan yang sama sebanyak sepuluh juta. Dan ini bukan tanda terima asli dari mereka. Ini buatan Widi. "

Galang terdiam. Sesungguhnya ia hanya menandatanganinya, tidak tau itu nota apa, untuk siapa. Tapi hari ini ia terkena getahnya, terancam dipecat dengan sebuah noda, penipuan. Tidak, Galang tidak terima.
"Apa jawab kamu Galang, anak tampan yang manis, yang pintar, tapi tega berbuat curang.. Berapa juta kamu dapatkan untuk kebohongan ini?"

Kemarahan Galang sudah memuncak, dia bukan pembohong, dia adalah korban. Ditegakkannya kepalanya menghadap pak Haris.
"Sebelum bapak menuduh saya pembohong, saya mohon bapak mendengarkan keterangan saya ini. Mohon ma'af sebelumnya pak." kata Galang berapi api.
"Hm, bagus, kamu punya jawaban." kata pak Haris sambil mengangguk angguk.
"Dua hari yang lalu, Widi mengatakan pada saya bahwa laporan keuangannya ada selisih lumayan banyak. Saya mana tau laporan seperti apa yang dibuat Widi? Dengan memohon mohon Widi minta saya agar membantunya. Ia membuat nota keluar yang fiktif dan saya harus ikut menandatanganinya. Hanya itu."
"O, hanya itu, berapa kamu dapatkan dengan penandatanganan kamun itu?"
"Tidak sepeserpun."
"Baik benar hati kamu, disuruh berbohong, tanpa upah dan kamu mau menjalaninya. Apa kamu suka sama dia? Sama keponakanku yang cantik ini?"
"Tidak, sama sekali tidak. Dia yang suka sama saya," kata Galang karena tak tahan lagi memendam semua perasaannya. Ia boleh keluar tapi jangan dengan cara hina seperti itu. Galang harus mengatakan semuanya. Dilihatnya Widi tetap menunduk.

Pak Haris membelalakkan matanya.
"Widi, benar kamu suka sama dia?" tanyanya sambil menoleh kearah keponakannya.
"Lalu apa hubungannya Widi suka sama kamu sedangkan kamu tidak suka, tapi kamu bersedia membantunya? Karena kasihan?"
"Bukan, dia memeras saya, menekan saya, dengan sebuah jebakan yang sangat menjijikkan."

Pak Haris kembali memelototkan matanya. Apa yang didengarnya seperti bukan berhubungan dengan uang perusahaan yang dimakan karyawannya yang satu ini.
"Jelaskan ."

Galangpun mengatakan semuanya, dari air minum yang diminumnya, yang kemungkinan memang ditinggalkan Widi dimejanya, sampai kemudian dia tiba-tiba merasa pusing, lalu dia dipanggil kekamarnya dengan alasan ada pesan dari pak Haris di ponselnya, tapi begitu memasuki kamar Widi iapun rebah tak sadarkan diri. Ketika sadar ia melihat Widi disampingnya setengah telanjang, dan pakaiannya sendiri awut-awutan,  ia jadi  marah sekali lalu langsung pulang lebih dulu, setelah memohon ijin dari pak Haris. Tadinya mungkin rekaman itu akan dipergunakan entah untuk apa, dan ketika tiba-tiba Widi mengatakan ada selisih keuangan, maka kemudian rekaman itu dibuatnya untuk memaksa Galang agar mau menandatangani nota yang dibuatnya. Kalau Galang menolak maka rekaman itu akan diserahkannya kepada isterinya. Galang yang ketakutan kalau isterinya melihat rekaman itu kemudian menuruti  kemauan Widi.

"Percayakah bapak bahwa saya telah katakanlah memperkosa dia sedangkan waktu itu saya dalam keadaan terlelap?"
"Saya menyesal telah menandatangani nota palsu itu, dan sesungguhnya saya berjanji akan membongkarnya pada bapak, karena saya merasa tersiksa dengan kebohongan itu."
Pak Haris melotot kearah Widi.
"Mana rekaman itu?" hardik pak Haris.
"Ma'af om, sesungguhnya rekaman itu tidak ada," kata Widi lirih.
"Jadi ..."
"Saya berbohong, hanya untuk mengancam dia untuk mengirimkannya pada isterinya apabila dia tidak mau menuruti apa keinginan saya, tapi saya tidak meracuninya, sungguh itu sebuah kebetulan."
"Tapi kamu seorang perempuan yang tak tau malu Widi, akulah yang malu punya keponakan seperti kamu." hardik pak Haris.
"Saya pura-pura punya rekaman supaya Galang tidak meninggalkan saya om, dia telah menodai saya, bagaimana kalau saya sampai hamil?" isak Widi.
"Tidak mungkin pak, dia hanya meng ada-ada. Mana mungkin saya yang tidak sadar bisa melakukannya? Menurut saya dia telah merencanakan semuanya. Dari air yang saya minum itu pak."
"Bohong, aku tidak meracuni kamu. Itu hanya kebetulan. Entah dimana Galang meminum air dengan obat tidur itu."
"Galang.. ini persoalan jadi berkembang, bukan hanya so'al uang, tapi so'al kehormatan keponakanku. Apa buktinya bahwa Widi telah meracuni kamu?"
"Saya sedang memeriksakan sisa air yang semula saya minum itu ke laborat pak, baru besok bisa diambil hasil peperiksaannya."
"Aku ingin semuanya jelas. Tapi aku kecewa atas kejadian malam itu. Kalau benar kamu telah menodai keponakanku maka kamu harus bertanggung jawab."
Widi terisak. Galang muak mendengarnya. Bisa-bisanya dia tidak mengakui tentang air itu.
"Saya sudah bersiap melaporkannya pada polisi. Dengan hasil pemeriksaan itu, mungkin akan terungkap itu perbuatan Widi atau bukan. Dibotol itu mudah-mudahan masih ada sisa sidik jari pemilik sebelumnya. Dan botol itu adalah botol air yang sama yang selalu diminum Widi. Saya tidak pernah minum dengan merk itu."
"Baguslah, tak apa kalaupun Widi harus dihukum kalau memang bersalah, tapi sekarang aku mau membawa kamu kerumah sakit." kata pak Haris kepada Widi.
"Aku om? Untuk apa?
"Aku ingin tau, kamu masih perawan atau tidak."

Bersambung #21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER