Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 26 Mei 2021

Ibu Pengganti #6

Cerita Bersambung
(side a)

Semakin besar kehamilan Kirana, semakin sulit tidur tapi juga banyak makan. Berbagai makanan dia inginkan, tak jarang sesuatu yang sulit di dapat seperti bajigur. Minuman khas sunda yang terbuat dari santan dan gula merah dicampur sedikit kopi.

Terpaksa William mencari orang Indonesia di Hongkong yang bisa membuat minuman itu, lalu minta dibuatkan. Setelah meminum bajigur, Kirana lebih tenang karena sebelumnya gelisah dan tidak bisa diam.

Deretan makanan yang dia minta seperti salad buah, spagghetty, asinan, dan banyak lagi. Membuat Anna mencibir Kirana sebagai kemaruk. Alias memanfaatkan kondisi hamil untuk meminta makanan yang tidak sanggup dia beli selama ini. Terlebih ngidamnya lebih sering datang setelah kehamilan trimester tiga. Sementara selama trimester awal baik-baik saja.
Kirana jadi merasa tidak enak ketika dia ingin sekali makan nasi uduk. Terpaksa dia meminta Rosita untuk membeli bahan-bahan ke supermarket terdekat. Setelah dapat, dia memasak sendiri. Dia malu jika terus merepotkan tuannya.

Harum nasi putih bercampur santan itu menyeruak ke seluruh ruang apartemen, membuat William yang tengah membaca majalah mengendus wanginya dan terbangkitkan rasa laparnya. Dia berjalan ke dapur dan mendapati Kirana tengah mengaduk nasi yang baru matang itu.

"Hey, kau memasak sendiri?" William mendekat dan memastikan Kirana baik-baik saja.
"Iya, sedang ingin nasi uduk," jawab Kirana dengan senyuman.
"Nasi uduk? Apa itu?" wajah William sedikit mengernyit dan menatap nasi putih yang mengeluarkan aroma wangi di hadapannya.
"Ya seperti ini, nasi dengan rempah-rempah di dalamnya. Rasanya nikmat, ditemani dengan ini ... ada tempe orek, telur, dan kerupuk." Kirana memamerkan apa yang dia masak.
"Waah, aku jadi lapar." William segera duduk di kursi depan meja makan.

Kirana tersenyum dan menyendokan nasi ke piring William, "Hati-hati masih panas." Dia mengingatkan.
"Yes, mommy!" canda sang pria, membuat Kirana merona karena baru kali ini dia memasak untuk seorang laki-laki selain Abah, bahkan melayani dengan menaruh makanan ke piring, lalu mengingatkannya untuk hati-hati. Selayaknya seorang istri pada suaminya.
Dia terdiam, mengingat Rega. Sudah sekian lama tidak ada kontak dengan kekasihnya itu. Entah Rega masih setia atau telah memiliki kekasih baru. Status hubungan mereka jadi tidak jelas.

William yang sejak tadi bicara memuji rasa masakan yang dibuat Kirana heran karena sang gadis diam saja memandang kosong.

"Hellooooo ...," goda Wiliam ketika Kirana masih mematung.

Sang gadis segera duduk, lalu tersenyum tipis dan menyendok nasi untuk dirinya. Mereka makan berdua sambil mengobrol banyak hal. Tentang kehidupan Kirana sebelum memutuskan menjadi ibu pengganti. Menjadikan William tahu bahwa dia memiliki kekasih bernama Rega, namun sejak beberapa bulan lalu, tepatnya beberapa minggu sebelum keputusan yang dia ambil, mereka kehilangan kontak.

William memandang Kirana yang asik bercerita sambil makan. Menceritakan seperti apa kekasihnya, yang sangat perhatian dan juga sedikit genit.

"Jadi, kau tidak pernah dicium oleh pria?" tanya William.
Kirana mengangguk lemah, "Iya, kata Abah tidak boleh kalau belum menikah. Dosa," jawabnya singkat, "lama-lama bisa terjerumus pada perbuatan zina. Ntar apes terus. Kata orang tua dulu sih gitu."

Jawaban Kirana membuat William tersenyum tipis, mengingat betapa bebas hidupnya sebelum ini. Bahkan saat memutuskan menikah dengan Anna. Mereka adalah pasangan yang memiliki anak tanpa ikatan pernikahan. Apakah ini bagian dari kesialan yang dimaksud? Atau justru belum? Pria itu jadi terdiam dalam lamunan.
***

Perut Kirana kian membesar, pemeriksaan terakhir menunjukkan berat bayi telah cukup untuk dilahirkan. Mereka mulai mempertimbangkan banyak hal dan akan menentukan tanggal kelahiran karena tidak akan dilakukan dengan proses normal.

Gerakan bayi semakin intens terasa, bahkan terlihat kasat mata. William sering gemas ingin menyentuh tonjolan-tonjolan di perut Kirana. Namun sang gadis selalu menolak. Terlebih jika ada Anna, keduanya jadi kehilangan selera humor dan terlampau serius. Jika biasanya William akan menggoda Kirana untuk memegang perut, ketika ada Anna mereka jadi saling diam dan kaku. Apalagi Anna sangat cerewet untuk hal-hal sepele. Seperti harus berjalan perlahan, atau jangan kebanyakan makan karena perutnya sudah terlalu besar.
Namun jika Anna kembali ke Indonesia dan hanya ada William, sikap kekanak-kanakan Kirana sangat jelas. Manja, konyol bahkan senang menyanyi di depan kaca sambil memandang perutnya. Tak jarang dia berkeluh kesah dengan mengajak ngobrol sang jabang bayi di perut, menceritakan tentang rewelnya Anna yang berkebalikan dengan ayahnya.

"Kau beruntung, punya ayah yang baik seperti ayahku juga. Tapi ibumu itu bawel, mungkin karena tidak mengandungmu. Huh!" Kirana berbicara dengan perutnya sambil mengelus perlahan. Lalu bernyanyi sambil sedikit berjoget di depan kaca, tak sadar William tengah mengintip dari balik pintu.

"Hati-hati goyangannya,” goda William dari balik pintu, membuat Kirana terkejut dan hampir jatuh.

William segera masuk dan menanyakan keadaan Kirana yang sempat terpeleset, beruntung dia masih bisa menahan dengan tangan ke lantai.

"Hufff, maafkan aku, sudah mengejutkanmu." William menarik Kirana ke dalam pelukan. Ada rasa nyaman yang keduanya rasakan ketika tubuh mereka berdekatan bahkan tanpa jarak.

Belaian tangan sang pria di kepala gadis itu begitu memberikan ketenangan. Entah karena dia sedang hamil dan menginginkan kehangatan dari lelaki yang harusnya merupakan suami. Kini, Kirana memejamkan mata, menikmati rasa nyaman dan damai yang menyelimuti jiwanya. Membalas dekapan sang pria yang tidak memiliki ikatan apapun dengannya, tapi tanpa sadar membuat mereka merasakan ketergantungan yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
Mereka baru menyadari bahwa saling berpelukan saat ponsel William berdering beberapa kali. Segera, dia terima panggilan yang ternyata dari Anna. Mengabarkan pesawat delay jadi membatalkan penerbangan karena terjadi badai di wilayah yang akan dilewati.

Saat mengakhiri obrolan, William mendapati Kirana telah meringkuk ke arah kiri. Memeluk perutnya sendiri, lalu dia mendekat dan mengelus rambut gadis yang terus gelisah dalam tidurnya. Ia kembali menyenandungkan lagu lembut dengan tetap memijat-mijat kaki yang dia duga pasti sangat pegal. William memang banyak membaca tentang kondisi umum wanita yang mengandung, jadi dia tahu persis apa yang Kirana rasakan.

Kirana terlelap dalam pandangan pria yang tak pernah sadar bahwa ada cinta yang terkikis di hati untuk istri yang selama ini dia perjuangkan.
***

Minggu pagi yang cerah mereka menghabiskan hari di taman kota, bertiga. Anna dan Willam berpegangan tangan, sementara Kirana berjalan di belakang mereka dengan perut besar. Bahkan dia tertinggal jauh dari pasangan suami istri itu. Kirana sabar, berjalan perlahan dan memandang anak-anak yang sedang bermain bola dengan orang tua mereka.
Bibir tipis itu menyunggingkan senyum, mengelus perut besar yang mendapat tendangan kuat dari dalam.

"Kau mau main bola juga?" gumam Kirana sambil mengelus perut yang memamerkan tonjolan di beberapa bagian. Dia merasa bayi di perutnya agresif, namun itu lebih baik karena dia seperti memiliki teman ketika sendirian.

"Kau disini? Kami mencarimu?" Anna bertolak pinggang di belakang Kirana.

William yang tiba belakangan segera meraih kedua tangan sang istri agar tak memamerkan sikap angkuhnya, lalu memeluknya dengan mesra.

"Apa kami jalan terlalu cepat? Aku lupa kau sedang hamil." Senyuman pria tampan itu sedikit menghapus raut sedih Kirana yang sempat terlihat ketika ditanya Anna dengan nada bossy-nya.

Kirana hanya mengangguk, lalu berjalan lebih dulu dengan mengelus-elus perutnya.

"Bisakah kau tidak kasar padanya? Bagaimanapun ada anak kita dalam perut besarnya." Wiliam mengingatkan sang istri.
"Sorry, aku lupa. Kadang aku jengkel dengan sikap dia."
"Ayolah sayang, kau juga dulu sama. Ketika hamil sedikit menyebalkan."
"Masa? Ah ... jahat!" Anna mengalungkan kedua tangan di leher Wiliam dan melompat ke punggung, lalu pria tampan itu berjalan dengan menggendong sang istri. Mereka begitu saling mencintai dan membuat Kirana iri.

Bukan iri untuk memiliki William, tapi lebih kepada ingin mendapatkan suami yang mencintainya.

"Kau harus seperti ayahmu jika sudah besar. Selain berbadan besar juga berhati besar,” kekeh Kirana sambil mencolek tonjolan besar di perutnya. Entah itu sikut atau kaki, tapi sangat lucu meski kadang terasa sakit.

Malam tiba dalam pesona keindahan kota, yang mana lampu-lampu laksana perhiasan yang tertaut dari atas apartemen. Sang ibu pengganti menempelkan kedua telapak tangan ke kaca jendela. Menikmati malam yang kini lebih sering dia lalui. Kesulitan tidur, pengap, sesak hingga sakit punggung juga pinggang dia rasakan. Belum lagi kaki yang mulai membengkak, pun sama mulai sering ingin dimanjakan.
Tapi pada siapa dia harus mengatakan itu? Meski Rosita sering memijatnya, tetap saja dia merasa pegal dan tidak dapat tidur.

"Mungkin anak ini ingin dipegang ayahnya," canda Rosita siang tadi.

Kirana hanya tersenyum mendengar itu. Ah indah memang, seandainya benar pria itu adalah suaminya. Pasti akan sangat menyenangkan. Melihat cara dia memperlakukan sang istri, siapapun akan iri dan mendamba.
Kembali, dia hanya mengelus perut mengingat obrolan dengan Abah sore kemarin, bahwa dia sudah satu tahun di sana. Tinggal satu tahun lagi, sudah tak sabar untuk berjumpa. Rindu, rasa bersalah, menjadi satu.

"Kau belum tidur?" William membuka pintu tanpa mengetuknya lebih dulu. Seperti biasa.

Kirana hanya menoleh dan menggeleng perlahan. Rona bahagia terlihat menyelimuti wajahnya ketika mengetahui pria itu datang. Bahkan hatinya seperti diremas dan dimainkan, menatap dia yang sibuk menata tempat tidur agar supaya lebih nyaman.

"Kemari, kau baru bisa tidur jika kupijat. Lain kali bangunkan aku jika susah tidur, ok?" William mengulurkan …

==========
(side b)

Rayyan sibuk menanyakan tugas sekolah yang dia tidak mengerti pada Wildan yang seorang guru Bahasa Indonesia. Pria itu menjelaskan dengan baik, karena dia faham anak ini lebih sering bolak-balik Indonesia – Inggris jadi kesulitan ketika memahami bahasa negara yang kini dia tinggali.

Sementara William sibuk menerima telepon dari asistennya, membahas beberapa pekerjaan yang sempat ditinggalkan karena urusan keluarga. Mengatur ulang jadwal pertemuan dengan para pemegang saham dan juga rekan bisnis dari perusahaan lain.

“Dad, kenalkan ini Om Wildan,” ujar Rayyan ketika sang ayah selesai menerima telepon.
“Oh, hai ... William Alvaro.” Dengan senyuman ia mengulurkan tangan.
“Wildan Fahrizal,” balas Wildan dengan senyuman, “jadi ... Rayyan sudah baikan dengan daddy?” tanya Wildan dengan senyuman yang ramah.

William tersenyum dan mengelus pundak putranya, “Hmm ... kau sering curhat dengan orang lain? Oh, daddy jadi merasa buruk.” Pria bermata cokelat terang itu memamerkan sunggingan senyum yang lebih tepatnya menyeringai malu, tapi juga candaan pada Rayyan.

“Sorry, Dad. Tapi ... Om Wildan sangat asik untuk diajak curhat. Kadang aku ingin punya ayah seperti dia, kemarin-kemarin sih tepatnya,” ejek Rayyan membuat William dan Wildan tertawa bersamaan.
“Iya, bahkan cocok ya Ray kalau yang jadi ayahmu itu Om Wildan dan ibunya Teh Kirana hihi.” Candaan Bagas membuat Wildan tersipu namun menjadikan William terdiam kaku.

Terlebih saat Wildan tertangkap basah melirik ke arah wanita yang sibuk melayani pembeli di warung. Bahkan Kirana memang sempat segera pergi ketika Wildan datang, menyibukkan diri. Sementara sorot mata pria yang dipanggil om itu jelas penuh kekaguman dan rasa rindu, dan cinta yang menggebu. Sukses William menarik napas berat karena merasakan sensasi tak biasa di ulu hati. Bahkan kehilangan selera untuk berbalas canda.

Kini William memandang wanita yang dulu pernah ada dalam dekapannya, bahkan dia kecup ketika sedang mengandung Rayyan.
Sementara itu Wildan menoleh pada pria asing di hadapannya. Pun sama, Wildan melihat sorot mata tak biasa dipancarkan ayah dari Rayyan pada wanita yang pernah dia lamar. Dan masih akan dia lamar. Dadanya seperti bergemuruh, dan cemburu terasa membakar. Menyadari ada pria lain yang jelas menjadi saingan. Apalagi bukan pria sembarangan, dia sangat tampan dan juga kaya.
Tapi tunggu! Bukankah dia sudah menikah? Rayyan masih memiliki ibu.

“Oh ya, apa aku sudah bilang bahwa aku ini calon suaminya Kirana?” Wildan langsung memasang benteng pertahanan untuk membuat William tak terlalu jauh memasuki kehidupan wanita idamannya.
William tersenyum setelah sebelumnya tertegun, memandang dingin pria di hadapannya.

“Belum, Kirana tidak bilang kalau dia sudah akan menikah. Tapi dia pernah berkisah bahwa kekasihnya bernama Rega,” jawab William tak kalah sengit, seolah ingin memamerkan bahwa dia lebih tau tentang wanita itu.
Wildan mengerutkan kedua alis tebalnya, “Rega?”
“Rega itu pacar Teh Kirana zaman SMA sampe kuliah, Om. Terus putus pas Teh Kirana balik dari Hongkong.” Bagas menimpali, “itu kata emak.”

William tertegun, dia semakin yakin ada yang tidak beres pasca kembalinya Kirana ke Indonesia. Menghubungkan berbagai hal yang dia ingat, membuat mengerucut pada suatu jawaban.
Ya, William tahu persis impian Kirana saat itu, namun tiba-tiba saja dia berubah jadi sosok wanita yang dalam istilah umum dipakai orang adalah alim, yaitu seseorang yang terlihat lebih mendekatkan diri pada agama, atau menjadi religius. Bahkan memilih menjadi penjual nasi uduk, itu bukan cita-cita gadis itu di masa lalu.
Dan Abah? Dimana pria yang selalu Kirana rindukan saat hidup bersamanya? Tidak pernah terlihat, bahkan tak pernah terucap lagi dari bibir gadis berkerudung maroon yang kini tengah menghitung kembalian untuk pembeli.

Kini Wildan maupun William sama-sama diam, hanya sesekali menjawab pertanyaan Rayyan dan Bagas yang sibuk mengerjakan Pekerjaan Rumah dari guru mereka. Hingga tak terasa jika maghrib menjelang.

“Shalat dulu yuk,” ajak Bagas pada Rayyan.
“Ayo!” Dia segera merapikan buku, “Dad, mau ikut shalat kan?” tanyanya sedikit ragu.

Wililam hanya mengangguk kikuk, lalu menoleh ke arah Wildan yang sudah berjalan lebih dulu ke mushola yang ada di taman. Ke empatnya berwudlu, hanya William yang masih kaku dan hanya meniru apa yang dilakukan anaknya.
Dia memang menikahi Anna dengan berpindah keyakinan. Namun sang istri tak pernah mengajarkan apa yang diperintahkan agama pada suaminya. Semua sebatas agar dapat meresmikan ikatan cinta mereka agar tak terjegal undang-undang.
Sementara Rayyan, meski tak diajarkan orang tuanya ... dia memiliki guru di sekolah. Yang mengajarkan apa itu konsep ketuhanan yang sesuai dengan agama yang tertera di akta kelahirannya.

“Luruskan shafnya,” ujar Wildan yang menjadi imam untuk shalat maghrib sore ini.

Di barisan paling belakang yang terhalang tirai, Kirana tersenyum menyadari yang menjadi imam adalah pria yang akan menjadi pemimpin dalam rumah tangganya kelak.
Ah, itu andai Wildan kembali untuk melanjutkan lamaran yang pernah ditangguhkan, bagaimana jika datang untuk memperjelas akhir dari harapan dia itu?
Sebagai seorang wanita yang telah banyak bejalar dan berusaha taubat dari masa lalu, dia menginginkan pria yang menuntunnya pada jalan kebajikan, membimbing untuk lebih dekat pada Sang Khalik, dan menyempurnakan agama mereka dengan pernikahan yang saqinah mawaddah warahmah. Dan itu jelas bisa didapatkan pada sosok Wildan yang terlihat religius daripada lelaki lain yang juga pernah meminangnya.
Rasa tenang dalam shalat berjamaah ini membuat Kirana memohon dalam sujudnya, “Jika dia yang berada di depan itu adalah yang terbaik untukku, maka jadikanlah dia bagian dari takdir jodohku Yaa Rabb,” bisiknya hampir tak terdengar.

Ketika yang lain telah bubar kembali ke tempat mereka masing-masing, hanya menyisakan Wildan dan William juga Rayyan yang masih bermunajat.
Bagi William, untuk pertama kalinya dia berkomunikasi dengan Tuhannya setelah berganti keyakinan. Entah kenapa rasa nyaman dan tenang membuatnya enggan beranjak dari sana, memejamkan mata dan tak sengaja menitikkan air mata.

“Dad?” Rayyan menoleh pada sang ayah yang memijat pangkal hidung dengan kedua jarinya untuk menghapus air di sudut mata.

William menoleh dan tersenyum, lalu memeluk putra yang begitu dia impikan di masa lalu namun terabaikan di masa kini.

“Kau benar-benar anugerah untukku,” bisiknya dengan suara menahan tangis, “jangan pernah tinggalkan daddy, oke?” kembali dia merangkul putranya.
Sementara Wildan tersenyum melihat pemandangan itu, membayangkan dia akan memiliki anak yang kelak akan merindukan kasih sayang dan didikan dirinya. Seperti halnya Rayyan yang pernah berkisah tentang harapan-harapannya untuk sang ayah.

Ketiganya keluar dari mushola bersamaan, begitu juga dengan Kirana. Wanita itu berusaha menghindari tiga laki-laki yang kesemuanya sama melihat ke arah dirinya.

“Jadi ... kapan kalian menikah?” tanya William sedikit keras, agar sang wanita mendengar dan memberikan klarifikasi. Entah kenapa, dia seolah tak rela mengetahui Kirana akan menikah. Tentu dia pun berharap jawaban dari pertanyaannya ini akan memperjelas bahwa dia masih memiliki harapan.
Sukses, wanita itu berhenti dan menoleh ke arah ketiga lelaki yang ada di belakangnya. Lalu menatap Wildan yang tersenyum.

“Secepatnya, karena aku sudah yakin. Akan menikahimu, menerimamu apa adanya,” jawab Wildan yang lebih ditujukkan pada Kirana.
Membuat Kirana hampir rubuh karena gemetar mendengar jawaban pria yang dia idamkan. Matanya semakin membulat dan bibirnya sedikit terbuka lebar karena masih tak menyangka.

“Congrats, teteh cantik!” Rayyan bertepuk tangan, sementara William kehilangan senyumannya. Menatap Kirana yang masih membisu dengan pandangan pada Wildan. Seolah masih tak terpcaya dengan apa yang didengarnya.

“Malam ini aku berencana ke rumah kamu, menemui Paman dan Bibi untuk melanjutkan lamaran. Tapi menunggu kamu jualan dulu. Kita sama-sama ke sana, bisa?” tanya Wildan dengan sejurus mata mencari tahu ekspresi William.

Pria yang dilirik tengah memandang kaku pada wanita yang sedang dilamar di hadapan dirinya. Tergambar jelas di wajahnya, guratan kekekewaan yang mendalam.

“Mas, kamu benar-benar sudah memikirkan apa yang barusan kamu katakan? Ga sedang asal ucap kan? Maksudku-“ Kirana tak melanjutkan kalimatnya dan tampak bingung. Dia takut kalau-kalau Wildan mengatakan itu hanya karena merasa terintimidasi oleh William. Hanya karena ego mengira William juga tengah mengincarnya.

“Aku serius. Aku udah suka sama kamu sejak awal kita ketemu. Dan makasih untuk kamu Rayyan, kamulah yang mempertemukan kami dengan insiden tabrakan kecil kita.” Wildan menatap Rayyan yang tersenyum senang. Seolah tengah mengejek ayah dari remaja itu yang jelas akan semakin merasa terpuruk.

Remaja itu menatap Kirana, “Aku senang kalau Teteh mendapatkan pria sebaik Om Wildan. Teteh layak mendapatkan pria yang sholih. Wanita yang baik, untuk laki-laki yang baik bukan? Itu kata Pak Ustadz di sekolah.”

Wildan menepuk pundak Rayyan karena merasa tersanjung. Bagas juga bertepuk tangan karena senang. Hanya satu orang yang tidak bahagia mendengar percakapan itu, dialah William. Tatapannya kembali hampa setelah tadi—ketika shalat mendapatkan ketenangan yang tak pernah dia rasakan. Pria itu tak mengeluarkan sepatah katapun. Bahkan menatap kepergian Kirana dan Wildan juga Rayyan yang memang cocok sebagai keluarga bahagia.

“Haruskah aku relakan ini? Aku sempat berharap ada di posisi pria itu. Menjadi ayah dan suami bagi ibu dari anakku," gumamnya dengan memalingkan pandangan, mengusap sudut mata yang kembali terasa basah tanpa dia harapkan.
‘Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik bukan?’
Pertanyaan itu membuatnya tersadar, bahwa jika Anna dianggap buruk sebagai seorang istri maka wajar berjodoh dengan dirinya yang mungkin juga buruk. Benar, mereka tidak pernah belajar tentang arti kehidupan. Hanya berusaha memenuhi syahwat duniawi. Bermewah, berpesta, mengumpulkan harta, menikmati syurga dunia yang sesungguhnya fana.

Langkahnya kian gontai ketika menghampiri Rayyan dan mengajaknya pulang. Bahkan tak sedikitpun menoleh pada wanita yang sejak tadi mulai memandangnya diam-diam. Senyumannya juga tampak suram, tak lagi ceria seperti sebelum kedatangan Wildan.

“Mommy sudah pulang, dia sedang menunggu kita di rumah,” katanya menghibur diri, berharap kalimat itu menjadi nyata. Bahwa ada seseorang yang menanti mereka.
“Ok, Dad.” Rayyan beranjak dan memakai tas, lalu mencium punggung tangan Wildan dan hanya menoleh pada Kirana, “sampai jumpa besok. Jangan lupa undangannya ya.” Anak ini sudah mirip dengan Bagas, mungkin karena setiap hari hanya main dengan sepupu Kirana itu.
“Ok, permisi.” William seolah tak punya kuasa untuk bicara pada dua insan yang akan menjalin kisah panjang setelah ini, dia segera pergi dengan berpura-pura menerima telepon. Berjalan dengan tatapan lurus mengabaikan wanita yang merasa kehilangan candaannya. Hingga tiba di mobil mewahnya, dengan segera melesat meninggalkan tempat itu dengan sejuta rasa yang tak pernah dia mengerti kenapa.

Kirana menatap kepergian pria tinggi besar itu dengan sedikit rasa aneh. Tidak biasanya William sangat dingin, mengingat saat datang masih penuh canda dan goda, tapi kemudian ia maklumi ... mungkin menghargai perasaan Wildan.

Kini William dan Rayyan tiba di istana megahnya. Ayah satu orang anak itu semakin merasa hampa. Istri tercinta yang dia bayangkan akan menyambutnya ternyata belum juga pulang. Rayyan sudah terbiasa dengan keadaan ini, dia memilih ke dalam kamar dan beristirahat.

Sementara William membuka youtube, mencari tahu tentang cara-cara melaksanakan shalat. Meski itu tidak mudah karena dia kesulitan dengan bacaannya. Tentu, untuk orang seusia William sedikit berat menghapal karena keterbatasan memori yang sudah tidak lagi masa keemasan. Tapi dia tidak menyerah, dia mencoba kembali mencari ketenangan seperti tadi ketika dia di mushola.
***

“Jadi ... sudah fix ya kalau Mas Wildan mau melamar Kirana, menerima masa lalunya?” tanya Paman dengan serius.
“Iya, Paman. Saya serius. Saya sudah memohon petunjuk, dan hasilnya saya masih ingin melanjutkan hubungan dengan Kirana. Saya pun telah membaca banyak tentang apa itu surrogate dan hukumnya. Tapi kan Kirana sudah taubat, tidak ada yang salah kalau saya menerima dia. Kami akan sama-sama belajar jadi lebih baik,” jawab Wildan panjang lebar.
“Alhamdulillah, paman lega. Semoga kalian benar-benar jodoh yang diciptakan untuk hidup bersama hingga akhir hayat ya.” Paman memandang keponakannya yang tertunduk bahagia.
“Aamiin ....” jawaban serempak dari Kirana, Wildan, Bibi dan Ustadzah Maryamah terdengar ke kamar Bagas.

Remaja itu segera mengirim pesan ke sahabatnya, Rayyan.

Bagas: sudah fix, bro. Teh Kirana bakal nikah sama Om Wildan, lagi nentuin tanggal.
Rayyan: Alhamdulilah, hebat Om Wildan bisa menerima masa lalu teh Kirana ya.
Bagas: Cinta Ray cinta... c i n t a.
Rayan: Hahah, iya iya. Hhh ... kebayang ya jadi anak mereka pasti adem banget, disayang, diperhatikan dan mendapatkan pendidikan agama yang baik.
Bagas: Berdoa aja minta ortu lo ditukar haha
Rayyan: Gila lo! Haha! Tapi boleh juga.

Keduanya hanya tertawa sambil memandang ponsel mereka. Setelah itu, Rayyan memutuskan tidur. Hari ini hari paling indah baginya. Kirana, wanita yang entah bagaimana begitu dia sayangi telah mendapatkan pria yang baik. Lalu, bisa menjalankan ibadah dengan sang ayah membuatnya amat spesial, dia berharap ada perubahan pada keluarganya. Menjadi lebih harmonis, itu paling minimal dari harapan bocah tampan ini.
Dan mungkin impiannya akan terlaksana, saat sang ayah membuka iPhone milik Rayyan yang tengah terlelap. William mencari tahu tentang Kirana dan Wildan yang mungkin mengabarkan sesuatu pada anaknya. Dan benar, dia membaca chat dari Bagas.

Senyuman terukir di bibirnya, lalu menaruh perlahan iPhone itu dan kembali ke kamarnya.

“Kenapa aku seperti kehilangan? Harusnya aku bahagia bukan? Wanita yang selalu kucemaskan masa depannya, telah menemukan pria terbaik yang ada," gumamnya lemah, "duhai hati ... jangan sampai kau jatuh cinta padanya. Aku tidak akan sanggup tersiksa karena dia tak mungkin kumiliki.”

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER