(side a)
Kirana terisak menatap ruang ICU tempat Abah terbaring. Tadi, sebelum dia datang, Abah dipindahkan lagi kesana karena jantungnya semakin lemah. Bahkan dokter menyarankan pemasangan ring dengan segera, untuk menyelamatkan nyawanya.
Gadis manis itu menatap rincian biaya yang baru dia terima dari bagian administrasi. Hampir dua ratus juta, dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Gajinya saja hanya 3 juta sebulan, itu sudah full dengan uang makan. Rasanya mustahil mendapatkan uang sebanyak itu.
Belum lagi tugas kuliah mulai menumpuk, semua terabaikan. Dia hanya duduk mematung memandang kosong.
“Dokter,” sapa Kirana pada Dr. Anwar yang baru saja datang, “saya rela jadi cleaning service di rumah sakit ini seumur hidup. Gaji saya untuk berobat Abah saja. Tolong, Dok.” Matanya semakin sayu dan memprihatinkan.
“Nanti saya coba cari donatur ya, nak. Saya juga ga tega lihat kamu seperti ini. Sudah hampir tujuh tahun kita kenal dan kamu selalu menemani Abah kamu berobat.” Dr. Anwar tersenyum menatap Kirana yang memejamkan mata, membiarkan air bening itu mengalir di pipinya.
Hal yang paling menyulitkannya adalah, andai mengajukan penghentian pengobatan. Maka harus menandatangai surat pernyataan bahwa dia menolak dan meminta pencabutan alat-alat yang menempel di tubuh Abah, bahkan dia diharuskan melepaskan sendiri secara simbolis.
Tidak! Kirana merasa itu tampak seperti mengakhiri hidup Abah dengan tangannya. Dia tidak sanggup.
Sementara di lantai lainnya, William dan Anna baru saja konsultasi lagi dengan Dr. Allen. Mereka berencana melakukan surrogate tapi tidak di Indonesia. Sang dokter menyarankan negara lain yang melegalkan praktik ini. Dan mereka ingin mencari sang ibu pengganti yang bisa dibayar lebih murah.
Anna sudah menawarkan pada kerabatnya, tapi kebanyakan menolak dengan alasan “hamil itu tidak mudah”. Beberapa orang yang mungkin butuh uang telah mereka datangi, rata-rata meminta nilai fantastis diatas kewajaran. Sudah bisa dibayangkan jika mereka memilih ibu pengganti dari negara yang akan mereka tuju, yaitu Hongkong. Disana juga pasti bayarannya lebih tinggi lagi.
Karena itu mereka mencari calon ibu dari Indonesia. Selain untuk meminimalisir biaya, juga untuk mempermudah komunikasi dengan Anna.
“Hallo Dr. Anwar, lama tidak jumpa.” Dr. Allen menyapa rekan sejawatnya yang meski satu rumah sakit tapi jarang bertemu.
“Ya, kau makin tampan saja,” goda dokter sepuh itu. Keduanya terlibat obrolan seputar kehidupan mereka yang memang kenal dekat. Sementara William dan Anna menunggu mereka hingga selesai.
“Ah sorry, kenalkan ini pasienku, Mr. William and Mrs. Anna Alavaro.” Dr. Allen memperkenalkan mereka.
Dr. Anwar mengulurkan tangan pada sepasang suami istri yang tengah menunggu Dr. Allen mencarikan calon ibu pengganti untuk mereka.
“Oh ya, ada bahasan yang ingin saya sampaikan. Bisa kita ke ruangan anda dulu?” Dr. Allen sengaja menemui Dr. Anwar karena dia terbiasa bertemu dengan pasien-pasien tidak mampu di rumah sakit ini. Mereka berempat segera menuju ruang pribadi Dr. Anwar di sana.
Pembahasan pun dimulai, seputar surrogate mother yang dibutuhkan oleh pasangan ini.
“Tapi negara kita tidak mengijinkan itu.” Dr. Anwar menatap William dan Anna lalu pada Dr. Allen.
“Aku tahu, karena itu mereka akan melakukannya di Hongkong. Hanya ingin orang Indonesia yang menjadi ibu penggantinya.” Dr. Allen melirik ke arah William yang mengangguk, “Anda sering bertugas menangani pasien-pasien tidak mampu. Jadi kurasa, adakah yang anda rekomendasikan? Tentu bukan pasiennya, tapi dari keluarganya,” tambah Dr. Allen.
Entah kenapa Dr. Anwar langsung teringat Kirana. Gadis manis dan enerjik itu tengah membutuhkan uang. Dia merasa Tuhan seolah mengirim William dan Anna untuk membantu gadis itu dengan cara yang tak disangka siapapun.
“Ada,” katanya cepat. Dia menceritakan siapa Kirana dan juga Pak Sutarji pasiennya. Dia yakin, gadis itu akan bersedia melakukan demi mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan Abahnya.
“Apa dia sehat?” William tampak bersemangat.
“Dia sangat sehat, kita akan melakukan medical check-up jika dia bersedia. Gadis itu juga tidak kumuh selayaknya orang miskin yang dikatakan Mrs. Anna tadi,” kata Dr. Anwar tersenyum.
Sebelumnya Anna sempat bertanya apa Kirana tampak kotor dan kumuh selayaknya orang miskin di jalanan? Ah, Anna memang sangat sombong dalam hal ini.
“Tunggu! Gadis?” William mengerutkan alis, “bukankah baiknya seorang wanita yang sudah menikah? Dalam hal ini agar dia tidak terkena malu dan tentu pertimbangan-pertimbangan lain?” dia melirik ke arah istrinya yang juga terkejut.
Dr. Anwar tersenyum dan mengangguk, “Dia sedang dalam masalah. Ayahnya harus dioperasi dan membutuhkan biaya besar. Karena itu, aku langsung teringat dia saat bicara masalah uang. Dia baru lulus SMA dan sedang kuliah, tapi dia pasti mau demi sang ayah.”
William menarik nafas panjang, sementara Anna sedikit cemas. Bagaimana jika gadis itu cantik dan merebut perhatian suaminya? Segala kegalauan terjadi di antara mereka.
“Kau sudah membuat keputusan, maka jangan tanggung-tanggung. Gadis itu pasti mau dan akan melakukan apapun demi ayahnya. Jadi manfaatkan ini. Tidak mudah bukan mencari seorang wanita yang mau hamil anak orang lain?” Dr. Allen terus mempengaruhi William yang merupakan teman baiknya sejak sang pengusaha itu memutuskan tinggal di Indonesia.
“Beri kami waktu.” William mengelus dagu dengan tarikan nafas yang terasa berat.
***
Gadis malang itu duduk kaku di ruangan Dr. Anwar. Dia sudah diberitahu perihal tawaran menjadi ibu pengganti atau istilahnya surrogate, dalam arti lain menyewakan rahim. Pikirannya terus bercabang menimang banyak hal, hingga tak disadari tiga orang telah duduk di hadapan dia.
“Kirana, ini Mr. William Alvaro dan istri, lalu Dr. Allen Edward.” Dr. Anwar mengejutkan sang gadis yang masih menatap kosong.
Kirana segera bangkit dan membungkuk sedikit lalu mengulurkan tangan. Dr. Allen menerima uluran tangannya, lalu William, dan terakhir Anna yang sedikit risih. Tampak jelas dari hanya menyentuh sedikit lengan sang gadis bahkan secara singkat.
Dr. Allen menjelaskan tentang apa itu surrogate, juga prosesnya. Kirana menyimak sebagai orang yang ditawarkan untuk mengandung anak dari pasangan suami istri itu. Dia hanya mengangguk beberapa kali, setiap kali ditanya, “faham tidak?” oleh Dr. Allen yang memang berasal dari luar Indonesia, sama seperti William. Hanya saja, dia menjadi tenaga ahli khusus karena telah berkewarganegaraan Indonesia.
“Kurang lebih seperti itu,” tutup Dr. Allen menatap Kirana yang masih terdiam sedikit menunduk.
Dia masih mengingat-ingat apa yang dikatakan tadi. Bahwa genetik dari bayi itu adalah milik William dan Anna, disatukan dan setelah pembuahan sukses dalam tabung, akan dipindahkan ke rahimnya. Prosesnya bisa lama. Karena itu dia diminta tinggal bersama pasangan ini selama dua tahun.
Dalam kurun waktu itu, jika dalam enam bulan langsung sukses, maka sisa waktu yang ada untuk pemulihan paska operasi caesar nanti. Tapi bisa juga waktu itu ditambah atau dikurangi, tergantung keberhasilan proses pembuahan diluar rahim tersebut.
“Beri saya waktu, bisa?” suara Kirana berat.
William tampak lemas dan mengira gadis itu akan menolak.
“Saya akan memikirkan ini masak-masak. Karena pasti akan berpengaruh dengan masa depan saya. Pendidikan, dan juga Abah pasti bertanya kemana saya selama itu. Alasan apa yang saya berikan, jadi ... tolong beri saya waktu.” Kirana menatap Wiliam lalu Dr. Allen dan terakhir pada Anna yang tampak memainkan matanya seolah kesal.
Setelah pertemuan itu, Kirana memandang Abah yang terbaring lemah. Rasanya salah jika dia menyerah begitu saja pada keadaan. Entah pada siapa sekarang dia minta pendapat, karena sang kekasih sudah hampir tiga hari tidak bisa bertemu. Bahkan surat yang dia kirimkan pada Rega dibuang ibu sang pria di depan mata.
Paman dan Bibi? Rasanya mereka juga belum tentu bisa menjaga rahasia. Bisa saja keceplosan, namanya juga manusia. Kirana menyandar di dinding, lalu menatap kartu nama yang sudah dua hari dia genggam. Nama William Alvaro dan nomor telepon rumah juga kantor ada di sana.
Gadis itu berjalan ke warung telepon tak jauh dari rumah sakit, menekan nomor yang ada di kartu nama. Lalu menggigit bibir bawahnya dengan gugup.
Tak lama, telepon tersambung. Diterima oleh operator di kantor tersebut.
“Hmm, namaku Kirana. Mr. William ...,” Kirana bingung mengatakannya.
“Oh, Kirana. Iya, Anda ada di daftar telepon yang diminta untuk disampaikan padanya. Mohon menunggu sebentar,” ujar operator.
Kirana menarik nafas dalam, memejamkan mata sambil mendengarkan nada tunggu di telepon. Meski dia sedikit gelisah karena angka di layar monitor wartel terus meningkat.
“Hallo.” Suara barito pria di seberang telepon mengejutkan Kirana.
“Hmmm ... Mister, bisa kita bertemu?” tanya Kirana sedikit ragu.
Wiliam bersedia, dia segera menghubungi Anna mengatakan Kirana sudah memberikan respon. Dan mereka akan bertemu di sebuah restoran milik Anna yang berada di daerah Kemang.
“Kau naik taksi saja, biar cepat.” Wililam mengatakan itu ketika Kirana akan menutup telepon. Dengan gontai dia menyetop taksi, dan menunjukkan alamat tujuan.
Selama perjalanan, pikirannya terus berpetualang dengan berbagai prediksi. Dia membayangkan setelah melahirkan anak pasangan itu, dia akan memiliki uang. kemudian uang itu akan dipakai untuk membiayai kuliah yang tertinggal, modal usaha, dan tentu merawat Abah.
Bibi juga tidak akan mengeluh karena akan memberikan banyak uang setiap bulan sebagai gaji dari pekerjaannya. Dia mengaku bekerja sebagai TKW di luar negeri, andai proposal biaya yang dia minta disetujui oleh pasangan yang mengharapkan anak itu.
Taksi berhenti di sebuah restoran mewah dengan pepohonan rindang, dan hujan tiba-tiba saja turun. Kirana mengajak sang sopir masuk ke dalam, dan meminta William membayarkan taksinya. Karena dia tidak memiliki uang meski hanya puluhan ribu saja. Ada, tapi untuk kebutuhan sehari-harinya.
Anna sedikit menyipitkan mata ketika harus membayar taksi yang ditumpangi Kirana. Setelah itu, mereka masuk dan menuju lantai dua dimana tidak ada pelanggan disana. Berbeda dengan Anna, Wiliam sangat ramah dan perhatian. Selalu tersenyum, membuat Kirana lebih nyaman.
“Sayang, tersenyumlah sedikit. Kita membutuhkan bantuan gadis itu.” William memandang Anna yang terus cemberut sejak kedatangan Kirana. Sekarang gadis itu tengah ke toilet.
“Dia yang butuh kita. Uang kita,” jawabnya tendensius.
“Kita sama-sama diuntungkan.” William meraih pundak sang istri dan mengecup bibirnya.
Membuat Kirana menghentikan langkah, karena takut mengganggu kemesraan pasangan itu. Dia jadi teringat Rega, andai dia bisa seperti William dan Anna ... begitu pikirnya.
“Hey, ayo kemari!” William melambaikan tangan.
Kirana tersenyum dan menoleh sedikit kepada Anna yang kini memasang senyuman terpaksa.
“Kita langsung saja ya, jadi ... kau bersedia? Aku ingin kau mengandung untukku. Anakku.” Pria tampan berkuliat putih itu mengulang kalimat untuk memastikan kebersediaan sang gadis.
Kirana menatap William, lalu Anna dengan bergantian.
“Aku bersedia.” Kirana tampak tegang, “Aku bersedia mengandung anak anda. Maksudku, anak Anda dan istri.” Dia mengusap sudut mata yang tiba-tiba saja basah.
“Kau sudah diskusikan ini dengan orang tuamu?” tanya William serius.
Kirana menggeleng, “Abah bisa membunuhku jika tahu. Aku katakan, aku akan menjadi TKW di luar negeri. Kontrak selama dua tahun.” Kembali menyeka pipinya yang basah.
William hanya mengangguk, “Terserah bagaimana baiknya. Nanti kita akan bahas mekanismenya.” Dia melirik sang istri yang sedari tadi diam saja.
Sang gadis membuka buku yang sejak tadi dia genggam. Lalu menatap William dan Anna dengan tegang.
“Aku minta bayaran satu milyar,” katanya tegas.
William dan Anna tercengang.
“Are you crazy? Sebanyak itu ... kau jangan memeras kami mentang-mentang kami membutuhkan rahimmu. Kami bisa cari orang lain jika kau terlalu mahal.”Anna emosi.
William segera meraih jari jemari sang istri, menenangkannya.
“Bisa dikurangi?” goda Wiliam seolah sedang menawar dagangan. Senyum tipis nan manis menenangkan seolah menghilangkan ketegangan di hati Kirana.
Kirana tertawa kecil, “Mister, pertama ... karena aku gadis. Terlalu riskan dan jelas masa depanku jadi pertaruhan. Tapi ya ... karena aku butuh uang. Kedua, karena aku ingin membayar lunas biaya operasi Abah dan juga pemasangan ring di jantung. Lalu, setiap bulan aku harus mengirim uang pada Paman dan Bibi karena mereka yang akan merawat Abah. Gajiku, iya kan? Lalu untuk biaya kuliah yang selama dua tahun terbengkalai karena cuti, sisanya untuk cadangan masa depanku.” Kirana menelan saliva dengan susah payah, “bisa Anda bayangkan jika kelak tidak ada yang mau menikahiku karena mungkin aku dianggap tidak virgin lagi? Maka uang itu akan aku pakai untuk ...,” kembali dia menahan kalimat, “untuk menghadapi masa tuaku. Kalau-kalau aku tetap single sampai tua,” lanjutnya polos.
Membuat Wiliam tersenyum menatap kepolosan sang gadis. Mata bulat, bulu mata lentik dan bibir yang seolah dibentuk oleh penata make-up handal itu –padahal alami—membuatnya sedikit gemas. Tapi juga membuatnya sadar, bahwa sang gadis cukup cerdas memperhitungkan semuanya. Tidak asal demi uang.
“Oke, aku faham. Tapi kau tahu, biaya hidup kita di Hongkong juga besar. Kau ditanggung oleh kami, hmm ... bisakah dikurangi dari nominal itu?” tanya William menatap wajah sang gadis yang kecewa. “Maksudku, baiklah ... andai kehamilanmu baik-baik saja nantinya, maka aku akan menambah uangmu jadi satu setengah milyar, tapi ... aku akan membayar semua jika kau sudah melahirkan. Untuk awal, aku akan membayarmu tiga ratus juta saja. Sebagai uang muka.”
Kirana terdiam, haruskah dia percaya begitu saja? Biaya berobat ayahnya memang hanya dua ratus juta. Tapi bagaimana jika pasangan ini curang?
“Lima ratus juta, untuk jaga-jaga. Kalian orang kaya, bisa saja mencurangi gadis miskin ini,” tegas Kirana.
Anna hampir melontarkan kalimat pedas jika tidak karena Wiliam tertawa keras lebih dulu.
“Kau sangat cerdas! Aku harap anakku kelak akan tertular kecerdasanmu, karena akan mendapatkan asupan makanan melalui dirimu.” William tersenyum senang.
“Cerdas? Culas iya,” gumam Anna, yang seketika dielus pahanya oleh sang suami agar menjaga tutur kata.
“Ok. Deal!” William mengulurkan tangan. Kemudian disambut Kirana, dan untuk pertama kali tangan itu bersentuhan. Tak lama, pengacara dari pihak William datang. Membawa berkas-berkas tentang perjanjian mereka.
Dr. Anwar dan Dr. Allen juga datang kemudian, keduanya menjadi saksi dan bersumpah untuk menjaga rahasia ini. Setelah itu menandatangani surat perjanjian. Begitu juga Kirana, Wiliam dan Anna, ketiganya saling menandatangani surat yang disediakan pengacara. Tentang janji pembayaran dan lain-lainnya.
***
“Teteh! Banyak yang beli!”
Teriakan Bagas membuat Kirana dan William terhenyat dari lamunan mereka. Keduanya jadi salah tingkah, bahkan William tersenyum entah karena apa, sambil memalingkan wajah, lalu kembali menatap Kirana yang tertunduk.
“Aku ... aku harus berjualan.” Kirana tampak gugup terlihat dari tangannya yang berulang kali dia gerakkan tanpa jelas untuk apa.
Sementara William mengangguk, dan sang gadis segera berbalik berniat meninggalkan pria dari masa lalu itu.
“Tunggu!” William meraih tangan Kirana dengan spontan, yang berakhir dengan penolakan dari sang gadis, “maaf,” lanjut William, “bisakah kita bertemu lagi? Ada yang harus kita bahas.”
Kirana kebingungan, dia tidak tahu harus menjawab apa, tapi akhirnya dia mengangguk. Benar, ada banyak hal yang harus mereka bahas seputar anak yang telah dilahirkan Kirana di masa lalu. Statusnya dalam hukum negara dan hukum syariat.
"Aku akan menghubungimu nanti." William tersenyum sementara Kirana hanya kembali memberi anggukan, kemudian menuju ke warungnya.
==========
(side b)
William masih mengamati Kirana dari dalam mobil. Dia masih tak habis pikir, kenapa gadis itu memilih menjadi penjual nasi uduk? Bukan tidak baik atau hina, tapi terasa aneh. Bukankah dulu dia memiliki impian jadi pegawai kantoran atau PNS? Bahkan memiliki semangat besar dalam melanjutkan pendidikan meski tergolong tidak mampu.
Apakah terjadi sesuatu paska melahirkan Rayyan dan kembali kepada keluarganya?
William jadi menebak-nebak banyak hal. Dan apakah Rayyan merasakan keterikatan batin dengan Kirana higga tiba-tiba saja mereka jadi sangat dekat? Ya, satu hal yang pasti bahwa Rayyan adalah anak yang dikandung oleh Kirana di masa lalu. Dan sungguh mengejutkan, jika kemudian mereka bertemu dan akrab meski mungkin belum tahu tentang hubungan mereka sebelumnya.
“Sudah ditegur, Mister?” tanya orang yang selama ini bertugas memata-matai Rayyan.
William hanya mengangguk, lalu meminta sopir segera melajukan kendaraan dan kembali ke rumah.
Rayyan sudah tidur ketika sang ayah tiba. Sementara Anna tengah asik menonton televisi sambil sesekali membalas chat teman-temannya.
“Kau tahu siapa wanita yang selama ini bersama Rayyan?” tanya William ketika sudah duduk di atas ranjang, sedangkan Anna kini tengah memoles wajah dengan krim malam.
“Siapa?”
“Kirana,” jawab William singkat.
Anna menoleh dan menatap William lekat, “Siapa memangnya dia?” sepertinya sang mantan model ini lupa pada wanita yang pernah membantunya.
“Wanita yang mengandung Rayyan selama kurang lebih sembilan bulan,” jawab William lagi.
Anna tertegun, dia menoleh dan menatap William dengan seksama.
“Sepertinya Tuhan marah pada kita, meminta anak ... tapi setelah diberi kita abaikan. Jadilah Dia kembalikan kepada ibu pengandungnya. Begitukah?” William menatap Anna yang terdiam dengan sorot mata tak terbaca.
“Honey ... please, kau tidak sedang menyalahkan aku lagi kan?” Anna sedikit cemberut.
“Aku bicara kita, bukan hanya kau,” jawab William dingin.
Anna hanya mengangkat bahu, tidak memberikan respon lagi. Apapun yang terjadi di masa kini tak terlalu mengusik dirinya, karena fokus kehidupan dia tak lagi soal rumah tangga. Melainkan bagaimana terlihat luar biasa di hadapan rekan-rekannya.
Berbeda dengan suaminya, malam pun dilalui William dengan pikiran yang entah terbang kemana. Mengingat bagaimana polosnya Kirana saat itu. Dan begitu banyak kemiripan dengan Rayyan di masa kini.
Hingga shubuh menjelang, pria satu anak itu seolah tak mampu memejamkan mata. Dia bangkit dari ranjang menuju kamar putranya. Pintu tak terkunci, dan ternyata Rayyan sudah bangun.
“Kau sudah bangun?” tanya William, lalu duduk di sisi ranjang.
“Ya, hari ini aku ada persami. Jadi mempersiapkan kebutuhan selama kemah,” jawab Rayyan.
“Daddy akan antar kau pagi ini, sepertinya seru pergi berkemah.” William mencoba mencairkan suasana.
Rayyan hanya tersenyum, “Kemahnya tetap di kota, Dad. Bumi perkemahan Cibubur.” Rayyan mengambil sajadah dan juga sarung dari lemari, kemudian dia taruh di sofa, “Aku mandi dulu.”
William hanya menganggukkan kepala, lalu menoleh ke arah iPhone Rayyan. Dia baru sadar tidak memiliki kontak Kirana namun dengan enteng mengatakan akan menghubungi sang wanita.
Lalu bagaimana caranya? Dia berniat menemui sang ibu pengganti hari ini.
Sebelum putranya keluar dari kamar mandi, dia segera menulis nomor kontak Kirana. Lalu bersikap seperti tak melakukan apa-apa saat sang putra kembali.
Tak lama Rayyan melakukan shalat shubuh, hal yang tak pernah di lakukan sebelumnya.
“Sebenarnya aku ingin ke mesjid, tapi lumayan jauh dari rumah ini.” Tiba-tiba saja Rayyan berkeluh, “Seseorang bilang, laki-laki tuh shalatnya di mesjid.” Dia kembali menoleh pada sang ayah yang terdiam.
William hanya angkat bahu juga alis, lalu menanyakan seputar kegiatan sekolah dan pelajaran. Berusaha menjadi pendengar yang baik dari putranya yang telah menginjak remaja. Meski tetap saja kekakuan lebih dominan karena sejak lama, memang jarang ada komunikasi. Rayyan dibesarkan dengan uang dan kemewahan, tapi miskin kasih sayang dan cinta kasih orang tua.
***
Kirana baru saja pulang dari pasar. Menurunkan belanjaan, kemudian mandi karena cuaca sudah sangat terik. Setelah mandi dia bersiap ke rumah Ustadzah Maryamah, namun ponselnya terus bergetar tanda pesan whatsapp masuk.
Sebuah nomor tak dikenal mengirim pesan dan tertulis ada lima.
(Hai,)
(Aku ingin bertemu dan membahas soal Rayyan)
(Kemarin aku lupa meminta nomormu, untung aku mengambilnya dari Rayyan)
(Bisa bertemu hari ini?)
(Pastikan segera ya, karena aku harus mengatur jadwalku)
Kirana melihat foto profil dari nomor tersebut. Seorang pria bule dengan kacamata hitam dan kaos ketat menyandar di dinding memamerkan pesonanya.
“Astaghfirullah ...,” Kirana mengusap wajah dan tersenyum sendiri. Dia tahu itu adalah William, tapi tetap saja penasaran melihat foto dengan sejuta pesona itu.
(Hallooo...)
Tulis William lagi ketika pesan yang dia kirim hanya bercentang biru dua. Yang dia ingat, Kirana senang sekali bercanda. Memang beda dengan wanita yang kemarin dia temui. Selain telah menggunakan jilbab, juga tampak lebih pendiam dan menolak kontak mata dengannya.
(Kirana, bisa kita bertemu dan membahas Rayyan?”
William mulai tidak sabar, sedang Kirana masih menimbang-nimbang. Haruskah datang? Tapi sepertinya memang perlu, karena dari apa yang dia baca bahwa anak hasil surrogate sama dengan anak dari ibu yang mengandungnya, meski bukan dari genetik dirinya. Meski ya, jatuhnya adalah zina.
Lagi-lagi Kirana tersentak dan beristighfar. Mengingat itu sangat menyakiti pikirannya. Bahwa dosa itu terus membayanginya, meski kala itu karena ketidak tahuan dan ketidak mampuan.
(Haruskah aku izin Abah untuk mengajak anak gadisnya makan siang?)
Tulis William lagi, membuat Kirana merasakan desiran namun juga ngilu di ulu hati. Dia segera menarik nafas dan menguatkan diri. Lalu mulai mengetik pesan.
(Iya, bisa. Kapan dan di mana?)
Tulisnya.
Balasan dari sang wanita membuat William tersenyum merekah, dia langsung menuliskan alamat. Dan itu masih di restoran yang sama dengan dulu saat melakukan perjanjian.
(Baik.)
Tulis Kirana dengan kaku. Dia bersedia karena pasti Anna juga akan datang kan? Jadi tidak terlalu risih jika hanya mereka berdua. Apalagi William adalah pria beristri sementara dia seorang wanita single.
Tentu tidak elok jika hanya bertemu berdua saja tanpa ditemani mahrom dari salah satu.
Kirana segera menemui Ummi atau Ustadzah Maryamah.
Dia ceritakan semua yang dialami. Mulai dari penolakan Wildan, ya ... dia yakin pada akhirnya pria itu akan menolaknya meski mengatakan meminta waktu untuk berfikir.
Itu hal yang sering dia alami.
Dia juga menceritakan keterkejutannya soal Rayyan, remaja yang tiba-tiba saja datang dan begitu betah bermain di lokasi berjualan.
Dan tak pernah dia duga jika ternyata anak itu adalah hasil dari kisahnya di masa lalu, atau tepatnya anak yang pernah dia kandung.
Ustadzah Maryamah mengangguk-anggukkan kepala, sambil menarik nafas dalam.
“Mister itu sekarang ingin ketemu, Mi. Kirana sudah bersedia, karena paling dia minta saya jauhi anak itu. Agar tidak mengetahui masa lalunya. Dan pertemuan itu juga pasti dengan istrinya. Mereka itu pasangan paling romantis yang pernah saya lihat.” Kirana sedikit menerawang.
“Ya sudah temui saja. Karena anak itu sebenarnya bisa dikatakan anak susuan untukmu atau juga anakmu tapi hasil zina. Tapi namanya anak ya tidak dosa, kalianlah yang telah berdosa. Dan insyaa Alloh kamu sudah bertaubat kan, tinggal bagaimana perlakuanmu pada anak itu.” Ustadzah Maryamah mengemukakan pandangannya.
“Iya, Kirana pernah baca ini, bahwa menurut Bakar Abu Zaid sebagaimana dikutip Yahya Abdurrahman al-Khatib, beliau mengatakan bahwa apabila seorang wanita hamil dari dua benih orang lain, atau dari ovumnya sendiri sedangkan sperma dari laki-laki yang bukan suaminya, maka anak itu adalah anak (hasil) zina yang esensinya sendiri telah diharamkan oleh syara’, sehingga disepakati bahwa puncaknya (anak yang dilahirkan) juga haram. Melahirkan anak dengan cara ini mengandung tiga keburukan, di antaranya anak itu adalah anak zina.” Kirana sedikit bergetar mengatakan itu.
Ustadzah Maryamah mengangguk, “benar. Ini memang rumit, ulama saja berdebat tentang status perwaliannya, sebagian mengatakan tetap pada ayah biologis pemilik sel sperma, sebagaian malah mengatakan hanya sebatas anak angkat. Hhhh ... berat, dan kasian sekali anak itu nantinya,” katanya dengan penuh penyesalan.
Kirana pun sama, terus beristighfar setiap kali teringat akan hal itu.
“Tapi sekarang sudah terjadi, tinggal akan seperti apa kalian nantinya. Bicarakanlah,” tambah Ustadzah Maryamah.
“Ummi bisa menemani Kirana tidak? Biar ada yang bantu jelaskan pada mereka. Jujur sih, Nyonya Anna itu agak jutek, kadang Kirana takut ketemu dia.” Tak biasanya Kirana berkata jujur soal orang lain.
“Ummi lagi ga kuat jalan, Neng. Kamu sendiri sajalah. Kan sudah tahu tentang hukum dan aturannya sekarang mah. Lagian dia sama istrinya,” jawab Ustadzah Maryamah sambil meluruskan kakinya yang sudah tiga hari ini kaku dan kesulitan jalan akibat asam urat.
Kirana mengangguk, dia berencana tidak jualan hari ini. Toh Rayyan juga tidak akan curiga, karena di grup chat mengatakan ikut persami.
Kirana segera kembali ke rumah, lalu shalat dzuhur dan sudah tentu memohon petunjuk Sang Pemilik Dunia. Meminta diberikan keberanian untuk bicara, menemui orang-orang yang pernah ada dalam masa lalunya. Yang menjadi bagian dari nasib di masa lalu namun kini telah berubah menjadi takdir.
Masa itu dia masih bisa mengubah keadaan, tapi memilih mengambil jalan cepat untuk mendapatkan uang. Yang berakhir pada takdir yang memilukan, karena toh tetap saja Abah pergi bahkan menyisakan luka yang amat membekas di hati. Rasa bersalah, penyesalan, ketakutan dan bayang-bayang dosa yang dianggap dari salah satu dosa besar.
Kirana menitikkan air mata, mengingat betapa besar beban mental dan rasa sesal yang dia rasakan saat ini. Kemudian dia bersujud, hanya isakan yang terdengar.
***
Sejak keputusannya meninggalkan Kirana pasca pengakuan mengejutkan itu, Wildan jadi pendiam. Pertanyaan orang tuanya sering diabaikan. Jika ditanya soal Kirana selalu menjawab, “masih sama-sama cari jawaban.” Lalu pergi entah kemana, menghindari pembahasan. Dia sendiri tidak berani berterus terang tentang masa lalu wanita yang ingin dia nikahi pada orang tuanya.
Masih ada kegamangan di dada, antara menyesalkan yang berujung ingin membatalkan rencana pernikahan, namun tak bisa dipungkiri ... hatinya telah terlanjut jatuh cinta. Terlanjur memuja dan mendamba si pemilik mata bulat dengan bulu lentik itu.
“Ujian macam apa ini? Sekalinya suka banget, ada saja halangannya,” keluhnya saat tengah menilai tugas-tugas siswanya, “tapi kenapa berat banget ninggalin dia. Atau mungkin ... dia akan jadi ujian untuk akhirat saya? Ujian karena masa lalunya, dan kenikmatan dunia karena dia adalah wanita yang cantik. Duh!” Wildan memukul kepalanya karena terlalu jauh membayangkan kecantikan sang calon istri.
Bahkan dia membayangkan surrogate yang dilakukan seperti apa? Apa Kirana hanya menampung janin hasil fertilasi pasangan itu? Atau justru melakukan cara kedua, yaitu yang jelas-jelas tindakan haram dengan menjadi teman tidur si pria.
Wildan mengacak rambutnya kasar. Baru kali ini dia tidak bisa konsentrasi bekerja, karena memikirkan wanita. Akhirnya, dia menutup semua lembar tugas siswa. Memilih menjalankan shalat istikharah untuk memohon petunjuk. Siapa tahu, datangnya cepat. Dan dia dapat segera memutuskan pilihan yang harus diambil.
***
Kirana memarkirkan motor Honda Scoopy merah miliknya di pelataran parkir sebuah restoran mewah. Bangunannya banyak berubah, lebih elegan namun tetap asri karena banyak pepohonan. Dia sibuk membuka helm lalu memandang sekitar, mengagumi kecantikan tempat itu. Hingga tak sadar seorang pria tengah mengawasinya dari lantai atas.
Senyum William terus terukir, entah kenapa dia sedikit gugup bertemu Kirana yang sekarang. Kirana yang tampak lebih dewasa dan tak jarang aura keibuannya muncul. Entah memang begitu, atau hanya perasaan Wiliam sendiri, mengingat hanya dia yang tahu bahwa wanita ini pernah mengandung.
“Permisi, saya tamunya Mr. William.” Kirana menemui pelayan restoran di pintu utama.
“Mba Kirana?” tanya sang pelayan sopan.
“Iya,” jawab Kirana sambil menganggukan kepala.
Suasana restoran cukup ramai siang ini karena di jam istirahat. Kirana diantar menuju lantai dua, ah tidak ... lantai dua terlewati begitu saja, tapi sepertinya bangunan ini hanya dua lantai. Lalu mau diajak kemana?
Ternyata meski hanya dua lantai, atap restoran ini penuh dengan fasilitas yang tak pernah disangka orang.
Di sana ada juga kursi dan meja makan namun dengan nuansa terbuka. Angin dapat dengan bebas menerpa siapa saja yang duduk di sana.
Dan andai hujan, mungkin sama akan kebasahan.
Tampak seorang pria membelakangi arah kedatangan Kirana, dengan kemeja putih dan celana bahan hitam menampakkan sisi maskulin dikarenakan tubuhnya yang tegap dan punggung yang bidang.
Sang pelayan menemui tuannya, lalu pria itu berbalik dan tersenyum memamerkan pesona yang semakin menarik perhatian semua kaum hawa di usia puber keduanya.
Mendekat dengan mengunci pandangan pada sang wanita yang masih menunduk dan memalingkan pandangan ke arah lain.
Kini keduanya kembali berhadapan, namun masih saling membisu bagai kelu. Hingga sang wanita mengangkat wajah dan mengedarkan pandangan ke sekitar.
“Nyonya Anna? Tidak kelihatan?” tanyanya dengan suara yang sangat lembut.
William menggigit bibir bawah dengan tatapan tak terbaca, “Dia sangat sibuk. Jadi tidak bisa datang,” jawabnya sambil berjalan ke meja yang penuh hidangan. Kemudian menarik satu kursi ke belakang, sedikit.
“Silahkan duduk.” Dia menatap Kirana yang terdiam.
“Tapi, sepertinya tidak enak jika hanya kita berdua. Maksudku ...,”
“Aku tahu, Kirana sekarang beda dengan yang dulu ... sepertinya,” ujar William dengan senyuman terbaik, “ada pelayan di sebelah sana. Kita tidak sedang berduaan, apalagi kencan,” godanya, membuat Kirana salah tingkah karena malu.
Kirana duduk, begitu juga William. Mereka berhadapan, dengan meja penuh hidangan. Dan tunggu! Semua yang tersaji tampak tak asing bagi Kirana. Salad buah, asinan, kepiting saus padang, tumis okra bahkan bajigur yang pasti bukan dari bagian menu di restoran ini pun ada.
William mengamati keheranan wanita di hadapannya, “Ini semua makanan yang kau sukai saat sedang mengandung Rayyan,” katanya dengan penuh rasa bangga.
Padahal Kirana seolah merasakan kembali luka yang amat dia hindari. Dengan menunduk, dia berusaha menyembunyikan penyesalan akan masa lalu.
“Silahkan, aku sengaja menyiapkan ini ... sebagai bagian dari terima kasihku.” William menatap Kirana yang terus tertunduk.
“Maaf, aku sedang shaum,” ujar Kirana sedikit terbata. Jelas, dia merasa sedih mengingat masa-masa itu.
“Oh, tapi ... puasa apa? Ini hari sabtu?” William heran. Meski tidak rajin berpuasa, bule tampan ini tahu bahwa biasanya puasa dilakukan di bulan Ramadhan dan jika sunah di senin dan kamis.
“Puasa ganti,” jawab Kirana singkat.
“Ow, maaf.” William tersenyum, lalu melambai pada para pelayan, “ tolong masukan semua makanan ini. Nona ini sedang puasa, kami tidak jadi makan bersama.” William memerintahkan anak buahnya. Segera, mereka mengangkat semua hidangan yang ada. Lalu membawanya ke dapur.
“Wait, Rendi!” dia menghentikan langkah pria yang dia panggil dengan nama Rendi, “Tolong bungkus makanan itu. Biar nanti dibawa saja. Buat buka puasa.” Sang pria melirik lagi pada wanita yang kini melebarkan mata bulatnya yang indah.
“Tidak perlu, itu kebanyakan,” tolak Kirana bingung, “Dibungkus per porsi saja kalau gitu. Bisa dibagikan ke kaum dhuafa,” lanjut Kirana sedikit ragu.
“Kamu benar-benar berubah, lebih alim.” William tersenyum menatap Kirana yang malah menunduk lagi. Membuat William semakin penasaran.
Tunggu! Kenapa penasaran? Bahkan William merasa begitu nyaman bersama wania ini. Sejak dulu, sejak dia hidup serumah demi menjaga anak yang ada di rahimnya.
Tawa yang dulu hanya ada bersama Anna, kini seolah sirna ketika bertemu istrinya itu. Dan kembali hadir saat dia menatap Kirana.
“Jadi, tujuan memanggilku kemari?” Kirana segera membahas fokus pertemuan. Dia tak ingin semakin terjadi obrolan-obrolan yang malah membuat rasa dekat di antara mereka.
“Ah, iya. Aku hampir lupa.” William kembali memamerkan senyuman terbaik. Meski sang wanita tak pernah memandang ke arah wajahnya.
“Jika Anda berharap aku menjauhi Rayyan, sejujurnya kami memang tidak tahu sebelumnya kalau dia anak yang kukandung. Aku baru mengetahui itu saat bertemu dengan Anda kemarin.” Kirana langsung pada inti pembicaraan.
William terdiam, lalu menarik nafas panjang, “Aku tidak berniat menjauhkan kalian. Hanya bertanya, apa Rayyan menyukuimu?”
Pertanyaan William membuat Kirana terbelalak dan spontan menatap ayah dari Rayyan. Hingga mata mereka bertemu dan saling terkunci.
“Apa? Ya ampuuun ...,” Kiran menahan tawa, “memangnya aku pedofil?” wanita itu sedikit menahan tawa dengan memegangi kening sambil menunduk.
“Hahahaha ....” William justru tertawa geli sekali mendengar kata pedofil, lalu dia kembali melanjutkan kalimat, “bukan, tapi aku hanya khawatir karena kalian dekat sekali. Bahkan Rayyan menulis namamu dengan sebutan Teteh Cantik. Wajar aku cemas, karena ... kalian-“ William tak melanjutkan kata-katanya.
“Mungkin dia hanya merasa nyaman, karena ada Bagas.” Kirana berusaha tidak lagi tertawa seperti tadi di depan lawan jenisnya yang sama-sama dewasa.
“Bagas? Apa dia anakmu? Atau adikmu?” tanya William dengan penuh selidik.
“Sepupu,” jawab Kirana singkat.
“Oh .... Tapi bagiku, semua ini seolah hukuman untukku. Dulu, aku begitu menginginkan dia, setelah ada ... kami malah sibuk tidak karuan, dia kesepian. Lalu Tuhan mengirim anak itu padamu, lagi. Dia begitu nyaman bersamamu meski belum tahu kau ibu pengandungnya.”
Kirana diam saja, dia pun sempat berfikir demikian semalam. Aneh memang, setelah sekian lama berpisah—berjuahan—supaya tidak diketahui rahasia ini. Tiba-tiba saja bertemu dan terjalin hubungan sangat baik.
Masih ingat bagaimana awal pertemuan itu, Rayyan benar-benar hadir di saat hujan, lalu terjatuh tertabrak Wildan di dekat warungnya. Menjadikan mereka semakin dekat paska pertemuan ke dua itu.
“Kau sudah menikah? Kenapa berjualan di pinggir jalan? Maksudku ... bukankah dulu kau seorang mahasiswi cerdas dengan cita-cita setinggi langit?” tanya William dengan penuh rasa penasaran.
“Maaf, jika bahasannya sudah selesai, aku harus pulang.” Kirana enggan membahas kisah hidupnya pasca menyewakan rahim.
“Kirana, jangan sembunyikan masalahmu. Semua ini terjadi karena aku. Sekarang kita saling terikat.” William mengejutkan Kirana dengan kalimatnya, “Suka tidak suka, kau dan aku terikat oleh anak kita.”
Kirana menatap Wiliam dengan kerutan di keningnya, “anak kita?”
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel