Cerita Bersambung
(side a)
Widi terkejut, ia tak menyangka pak Haris akan melakukan hal sejauh itu. Memeriksakan keperawanan? Gemetar seluruh tubuhnya.
"Galang, aku sudah mendengar semua penjelasan dari kamu, dan aku bisa menerimanya. Baiklah, apa yang akan aku lakukan selanjutnya akan aku pikirkan. Sekarang kamu boleh kembali ke ruangan kamu." kata pak Haris kepada Galang.
Galang merasa lega bisa mengatakan semuanya, walau Widi masih menuduhnya melakukan hal yang tak pantas malam itu. Tadi pak Haris akan membawanya ke dokter, jadi akan terbuktikan semuanya nanti.
Galang beranjak dari kursinya.
"Terimakasih pak," katanya, kemudian ia melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Widi masih terpekur dikursinya. Hatinya gundah bukan alang kepalang.
"Coba lihat ponsel kamu," kata pak Haris tiba-tiba.
Widi terkejut, Masa ia harus menyerahkan ponselnya? Bagaimana kalau pak Haris melihat rekaman itu? Tadi ia mengatakan tak ada rekaman apapun tentang kejadian malam itu. Ia sungguh malu kalau kelakuannya dilihat oleh om nya.
"Mana?!" hardik pak Haris sambil menadahkan tangannya kearah Widi.
"Tapi om."
"Cepaat!!"
Gemetar tangan Widi ketika merogoh ponsel didalam tasnya. Lama sekali ia memasukkan tangannya kedalam tas itu. Widi menyesal telah membawa tas tangannya keruangan pak Haris setelah pulang dari makan siang bersama Galang. Ia masih terlihat mencari cari, dan tak sabar pak Haris berdiri, lalu mendekati Widi dan menarik tas itu dari pangkuan Widi.
"Biar aku bantu kamu mencarinya."
Widi benar-benar ketakutan. Telapak tangannya basah oleh keringat dingin yang mengalir.
Dan dengan mudah pak Haris mendapatkan ponsel itu didalam tas Widi.
"Begini gampang, kenapa lama sekali kamu mengambilnya.." gerutu pak Haris sambil membuka buka ponsel itu.
Widi bertambah menunduk. Sejak berada diruangan pak Haris ia merasa berkali kali dijatuhkan. kebohongan dalam dirinya. Semuanya terbuka dan ia tak bisa menyanggahnya. Sekarang.. ponsel itu.
"Ya Tuhan, Widi.. benarkah kamu ini keponakanku? Kamu ini benar-benar perempuan tak tau malu Widi. Kamu berbohong tak punya rekaman itu dan ternyata ada, dan ini menjijikkan." Keras dan berapi-api suara pak Haris sambil mengacungkan ponsel itu.
Widi kembali terisak..Ia hampir meloncat dari tempat duduknya ketika merdengar suara keras dihadapannya. Pak Haris membanting ponsel itu sehingga hancur berkeping keping.
"Kamu itu ya, pembohong, pendusta, tak tau malu dan menjijikkan!!" teriak pak Haris semakin keras.
"Aku tidak memaksamu menunjukkan ponsel itu begitu kamu mengatakan tidak ada rekaman di ponselmu, karena apa, karena ada Galang, dan aku masih ingin menjaga martabatmu yang aku kira masih ada sedikit tersisa. Sekarang, Galang sudah tak ada disini, dan aku memaksamu meminta ponsel itu, ternyata kamu bohong, ternyata aku melihat pemandangan menjijikkan yang kamu lakukan."
"Tapi dia..."
"Tidak, jangan bilang Galang melakukannya. Aku melihat Galang tak berdaya, tak sadar atau terlelap, tak bergerak ketika kamu melakukan rekaman itu, dan kamulah yang membuat seolah olah seperti terlihat Galang melakukannya. Itu akal-akalan kamu, kamu bohong bukan?"
Widi terisak, ia tersudut, dan sangat malu. Ingin ia pingsan disa'at itu juga sehingga tak merasakan apapun ketika pak Haris memaki-maki dirinya. Tapi tubuhnya masih kuat bertahan. Telinganya mendengar dan matanya melihat. Ketika diliriknya pak Haris, Widi melihat nyala api menyembur dari mata setengah tua yang sedang dibakar amarah itu. Widi kemudian menundukkan kepalanya.
"Kalau kamu berkeras mengatakan bahwa Galang memperkosa kamu, aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang juga. Aku harus yakin bahwa kamu sudah tidak perawan. Dan satu lagi, sejak berapa lama kamu tidak perawan, jangan-jangan kamu sudah berkali kali melayani laki-laki."
Widi tetap menunduk. Kali ini ia tak kuasa lagi mengangkat kepalanya. Semua upaya untuk menjerat Galang ternyata gagal.
"Bagaimana? Katakan apakah Galang menodai kamu?"
Widi tak mampu mengatakan apapun. Om Harisnya bukan orang bodoh yang mudah ditipunya. Ia tak berani lagi berbohong.
"Tidak bukan? Baiklah, sekarang satu lagi. Benarkah kamu meracuni Galang?"
"Ti..tidak om....tidaak.."
"Tidak? Kamu sangat pintar berbohong, jadi aku tidak begitu gampang mempercayai kamu. Oke, botol dan air sisa yang tadi diminum Galang sedang diperiksa di laborat. "
"Tapi itu kan belum tentu kalau saya yang memberikan."
"Ya, tapi kata Galang botolnya itu botol air minum yang biasa kamu minum. Tapi baiklah, Galang akan melaporkan semuanya pada polisi, dan polisi pasti lebih ahli dalam mencermati suatu masalah. Resikonya.... kalau kamu terbukti salah maka kamu akan dipenjara. Lihat ini..."
Tiba-tiba pak Harus mengeluarkan sebuah botol putih dari dalam tas Widi. Widi terkejut bukan alang kepalang. Sejak tadi memang tasnya ada ditangan pak Haris.
"Botol ini isinya apa?"
"Oh.. it..itu.. obat pusing ... punya saya om."
"Okey, obat pusing ya, aku akan menyimpannya. Besok kan kata Galang hasil pemeriksaan dari laborat itu sudah selesai, dan akan diketahui kandungannya apa, atau tidak ada apa-apa nya yang berbahaya dari dalam air itu. Nanti....kalau kandungannya adalah sama dengan obat didalam botol ini, kamu akan berkata apa?"
Kali itu Widi benar-benar ingin mengambil sebilah pisau yang akan dihunjamkannya kedadanya. Tapi tak ada pisau disana. Tubuh Widi lemas, tak bertenaga. Kalau saja ia sedang berdiri maka pasti ia akan jatuh terkulai kelantai.
"Jawab Widi !!
Widi hanya menggeleng geleng.. tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Pak Haris menatap keponakannya. Ada rasa iba melihat keadaan Widi, tapi ia sungguh marah mengetahui segala kebusukannya.
"Baiklah, sekarang tanpa menunggu pemeriksaan laborat, tanpa menunggu polisi akan menyeret kamu dan kemudian memenjarakanmu, semuanya sudah terjawab. Kesalahan kamu adalah, satu, kamu korupsi. Dua, kamu berbohong. Tiga kamu melakukan tindakan kriminal dengan meracuni orang. Empat, kamu sebagai perempuan sungguh tak tau malu, dan menjijikkan !!"
"Sa'at ini juga kamu aku pecat. Dan pulanglah ke Semarang. Jangan lagi menampakkan mukamu ke hadapanku.!!"
Dan kata-kata itu terucap bagai gelegar guntur disiang bolong, menjatuhkannya kelobang kehinaan yang telah digalinya sendiri.
***
Pagi harinya, ketika Galang sudah sampai diruangan kantornya, ia tak melihat Widi. Bahkan sampai satu jam kemudian tak tampak bayangan Widi dikantornya. Galang tak perduli. Beberapa hari ini kepalanya sering terasa pusing, yang kemudian berkurang setelah ia bisa tertidur. Ia ingin memeriksakannya ke dokter setelah keadaan menjadi tenang. Ia merasa belum menyelesaikan persoalannya dengan pak Haris, karena Widi masih menuduhnya telah menodainya. Dan Widi juga masih menolak tuduhan telah meracuninya. Galang sedang mencari cari obat gosok dilaci mejanya ketika Raharjo muncul dihadapannya.
"Aku sudah mengambil hasil lab nya mas, ini, memang mengandung obat yang bisa membuat orang terbius."
"Terimakasih Jo, aku akan membawanya kehadapan pak Haris sekarang, lalu akan melaporkannya pada polisi."
"Silahkan mas, aku mau langsung keruanganku, karena tadi aku cuma minta ijin untuk terlambat datang, habis aku harus segera mengambil hasil labnya."
"Baiklah Jo, terimakasih banyak, aku akan menghadap pak Haris sekarang."
***
Tapi siang itu pak Haris menerimanya dengan sangat ramah. Wajahnya yang keras dan matanya yang tampak garang tak tampak lagi disana. Mata itu begitu teduh dan itulah sesungguhnya pak Haris yang biasa dilihatnya sehari hari.
"Selamat siang," sapa Galang hati-hati.
"Siang, duduklah Lang."
"Saya ingin menyerahkan hasil lab yang sudah jadi," kata Galang sambil mengangsurkan kertas hasil lab itu kehadapan pak Haris.
"Ya, terimakasih Lang. Tapi saya kira ini semua tak usah dipermasalahkan ya," kata pak Haris yang belum dimengerti artinya oleh Galang.
"Maksudku begini. Okey, masalah uang itu saya anggap sudah selesai. Aku sudah tau uangnya dikorupsi oleh Widi. Dan hampir saja kamu terlibat didalamnya. Aku mempercayai kamu Lang."
"Terimakasih banyak pak," jawab Galang senang.
"Lalu permasalahan pribadi kamu sama Widi, aku sudah tau duduk persoalannya. Aku sudah tau kalau Widi mengecoh kamu dengan obat tidur, lalu sa'at kamu tak sadar dia telah melakukan hal-hal yang sangat memalukan."
"Widi mengakuinya?"
"Aku melihat rekaman yang dibuatnya."
"Rekaman?"
"Sesungguhnya dia memang merekamnya, tapi dia malu kalau aku sampai melihatnya. Tapi aku tidak percaya. Aku memaksa melihat ponselnya dan melihat semuanya."
Galang menarik nafas panjang. Ia sendiri belum pernah melihat rekaman itu. Apa sebenarnya yang telah Widi lakukan dalam keadaan dirinya tak sadar?
"Kamu jangan khawatir, rekaman itu sudah aku hancurkan. Tidak ada tanda-tanda perkosaaan."
Galang bernafas lega.
"Dan memang dia yang meracuni kamu. Semuanya sudah terungkap. Dengan caraku."
Galang benar-benar lega.
"Untuk semua itu, aku minta ma'af," dan dengan tak disangka, pak Haris berdiri dan menyalami Galang dengan hangat. Galangpun segera berdiri, lalu pak Haris menepuk nepuk pundak Galang.
"Mulai hari ini Widi sudah aku pecat. Ia sudah mengakui semua perbuatannya," kata pak Haris sambil kembali duduk dikursinya. Tapi Galang sudah menduganya.
"Apa kamu tetap akan melaporkannya pada polisi?"
Tiba-tiba Galang jadi ragu-ragu. Sesungguhnya ia bukan orang jahat. Kalau ia tadinya ingin melaporkannya pada polisi, itu karena Widi selalu memojokkannya. Bahkan pernah mengatakan... BAGAIMANA KALAU AKU HAMIL? Ya Tuhan, Galang bersyukur semuanya sudah lewat. Tidak, ia tak akan melaporkannya pada polisi, karena menurut pak Haris Widi sudah mengakui semua perbuatannya.
"Bagaimana Galang? Kalau kamu mau melapor ya silahkan saja, itu kan hak kamu,"
"Tidak pak, kalau Widi sudah mengakui semua perbuatannya, saya tidak akan membawanya ke jalur hukum. Saya senang semuanya sudah selesai."
"Baiklah, sekali lagi aku minta ma'af."
"Tidak apa-apa pak, bapak tidak bersalah."
"Dengar Galang, akan ada perombakan status pegawai staf yang ada di perusahaan ini. Kamu akan menggantikan Widi menjadi manager keuangan."
Galang terkejut.
"Saya masih baru pak, saya harus banyak belajar."
"Kamu sudah banyak belajar dan kamu akan menjalankan kewajianmu mulai bulan depan. Kamu akan berdampingan dengan Raharjo sebagai manager pemasaran."
Galang tak mampu menjawab apapun. Ia tak menyangka akan mendapat kedudukan setara dengan kedudukan Widi. Penguasa keuangan diseluruh kantor pusat dan anak cabang berusahaan besar ini.
"Kembalilah ke ruanganmu."
Galang berdiri dengan perasaan tak menentu, tapi sebelum melangkah keluar pak Haris kembali memanggilnya.
"Galang, dua bulan lagi perusahaan ini akan merayakan ulang tahun berdirinya. Dan seperti biasa, akan ada pesta untuk semua anak buahku. Dengar, aku ingin ada pertunjukan menari yang ditarikan oleh anak buahku, tari Jawa Lang."
"Bagus pak."
"Aku dengar Raharjo pintar menari, coba pikirkan, siapa yang kira-kira bisa menjadi pasangan penarinya."
==========
(side b)
Galang berhenti sejenak, tampaknya ia tertarik pada ide pak Haris. Tarian Jawa? Bukankah isterinya pintar menari tarian Jawa?
"Bagaimana Lang? Bagus tidak ideku itu? Kita sebagai orang Jawa kan harus membudayakan kebudayaan Jawa juga. Disini jarang disebuah pesta ada hiburan tarian Jawa. Ada sih, tapi jarang."
"Ide bagus pak, saya setuju."
"Oke, kalau begitu carikan pasangan untuk Raharjo, aku dengar dari Retno kalau Raharjo pintar menari Jawa."
"Bagaimana kalau isteri saya saja pak?"
"Wauuuw.... isterimu pintar menari juga? Hebat Lang, ini pasti jadi pesta yang luar biasa. Ayo Lang, segera siapkan semuanya. Aku serahkan ke kamu ya, seksi hiburannya?"
"Nanti saya coba bilang sama isteri pak, mudah-mudahan dia mau."
"Bagus Lang, baiklah, senang aku, belum-belum sudah membayangkan betapa meriahnya nanti."
Pak Haris tampak bersemangat. Wajahnya berseri-seri. Galang melangkah keruangannya dan membayangkan melihat isterinya sedang menari. Pasti cantik sekali.
***
Ditengah perjalanan kearah ruangannya Galang berpapasan dengan Raharjo.
"Lho mas, ada apa kok senyum-senyum sendiri?"
Galang tertawa..:" Berita gembira Jo..."
"Benarkah? Itu sebabnya saya dipanggil pak Haris sekarang ini?"
"Ya, pastinya, segera kesana, kamu pasti senang," jawab Galang sambil berlalu. Ia masih membayangkan isterinya menari, dan kini menari bersama Raharjo. Seandainya dia tau....
***
Tak tahan berlama-lama memendam perasaannya, Galang menelpon isterinya.
"Ada apa mas, kok kelihatannya gembira sekali?" tanya Putri dari seberang.
"Aku sudah menyelesaikan masalahku dengan Widi."
"Oh, syukurlah,"
"Widi sudah dipecat dan mungkin sudah kembali ke Semarang."
"Oh, kasihan mas, mengapa mesti dipecat?"
"Kesalahhannya fatal. Sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Aku diangkat jadi manager keuangan."
"Aduh mas, secepat itu?"
"Pak Haris yang minta, aku sudah menolaknya, tapi baiklah, nggak apa-apa, aku akan belajar, semoga tidak mengecewakaan."
"Aku ikut senang mas, semoga mas Galang bisa melaksanakan tugas dengan baik. Dan hati=hati ya mas, jadi pimpinan itu kan berat."
"Ya, do'akan saja suamimu ini bisa melaksanakan tugasnya dengan baik."
"Ya pasti lah mas."
"Lalu ada yang lebih menyenangkan lagi."
"Apa itu?"
"Dua bulan lagi ulang tahun berdirinya perusahaan. Pak Haris ingin mengadakan acara yang lain dari biasanya. Harus ada tarian Jawa yang ditarikan oleh karyawannya."
"Wah, bagus mas, aku nanti boleh ikut nonton?"
"Bukan hanya boleh .. aku ingin kamulah yang akan menari, nanti bersama Raharjo.."
Tiba-tiba Putri terdiam.
"Bagaimana sayang? Pasti indah dan cantik kalau isteriku yang menari."
"Jangan mas, aku nggak mau."
"Lho.. kenapa? Aku jadi seksi hiburan lho, jangan kecewakan suamimu dong..Ya sudah, bicaranya nanti saja, mas Galang bekerja dulu ya. Nanti pas istirahat mas telepone lagi."
***
Tapi dirumah Putri termenung sendirian. Ia harus menari? Ingatannya segera terbang kearah satu tahun yang lalu, ketika ia masih rajin menari, berpasangan dengan Teguh, dan dia pingsan sa'at pentas. Tidaaak, Putri tak ingin menari lagi. Kenangan itu terasa sangat pahit. Tarian terakhirnya membawanya kepada nestapa dihatinya, ketika tak lama setelah itu berita kehamilan ditebarkan oleh doker rumah sakit, dan kemarahan demi kemarahan ayahnya menghiasi seluruh rumah. Berlinang air mata Putri, teringat olehnya bayi yang dikandungnya, buah cintanya dengan Teguh.. tapi tidak, bayi yang manis dan montok ini anak Galang. Laki-laki tampan yang berbudi dan sangat melindungi serta mencintainya. Tak ada lagi Teguh dihatinya, Teguh yang mungkin telah hidup bahagia dengan perempuan lain. Dan bukankah kini ia juga bahagia bersama suaminya?
Putri mengusap air matanya ketika simbok mendekatinya.
"Jeng, ada apa?"
"Nggak apa-apa mbok, mas Galang meminta aku ikut menari di kantornya, tapi aku nggak mau."
"Mengapa nggak mau jeng? Waah.. dulu kan jeng Putri sering menari.. Ayo jeng, menarilah, nanti simbok akan ikut melihat."
"Nggak, kan aku sudah tua, sudah jadi ibu, masa ikutan menari ."
"Memangnya kalau sudah jadi ibu nggak boleh menari? Wong jeng Putri masih muda, cantik, wis ta jeng.. menari saja.. Kapan itu jeng?"
"Nanti di ulang tahun kantornya mas Galang mbok, masih dua bulan lagi."
"Ah, masih lama, menarilah jeng, pokoknya menari ya," kata simbok menyemangati. Tapi Putri hanya tersenyum.
***
"Waduh, ini pak Haris ada-ada saja," kata Raharjo kepada Retno ketika makan siang bersama.
"Kenapa Jo?"
"Besok pas pesta ulang tahun perusahaan ini, masa aku disuruh menari.."
"Wah, bagus Jo.."
"Dia akan menari bersama isteriku," kata Galang
"Hebaaat... ayo Jo, semangat, kamu kan pinter nari.."
"Pak Haris bilang, kamu yang mengakatakan bahwa aku pintar menari.."
"Memang iya kan..?"
"Sudahlah Jo, nanti aku akan merayu isteriku supaya juga mau menari sama kamu. Pak Haris minta berpasangan, jadi aku usulkan isteriku. Mudah-mudahan dia mau."
Tapi sama sedengan Putri, ingatan Teguh lari ke masa setahun lalu. Ketika pentas, lalu Putri pingsan, lalu ia menggendongnya, dan itulah sa'at terakhir bertemu dia. Sampai sekarang tak terdengar lagi beritanya. Mata Teguh berkaca-kaca.
"Ada apa Jo, kok tiba-tiba kelihatan sedih begitu?"
Teguh tersenyum, mengambil tissue dan mengusap kedua matanya.
"Jangan sedih Jo, ingatan masa lalu itu harus bisa ditepiskan, supaya tidak mengganggu pikiran kamu setiap sa'at," tegur Retno yang merasa iba melihat Raharjo tampak sedih.
"Memangnya ada apa?" tanya Galang yang melihat Raharjo tiba-tiba tampak sedih.
"Ah, nggak apa-apa mas, aku hanya terharu mengingat masa lalu aku, sa'at masih rajin-rajinnya menari, indah memang tarian Jawa itu."
"Ya jangan terus jadi melow begitu dong Jo, semangat. Pak Haris akan membuat kamu kembali ke masa-masa kamu dahulu. Bukankah kenangan ini indah?" kata Galang menghibur.
Kenangan itu indah? Ada yang indah, ada yang menyakitkan. Pikiran Raharjo kembali menelusuri masa-masa itu, yang indah bersama Putri, yang kemudian menyakitkan ketika bertemu ayahnya Putri.
"Jo !!" Retno menepuk tangan Raharjo yang ada diatas meja. Sangat keras sehingga Raharjo meringis kesakitan.
"Sakit tau?! " pekik Raharjo sambil meringis.
"Biarin. Habis kamu kok jadi sedih begitu."
"Ada kenangan yang membuaat sedih ketika menari?" tanya Galang.
"Nggak, nggak ada mas, hanya terharu seandainya aku bisa menari lagi."
"Ok, jadi mau ya?" teriak Galang keras-keras. Tak sadar Galang karena gembiranya.
"Baiklah, tapi harus mengingat ingat lagi mas."
"Yang penting kamu setuju, sekarang aku tinggal merayu isteriku. Mudah2an dia mau."
"Enaknya tari apa ya?"
"Itu Jo, Permadi sama Sembadra..yang..." kata Retno terhenti karena Raharjo berteriak menolaknya.
"Jangaaan... aku nggak mau!!"
"Ssst... kok jadi saling berteriak, tuh pada melihat kearah sini," tegur Retno.
Permadi sama Sembadra kan tarian terakhirnya bersama Putri? Retno bisa saja membangkitkan lagi kenangan tentang tarian itu, padahal Raharjo sudah berusaha melupakannya.
"Ya sudah, terserah kamu saja Jo, yang penting bagus. Atau kamu mau bicara dulu sama isteriku?"
"Ya mas, gampang nanti kalau sudah dekat waktunya. Aku mau berfikir dulu bagusnya tari apa. Karonsih juga bagus."
"Bagus Jo.. aku dukung kamu, hidup Raharjo,"teriak Retno senang.
"Eh, kok kamu jadi ikutan berteriak?" tegur Raharjo.
Lalu ketiganya tertawa renyah.
***
"Adhit, bilang sama ibu supaya mau menari lagi ya?" kata Galang sambil memangku anaknya ketika malam itu Adhitama masih terjaga.
"Nggak bapak, ibu sudah nggak pantas lagi menari, ya kan Dhit?" sahut Putri yang duduk disamping suaminya.
"Masih pantas kok, ibu kan masih cantik le?"
"Sudah lupa semuanya, bapak, jangan paksa ibu, kasihan ibuku, bapak," sahut Putri lagi.
"O, sayangnya bapak, ibu itu masih pantas menari, ibu itu cantik, luwes, bapak pengin liat ibu menari Adhit Nanti Adhit boleh ikut melihatnya kok."
Adhitama yang memandangi ulah bapaknya seperti mengerti apa yang dikatakannya. Bayi molek itu tartawa tawa sambil menggerak gerakkan kakinya.
"Tuh, Adhitama setuju.." kata Galang sambil menciumi anaknya. Bahagia itu indah, bahagianya Putri melihat kasih sayang Galang kepada Adhitama. Dengan menggelendot manja Putri bersandar pada bahu suaminya.
"Hm... bapak bohong ya le?"
Adhitama mengeluarkan suara-suara lucu, seakan ingin menjawab celoteh bapak dan ibunya. Galang bertambah gemas, menciumi Adhit tanpa henti.
Tiba-tiba Galang berteriak..:" Adduh... ibu..."
Putri mengangkat kepalanya. Galang memandangi Putri sambil meringis. Putri sudah tau, pasti Adhit ngompol.
"Ngompol ya?" tanya Putri sambil tertawa, lalu mengangkat Adhit dari gendongan ayahnya.
"Syukurin ya, bapak diompolin sama Adhit."
Galang berdiri, mencium Adhit lalu mengganti sarung dan celananya yang basah.
Putri yang sedang menggantikan celana Adhit hanya tersenyum senyum.
Tiba-tiba simbok datang sambil menyampirkan gendongan dipundaknya.
"Ayo, mas Adhit bobuk digendong simbok yuuk.. bapak sama ibu biar makan malam dulu."
"Hm, simbok tuh, kebiasaan suka nggendong-nggendong, jadinya Adhit belum mau bobuk kalau belum digendong simbok."
"Nggak apa-apa ya mas Adhit, simbok seneng kok .. " kata simbok yang kemudian mengangkat Adhit yang sudah berganti celana, lalu membawanya keluar.
"Galang juga sudah mengganti sarung dan celananya yang basah oleh ompol anaknya, Putri menariknya untuk mengajaknya duduk diluar.
"Apa sih, kok tangan mas ditarik tarik?" goda Galang.
"Ayo duduk diluar mas, gerah disini.Lagian simbok sudah menyiapkan makan malam."
"Nggak, aku mau dengar dulu, kamu mau menari nggak?"
"Itu penting buat mas?"
"Penting dong, aku ingin kamu melakukannya, nanti bersama Raharjo.Mau kan?" rayu Galang sambil memeluk isterinya. Ya Tuhan, tangan kekar dan senyuman yang menawan itu tak mampu membuatnya menolak. Putri sangat mencintainya, dan Putri tak sanggup menolaknya.
"Baiklah, demi suami yang sangat aku cintai, aku bersedia."
Dan Galang menghadiahi pelukan yang semakin erat dan ciuman yang bertubi-tubi. Alangkah indah hidup ini.
Bersambung #22
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel