Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 28 April 2021

Sekeping Cinta Menunggu Purnama #22

Cerita Bersambung
(side a)
Hari itu bu Broto merasa senang sekali. Baru saja Putri mengiriminya video Adhitama, yang sedang bergerak gerak dan berusaha untuk tengkurap.. sambil berceloteh lucu. Rasa rindunya kepada cucunya tak tertahankan lagi. Diputarnya ber ulang-ulang video itu.

"Bapak, lihat, cucu kita ini.. belum tiga bulan sudah pengin tengkurap nih.. lihat pak.."
"Ada apa ta bu, cuma liat gambar saja kok berteriak teriak."
"Kesini pak, lihatlah, ini bukan sekedar gambar.. "
"Sebentar bu, ini badanku rasanya kok nggak enak ya," kata pak Broto tanpa beranjak dari duduknya di sofa.
Bu Brroto terkejut, dihampirinya suaminya, dipegangnya keningnya, badannya.

"Keringat dingin ya pak, bapak masuk angin ini. Ayo kekamar, ibu gosokin pakai minyak angin."
"Nggak bu, aku disini saja, ambil obat gosoknya, mau berjalan kekamar saja kok rasanya berat."

Bu Broto segera mengambil obat gosok di almari obat. Digosoknya seluruh badan suaminya sambil diijit pijit.

"Bapak ganti baju saja dulu ini bajunya basah keringat. Kok bisa sampai begini ta pak, panggil dokter saja ya," kata bu Broto sambil berjalan kearah kamar, dan mengambil baju bersih yang kemudian dipakaikannya pada suaminya.
"Ibu panggil dokter ya."
"Nggak bu, cuma masuk angin saja, nanti juga sembuh."
"Jangan suka menyepelekan penyakit. Kalau orang tiba-tiba keluar keringat dingin seperti ini, pasti ada sesuatu, dan sesuatu itu yang tau kan hanya dokter."
"Sudah lah bu, diam saja, kepalaku bertambah pusing mendengar ibu ngomel tidak karuan."

Pak Broto mencari bantal yang ada di sofa itu lalu membaringkan tubuhnya disitu. Bo Broto mengambilkan segelas teh hangat, yang kemudian diangsurkannya pada suaminya.

"Ini teh hangat pak, diminum dulu."
"Nanti saja bu, aku cuma pengin tidur."
"Pindah kekamar saja pak, kan bisa lebih enak tidurnya."

Tapi pak Broto tak menjawab. Matanya terpejam. Bu Brroto sangat khawatir. Suaminya itu seorang pekerja keras. Selama ini badannya sehat-sehat saja, dan tak pernah mengeluhkan apapun. Ada dokter keluarga yang memeriksa kerumah setiap bulan, tapi selalu dikatakannya -bahwa pak Broto sehat-sehat saja. Sekarang, melihat suaminya seperti lemas tak berdaya, bu Broto menjadi sangat khawatir. Dipijit pijitnya kaki suaminya. Pak Broto tetap memejamkan matanya, mungkin tertidur. Bu Broto berdiri dan berjalan kearah telepone. Ia harus memanggil dokter supaya melihat keadaan suaminya.

Mereka hanya berdua saja dirumah besar itu. Baru saja pembantunya keluar. Sejak simbok pergi mengikuti Putri, bu Broto sudah berganti pembantu tiga kali. Semuanya tak tahan pada sikap pak Broto yang terlihat galak, dan selalu berbicara keras. Bu Broto bisa memaklumi, orang masih baru, pasti nggak akan tahan mendengar suara-suara keras suaminya. Hanya simbok yang bisa melayaninya, itupun kalau mendengar suara keras seringkali juga merasa takut. Hanya karena kemudian Putri lahir, dan simbok menjadi pamongnya, maka simbok menjadi sangat betah mengabdi.

Sore ini melihat suaminya kesakitan, dan bu Broto lari kesana kemari mencari obat gosok, mengganti pakaian, kemudian harus menelpon dokter, baru terasa betapa beratnya hidup tanpa pembantu.
***

Pagi itu Galang dan Raharjo dipanggil menghadap pak Haris. Tampak segar pak Haris, dan tanpa beban walau telah mengusir keponakannya dari perusahaan miliknya. Ia bersyukur mendapatkan karyawan2 yang walau masih baru tapi selalu cekatan dalam mengerjakan semua tugas-tugasnya.

"Galang Perkasa dan kamu Teguh Raharjo, ini surat pengangkatan kamu. Terimalah. Aku tak perlu menunggu tiga bulan untuk menentukan posisi yang tepat untuk kalian berdua. Perusahaan ini butuh tenaga-tenaga yang mumpuni seperti kalian, segera, karena aku juga sedang membenahi perusahaan cabangku yang lain.
Galang dan Raharjo duduk diam, hanya mendengarkan apa yang dikatakan pak Haris.

"Satu yang paling aku pegang dari para karyawanku adalah kejujuran. Sekali saja berbuat yang menyumpang, silahkan minggir. Kamu tau, aku sudah tua, dan aku tak bisa melakukan semuanya sendirian. Tadinya aku mempercayakannya kepada keponakanku sendiri untuk memegang keuangan perusahaan. Tapi yah.. ternyata aku tak bisa memakainya. Retno, bagus, aku suka Retno, dia pintar, dan selalu bisa menangkap semua perintah-perintahku, dan teman-teman  keponakanku adalah kalian berdua, ternyata aku suka kerja kalian."
"Terimakasih atas kepercayaan yang bapak berikan," kata Galang dan Raharjo hampir bersamaan.
"Ada fasilitas-fasilitas perusahaan untuk kalian. Rumah, mobil. Oh ya, aku dengar kalian masih mengontrak ya? Segera pindah kerumah dinas, nanti akan segera ada yang mengurusnya."
"Tapi kami baru mengontrak selama kurang dari setahun, mungkin Raharjo juga begitu," kata Galang hati-hati, takut dikira menolak fasilitas perusahaan yang diberikan.
"Tidak apa-apa, segera pindah, rumah itu layak kok, lumayan besar, nanti sa'at istirahat kalian akan tau. Bukan berdekatan juga diantara kalian berdua, tapi kondisinya sama."

Galang dan Raharjo hanya mengucapkan terimakasih berkali-kali. Ini bukan masalah kedudukan, tapi masalah tanggung jawab. Mereka harus bekerja lebih keras.

"Baiklah, kalian boleh kembali. Tapi nanti dulu, masalah perayaan ulang tahun itu sudah kamu rencanakan Galang? Raharjo bisa membantu kan?"
"Pasti saya akan bantu mas Galang pak."
"Siapa yang akan menari? Kamu, Raharjo, sama... isteri kamu, Galang?"
"Ya pak, rencananya begitu."
"Baiklah, minggu depan akan ada panitia khusus untuk acara tersebut. Aku harap semua berjalan lancar."
"Siap pak," jawab Galang tandas.
"Sekaligus nanti akan aku umumkan kedudukan kalian kepada seluruh staf dan karyawan. Oke, kembalilah keruangan kalian."

Galang dan Raharjo keluar setelah mengucapkan terimakasih.
***

"Aku baru tau namamu Teguh Raharjo," kata Galang pada waktu makan siang bersama.
"Aku  juga baru tau mas Galang itu namanya Galang Perkasa. Gagah sekali, sesuai dengan orangnya," puji Raharjo.
"Aah, kamu Jo, apalah arti sebuah nama. Aku tahunya kamu ya Jo..Jo.. itu lebih manis, bukan?"
"Iya mas, siap. Tapi ini saya lagi bingung mas."
"Bingung kenapa Jo?"
"Kalau aku harus pindah kerumah dinas, dan katanya rumah itu lumayan besar, sementara aku kan cuma sendirian mas, tapi mau menolak ya nggak berani."
"Lha itu solusinya kan gampang ta Jo, cepatlah menikah. Aku bilang apa dari kemarin-kemarin."
"Lha itu mas, yang mau diajak menikah yang belum ada."
"Belum ada, atau belum berani melamar?"
"Mas Galang tuh..." kata Raharjo sambil menunduk. Terbayang olehnya wajah Putri, yang entah sekarang berada dimana. Alangkah bahagianya seandainya ia bisa memboyong Putri kerumah barunya. Pasti itu rumah yang pantas, apakah pak Broto masih mau menghinanya? Ah, tapi kan Putri sudah hilang bagai ditelan bumi, harusnya Raharjo melupakannya. Dan tampaknya ia mulai membayangkan Retno. Tapi ia ragu, maukah Retno menjadi isterinya? Walau pak Haris telah memberinya kedudukan yang tak pernah disangka-sangkanya, tapi  Raharjo masih tetap merasa rendah  diri. Apalagi Retno itu keponakan pak Haris. Merinding Raharjo membayangkannya.
Galang memandangi Raharjo dan tertawa lucu.

"Kamu itu setiap diajak bicara so'al pacar, apalagi isteri, pasti wajahmu terus berubah sendu. Sekarang Retno tidak ada, jawablah terus terang, apakah kamu suka sama Retno?"
"Kamu nggak usah malu mengakuinya Jo, jangan takut jatuh cinta." lanjut Galang.
"Aku takut mas, sungguh."
"Nanti aku akan bantu kamu mendekati Retno."
"Apa mas?"
"Sudaah, nggak usah tanya macam-macam. Atau... jangan-jangan kamu masih mencintai pacar lamamu itu Jo?"
Raharjo terdiam. Masih cintakah ia pada Putri?
"Jo, jawab, aku yakin Retno juga ingin tau isi hatimu yang sebenarnya. Oke, aku rumah pertanyaannya, seandainya pada suatu hari nanti kamu ketemu kekasihmu itu, apakah kamu masih mau menerima cintanya?"
"Kalau dia masih mencintai aku,....."
"Kamu mau?"
Raharjo ragu-ragu, itu kan tak mungkin. Tapi kenapa ia masih selalu membayangkannya? Sampai kapan?
"Kamu akan terus menunggunya? Sampai kamu menjadi kakek-kakek?"

Raharjo terdiam. Dimanakah Putri, masihkah Putri mencintainya? Rasa yang tergulung hari dan masa, apakah masih utuh seperti dulu? Raharjo sendiri juga tak yakin, apakah dia masih mencintai Putri atau tidak. Tapi kalau tiba-tiba ketemu.. aduhai, Raharjo bingung menjawabnya. Padahal harapan itu telah pupus.

"Jo, hadapilah kenyataan. Ada sa'atnya mencintai tidak harus memiliki bukan? Pandanglah jauh kedepan, kamu tidak bisa selamanya seperti ini. Ada gadis cantik yang setia menemani kamu, apakah itu tak bisa menggugah hati kamu?"
Raharjo tersenyum.
"Nggak mas, jangan dulu menuduh aku begitu, aku lagi bingung. Retno itu cantik, dan sangat perhatian sama aku. Tak mudah mendapatkan gadis seperti Retno, cuma saja kok aku takut ya mas."
"Kamu tuh, jawabanmu muter-muter nggak karuan Jo. Nanti aku bicara sama Retno saja, supaya kamu yakin, rasa hati Retno ke kamu itu seperti apa."
"Mas, jangan mas..."
" Sudah, sekarang bicara so'al lain saja. Bagaimana dengan tarian itu? Sudah siapkan tarian apa?"
"Sebentar mas, baru aku pikirkan."
"Atau mau bicara sama isteriku dulu? Barangkali dia punya ide?"

Tanpa menunggu jawaban Raharjo, Galang segera menelpone Putri.
"Ya mas, ada apa?" tanya Putri dari seberang sana.
"Mau bicara sama Raharjo?  Mungkin tentang tarian yang akan kalian peragakan.,"
"Nggak usah mas, aku terserah dia saja."
"Jo, terserah kamu, kamu sudah punya pilihan?" katanya kepada Raharjo.
"Kalau Karonsih bagaimana?"
"Sayang, Karonsih katanya.Bagsimana?"
"Ya aku terserah saja."
"Mau ngomong sendiri? Ngomong aja sayang, biar enak."
"Ah, nggak usah mas, pokoknya terserah dia saja."
Dan Putri menutup pembicaraan itu.
"Ya sudah Jo, terserah kamu, katanya."
***

Tapi nekatnya Galang, ketika Retno sedang sendirian, ia mengajaknya bicara tentang Raharjo.

"Ret, aku mau bicara."
"Ada apa mas? Sebentar lagi kita akan berangkat melihat rumah dinas itu, pak Haris sudah memerintahkan pak Bono untuk mengantarnya."
"Iya, kan belum, aku mau ngomong dulu sama kamu. Ma'af, agak pribadi, tapi aku ngomong demi sahabat. Sungguh, jangan tersinggung ya."
"Masalah apa nih? Serius amat?"
"Serius dong, aku mau tanya sama kamu, apa kamu cinta sama Raharjo?"
"Lho, mas Galang kok nanya itu..," kata Retno tersipu.
"Ma'af Ret, soalnya Raharjo selalu bilang takut mengutarakan isi hatinya ke kamu."
"Memangnya Raharjo suka sama aku?"
"Jangan begitu Ret, kamu pasti tau isihatinya Raharjo."
"Mas, sekarang aku mau berterus terang sama mas Galang, aku suka sama Raharjo sudah sejak jaman kuliah dulu."
"Tuh kan..."
"Tunggu dulu mas, tapi aku nggak akan memaksa dia untuk mencintai aku, sungguh, aku hanya menunggu."
"Menunggu dia mengatakannya? Nanti aku bilang sama dia..."
"Bukan itu, aku tuh menunggu sampai Raharjo bisa melupakan kekasihnya. Dia masih belum sepenuhnya melupakan kok mas, jadi aku hanya menunggu, aku nggak akan marah dan kecewa seandainya dia bertemu lagi dengan orang yang dicintainya. Aku tak mau mengganggu. Kebahagiaan dia adalah kebahagiaan aku."

Alangkah mulia hati Retno.

==========
(side b)

Sore itu Galang pulang dengan langkah gontai. Putri yang menyambut didepan merasa heran, Galang seperti tak bersemangat.

"Mas, mas Galang baik-baik saja?" tanya Putri sambil mencium tangan suaminya.
"Agak pusing kepalaku. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering pusing," jawab Galang sambil mencium pipi isterinya, kemudian anaknya yang ada dalam gendongan isterinya.
"Kalau begitu mas istirahat dulu sebentar, ganti baju, kita ke dokter."
"Nggak usah lah sayang, aku istirahat saja." kata Galang sambil masuk kedalam, diikuti isterinya.
"Nggak bisa mas, kalau pusing sekali masih bisa ditolerir, tapi kalau sering pusing, pasti ada apa-apa. Sebentar mas, biar Adhit sama simbok, aku antar mas ke dokter."
"Aku mandi dulu saja ,"
"Nggak usah mandi mas, cuci muka, cuci kaki tangan, lalu ganti pakaian. Kalau ingin mandi juga, biar simbok menyiapkan air hangat. Nggak bagus orng lagi sakit mandi air dingin."

Putri meletakkan Adhitama ditempat tidur, lalu ke belakang mencari simbok. Ia berpapasan dengan simbok yang membawa nampan berisi secangkir teh hangat.

"mBok, ini untuk mas Galang? Biar aku saja, tolong panaskan air untuk mandi mas Galang ya mbok."
Simbok menyerahkan nampan lalu berbalik kebelakang.
"Ini mas, tehnya diminum dulu."
Galang meneguk tehnya.
"Simbok baru memanaskan air untuk mandi, mas ganti baju dulu, aku juga mau siap=siap.
"Isteriku suka memaksa deh," keluh Galang, tapi sambil tersenyum.
"Biar saja, aku nggak mau mas sakit," kata Putri yang kemudian menuju kekamarnya."
Namun setiba dikamar Putri terkejut melihat Adhitama sudah sampai dipinggir tempat tidur.
"Ya ampun Adhit, aduuh... kamu itu mau kemana? Kalau sampai jatuh, bukan hanya kamu yang nangis, ibu juga akan ikut menangis," kata Putri sambil mengangkat tubuh Adhit diletakkannya agak ketengah.
"Ada apa ?" tiba-tiba Galang mengikuti masuk kekamar setelah mendengar teriakan Putri.
"Ini mas, baru ditnggal sebentar saja Adhit sudah minggir sampai disitu. Geraknya sudah luar biasa, pengin tengkurap juga."
"O, anaknya bapak yang ganteng, rupanya bapak harus membelikan kamu box sendiri yang agak besar., kata Galang sambil merebahkan diri disamping anaknya.
"Mas, kalau ibu tau, atau simbok tau, pasti mas dimarahi. Kalau habis bepergian, dilarang mendekati bayi sebelum cuci kaki tangan.
"Oh iya, bapak lupa," Galang merosot turun.
"Besok bapak belikan box yang agak besar ya, supaya kamu bisa bergerak lebih leluasa, tanpa takut terjatuh."
"Mas, kalau box agak besar itu mau ditaruh dimana? Kamar sekecil ini masih mau ditambahin box bayi. Tidur dibawah saja mas, sama-sama dibawah, lebih aman."
"Dengar Putri, kita akan dapat rumah dinas, lumayan besar."
"Apa mas? Rumah dinas?"
"Iya, aku sama Raharjo dapat rumah dinas, aku sudah melihatnya, bagus dan besar, perabotannya sudah lengkap, itu fasilitas dari kantor. Minggu depan kita siap-siap pindah."
"Ya ampun mas, itu benar? Syukurlah... " jawab Putri terharu.
"Jeng, airnya sudah simbok siapkan dikamar mandi," kata simbok tiba-tiba.
"Ya mbok, terimkasih. Itu mas, mandi sana aku siapkan pakaian mas.

Galang tak membantah. Mungkin memang ia butuh memeriksakan kesehatannya.
Sepeninggal Galang Putri menciumi anaknya.

"Adhit, kamu dengar tadi? Bapak akan mendapat rumah baru yang lebih besar, kamu boleh bergulung gulung lebih leluasa nanti.
"mBok... simbok.." teriak Putri memanggil simbok.
"Ya jeng..."
"mBok, tolong awasin Adhitama, aku mau ganti pakaian."
"Baik jeng. O.. gantengnya cucunya simbok.. sudah pengin tengkurap ya... aduuh.. bahaya ini kalau ditidurkan sendirian jeng."
"Ya itu mbok, makanya simbok aku suruh ngawasin sementara aku berpakaian. Nanti kasurnya biar diangkat kebawah saja, jadi kalau Adhit bergeraknya banyak nggak menghawatirkan."
"Iya jeng, lebih baik begitu. Ini jeng mau pergi?"
"Iya mbok, mau nganter mas Galang ke dokter, kepalanya sering pusing katanya. Jadi nanti aku nitip Adhit dulu sebentar ya mbok."
"Iya jeng, sudah minum kenyang ya?"
"Sudah mbk, sebelum mas Galang datang sudah minum. Nanti kalau ditaruh ditempat tidur, simbok harus njagain. Sepulang dari dokter nanti biar kasurnya ditaruh dibawah saja."
***

"Ada apa sih, kamu suruh aku mampir sebentar? Jangan bilang bahwa kamu menyuruh aku menanak nasi buat kamu," kata Retno sambil mengikuti Raharjo masuk kedalam rumah kontrakannya yang kecil.
"Ya enggak, kalau cuma menanak nasi saja aku sudah pinter, tinggal nyuci beras, sedikit air, masukkan kedalam rice cooker, selesai," kata Raharjo sambil tersenyum.
"Iya, aku kan cuma bercanda."
"Duduklah dulu, aku mau ngomong sedikit."
"Kamu bikin aku deg-degan lho Jo."
"Nggak apa-apa, cuma mau nanya, tadi mas Galang ngomong apa sama kamu?"
"Ah, mau tau aja," kata Retno jual mahal. Ia tak menjawab, malah mengeluarkan ponselnya dan membuka-buka barangkali ada pesan disana.
"Retno, aku bertanya, serius."
"Nggak ngomong apa-apa, cuma so'al kerjaan."
"Bohong."
"Bener, memangnya ada apa?"
"Aku minta ma'af kalau mas Galang ngomong yang enggak-enggak, dia itu suka iseng saja."
"Lho, ini masalah apa sebenarnya?"
"Tadi gara-gara aku mengeluh so'al rumah."
"Rumah? Maksudnya?"
"Itu, rumah yang diberikan kantor untuk aku, aku cuma bilang, wah, aku cuma sendiri, rumah sebesar itu untuk apa, lalu mas Galang bilang, supaya aku cepat-cepat cari isteri."
"Mm.. lalu?"
"Ma'af kalau mas Galang menyingung-nyinggung kamu."

Retno tersenyum, dan sungguh, sore itu Raharjo terpana melihat senyuman itu. Mengapa baru sekarang menyadari betapa manisnya bibir tipis yang sedang menyunggingkan senyuman itu.
Raharjo memandanginya tak berkedip, sementara dadanya berdebar tidak karuan.

"Kamu itu kenapa Jo? Kalau mas Galang menyingung-nyinggung aku, memangnya kenapa? Kan ngomongnya juga sama aku?"
"Maksudku... menyinggung kamu... sama aku..."
Retno tersenyum semakin lebar, dan dada Raharjo berdegup semakin kencang.
"Jo.. baiklah aku akan berterus terang, tentang sebagian yang dibicarakannya sama aku. Mas Galang bertanya, apakah kamu masih mencintai Putri?"
"Apa jawaban kamu?"
"Ya masih, lah... memang masih kan?"
"Kamu ada-ada saja.."
"Memang aku salah?"
"Tidak sepenuhnya benar."
"Yang mana?"
"Aku belum melupakannya, tapi kalau cinta, aku kira sudah berlalu,"
"Kata mas Galang masih sekeping.."
"Itu kan kecil.."
"Baiklah, apa lagi yang mau ditanyakan?"

Raharjo sudah membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti diujungnya. Mungkin mengatakan suka.. atau cinta, tapi rasa takut masih menghantuinya. Rasa takut yang sesungguhnya tidak beralasan, karena Raharjo bukanlah Teguh, walau itu sebuah kesatuan.
Retno bukan tak tau apa yang sebenarnya ada diujung mulutnya Raharjo, tapi mana berani dia menebak-nebak?

"Ret. tiba-tiba aku mau ketemu mas Galang, bagaimana kalau kita kerumahnya? Aku juga ingin membicarakan soal tarian itu sama bu Galang."
"Lho, kita kan baru pulang dari kantor, belum mandi, apalagi ganti pakaian."
"Kamu tungguin aku mandi sebentar," kata Raharjo yang kemudian beranjak berdiri.
"Enaknya, ya enggak lah, aku mau pulang dulu, lalu aku samperin kamu. Rumahku kan nggak jauh dari sini, maksudku, rumah omku .." lalu Retno menutup mulutnya sambil mengangkat pundaknya. Lalu beranjak berdiri dan bersiap pulang. Memang Retno tidak kost seperti halnya Raharjo, tapi menempati rumah pak Haris yang kosong tidak terpakai.

Tiba-tiba Raharjo menyesali Retno yang menutupi mulutnya ketika tertawa. Bukankah senyum dan tawanya mempesona? Lalu Raharjo memaki dirinya sendiri karena tak mampu mengucapkan suka, apalagi cinta.

"Hei, kok bengong?" kata Retno ketika melihat Raharjo justru kembali duduk sambil memandanginya tak berkedip.
"Oh, iya... ide bagus, aku mau mandi dulu."
"Baiklah, mandi sana, aku segera kembali."
Dan Raharjo masih saja terbengong sampai ketika mobil Retno menghilang dari depan pagar rumahnya.
***

"Mana, sekarang aku yang nyetir, kepalaku sudah nggak pusing lagi kok." kata Galang dalam perjalanan pulang dari apotik setelah memeriksakan kesehatannya ke dokter.
"Mas Galang gitu ya, baru saja merasa sembuh sudah mengira benar-benar sembuh."
"Dokter tadi  kan bilang bahwa aku ini nggak sakit apa-apa, jadi rasa pusing yang kadang-kadang menyerang itu masih karena efek obat tidur yang aku  minum sepuluh harian lalu. Tapi tadi sudah disuntik, dan sembuh kok. Juga sudah dikasih obat, nih.." kata Galang sambil menunjukkan sekantung obat yang diletakkan disampingnya.
"Baiklah, aku minggir dulu ya."
Dan Galang kemudian menyetir sendiri mobilnya.
"Mampir ke toko yang jual perlengkapan bayi dulu ya?" kata Galang.
"Mau apa mampir kesana?"
"Kalau ada yang bagus dan cocok, kita beli sekalian box untuk Adhit."
"Lha mau diletakkan dimana mas? Kamar sekecil itu, sudah ada almari, kaca hias, nggak mungkin cukup untuk boxnya Adhit."
"Gampang, nanti kita atur, pokoknya mampir dulu, lihat-lihat, trus habis itu kita makan ya?"
"Hm, tumben ngajak makan diluar."
"Nggak apa-apa, sekali-sekali kan boleh."
***

Simbok sedang menggendong Adhitama diteras, dan hampir masuk kedalam untuk menidurkan Adhit, ketika dilihatnya mobil berhenti didepan pagar.

"Oh, bukan mobilnya pak Galang tuh, ada tamu kayaknya," gumam simbok.
Dan dua orang turun dari mobil itu, langsung masuk kedalam.
"Kulanuwun mbok..." sapa Retno, tamu itu, hampir bersamaan dengan Raharjo.
"Mangga.. "
"Mas Galang ada?"
"Oh, pak Galang sedang pergi sama isterinya," jawab simbok sambil menepuk nepuk pantat Adhit yang terlelap digendongannya.
"Oh, pergi ya? Sudah lama?"
"Sudah lumayan lama sih pak, katanya ke dokter."
"Lhoh, siapa yang sakit?"
"Pak Galang bu, katanya sering pusing, lalu sama isterinya diajak ke dokter. Tapi kok lama ya, takutnya mas Adhit rewel minta minum."
"Mampir-mampir mungkin," kata Raharjo.
"Oh, ini putranya mas Galang ya, waaah.. ganteng banget ya Jo,"
Raharjo yang ikut melongok kearah Adhit tiba-tiba merasa pernah melihat bayi itu.
"Ya kan Jo, ganteng bangett... eh.. nyenyak sekali tidurnya...siapa namanya mbok?"
"Adhitama bu, ayo silahkan duduk mungkin sebentar lagi mereka pulang," kata simbok mempersilahkan.
"Aku seperti pernah melihat bayi itu," celetuk Raharjo tanpa sadar.
"Mimpi kamu .. kesini saja baru sekali.."
Raharjo tertawa.
"Iya mungkin, dalam mimpi."

Bersambung #23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER