Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 25 Mei 2021

Ibu Pengganti #5

Cerita Bersambung
(side a)
“Mister, bisakah Anda serius dalam hal ini?” Kirana keberatan dengan kalimat anak kita yang terucap dari bibir William.

“Maksudku, meski dia bukan dari genetik dirimu ... tapi dia tetap anakmu karena telah mendapatkan makanan melalui dirimu, besar dan berkembang menjadi seorang bayi di dalam rahimmu, kehidupannya ada karena kau dan aku ... juga Anna,” ralat William kali ini dengan serius.

“Baiklah, memang secara hukum syari’at dan hukum negara, dia memang anakku juga. Tapi tidak pantas menyebut anak kita, kesannya ... ada sebuah hubungan di antara kita.” Kirana menarik napas cepat, “Semua telah terjadi, dalam hukum agama islam ... ternyata ini dilarang, kesalahan kita adalah tidak mencari tahu lebih dulu. Namun nasi sudah menjadi bubur, Rayyan telah remaja.
Pertanyaanku adalah, apa Anda akan mengatakan yang sesungguhnya pada dia? Atau tetap merahasiakan? Karena, aku khawatir di masa depan jika aku punya anak perempuan, bisa saja jatuh cinta dengan Rayyan, dan itu tidak boleh.
Karenanya mereka wajib tahu silsiah ini.” Kirana mulai bicara panjang lebar. Sedangkan William menyimak dengan tetap memandang sang wanita dengan seksama.

Kirana menjelaskan hukum anak surrogate dalam pandangan islam, yang jatuhnya bisa sebagai anak susuan pada ibu pengganti jika dia sudah menikah, namun dianggap anak hasil hubungan zina jika dia seorang gadis atau belum menikah. Dan itulah yang terjadi pada Kirana. Jadi, Rayyan bisa dikatakan anak kandungnya.

“Jujur, setiap kali mengingat ini aku seperti merasakan himpitan batu di kepala dan dadaku. Penyesalan, saat tahu ini adalah salah dan melanggar hukum syara’. Jadi, aku menemui Anda untuk memperjelas masalah ini,” pungkas Kirana dengan nafas yang sedikit cepat, menahan tangis yang selalu datang setiap kali mengingat kesalahan masa lalu.

William terdiam, dia menunduk mengetahui hal itu. Mencari kalimat apa lagi yang harus dia sampaikan. Namun akhirnya dia menatap Kirana dengan pasti.

“Kau benar, Rayyan tidak boleh menikahi adiknya,” katanya dengan tatapan mengunci pada Kirana, “maksudku, jika memang kau memiliki anak nantinya, tentu mereka adalah adik-adiknya Rayyan. Aku lebih senang menyebutnya begitu.” Dia kembali tersenyum.

Sementara Kirana tetap memandang meja kosong dengan sesekali menarik nafas dalam. Mencoba menormalkan perasaan dan juga agar tidak lagi dramatis.

“Aku akan diskusikan ini dengan Anna nanti. Dan ... mungkin ini momen yang baik untuk memperbaiki hubungan kami bertiga. Karena selama ini, kami seperti asing.” William juga menarik nafas dalam.

Kirana hanya mengangguk, “Aku akan menjaga jarak dengan dia. Jika Anda khawatir dia jatuh cinta padaku. Meski terasa konyol mengatakan itu.” Tangan lentik itu memijat keningnya dengan sedikit menyembunyikan tawa. Ya, dia merasa geli sendiri jika menyangka Rayyan menyukainya.

“Baiklah, aku harap kita bisa bertemu lagi nanti.”
“Kuharap setelah Anda membahas dengan Nyonya Anna. Bagaimanapun, Rayyan harus tahu di usianya ke  soal ini. Saat itu dia sudah dewasa, dan percayalah dia akan mengerti kondisi kalian.” Kirana meraih tas di kursi sebelahnya, “Aku pamit dulu.”

William berdiri dan mengangguk, lalu dia memanggil Rendi untuk membawa makanan yang tadi dibungkus.

“Ini banyak sekali, aku akan mengantarmu.”
“Tidak! Tidak perlu. Aku sudah terbiasa membawa banyak bawaan ketika pulang dari pasar.” Kirana menolak, lalu meminta Rendi membawakan tas-tas besar itu ke bawah. Disusun di motor.
“Apa ini tidak berbahaya? Jika polisi lihat, bisa ditilang.”
Kirana menyadari itu, lalu dia berfikir sejenak.
“Aku akan menemanimu membagikan makanan ini, kau tetap dengan motor dan aku mengikutimu dari belakang.” William kembali menawarkan opsi.

Kali ini sang wanita mengangguk, lalu membantu menaikkan barang-barang ke mobil bersama beberapa karyawan restoran. Kemudian keluar meninggalkan tempat makan mewah itu. Sebagaian pengunjung mengira dia adalah pengumpul sumbangan untuk kaum dhuafa, hingga menanyakan sejak kapan restoran ini menjadi donatur rutin untuk memberi makanan orang-orang miskin. Dan karyawannya hanya menjawab baru kali ini.

Motor Kirana mulai memasuki tempat-tempat yang selama ini dikategorikan kumuh, dia berhenti dan meminta anak-anak disana berkumpul. Tak lama mobil mewah William tiba. Range Rover itu mampu menampung banyak bungkusan makanan. Lalu mulai dibagikan berdua oleh William dan Kirana.

Tampak suka cita dari wajah anak-anak kurang beruntung tersebut.

“Wah, ini makanan bule ya teteh?” tanya salah satu mereka ketika mendapatkan salad dan juga spagghetty.
“Iyalah, itu pacar Teh Kirana aja kan bule,” jawab yang lain.
Kirana terkekeh geli sambil mendekati mereka, “Itu Mister namanya William, bukan pacar teteh. Dia sudah punya istri.”

William yang sejak tadi hanya tersenyum kini tampak menggeleng pelan, lalu mendekati anak-anak tadi.

“Kalian suka? Jika ya, aku akan kirimkan lagi makanan setiap hari kemari,” katanya dengan senyuman hangat.
“Om bule bisa bahasa Indonesia ya?”
“Tentu, Om orang Indonesia. Sudah jadi warga negara Indonesia,” jawab William.
“Makanan ini ga enak, enakan nasi uduk Teh Kirana.” Seorang anak gadis berusia enam tahun memuntahkan salad buah karena tidak terbiasa dengan rasanya.

William tertawa dan mengangguk, “Enakan nasi uduk, Om harus coba nih.” Dia melirik ke arah Kirana yang sibuk membagikan sisa bungkusan lainnya.

“Bawa ke ayah ibu ya, dan bagikan ke tetangga yang belum dapat atau yang doyan.” Wanita berkedurung panjang itu tak menggubris pertanyaan William.

Setelah anak-anak bubar, Kirana kembali menoleh pada William.

“Kita berpisah disini, aku harus kembali ke rumah.”
“Ada banyak yang ingin aku ketahui tentangmu, sebagai bagian dari rasa tanggung jawabku.” William menatap lekat wanita yang tingginya hanya se-dadanya saja.
“Sudahlah, aku sudah ikhlas dengan apa yang pernah terjadi juga dengan keadaanku sekarang. Tugas kita adalah membesarkan hati Rayyan. Agar dia tidak syok dengan kenyataan ini. Kelak jika tahu.” Kirana menatap jauh ke depan meski terasa kosong.
“Ya, kita ... you and me? Entah kenapa aku suka setiap kali kau menyebut kita,” goda William lagi.
“Ayolah, Anda ini masih senang bercanda saja. Beruntung Nyonya Anna tidak menduga macam-macam.” Kirana sedikit tersenyum.
“Kau tidak ge-er kah dengan semua candaanku?” tanya William saat keduanya kembali ke dekat kendaraan mereka.
“Tidak. Karena aku tahu, betapa besar cinta Anda pada Nyonya Anna. Terbukti dari hadirnya Rayyan.” Wanita itu mengejutkan William dengan jawaban barusan, “Semoga kelak, akupun akan menemukan pria yang menerima kondisiku apa adanya. Mencintaiku seperti seorang William mencintai Anna. Doakan ya ...,” pungkas Kirana, seraya menaiki motor maticnya, lalu mengucap salam dan meninggalkan sang pria yang terdiam membeku.

“Apa kau selalu ditolak pria? Karena itu belum menikah? Bagaimana dengan Abahmu?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibir William yang menatap kepergian Kirana, yang semakin jauh dan tak terlihat lagi setelah belok ke arah kiri.

“Andai kau tahu yang sesungguhnya. Aku hampir saja terus mengatakan rahasia itu. Tapi untuk saat ini, aku ingin memperbaiki hubunganku dengan anak dan istriku. Semoga masih bisa,” katanya lagi. Kemudian menaiki mobil dan pergi.
***

Anna tengah menunggu William ketika sang suami tiba di rumah. Dia tak sabar ingin tahu hasil pertemuan dengan Kirana. Tak biasanya, William menggandeng kembali pinggang Anna yang masih tetap sama dengan dulu, ramping. Yang berbeda adalah tak ada lagi romansa penuh cinta dan hasrat di antara mereka. Semua terasa kaku dan basi. Meski William mati-matian menumbuhkan rasa itu kembali karena teringat kalimat Kirana tentang—cinta seorang William pada Anna—yang seolah menyiratkan lambang cinta suci nan abadi. Dulu, mungkin ya. Tapi tidak lagi hari ini.

“Intinya dia baru tahu kalau Rayyan anak yang pernah dia kandung.” William membuka obrolan.
“Lalu, kau sudah minta dia menjauhi anak kita kan? Aku tidak mau Rayyan tahu, lalu dia merasa iba padanya. Dan lebih memilih tinggal dengan dia. Bayangkan jika itu terjadi.” Anna tampak panik dan gelisah.
“Tidak akan terjadi, jika kita berubah. Lebih peduli padanya, selalu ada untuknya, mendengar keluh kesahnya, dan jadi orang tua yang dia harapkan.” Kembali William mengecup pucuk kepala sang istri yang tengah bersandar di dada. Mencoba mengulang kisah romantis mereka yang mana seperti yang ada dulu.

Keduanya larut dalam obrolan hangat yang jarang mereka lakukan. Tawa, canda, manja, dan saling puja akhirnya menjadi cerita malam mereka. Sementara Rayyan, di perkemahan mencoba mencerna arti kehidupan.

Sang guru, di sepertiga malam mengisahkan tentang ujian setiap manusia. Secara sederhana, dikatakan bahwa kaya maupun miskin adalah ujian. Senang maupun susah, juga bagian dari ujian. Sakit dan nikmat, juga ujian. Dan setiap manusia telah diberikan kadar ujian masing-masing. Sesuai dengan kemampuan mereka. Tuhan tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuan, dan yang terpenting ... tidak semua keinginan manusia adalah yang terbaik bagi mereka. Tuhan lebih tahu apa yang manusia butuhkan.

“Ustadz.” Rayyan mengangkat tangannya, “tidak semua keinginan kita adalah yang terbaik bagi kita. Bisa diperjelas? Contoh misalnya,” lanjutnya dengan tatapan penuh rasa penasaran.

Ustadz tersenyum, “Begini, Nak. Adakalanya kita menginginkan sesuatu, sangat ingin. Bahkan seolah itu adalah apa yang kita butuhkan. Kita mati-matian ingin mendapatkannnya, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan hati. Lalu usaha yang jor-joran itu tidak menemukan hasil sesuai harapan, dan kita merasa telah gagal mendapatkan apa yang kita inginkan. Padahal, itu adalah jalan terbaik dari Sang Pencipta. Bahwa mungkin, di kemudian hari ... kegagalan itu akan menjadi pembuka dari apa yang sebenarnya kita butuhkan,” papar Ustadz.

Rayyan masih terdiam, dia masih belum faham. Dia memang tidak pernah diajarkan tentang agama dan kehidupan oleh orang tuanya. Hanya diajarkan tentang hubungan antar manusia, tata krama, sopan santun dan segala hal yang bersifat duniawi. Itu baik, tapi membuat sang anak hampa dengan setiap kebaikan yang dia lakukan. Karena seolah hanya berbayar dengan pujian antar sesama manusia. Dengan sebutan anak baik, anak keluarga terpandang, anak orang kaya.

“Contohnya gini, kamu pengen banget punya istana, sampai mati-matian memperjuangkan. Namun tetap saja tidak dimiliki, dan malah cuma dapat gubuk. Kamu merasa itu sia-sia, Tuhan tidak memberikan apa yang kamu mau. Padahal gubuk itu yang kau butuhkan sesungguhnya. Bisa saja, istana akan membuatmu dibenci dan dimusuhi orang lain, namun dengan gubukmu ... orang jadi sangat menyayangimu dan lainnya yang artinya kebaikan.” Ustadz mencoba menerangkan dengan hal sederhana.

Rayyan kali ini mengangguk, “Aku kadang ingin sekali memiliki ibu dan ayah yang menyayangiku, memperdulikan aku, memarahi aku jika aku nakal, menghukumku jika aku pulang terlambat, melarangku membeli sesuatu yang mahal. Apa ... itu juga bagian dari yang Ustadz katakan?”
“Bisa ya bisa bukan. Tapi tetap kau harus berjuang, berhubungan baik dengan orang tuamu. Tunjukkan kebaikan yang kau fahami.” Ustadz mengelus kepala Rayyan yang tersenyum, “Ayo! Sekarang kita tahajud ya. Minta sama Alloh, siapa tahu doa kalian akan diijabah di malam ini.”

Rayyan bersemangat, dia segera berdiri mengambil syaf terdepan. Tidak banyak murid muslim di sekolah elit ini. Namun murid lain pun sama, melakukan renungan malam sesuai agama mereka masing-masing dan berdoa dipimpin oleh guru mereka.
***

Sudah dua hari Kirana tidak berjualan. Pikirannya masih kalut dan dia masih tidak tahu akan seperti apa ketika bertemu Rayyan. Dia hanya berharap anak itu akan kuat mental saat mengetahui siapa dirinya.

Sebuah pesan masuk ke ponsel, Kirana segera membukanya.

(Masih ingat aku?)
Pesan dari Wildan.

Kirana hanya tersenyum, lalu membalas pesan itu.

(Masih. Sehat, mas?)
Tulisnya basa basi.
(Alhamdulillah. Kamu juga sehat kan? Saya lagi umrah. Sambil berdoa mencari jawaban untuk kita.)

Hati Kirana bergetar membaca pesan Wildan. Lalu hanya memberikan balasan singkat.

(Aamiin. Salam untuk Abi dan Umi ya.)
Kirana segera keluar menyalakan mesin motor matic miliknya, lalu meluncur ke pasar untuk membeli kebutuhan berjualan sore ini. Mendapatkan pesan dari Wildan, membuat dia kembali semangat menjalani rutinitas seperti biasa.
***

Rayyan kembali dari perkemahan disambut Daddy dan Mommy yang tak biasanya ada di rumah. Memang ini hari minggu, tapi tak biasanya mereka kedapatan tengah bersama dan bermesra.

Keduanya merangkul sang anak yang baru tiba, menanyakan keseruan apa yang dialami selama persami dan tak lupa makan malam bersama. Menunjukkan betapa mereka sangat menyayangi anak semata wayangnya itu.

Keseruan terjadi saat mereka bermain tenis berdua di ruang khusus. Teriakan Rayyan menandakan kebahagiaan meski daddy-nya curang. Sementara Anna berada di pihak Rayyan yang meminta William mengalah.

Satu hari, dua hari, tiga hari.

Semua terasa indah, berangkat sekolah diantar Daddy dan pulang kadang dijemput Mommy. Tak jarang, Anna mengajak putranya berbelanja kebutuhan dirinya. Meski jenuh, Rayyan mencoba menjalin kembali hubungan yang sempat tak harmonis antara dirinya dan sang ibu. Seperti hari ini, dia menemani Anna ke pusat perbelanjaan.

“Hai, Ann!” teriak seorang wanita cantik yang berdandanan sama dengan Anna. Glamour.
Mereka membahas yang tak dimengerti Rayyan, hingga akhirnya diperkenalkan.

“Ah jadi ini Rayyan, ajak saja. Mau ya sayang kita akan ke rumahku dulu. Kebetulan tas ini limited edition. Baru Victoria Bekham yang ke-gap pakai model ini. So ... you knows the price, rite?” katanya dengan nada yang berlebihan di mata Rayyan.
“Hmmm, sayang. Bisa kan ikut mommy sebentar saja melihat tas itu?” Anna menatap Rayyan yang sedang memasukkan kedua lengannya ke dalam saku celana.
“Ok,” jawabnya singkat.

Dalam waktu tiga puluh menit, mobil mewah milik Anna telah memasuki kawasan apartemen di Sudirman. Lift pun melesat menuju lantai dua puluh delapan.
Di tempat itu sudah berkumpul beberapa wanita yang juga yang berpampilan seperti ibunya. Mereka asik membahas tas branded yang baru saja tiba di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, harganya hampir seharga kelahiran Rayyan, milyaran.
Rayyan tampak bosan, hingga dia membuka iPhone dan membuka grup chat dengan Bagas dan Kirana.
Bagas: Bro, lo dah lupa ama si bulik ini?
Rayyan tersenyum, dia segera membalas.
Rayyan: Mommy and Dad tiba-tiba baik. Kuharap itu akan jadi perubahan besar dalam hidup. Ternyata Mommy kembali sibuk dengan hermes, gucci dan teman-teman mereka.
Bagas: apa itu semua?
Rayyan: kelinci (emoji kesal)

Seutas senyum terukir di bibirnya meski hanya bercanda dengan Bagas. Ada rindu yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Karena rasa nyaman yang terjalin lebih dari sekedar teman, mereka sudah layak disebut sahabat.

“Rayyan, kau sudah besar kenapa nempel terus dengan Mommy? Harusnya kau bermain bebas dan cari pacar.” Seorang teman Anna buka suara ketika melihat Rayyan masih menunggu sang ibu di kursi tak jauh dari mereka berkumpul.
“Tidak ada salahnya kan? Sudah lama Mommy hanya ada waktu dengan kalian. Baru kali ini ada waktu denganku,” jawab Rayyan asal.

Membuat teman-teman sang ibu sedikit tidak terima dan menatap Anna dengan sedikit kesal.

“Anakmu ini benar-benar tidak ada miripnya denganmu. Selain wajah, juga perilaku. Jangan-jangan dia bukan anakmu Jeng, iya sih ada mirip William, tapi ga ada kemiripan sama kamu sedikitpun,” celoteh teman Anna dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Anna menarik nafas panjang, “Rayyan, bicara yang sopan pada orang tua. Mommy tidak pernah mengajarkanmu bersikap buruk seperti itu. Cepat minta naaf!”
“Mommy memang tidak pernah mengajarkan ... apapun, bahkan tidak pernah mengurusku.”
“Rayyan!” teriak Anna, membuat semua orang menatap padanya.

Nafas Anna tampak memburu, dia segera bangkit dan berjalan meninggalkan apartemen mewah temannya. Melupakan tas branded berharga miliaran itu.
Sementara Rayyan mengikutinya dari belakang, hingga naik ke dalam mobil tak ada obrolan yang terlontar dari mereka. Bahkan Anna seperti tengah balapan dengan nadinya sendiri.

Tiba di rumah, dia langsung bertolak pinggang. Lalu berbalik menatap Rayyan yang tak mau menatap wajahnya.

“Kurasa kau memang bukan anakku. Kau sangat keterlaluan telah mempermalukan aku di depan banyak orang. Bahkan mereka merendahkan daddy-mu!” teriak Anna.

William yang tengah membaca buku di perpustakaan atau ruang kerja langsung bangkit dan keluar. Dia heran melihat Anna sangat emosional menatap Rayyan. Lalu berusaha menenangkan keduanya.

“Apa apa ini?” tanyanya selembut dan setenang mungkin.
“Tanyakan pada anak kumuh ini apa yang terjadi! Kau sudah terlalu terbiasa main di luar dengan orang-orang miskin karena itu jadi kehilangan jati diri sebagai seorang anak dari keluarga terpandang.”
“Mom, jangan bawa-bawa kasta-“
“Lihat! Kau bahkan sudah berani melawan ketika aku bicara.” Anna semakin emosi, dia memang selalu meledak-ledak jika marah. Membuat William segera meminta putranya masuk ke kamar.

“Apa apa ini? Kenapa pulang dalam keadaan marah bukankah kemarin dan tadi pagi saat berangkat kalian sangat bahagia?” tanya William berusaha tenang.

Sementara Anna masih menahan nafasnya yang cepat, dadanya naik turun seolah ingin meledak. Kemudian berbalik menatap suaminya.

“Sebenarnya dia anak siapa? Sel telur siapa yang digunakan untuk menciptakan dia? Hah! Jawab!” Anna mendorong dada bidang suaminya dengan kasar dan berulang, “Bukan satu dua orang yang mengatakan bahwa dia tidak memiliki kemiripan denganku sedikitpun. Bahkan itu yang membuat aku benci dan enggan mengurusnya saat dia masih kecil. Tapi aku tahan, aku redam ... karena aku mencintaimu. Menghargai usahamu. Tapi sekarang itu semakin menyiksaku. Katakan ... kau melakukannya dengan wanita miskin itu? Katakan!” teriak Anna. Membuat Rayyan yang masih berlari di tangga mendengar teriakan sang Mommy yang hanya jelas meminta suaminya mengatakan sesuatu.

William membuang pandangan bahkan membalikkan badan. Anna tidak tinggal diam, dia menarik kemeja sang suami hingga satu kancingnya terlepas.

“Tatap aku dan katakan yang sesungguhnya! Aku muak dengan semua ini. Kita menginginkan dia, tapi kehadiran dia justru merusak cinta kasih kita. Aku terganggu karena semua orang mengatakan dia hanya mirip denganmu. Tapi tidak dengan aku. Lihat mata bulat Rayyan, ... persis ... dia!” Anna tersengal-sengal dan airmata membanjiri wajahnya.

William meraih lengan atas istrinya, lalu menarik ke dalam pelukannya.

“Kau telah menghianati aku. Kau berselingkuh? Jahat sekali kau! Jika aku mau, aku bisa meninggalkan kalian dan hidup kembali sebagai seorang model terkenal, tapi aku sangat mencintaimu William,” isak Anna dalam pelukan sang suami.
William tak mampu mengeluarkan kalimat apapun. Dia hanya menahan air mata yang mulai menggenang. Berusaha menenangkan sang istri yang kalut karena dia sendiri tahu, hampir semua orang mengomentari Rayyan tak memiliki kemiripan dengan sang ibu yang memiliki mata sipit. Namun justru bulat dan berbulu lentik meski dengan iris cokelat terang sama dengan sang ayah.

“Kau tidak harus menghukum Rayyan atas hal ini. Semua salahku,” ujar Wiliam akhirnya buka suara.
“Jadi benar? Maka aku tidak sudi jika dia masih disini. Pergi dan berikan pada wanita jalang itu!”
“Anna!!”

Tangan William terangkat hampir menampar untuk pertama kali dan itu tujukkan pada sang istri. Wanita yang telah membuatnya pindah kewarganegaraan bahkan keyakinan. Juga mengeluarkan miliaran uang demi memiliki keturunan tanpa harus menikahi wanita lain. Tapi kini, wanita itu hanya membuatnya semakin tertekan. Tidak hanya tekanan masalah rumah tangga dan harmonisasi cinta yang hampir sirna, tapi juga tekanan dalam pekerjaan, yang mana entah berapa miliar yang dihabiskan hanya untuk sekedar bersenang-senang tapi anak mereka kehilangan jati diri.

“Tenangkan dirimu, dan kita bicarakan baik-baik. Mungkin sudah saatnya aku ungkap semua.” William mengatur nafas.

Anna langsung menuduh bahwa apa yang ada dalam pikirannya adalah benar, sang suami telah mendua demi anak. Dan hasilnya adalah Rayyan.

“Aku tidak sudi mendengarnya! Aku benci kau William! Aku benci! Bawa anak haram itu dari rumah ini karena aku tak ingin melihatnya lagi!”
“Tahan dirimu jangan sampai anakku mendengarnya!” Wiliam sedikit kasar dengan menarik lengan Anna lalu menutupkan tangannya dengan kasar ke bibir Anna. Yang berakhir dengan tangisan histeris sang istri dan memukul-mukul dirinya. Lalu jatuh dan telungkup di atas sofa.

Sementara di mata Rayyan, yang terlihat adalah orang tuanya bertengkar. Entah karena dirinya, atau memang ada orang ketiga dalam arti wanita lain dalam pernikahan mereka. Dia hanya ingat, sejak dia sekolah dasar percekcokan sering terjadi meski di depan dirinya mereka manis. Namun semakin hari semakin sering terlihat, dan kini lebih parah. Bahkan sang ayah yang dia kenal sebagai sosok yang tenang telah melakukan tindakan kasar pada ibunya.

Rayyan merasa semuanya telah hancur. Dia berjalan melewati William yang masih berdiri dan tampak frustasi juga Anna yang masih menangis di atas sofa. Anak muda itu berlari sekuat tenaga meninggalkan rumah mewah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh. Tak peduli dengan panggilan dan teriakan sang ayah yang terus mengejarnya.

Teriakan dan caci maki ayah dan ibunya terus terlihat, entah apa yang dipamerkan dua orang dewasa itu di hadapannya. Yang pasti, membuat dia enggan kembali ke rumah yang meski sangat mewah namun terasa sunyi dan suram. Larinya semakin cepat, dan kini menaikki bus transjakarta. Namun mata itu masih menatap kosong.

Sementara William berusaha mengejar putranya dengan mobil, terus mengikuti transjakarta yang semakin bergerak menjauh dari wilayah kediaman mereka. Berulang kali dia memukul stir mobil dan memaki diri sendiri, hingga dia melihat putranya turun bersama penumpang lain.

Hujan membuat Kirana terkejut, dia segera merapikan meja yang tak tertutup atap. Meja dan kursi taman itu memang hanya dipakai jika dalam keadaan ramai saja. Jadi tidak ada yang memakaikan payung besar atau terpal untuk menutupnya. Karena khawatir mengganggu keindahan taman.

Kirana kembali masuk ke warung setelah mengemasi tisu dan air mineral di meja taman. Namun matanya menangkap sosok pemuda tampan yang langsung duduk di kursi dalam derasnya hujan. Bahkan dia menjatuhkan kepalanya ke kedua tangannya di atas meja. Menangis tersedu.

“Rayyan?”

Kirana segera mengambil payung, lalu berjalan dalam derasnya hujan dan menatap remaja yang terus terisak berlomba dengan rintikan air yang dijatuhkan dari awan. Satu hal yang dia sadari, anak ini adalah anaknya juga. Meski bukan darah daginya.

“Mereka jahat,” ujar Rayyan, seolah tahu bahwa Kirana telah berada di dekatnya, “mereka tidak menyayangiku,” lanjutnya dengan suara yang masih dalam tangis.

Kirana tersenyum, tangannya terhulur berniat mengelus kepala Rayyan. Tapi dia urungkan, dia takut ... andai perhatiannya ditunjukkan justru semakin menjauhkan sang anak dari kedua orang tua kandungnya. Semakin terikat dengan dirinya.
Tangan Kirana terkepal di udara ketika telah begitu dekat dengan rambut Rayyan. Kemudian ditarik kembali meski telah basah oleh air hujan.

Sementara jauh di seberang sana, di dalam mobil seorang pria mengamati Rayyan dan Kirana. Sudut matanya mulai basah meski dia menekan kepalan tangan ke bibirnya untuk mencegah tangisan.

“Sentuh dia Kirana, sentuh kepalanya ... karena dia ... anak kandungmu, darah dagingmu,” ujar William sambil menatap Kirana yang masih mematung memandang Rayyan yang menangis dalam hujan.

==========
(side b)

William melangkahkan kaki dalam rintik yang tak kunjung usai. Mendekati dua orang manusia yang tengah dilanda gundah gulana. Dia berdiri tak jauh dari Kirana yang terkejut dengan kehadiran dirinya. Dengan kemeja yang kancingnya telah terlepas satu di bagian atas, mengekspose dadanya yang bidang. Hingga tumpahan air dari langit itu menambah pesona ayah dari Rayyan yang kini menatap sang wanita, lalu pada putranya.
Dia duduk di kursi sebelah Rayyan, mengelus kepala remaja itu sebagai ganti karena Kirana tidak melakukannya.

“Sorry,” katanya lirih, “maafkan daddy, Rayyan,” lanjutnya sambil merengkuh kepala sang anak dengan penuh kasih sayang.

Rayyan mengangkat wajah lalu menatap William yang tersenyum dalam duka.

“Anak laki-laki tidak boleh menangis di depan perempuan. Apalagi perempuan cantik,” katanya sembari menoleh ke arah Kirana yang tersenyum merasa lega.

William menatap putranya yang masih terisak, lalu memeluknya dengan erat. Memberikan kehangatan di tengah hujan yang semakin deras. Sederas airmata yang terus mengalir dan sedingin hati yang sejak lama terabaikan.
Kirana yang merasa lega karena Rayyan bersama ayahnya mulai membalikan badan, melangkah menjauh.

“Kirana ...,” panggil William menatap ibu dari Rayyan dengan tatapan penuh iba. Haruskah dia ceritakan kisah yang sesungguhnya saat ini? Atau menanti waktu yang tepat? Dia menatap Kirana yang juga menatap dirinya, kegundahan tampak di wajah keduanya.

“Bisa buatkan teh manis hangat untuk kami?” tanyanya, mengaburkan tujuan utama dengan membuat pertanyaan agar sang wanita tidak curiga.

Kirana tersenyum dan mengangguk pasti, “Ayo ke warung. Tidak baik diam dalam derasnya hujan,” dia melangkahkan kaki lebih dulu.
Rayyan dituntun William menuju warung, lalu duduk dengan kedinginan. Bagas segera mengambil jaket miliknya dari dinding dapur.

“Ganti baju, Ray. Nanti kamu sakit. Tapi, jaket gue aga bau kali ya hehe,” katanya dengan selengekan. Meski begitu tujuannya baik.
“Bagas, kamu bisa pulang sebentar ambil baju kamu buat Rayyan? Tapi buat ... Anda ...,” Kirana bingung. Mana mungkin baju pamannya muat untuk pria dengan badan besar seperti William.
“Aku masih bisa memakai ini, tidak apa. Yang penting putra kesayanganku tidak kedinginan,” ujar William sambil merekatkan gandengan tangan ke pundak sebelah kiri Rayyan.

Bagas segera berlari dengan jas hujan menuju rumah yang tak jauh dari lokasi berjualan. Tak lupa dia meminjam sarung bapaknya dan juga baju koko yang memang tidak pernah dipakai karena kebesaran milik sang bapak.

“Buat siapa?” tanya Ibunya dengan keheranan.
“Rayyan sama Bapaknya kehujanan,” jawab Bagas singkat. Lalu kembali ke luar dari rumah menuju taman kali ini dengan mengayuh sepeda supaya lebih cepat.

Setelah tiba, baju dia serahkan kepada Rayyan. “Ini baju baru gue sih, ga tega gue kasih baju jelek. Kasian muka lo ntar berkurang gantengnya,” canda Bagas sambil tersenyum.
“Thanks bro,” suara Rayyan masih terdengar pelan.
“Om Bule, ini sarung bapak sama baju kokonya juga ga pernah dipake. Koko kegedean, kalau sarung sih bapak demennya pake yang bulukan. Hehe. Pakailah Om, biar tidak kedinginan juga.” Dia menyerahkan plastik lainnya, “ganti bajunya bisa di kamar mandi mushola aja.” Bagas menunjuk mushola, lalu menyerahkan payung.
“Terima kasih, Nak. Nanti Om ganti ya.” William menepuk pundak Bagas.

Kirana hanya tersenyum sambil terus melayani pembeli yang datang silih berganti. Mereka tak terlalu peduli dengan Rayyan dan ayahnya. Rasa lapar dan dingin membuat mereka fokus makan, minum dan mengobrol jika datang bersama teman.
Tak lama, William datang dengan sarung dan koko putih. Kirana hampir tertawa melihat penampilan ayah Rayyan, namun dia tahan. Dia tidak pernah melihat William dengan pakaian seperti ini sebelumnya, jadi terlihat sangat lucu. Sedangkan Rayyan celana dan kaosnya sedikit kekecilan, karena dia memiliki postur tubuh lebih besar dari Bagas.

“Om, ganteng juga ya pake baju koko, malah lebih ganteng dari Om Wildan ya, Teh?” celetuk Bagas ketika ayah dan anak itu kembali ke meja warung.

Kirana mendelik pada sepupunya, lalu menyuguhkan teh manis panas, nasi uduk satu porsi dan gorengan hangat.

“Makan, biar perutnya tidak dingin.” Dia tersenyum pada Rayyan. Rasa sayang mulai tercipta pada anak yang pernah dia kandung. Apalagi semasa berada di dalam rahim, Rayyan lah teman setianya di saat kesepian.

Rayyan makan dengan lahap, begitu juga William. Berulang kali juga dia mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang. Berjanji akan menceritakan banyak hal setelah ini. Rayyan mengangguk, dia fokus makan karena dingin dan lapar. Sedangkan Kirana sibuk melayani pembeli dan tak sedikitpun menoleh pada pria yang berulang kali memandang dirinya.

Menjelang malam warung tutup, namun Rayyan masih enggan pulang. Terpaksa Kirana mengajak kedua ayah dan anak ini ke rumah pamannya. Tidak untuk menginap, hanya agar mereka diskusi sebelum mengambil keputusan.

"Maaf lho Mister, rumah ini kecil jadi ga bisa nawarin nginep." Paman tersenyum ramah.
"Tidak apa, Pak. Saya sudah booking hotel," jawab William sambil kembali melirik ke arah Kirana yang duduk di samping Bibi.
Cukup alot merayu Rayyan agar mau ikut ayahnya ke hotel. Dia bersikukuh ingin menginap di rumah Bagas. Tapi akhirnya dia bersedia, setelah dijelaskan bahwa sang ayah akan menceritakan permasalahan keluarga mereka.
Tinggalah Paman dan Bibi juga Kirana, karena Bagas sudah masuk ke kamar.

“Bapaknya si Rayyan itu duda bukan?” tanya Paman sesaat setelah mengantar William dan Rayyan pulang.
“Punya istri, namanya Anna,” jawab Kirana sembari masuk ke dalam rumah.
“Wah, harus hati-hati kamu. Sejak tadi dia sering sekali memandang kamu diam-diam. Jangan sampai kamu jadi pelakor.” Bibi menimpali sambil merapikan bekas suguhan.
“Ya ga lah, Bi. Lagian Mr. William itu cinta banget sama istrinya. Buktinya, demi dapat Rayyan ... mereka sampe cari ibu pengganti, dan itu aku.” Kirana membuka sedikit tabir pada paman dan bibinya.

Pasangan suami istri itu terkejut bukan main. Mereka saling pandang dan menatap sang keponakan.

“Ya, Rayyan itu anak yang pernah aku kandung. Aku juga baru tahu saat bertemu ayahnya. Awalnya tidak tahu sama sekali.” Kirana seolah tahu pertanyaan dari hati Paman dan Bibinya.
“MasyaaAlloh ... berarti memang Alloh pengen dia balik ke kamu, Neng.” Bibi terlihat takjub namun juga miris. Kirana hanya tersenyum sambil menunduk dan kemudian menoleh pada kedua paman dan bibinya.

“Aku harus gimana ya? Rasanya ada ketakutan tersendiri andai Rayyan tahu. Takut dia semakin jauh dari orangtuanya.” tanya Kirana dengan menatap kosong.
“Kayanya emang orang tuanya dah ga harmonis, Neng. Makanya tu anak sering lari dari rumah. Dan berjodohnya sama kamu. Ibunya yang lain, ya meski apesnya kamu itu masih gadis.” Pamannya menggaruk kepala yang tak gatal.
Kirana mengangguk lemah, lalu berpamitan pulang pada paman dan bibinya.

Di tempat lain William masih membujuk Rayyan yang tetap cemberut.
“Daddy janji akan menceritakan yang sesungguhnya padamu, tapi kau harus pulang dulu.” William menatap Rayyan yang masih duduk dengan malas di dalam mobil.

Setelah sempat menolak pergi, dengan masih memakai pakaian milik Bagas akhirnya dia mengikuti sang ayah. William sendiri masih memakai koko dan sarung milik bapaknya Bagas, dengan cuek dia melenggang di lobi hotel dan memesan kamar. Lalu menghubungi anak buahnya untuk dibawakan baju ganti.

Setelah ganti baju, dia mengajak Rayyan makan malam. Tapi Rayyan mengaku masih kenyang setelah makan nasi uduk di warung Kirana. Dia masih melamun dan mempertanyakan kenapa mommy and daddy-nya selalu bertengkar.

Sementara itu paska kepergian William, Anna akhirnya bangkit dan menyudahi tangisannya. Dia memilih merendam diri di bak mandi dengan aroma terapi. Mengingat bagaimana kisah cintanya dulu bersama sang pujaan yang justru setelah menikah tak seindah harapan.
***

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, Anna mulai merawat wajah kembali. Dia melihat sorot lampu mobil yang datang dan parkir melintasi kamar miliknya. Dia tahu, suaminya telah kembali. Tapi setelah sekian menit tidak kunjung masuk ke kamar.

Sementara Rayyan sudah masuk ke dalam kamar dan William memilih ke ruang perpustakaan. Mereka hanya menumpang ganti pakaian di hotel, lalu kembali ke rumah mereka.
William membuka brankas yang tak pernah dia buka selama bertahun-tahun. Mengambil dokumen yang tersimpan disana. Dokumen kelahiran Rayyan.
Disana jelas tertulis, proses kelahiran Rayyan dilakukan dengan cara fertilasi atau bayi tabung. Dengan ibu pengganti. Namun lebih detailnya, justru lebih seperti donor sperma. Karena sel telur yang digunakan adalah milik si ibu pengganti, yaitu Kirana.

“Maafkan aku Kirana, aku telah curang padamu.” William membaca nama dan foto Kirana dalam dokumen itu. Matanya kembali terasa panas dan mulai menggenang. Dia pejamkan mata, membiarkan wajah jantannya dilintasi buliran bening, menandakan betapa dia merasa bersalah dan bersedih. Ingatan itu kembali membawanya ke masa lalu, sekitar lima belas tahun lalu setelah Kirana bersedia menjadi ibu pengganti untuk mengandung anaknya.
***

William mengamati Kirana yang diantar Abah yang mulai sehat dan di dorong kursi roda, juga ada Paman dan Bibinya. Mereka mengantar keponakannya ke Bandara dan mengira akan menjadi TKW di Hongkong selama dua tahun.
Ditemani beberapa orang kepercayaan William yang mengaku dari penyalur tenaga kerja, Kirana meyakinkah Abah bahwa dia akan baik-baik saja.

“Abah jangan khawatir, bukan penyalur bodong kok. Buktinya Kirana bisa ambil DP uang gaji untuk biaya operasi Abah.” Kirana memandang sang ayah yang tampak sedih akan berpisah dengan putri kesayangannya. Pasca istrinya meninggal, dia hanya memiliki Kirana seorang.

“Abah tahu, cuma sedih saja berpisah lama sama kamu, Neng. Dua tahun, gimana kalau abah pendek umur?”
“Ih, ga boleh bilang gitu, Bah. Kirana yakin kita akan ketemu lagi kok. Kirana akan sering menghubungi Abah juga. Nanti pasti telepon ke rumah Bu Haji Naim biar bisa ngobrol sama Abah. Kirana dah ijin,” katanya terus menenangkan hati orang tua satu-satunya yang dia miliki.

Setelah Abah yakin dan rela, akhirnya dia pergi ke ruang tunggu keberangkatan. Sementara Abah pulang bersama Paman dan Bibi yang berjanji akan merawatnya.
Kirana sangat gugup ketika pesawat mulai lepas landas, dia terus berdoa dan memejamkan mata. Itu sangat lucu di mata William. Namun dia segera melirik ke arah istrinya yang sibuk membaca majalah fashion.

Setibanya di Hongkong, mereka segera menuju apartemen yang telah disewa untuk dua tahun. Merapikan barang bawaan mereka, dan menghubungi Dr. Allen bahwa mereka sudah tiba.
Dr. Allen sendiri sudah berada di sana. Meski dia tidak turun tangan, tapi dia dipilih William untuk mencarikan dokter terbaik dalam bidang ini.
***

Hari pertama Kirana berada di kota modern itu dilalui dengan serangkaian pemeriksaan di sebuah rumah sakit swasta nan mewah, Matilda Hospital. Para ahli ginekolog terbaik yang dipilih Dr. Allen berkumpul, tiga dari mereka adalah Dr. Lim Honli, Dr. JianHeeng dan Dr. Albert. Mereka yang akan menangani proses fertilasi di luar atau proses bayi tabung.

Tidak hanya Kirana, William dan Anna juga menjalani serangkaian tes. Hingga di hari ke tujuh, barulah ditentukan proses pengambilan sel telur dan sel sperma dari pasangan ini. Untuk kemudian dilakukan proses pembuahan di luar, dan jika sukses alias berkembang dengan baik, akan ditanam di rahim si ibu pengganti yaitu Kirana.

Masa subur Anna tiba, dimulailah proses itu. Pasangan ini sangat cemas menantikan hasil yang akan keluar dalam satu minggu lagi. Sementara menunggu, mereka memilih menghabiskan waktu berbelanja dan menikmati keindahan kota Hongkong.
Kirana selalu ikut kemanapun mereka pergi, tak jarang jika bertemu pengusaha yang kenal William, mengira bahwa gadis ini adalah adik dari Anna. Meski hal yang paling sulit dia lakukan adalah membuat Anna bersikap baik padanya. Bukan tak pernah baik, tapi sikapnya selalu ketus dan merendahkan. Padahal berulang kali suaminya mengingatkan untuk menjaga perasaan dan mood sang calon ibu.
***

Sudah dua bulan mereka berada di Hongkong, William mengurus semua pekerjaan dari sana. Tak jarang kembali ke Indonesia bersama Anna. Meninggalkan Kirana bersama seorang suster yang juga orang Indonesia namun sudah lama tinggal di negara itu. Sehingga dia tidak kesepian, dan ada teman bicara, juga tidak kesulitan saat bepergian bersama.

“Kenapa kau mau jadi ibu pengganti?” tanya Rosita yang sudah berusia kepala empat.
“Tentu karena uang,” jawab Kirana. Dia menceritakan masalahnya, bahkan tentang rasa rindu pada sang kekasih yang belum sempat dia temui ketika akan pergi.

Rosita selalu menghiburnya, memintanya tetap berpikir positif karena hamil bukanlah hal mudah. Hormon akan berubah, mood akan tidak menentu dan bisa saja kejutan-kejutan lain akan datang.

“Tapi kok belum juga ya prosesnya?” tanya Kirana ketika sore tiba. Dia merasa bosan karena belum juga janin itu ditaman.
“Prosesnya kan emang lama, Dek. Harus nunggu benar-benar layak hidup dan tumbuh sempurna.”

Mereka menghabiskan waktu dengan makan apa saja kuliner di pasar sore. Berharap mood tetap baik. Sesekali dia menghubungi Abah melalui telepon tetangganya. Pura-pura sedang istirahat kerja, dan mengatakan pekerjaannya melelahkan. Tapi dia juga senang bekerja disana. Satu hal yang membuatnya tidak betah ya karena kangen sama Abah.

“Kamu harus sabar, Neng. Karena itu dah kewajiban kamu. Jadi ga boleh ngeluh,” ucap Abah memberi semangat.

Kirana tersenyum lega meski ada rasa miris dan juga rasa bersalah di hati. Bagaimapaun, untuk menutupi satu kebohongan akan diperlukan kebohongan-kebohongan yang lain. Namun dia tak punya pilihan lain saat ini, apalagi untuk mundur, itu adalah hal mustahil.

Sementara William yang dihubungi Dr. Albert tengah dilematis. Dari laporan yang baru saja dia terima, semua sel telur yang diambil dari istrinya gagal dibuahi. Bahkan hampir tidak mungkin dilakukan percobaan lagi karena akan menelan banyak biaya.
Terpaksa, William segera kembali ke Hongkong dan menemui tim dokter tanpa Anna. Kelima orang itu berdiskusi tentang masalah yang dihadapi. Mereka sepakat, sel telur Anna dianggap tidak bagus dikarenakan banyak hal. Bisa dari gaya hidup sang wanita yang selama ini mungkin sering merokok, mengonsumsi minuman keras, dan makanan tidak sehat lainnya.

“Oke, artinya aku tidak bisa punya anak? Begitukah keputusan akhirnya?” William menatap ke empat dokter di hadapannya.
“Masih bisa,” jawab Dr. Albert.
“Menikahi wanita lain? Tidak mungkin, aku sudah berjanji pada istriku akan tetap setia meski dia tak memberiku keturunan.” William meremas rambutnya dengan kasar.
“Hmm, bisa saja namun ini beresiko.” Dr. JianHeeng buka suara, “kita bisa menggunakan sel telur si ibu pengganti langsung. Aku lihat gadis itu memiliki rahim dan indung telur yang baik, sel telur yang dihasilkan juga bisa sangat baik. Dan tentu, dia tetap anak kandung anda, anak biologis Anda,” papar Dr. JianHeeng dengan panjang lebar.
“Itu, sama saja dengan aku memperkosa gadis itu. Itu gila! Dia pasti akan menolak.” Wiliam menggeleng cepat.
“Jika dia tahu, jika dia tidak tahu ...,” Dr. jianHeeng kembali buka suara.

William terdiam, menatap ke empat dokter yang memberikan anggukan kesepakatan. Hingga keraguan yang besar di hati dan pikirannya semakin terkikis tergantikan oleh keinginan untuk memiliki keturunan apapun caranya, tanpa melepaskan sang istri tercinta.

“Ok.” Singkat, dia hanya mengangguk lalu memijat keningnya.

Dan berkas-berkas kembali diperbaharui untuk mengamankan mereka semua. Bahwa ide itu diambil atas kesepakatan bersama meski tanpa sepengetahuan sang gadis. Jika semua bocor dan terlibat masalah hukum, maka ke empat dokter dan William akan menanggung akibat dan kewajiban yang sama.
***

Kirana tak curiga sedikitpun saat memasuki ruang khusus di rumah sakit. Dia hanya mengira bahwa hari ini adalah proses penanaman janin di rahimnya. Meski gugup, takut bahkan segala rasa muncul membuatnya mengingat kematian, tapi dia tak punya pilihan lain.
Dia pasrah, saat alat-alat mulai dipasang dan obat bius disuntikkan. Semua terasa gelap setelah itu, dan dia tak pernah tahu bahwa yang dimasukkan ke dalam rahimnya adalah sel dari sang pria saja. Namun tetap saja, dia tidak boleh bangun dan selayaknya orang sakit dalam pengawasan tim medis selama  jam.

Jenuh, pegal, bosan, takut dan penasaran bercampur padu setiap harinya. Hanya mengobrol dengan suster dan dokter, sesekali Wiliam datang menjenguk meski dengan tatapan yang sayu. Lebih ke tatapan dengan rasa bersalah, tapi Kirana tak memahaminya.
Entah sampai kapan dia akan terbaring seperti ini, dia juga bosan. Hingga dokter mengabarkan bahwa dia sudah boleh bangun dari ranjang dan juga turun jika ingin ke kamar mandi.

“Pembuahan berhasil, ini sangat cepat dari prediksi. Janin mulai tumbuh dengan baik. Sang ibu pun tidak kepayahan karena proses yang lebih simple.” Dr. Albert menjelaskan pada Wiliam ketika bersama-sama meilhat foto USG dari janin yang ada di perut Kirana.

William tersenyum, lalu mengelus foto USG itu dengan mata berkaca-kaca namun juga senyum bahagia. Karena akhirnya, dia memiliki keturunan meski amat disayangkan bukan dari wanita yang dia cintai saat ini.
***

Kirana sudah bisa pulang ke apartemen. Dia masih sangat berhati-hati mengingat dia sedang mengandung. Padahal dokter menyatakan dia bebas bergerak karena kondisi janin baik-baik saja.
Tapi William dan Anna jadi sangat protektif, bahkan membatasi makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi. Bukan hanya itu, dia juga dilarang menonton cerita yang menguras emosi, hanya boleh mendengarkan lagu-lagu instrumen dari Mozart, dan juga menonton hal-hal yang dianggap menyenangkan.
Kirana menurut saja, meski kadang dia membuka Al-Qur’an dan membacanya. Membaca surat Yusuf dan Maryam.

“Abah bilang, kalau lagi hamil harus baca surat Yusuf sama Maryam. Biar kalau anaknya laki-laki jadi tampan kaya Nabi Yusuf AS juga memiliki hati yang lapang, dan kalau perempuan jadi cantik kaya Siti Maryam dan kesabaran yang luas, ibu nabi Isa kali ya,” celoteh Kirana saat William memergokinya tengah tadarus.
“Bagus, tentu saja bagus. Aku senang kau tidak mengidam parah seperti orang hamil pada umumnya.” William tampak perhatian. Kehamilan Kirana memang beda dengan kehamilan Anna yang penuh dramatisasi. Mungkin selain faktor yang namanya ngidam, juga karena Anna terlalu manja dan mendramatisir.
***

Semakin besar kehamilan Kirana, semakin besar pula rasa cemas dan rasa bersalah yang dialami William.
Rasa iba juga kian mendominasi. Terlebih gadis itu mulai merasakan mual dan pusing di usia kehamilan enam bulan. Hingga William terus meminta Rosita memantau dan memenuhi segala kebutuhan ibu dari anaknya.

Ya, Kirana adalah ibu biologis dari bayi yang ada di perutnya. Dan dia tidak tahu, bahkan tidak pernah tahu.
Begitupun Anna, dia tidak diberitahu akan hal ini. Tujuannya agar dia menerima sang bayi nanti. Menyayangi selayaknya anak sendiri.

Seperti malam ini, mereka tengah makan malam. Kirana seperti biasa mual dan muntah di depan Anna yang menampilkan wajah jijik dan tidak berselera untuk makan. Dia meminta makan malam dipindahkan ke restoran, tanpa Kirana dan juga Rosita, hanya berdua.
William menurut, tapi dia terus mengingatkan status Kirana dan kondisi yang sedang dialaminya.

“Kau harus bisa mengendalikan rasa tidak suka padanya, bagaimanapun ada anak kita di rahimnya. Anak kita akan merasakan apa yang ibu pengandungnya rasakan. Kau faham?” William mendaratkan ciuman di pelipis sang istri yang masih cemberut. Untuk kemudian melanjutkan makan malam mereka dengan romantis. Kemudian diakhiri dengan pecintaan yang panas.

Kirana bukan tak tahu jika sepasang suami istri itu tengah bercinta, tapi dia benar-benar tidak merasa nyaman di kamar. Hingga memilih duduk di depan televisi. Membuat Anna dan William yang tengah on-fire merasa terkejut dengan suara televisi dari ruang di dekat kamar mereka.
William segera memakai piyama dan keluar menemui Kirana yang tengah asik menonton televisi. Sedangkan Anna yang terganggu puncak kenikmatannya mendengus kesal di kamar mandi.

“Kau belum tidur?” sapa William, dia duduk di ujung sofa.
“Susah tidur, pegal tidak karuan. Semua posisi salah, jadi nonton televisi saja,” jawab Kirana asal.

Kehamilannya mulai memasuki usia ke tujuh bulan. Jadi wajar jika dia mulai kesulitan tidur.

“Aku akan menemanimu di kamar, karena tidak baik sedang hamil begadang terus-terusan.” William mengantar Kirana ke kamar, lalu meminta gadis itu tidur dengan posisi aman.

Kirana masih gelisah. Hingga William bersenandung sebuah lagu tentang negeri di awan. Meski dalam bahasa Inggris, Kirana faham liriknya. Bahkan suara merdu ayah dari si jabang bayi terdengar menenangkan. Semakin lama, matanya semakin rapat dan mulai pergi ke alam mimpi.

Sementara William, mendekat dan menatap lekat wajah imut nan manis itu. Ada rasa bersalah, namun juga merasa takjub. Bahkan semakin kagum.

Kirana menggeliat, tangannya terhempas ke pangkuan sang pria yang tengah menikmati wajah lelah itu. William mengelusnya dengan lembut dan dikembalikan ke arah bantal. Namun justru wajah itu semakin berdekatan.
Entah dorongan apa yang membuat William mengecup kening Kirana. Lalu turun ke pipi dan ... kemudian dia sadar.
Segera dia bangkit, mundur perlahan menatap wanita polos yang seolah melambai dan menggoda padanya. William segera keluar dari kamar, menarik napas kasar. Kemudian menuntaskan hasratnya pada sang istri. Meski bayangan gadis lain yang membangkitkannya.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER