(side a)
Canda tawa selalu terdengar dari deretan warung tenda pinggir jalan. Terlebih Rayyan selalu menyanyikan lagu setiap kali banyak pembeli yang datang dan makan. Dengan gitar yang baru dibelinya, dia bersenandung menghibur siapa saja. Menerima recehan sebagai imbalan.
Pengamen ganteng.
Itu kata sebagian orang yang datang dan makan. Meski Kirana keberatan dengan aktifitas remaja itu di sana, tapi dia tak punya pilhan lain. Terlebih ketika Rayyan mengatakan, "Kalau teteh keberatan aku disini, anggap aja aku memang pengamen wilayah ini," katanya dengan cuek.
Membuat Kirana tak punya pilihan lain selain membiarkan anak orang kaya itu tetap disana.
"Keamanan ... uang keamanan!"
Seorang pria bercelana robek bagian lutut dan tatoo di beberapa bagian tubuh menghampiri semua penjual. Mereka menyerahkan uang dua puluh ribu sebagai uang keamanan pada preman yang menguasai wilayah itu.
"Hai Teteh Cantik, kamu nggak usah bayar. Asal mau sama Bang Bento ini lah." Pria bernama Bento itu mengedipkan mata pada Kirana yang terus saja menunduk.
"Ambil uangnya, Bang. Makasih ya." Kirana tak peduli dengan godaan si Pemalak rutin itu.
"Ah kau selalu saja malu dan membuat aku makin cinta," godanya.
Padahal Kirana sudah sangat sopan padanya, juga penampilan Kirana yang berjilbab umumnya seharusnya tak menarik di mata pria-pria pengganggu. Namun ... entah kenapa si Bento ini senang sekali menggoda Kirana yang selalu bersikap sopan pada siapa saja.
"Sekali-kali kerasin lah, kebiasaan," ujar Bagas setiap kali preman itu datang.
Tapi Kirana tidak mau ribut, memilih membiarkan pria kurang ajar itu cengengesan tak jelas. Karena sesungguhnya Kirana juga takut andai bersikap keras. Karena itu dia memilih tetap sopan tapi menjaga jarak.
"Hey, kau anak bule sejak kapan ngamen disini? Mana uang kemanannya?" Bento mendekati Rayyan yang tengah bersenandung dengan indah.
"Keamanan apa?" Rayyan heran dan menatap tajam si Bento.
"Kasih aja Ray, daripada ribut," bisik Bagas.
Rayyan mengeluarkan uang dua puluh ribu yang baru saja dia dapat hari ini.
"Kau spesial, lima puluh ribu. Mana ada bule miskin." Bento menatap Rayyan dari atas hingga bawah.
Kirana mulai tidak tenang, dia takut Rayyan diperas oleh preman tak tahu diri itu.
"Bung, bisa jauhi dia?" Wildan berjalan ke arah Rayyan dan Bento yang tengah adu mulut, "masa nggak malu minta uang sama anak kecil." Pria lemah lembut itu menepuk pundak Bento yang jelas tidak senang dengan kehadirannya.
Bento sudah tahu kalau Wildan menyukai Kirana bahkan sudah melamar.
"Gue cuma ngerjain anak ini aja, nggak usah sok keren deh lo ya. Ini wilayah kekuasaan gue, kalau gue mau, Lu bisa gue bikin bonyok." Bento berlalu dengan penuh kekesalan.
Sementara Wildan dan Rayyan kembali ke warung Kirana, yang mana si empunya warung sejak tadi cemas melihat Rayyan hampir diperas. Beruntung Wildan datang, dan bisa dimintai bantuan.
"Kamu ini sebenarnya anak mana? Kok bisa sering disini?" tanya Wildan menepuk pundak Rayyan yang duduk di sisinya.
"Aku juga nggak tahu, Om. Turun dari langit kali, apa lahir dari belahan batu," jawab Rayyan asal.
"Eh, nggak boleh seperti itu. Orang tuamu pasti sayang kamu lho. Nggak ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya. Hanya ... mungkin cara penyampaiannya yang tidak sesuai dengan harapan si anak." Wildan menatap Rayyan yang tertegun.
"Dad and Mom hampir tak pernah punya waktu untukku." Rayyan akhirnya buka suara.
"Itu bukan berarti mereka tidak sayang, Rayyan. Mungkin dalam pandangan mereka, memberimu uang dan fasilitas mewah adalah tanda sayang. Meski itu memang salah." Wildan menatap manik mata Rayyan yang juga menatap dirinya.
Sementara Kirana tersenyum dari dalam warung, melihat bagaimana Wildan begitu penyayang dan bisa dikatakan memiliki naluri kebapak-an yang alamiah. Mungkin karena dia seorang guru. Jadi sudah terbiasa menghadapi berbagai karakter anak murid, dan itu membuat Kirana memiliki nilai plus untuk berusaha mempertahankan hubungan yang terjalin kemarin, untuk benar-benar diresmikan pada pernikahan.
"Kau hanya harus mengatakan pada orang tuamu, apa keinginanmu. Sudah?" tanya Wildan lagi.
"Of course, Dad bilang akan mencoba berubah. Sementara Mommy ... selalu jawab busy, busy and busy." Rayyan menarik nafas dalam, "tapi kadang Dad seperti tidak bahagia melihatku. Dia seperti ingin menangis ketika kami berdua saja. Kadang aku bertanya ... adakah rahasia tentangku? Atau jangan-jangan aku bukan anak mereka?" napas remaja itu tampak sedih. Dia sering merasakan ayahnya—William seolah tidak bahagia akan kehadirannya.
Di sudut lain, Kirana terus mengawasi Rayyan dan Wildan yang serius berbicara memecahkan masalah yang dialami remaja belasan tahun itu. Sampai-sampai dia tak mendengar panggilan Bagas.
"Beuh! Pandangin aja terus, katanya dosa. Beuh! Hoax!" omel Bagas yang membuat Kirana terkejut dan menoleh pada sepupunya yang sedang bertolak pinggang.
"Cuma lihatin Rayyan." Kirana mendelik meski dengan rona malu.
"Halah, sekali mendayung satu dua tiga pulau terlampaui. Itu kali ya artinya ... lihatin si Rayyan sekalian nikmatin kegantengan yang sebelah si Rayyan juga," kekeh Bagas membuat Kirana memukul punggung bocah bawel itu dengan tutup toples kerupuk.
"Sana antar makanan buat mereka!" titah Kirana mencoba mengalihkan perasaan yang bermunculan di hatinya.
"Dih, situ aja. Kan ada alasan buat ngobrol nantinya," sindir Bagas, "Mas Wildan mau makan dulu? Tehnya mau manis apa tawar? Manisnya lihat neng aja." Bagas meniru gaya perempuan, membuat Kirana murka dan benar-benar menjewer telinganya.
Sontak saja remaja itu menjerit, membuat Wildan dan Rayyan langsung menoleh ke arah suara. Lalu memandang Kirana yang tak biasanya berwajah killer sambil menjewer telinga sepupunya.
Akhirnya keduanya berbaur ke meja dimana Wildan dan Rayyan berada. Makan bersama bahkan tampak seperti sepasang suami istri yang telah memiliki dua anak kembar yang tak identik. Rayyan tampak bahagia berada di antara Kirana dan Wildan, pasangan yang baru menjalin hubungan tapi sudah dipastikan akan menentukan tanggal pernikahan minggu depan.
Sejak saat itu, Wildan tidak mampu menahan rasa rindu pada calon istrinya. Hingga sering datang ke warung, karena disana banyak orang dan juga ada keponakan laki-laki Kirana. Jadi tidak tampak hanya berduaan saja. Dan memang tidak pernah duduk berduaan. Selalu berempat seperti keluarga bahagia sejahtera. Dua anak saja cukup.
Hingga pada suatu sore Kirana meminta Bagas dan Rayyan menjauh dulu untuk beberapa saat. Karena ada yang ingin dia bicarakan berdua saja.
"Hati-hati, kalau berduaan yang ketiganya setan," ledek Bagas sambil tertawa geli bersama Rayyan. Padahal jelas, Rayyan tak faham artinya. Dia hanya ikut menggoda saja.
Wildan hanya tersenyum sambil menoleh ke arah Kirana yang masih menunduk lemah, "Memang mau bicara apa? Kok sampe harus berdua aja? Bener, nanti jelek dilihat orang lain juga."
Kirana mengangguk lemah, "Iya, tapi jujur, aku nggak siap kalau orang lain juga tahu," jawabnya pelan.
Wildan semakin penasaran, dia kembali melirik pada wanita yang kini tampak menerawang jauh.
"Mas Wildan serius mau menikahiku?" tanya Kirana akhirnya.
"Serius. Dan Ustadzah Maryamah bilang, kamu wanita yang baik dan pasti akan jadi istri dan ibu yang baik juga. Abi dan Umi juga setuju. Jadi aku serius," jawab Wildan panjang lebar.
"Masalahnya ...," Kirana menggantung kalimat, "Mas tahu kan? Setiap orang punya masa lalu. Dan aku pun sama, apalagi masa laluku tidaklah ... baik, maksudnya sekarang juga belum baik sih. Tapi dulu lebih banyak salahnya." Kirana mulai bingung memulai kalimat dari mana. Haruskah langsung jujur? Atau mencari secercah harapan bahwa Wildan tak ingin tahu masa lalunya dan akan menerima dia apa adanya?
Lama, keduanya saling diam. Kirana begitu takut mengutarakan tentang sewa rahim yang dia jalani. Bukan tanpa alasan, karena sudah lebih dari sepuluh kali lamaran padanya berakhir dengan ketidakpastian bahkan penolakan secara terang-terangan. Jika hanya mengatakan tidak bisa menerima masa lalunya, itu hal wajar dan bisa dimaklumi. Namun ada beberapa dari mereka dengan tegas memaki dirinya sebagai 'pelacur' kelas atas. Atau bahkan pezina teknologi.
Tidak bisa dipungkiri, ada trauma tersendiri ketika harus mengatakan masa lalu pada pria yang melamarnya. Tak terkecuali pada Wildan, pria yang telah membuat dirinya memiliki harapan, bahkan hadir sebagai pria impian. Meskipun pada akhirnya memberikan ketakutan tersendiri jikalau akan mengalami hal sama yaitu penolakan dan pembatalan pernikahan.
"Mau sampai kapan melamunnya? Ini sudah lima menitan lho." Wildan terkekeh pelan. Membuat Kirana semakin berdebar.
Keringat dingin di tangan begitu sulit dihilangkan meski dengan menggosokkan kedua tangannya, bahkan jantungnya terus berdegup berkali-kali lipat dari normal. Berulang kali dia atur ulang dengan tarikan dan membuang nafas secara perlahan.
"Mas Wildan, tahu tentang surrogate tidak?" tanyanya dengan gugup dan gemetar.
"Pernah dengar, tapi tidak terlalu mengerti." Wildan menoleh dan menatap Kirana yang gugup, "hanya yang saya tahu, hukumnya masih belum jelas. Tapi banyak ulama yang menentang dan mengharamkannya. Sebagian menilai sebagai zina jika dilakukan seorang gadis," tembak Wildan seolah mulai mengerti arah pembicaraan.
"Mas benar, dan aku salah satu yang pernah terlibat dengan dosa itu. Aku pernah menyewakan rahimku di masa lalu. Karena-"
"Astaghfirullah ... kamu nggak lagi bercanda kan?" Wildan memotong kalimat yang meluncur dari bibir calon istrinya. Tatapan tajam terasa menusuk langsung ke jantung Kirana yang mulai gugup.
Wildan kembali memalingkan wajah dari calon istrinya, menarik nafas panjang tangannya sedikit gemetar. Kekalutan tampak jelas di wajah putihnya.
"Kamu serius nggak bercanda?" tanya Wildan lagi.
Kirana menggeleng perlahan, "Aku tidak ingin ada rahasia diantara kita, Mas. Makanya memilih jujur dengan masa laluku ini," tambahnya lagi.
"Meskipun membuat aku ragu dan ...-" Wildan tak melanjutkan kalimatnya.
Sekarang Kirana yang tampak gemetar ketika menggerakkan kedua tangannya, gelisah, bahkan bibirnya pun bergetar. Berulang kali mengerjapkan mata, seolah menahan derasnya air yang mungkin akan merobohkan bendungan ketabahan di sudut mata.
"Aku sudah terbiasa, Mas. Nggak papa," katanya pelan. Dengan suara sedikit terbata. Jelas, dia merasa sedih. Karena kemarin, dia mulai merasakan bahwa Wildan adalah pria yang sangat layak mendampingi dirinya.
"Maafkan aku, Kirana. Aku masih bingung, kamu tahu kan kalau itu dilarang baik secara undang-undang apalagi agama kita?" tanya Wildan lagi. Seolah masih tak percaya dengan apa yang dia dengar.
Ya, seorang wanita lugu bahkan sangat lemah lembut dan dikenal baik juga taat, tak disangka memiliki masa lalu yang sangat sulit dia diterima. Memang yang bersangkutan sudah berubah, sudah taubat, mengakui kesalahan dan tentu menyesal. Tapi ... bukan berarti begitu mudah ia terima.
"Ya, saat itu aku tidak tahu. Tapi ... jika karena itu kamu jadi ragu dan berniat membatalkan lamaran ini, aku akan menerima. Ini sudah biasa terjadi padaku, ada banyak pria yang melamarku dan kemudian membatalkan setelah mengetahui masa laluku." Kirana meremas ujung jilbab sebelah kiri untuk menahan buncahan kesedihan yang dia rasakan saat mengatakan itu, "Mas Wildan jangan menerima aku karena iba," lanjutnya dengan tetap mengepalkan tangan menahan sakit di dada.
Wildan memejamkan mata beberapa saat, berusaha mencari jawaban yang pasti akan perasaan dan pikirannya yang mulai saling berkelahi, beradu argumen dan tak lagi sinkron satu sama lain. Bahwa dia juga sadar, Kirana telah berubah, tapi tak bisa dipungkiri bahwa pengakuan calon istrinya ini sangat menyakitinya. Karena berarti Kirana sudah memiliki anak, meski dari genetik orang lain.
Dalam hukum negara dan hukum agama, status anak hasil sewa rahim adalah anak kandung ibu yang mengandungnya. Sebagai anak diluar pernikahan.
Itulah rumitnya, membuat Wildan bingung mengambil keputusan.
"Maafkan aku," Wildan buka suara lagi. Sementara Kirana memejamkan mata dengan erat, berusaha menahan desakan air yang ingin mengalir deras dari mata.
"Beri aku waktu untuk memikirkan dan mengkaji lagi hubungan ini. Aku harap kamu mengerti dan tidak tersinggung," lanjut Wildan dengan melirik sesaat ke arah calon istrinya yang kini menunduk kaku.
Dengan susah payah Kirana mengangguk pelan, "Aku faham," jawabnya singkat.
"Aku pamit dulu, assalaamu'alaikum." Wildan bangkit meski dengan berat, terlihat dari dia kembali melirik ke arah wanita yang masih duduk membeku bahkan jawaban dari salamnya hampir tak terdengar.
Dari jauh, Rayyan mengamati Kirana dan Wildan yang tampak kaku bahkan berulang kali wanita itu berusaha menahan tangis. Terlihat dari jari-jarinya yang kaku. Dengan penasaran dia mendekati Bagas yang sedang sibuk mencuci beberapa piring dan gelas di samping warung.
"Gas, kenapa Teh Kirana dan Om Wildan jadi kaku gitu? Bahkan Om Wildan pergi dan sekarang Teh Kirana kaya nangis?" tanya Rayyan dengan serius.
"Dah nggak aneh. Mungkin Om Wildan pria ke sekian ... hmmm ke dua belas kali ya yang membatalkan lamaran buat Teh Kirana," jawab Bagas cuek.
"Aku tidak mengerti." Rayyan menatap Bagas serius.
"Aku juga nggak tahu kenapa, tapi tiap kali Teh Kirana cerita masa lalu pada pria-pria yang melamarnya, pasti berakhir dengan pembatalan lamaran juga pernikahan. Aku tanya Mak juga dia nggak jawab, katanya bukan urusan anak kecil." Bagas menghentikan aktifitas mencucinya.
Sementara Rayyan, menatap wanita yang kini tampak terisak karena bahunya tampak berguncang. Berulang kali wanita yang dia sebut dengan panggilan teteh cantik itu mengusap pipinya.
"Apa dia selalu menangis seperti itu setiap kali para pria menolaknya?" tanyanya lagi dengan serius.
"Nggak juga sih, baru kali ini deh dia sampe sedih begitu. Mungkin dia dah punya rasa suka juga sama Om Wildan," jawab Bagas sembari menoleh ke arah sepupunya yang masih menunduk sendirian di bawah pohon rindang.
Rayyan berjalan dengan tatapan terus menatap wanita berjilbab yang kini sedang mengobati rasa sedih di hatinya. Berdiri di depan Kirana, lalu duduk dan menatap wanita yang sibuk menyeka sudut mata dengan jari-jarinya bergantian.
"Aku akan selalu menjagamu," ujar Rayyan menatap Kirana dengan dalam. Membuat Kirana tersentak dan mengangkat wajah yang akhirnya dapat dilihat matanya basah bahkan merah.
"Kamu ngomong apa?" sebaris senyum terlihat dari wajah penuh duka itu.
Rayyan mengerjapkan mata berulang, dia sendiri seolah tak sadar apa yang baru saja dia katakan. Tapi dia juga ingat apa yang baru dia lontarkan pada wanita di hadapannya.
"Entahlah, tapi ... tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibir aku, Teh. Aneh aku juga hehe," katanya dengan tawa kecil.
Kirana tersenyum dan mengelus punggung tangan kiri Rayyan, "Sudah sore. Pulang sana, nanti orang tuamu mencarimu."
"Teteh baik-baik saja kan? I'm so ...-"
"I'm okay, bener nggak bahasanya? Hihi ... udah lama nggak ngomong Inggris." Kirana tertawa dalam keterpaksaan.
Rayyan membalas senyuman itu, lalu bangkit dan berniat pulang. Tapi dia kembali ke kursi dimana Kirana berada.
"Teh, aku pernah membaca sebuah pepatah. Bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk seorang pria, dan dia akan menikah dengan pria itu. Entah benar atau tidak, tapi percayalah ... jika Om Wildan adalah pemilik tulang rusuk itu, teteh akan kembali ke dia kok. Hehe maaf sok tahu," katanya segera memakai topi lalu pamitan pada Kirana yang hanya memberi anggukan.
Mereka tak sadar, sedari tadi ada dua pasang mata yang terus mengawasi. Bahkan pria pertama sudah tidak sabar ingin turun dari mobil dan menemui dua pasangan yang beda usia itu.
Ya, di mata William ... Kirana dan Rayyan adalah pasangan kekasih. Dan dia tak menginginkan itu terjadi.
"Sabar Mister, nanti Den Rayyan malah marah kalau main labrak di depan dia." Anak buah William tampak menenangkan tuannya.
William menarik nafas panjang, mengamati gerak gerik putra semata wayangnya yang sempat memegang lengan wanita itu. Oh romantis bukan? Sejak kapan anak remajanya bisa melakukan adegan manis seperti itu? Bahkan dia tak pernah melihat adegan itu dilakukan olehnya pada sang istri. Belajar dimana dia? Film? Ah memang bisa dari internet. Bukankah akses sosial media dan dunia cyber bisa dengan mudah diakses siapa saja?
Pria bule itu semakin gelisah ketika melihat putranya tak lagi naik motor sport mahal yang dia berikan. Tapi naik angkutan umum—transjakarta. Bahkan jalan kaki menuju halte yang jaraknya cukup jauh dari lokasi warung-warung tenda tersebut.
Setelah Rayyan tak terlihat, William segera turun dari Range Rover hitam miliknya, lalu mendekati Kirana yang masih terdiam membelakangi arah kedatangan pria yang pernah hadir di masa lalunya.
William mengatur nafas dengan berat, menatap wanita berjilbab pink dusty yang masih memainkan jari jemarinya. Mencari kalimat pembuka yang efektif, dan akhirnya ....
"Jauhi putraku!" katanya tanpa basa basi.
Kirana tertegun, dia mengernyitkan alis karena tidak tahu maksud kalimat itu untuk siapa, yang paling membuat dia heran, karena seperti mengenali suara itu. Suara yang dulu sering ia dengar, bahkan bersenandung kala kesulitan tidur karena perutnya yang semakin besar.
"Tidakkah Anda sadar dia terlalu kecil untuk wanita dewasa sepertimu, Nona? Kumohon ... jangan cuci otak putraku, dia masih sangat polos. Jadi please ... jangan-"
William tak sempat melanjutkan kalimat berikutnya, karena Kirana sudah menoleh. Keduanya saling tertegun, saling diam dalam pandangan yang terkunci. Hampir tidak percaya dengan apa yang mereka lihat dari diri masing-masing.
Setelah sekian tahun berlalu dari pertemuan terakhir mereka di rumah sakit, sesaat setelah Kirana melahirkan anak untuk William. Kini setelah dua belas tahun berlalu, mereka kembali bertemu dengan cara yang tak pernah mereka duga.
Kirana, tentu bukan gadis lugu dan centil yang masih suka memakai hotpants seperti dulu. Dan William, kini semakin dewasa sebagai pria yang jelas sangat maskulin, menonjolkan sisi seorang ayah yang selalu melindungi anaknya.
"Kirana?"
Suara William hampir tak terdengar saat menyebut nama itu. Sementara Kirana sedikit goyah dan hampir jatuh karena terkejut, sungguh tak pernah menduga akan bertemu lagi dengan pria yang telah menjadikan sebab atas perubahan dalam alur hidupnya kini. Air mata yang belum sempat mengering kini kembali mendesak untuk keluar.
Tangan William terhulur, hendak mengelus kepala gadis manis yang dulu sangat dia sayangi dan kagumi. Namun gerakannya terhenti saat menyadari sebuah penghalang berwarna pink dusty melekat di kepala sang wanita.
Untuk sesaat, keduanya seolah tengah berlari menerobos lorong waktu ke masa silam. Masa dimana mereka pertama kali berjumpa dan awal mula William kehilangan ketenangan dalam hidupnya, meski telah memiliki apa yang dia impikan, yaitu istri dan anak.
==========
(side b)
*Kurang lebih 14 tahun lalu*
Seorang gadis berlari dengan tawa mengembang di bibir, sepatu kets putih dan jeans navy melekat di kaki. Kemudian t-shirt pink dan topi berwarna putih juga mempercantik penampilannya. Tangannya menggenggam erat sebuah amplop putih yang baru saja dia dapatkan. Bahkan senyum bahagia itu semakin merekah saat melihat pria berkaos abu tua tengah bertolak pinggang di pinggir danau.
"Kejutan!" Dia memeluk sang pria dengan melompat ke punggungnya.
"Lama banget, aku dah hampir satu jam disini," protes pria itu.
"Maaf, Rega. Tadi habis antar Abah ke rumah sakit dulu, terus pas mau kesini ada surat. Tau ga dari siapa?" tanyanya dengan mata berbinar. Menatap manis pada sang kekasih yang kecewa karena menunggu lama.
"Au ...!" jawab kekasihnya yang bernama Rega dengan wajah ketus.
"Aku dapat pekerjaan! Keren nggak?" gadis manis bermata bulat itu tak memperdulikan rasa kesal kekasihnya.
Dia adalah Kirana yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Begitu lulus langsung melamar sebuah pekerjaan untuk membantu ekonomi orang tuanya. Meski dia sendiri telah diterima untuk melanjutkan pendidikan di sebuah universitas negeri dengan jalur SPMB dan akan mengikuti serangkaian tes untuk beasiswa juga.
"Kok kamu nggak seneng, Ga?" wajah bahagia itu sirna tatkala sang kekasih tetap saja datar menanggapi kebahagiaannya.
"Seneng lah, boleh cium donk buat merayakan?" godanya dengan berusaha tersenyum.
"Ya nggak boleh lah, kata Abah ... cowok itu kalo udah minta cium sekali pasti minta lagi. Pertama sih cuma kening, terus minta pipi, lama-lama bibir. Setelah itu makin jauh lagi," celoteh Kirana dengan polos.
"Jadi karena itu Abah kamu nggak ngijinin kita pacaran ya? Padahal aku tuh cinta beneran sama kamu. Cuma ya kita kan masih kecil, maksudku masih belum pantas nikah." Rega tampak tak suka dengan paparan kekasih hatinya.
"Ngomong gitu sama Abah bakal dijawab, sadar masih kecil dan nggak siap nikah ... ngapain pacaran? Hihihi." Kirana menaruh lengan di pundak Rega.
"Kolot pemikiran Abahmu."
"Emang dia dah kolot, kalau di sunda kolot itu artinya orang sudah tua." Kembali Kirana tertawa sambil memamerkan surat panggilan kerja untuknya. Dia diterima bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji. Jam kerjanya hanya dari jam empat sore hingga jam sepuluh malam. Sementara kuliah akan dia jalani di pagi hari.
***
Kirana dan Rega menjalin kasih sejak di bangku kelas tiga SMA. Keduanya saling menyukai karena intensitas pertemuan setelah sama-sama menjadi pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah atau OSIS. Rega adalah ketua dan Kirana hanya anggota biasa. Keduanya meresmikan perasaan mereka dalam sebuah ikatan yang bernama jadian, alias pacaran.
Meski belakangan—saat Abah tahu hubungan itu ditentang. Bagi Abah pacaran itu hanya membuang waktu dan membuat anak gadisnya tidak fokus belajar. Tapi Kirana selalu berdalih karena pacaran dengan Rega dia jadi semangat sekolah, dan berusaha mendapat nilai baik.
"Alasan kamu saja, sekolah itu wajib nggak harus pake penyemangat. Asal kamu sadar tugas dan kewajiban, pasti tetap semangat untuk masa depan kamu, Neng." Abah yang sakit gula angkat suara saat Kirana keukeuh mempertahankan hubungan dengan Rega.
"Kirana janji nggak akan sampe mengganggu kegiatan belajar atau sekolah. Pokoknya Abah percaya aja deh sama neng." Gadis itu terus memijat pundak ayahnya yang dia panggil dengan sebutan abah. Sementara dia sendiri memiliki panggilan kesayangan yaitu neng.
Abah menarik nafas dalam, menatap langit yang makin cerah. Sulit baginya mengingatkan bahwa pacaran itu tidak ada manfaatnya, bahkan lebih dekat pada maksiat dan mendekati zina. Tapi tidak mudah menasehati siapapun termasuk anaknya dengan kalimat saklek soal agama. Abah tahu itu. Meski dia tahu resiko besar yang mengintai anaknya jika lengah.
"Neng, semoga kamu bisa membawa Abah ke syurga ya," tutupnya dengan gurat wajah tak terbaca oleh sang anak.
Kirana hanya tersenyum dan menuntun Abah ke dalam rumah, "Aamiin ... neng kan sayang sama Abah, pasti selalu doain juga," jawabnya dengan kebahagiaan.
***
Di sudut bumi yang lain, seorang pria tengah memandang kekasih hatinya yang seorang model catwalk papan atas. Tubuh indah itu sejak lama membuatnya bertekuk lutut, hingga rela memindahkan bisnisnya ke negara yang tak pernah dia dengar sebelumnya. Indonesia.
Pertemuan sepasang suami istri ini terjalin saat seorang gadis bernama Anna ini menjadi salah satu model yang terpilih mengenakan busana tradisional Indonesia di sebuah fashion show di London yang diadakan oleh sebuah rumah mode terkemuka disana. Festival tersebut mengundang designer dari berbagai negara untuk memamerkan koleksi mereka sesuai adat dan tradisi asal. Dan Anna, sang model cantik menjadi primadona karena berkesempatan memamerkan kebaya modern dengan nuansa sensual di hadapan para penikmat fashion.
Tak terkecuali pria yang merupakan tamu undangan dari kalangan pengusaha, William Alvaro, terpana dengan kecantikan dan kemolekan tubuh asli sang model dari Indonesia. Hingga setelah acara usai keduanya diperkenalkan. Ketertarikan keduanya tampak jelas, yang artinya rasa suka itu terbalas. Menjadikan keduanya sering menghabiskan waktu bersama selama Anna berada di London. Mulai dari hanya kencan makan malam, menikmati malam yang romantis, dan berakhir dengan adegan panas yang tak seharusnya. Keduanya seolah merasa dunia adalah syurga yang hanya untuk dinikmati.
Hingga kisah cinta jarak jauh pun semakin mengeratkan perasaan mereka untuk saling memiliki. William sering datang ke Indonesia hanya untuk menemui sang kekasih, melepas rindu dengan berbagai kisah romantis dan kata penuh pemujaan. Membuat Anna semakin melayang dan tak pernah ingin berpisah lagi.
"Nikahi aku ...," pinta Anna ketika William kembali ke Indonesia untuk ke sekian kalinya.
"Really? Apa yang membuatmu ingin menikah denganku hmm?" goda William dengan mengeratkan kaitan lengannya di tubuh Anna yang tak memakai sehelai benang pun.
"I'm pregnant." Anna menatap mata cokelat William dengan senyuman tak terbaca.
"Are you serious?" William memperbaiki posisi duduk dan kini menghadap Anna yang menunduk.
"Of course, haruskah aku gugurkan?" tanya Anna tampak gamang.
"What? Kau kira aku tidak senang?" tanya William dengan suara yang masih kental logat England-nya, "Aku sangat bahagia Anna. Aku akan menikahimu, dengan satu syarat." William merengkuh kedua pundak kekasihnya.
"Apa?" kecemasan tersirat dai wajah Anna.
"Berhenti jadi model dan jadilah milikku seutuhnya. As a full time mother and wife." William tersenyum lalu mengecup kening Anna yang tampak gamang, dia seolah enggan meninggakan dunia yang telah membesarkan namanya. Tapi dia juga tak ingin kehilangan pria seperti William, yang tidak hanya kaya raya, tapi juga sangat mencintainya.
***
Pernikahan Anna dan Wiliiam telah memasuki usia enam bulan. Namun kehamilan Anna jelas lebih dari usia pernikahan mereka. Keduanya tampak tak ambil pusing dengan pertanyaan orang, bagi pasangan ini ... cinta adalah stampel legal untuk tindakan mereka meski melanggar norma dan agama yang mereka yakini.
Hingga Anna mulai bosan dengan kesibukan suaminya, lalu dia kembali menghadiri acara-acara fashion show dan juga pesta para sosialita. Bukan apa, William sangat sibuk sebagai CEO perusahaan asing yang kini dia kelola. Sesekali dia sempatkan diri menemani sang istri menghadiri pesta para kaum jetset di negara ini.
Tapi tidak hari ini, Anna datang seorang diri. Sang suami tengah kembali ke London untuk menemui keluarganya, ibu dari pria luar biasa itu sakit. Anna enggan naik pesawat dengan alasan kehamilan, hingga dia memilih menghadiri peragaan busana untuk menghilangkan kejenuhan di rumah.
Anna memang tidak pernah cocok dengan ibu mertuanya, sikap sang ibu mertua yang merupakan keturunan bangsawan London, dirasa Anna tak jauh beda dengan sikap orang tua penganut tradisi yang dianggap kolot di Indonesia. Bahkan sempat tak merestui hubungan sang anak dengan dirinya. Jadi, wanita itu sakit atau tidak, Anna tidak peduli.
Ponsel monoponiknya berdering, dia segera menerima panggilan dari suaminya.
"Aku sedang di fashion show, jadi tidak sempat menerima panggilanmu tadi. Kapan kau kembali? Aku kesepian." Anna seolah enggan disalahkan karena sejak tadi tak menggubris panggilan telepon dari suaminya.
Setelah mendapat jawaban dari sang suami, dia kembali ke pesta dimana musik disco menggema. Seolah lupa dengan perut besarnya, dia senang menjadi pusat perhatian. Tetap enerjik bergoyang dan dipuji setiap orang. Hingga dia tak konsentrasi dan berjalan tanpa melihat lantai yang dia lewati. Dia terjatuh dari lantai dansa yang tinggi tangganya tak lebih dari satu meter. Namun nahas posisinya terjatuh justru dengan perut besarnya di bawah.
Semua panik begitu menyadari pendarahan hebat dialami sang model yang terus meraung kesakitan. Sebagian lagi segera menghubungi William yang masih berada di London.
Jeritan kesakitan Anna semakin menggema saat tiba di rumah sakit dan tak ada sanak keluarga yang menemaninya. Dokter terpaksa bicara dengan William yang sudah berada di Bandara untuk kembali ke Indoesia.
"Harus dilakukan tindakan medis dan tidak ada keluarga yang dapat menandatangani surat tindakan." Dokter tampak bingung.
"Lakukan saja, dokter. Aku ijinkan meski tanpa surat, dan barjanji tidak akan menuntut apapun jika terjadi sesuatu. Hanya ... kumohon selamatkan istriku. Ya, terserah dengan janinnya tapi selamatkan istriku. Itu lebih utama dari apapun." William panik dan terus memandang layar yang menunjukkan jam keberangkatan pesawatnya.
Akhirnya tindakan diambil. Sang bayi tak bisa diselamatkan karena benturan, begitupun rahim sang ibu terpaksa diangkat karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk dipertahankan. Anna masih tertidur saat suaminya tiba dan menggenggam lengan sang istri dengan perasaan bersalah.
"Kami terpaksa mengangkat sebagian rahim istri Anda karena tidak memungkinkan dipertahankan, dan kabar baiknya operasi berjalan sukses. Istri Anda selamat, tapi ... mungkin kalian tidak dapat memiliki keturunan."
Kalimat dokter telah menghancurkan hati William yang begitu bahagia ketika dulu mengetahui kehamilan Anna meski diluar pernikahan. Kini dia merasa hampa, wanita tercintanya tak akan memberinya keturunan, dan dia tak mungkin menikah lagi sesuai janjinya saat ikrar pernikahan.
"Jangan tinggalkan aku, Wil ...," isak Anna saat tersadar dan tahu bahwa dia tak lagi sempurna.
"Tidak akan pernah, kau akan tetap jadi istriku satu-satunya dalam hidupku. Dengan atau tanpa anak sekalipun." William tersenyum dan mengecup lengan sang istri tercinta.
***
Kirana yang sedang bekerja terpaksa pulang setelah disusul pamannya bahwa sang ayah mengalami serangan jantung. Dengan gurat kepanikan di wajah, dia berjalan cepat di lorong rumah sakit dan menemui petugas front office.
"Bapak Sutarji di rawat di kamar nomor berapa?" tanyanya dengan cemas.
Petugas mengecek nama, "Oh, masih di UGD. Tapi sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang ICU karena mengalami komplikasi."
Jawaban petugas rumah sakit membuat Kirana lemas. Dia segera menuju UGD dan mendapati sang ayah dalam kondisi memprihatinkan.
Dokter menjelaskan tindakan apa saja yang akan diambil, termasuk operasi untuk melancarkan penyumbatan pembuluh darah, hingga memasang ring di jantungnya.
"Astaghfirullah, darimana kita dapat biayanya?" Bibi mengusap wajahnya berulang kali, sementara Paman masih terlihat tegar.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Kirana lemah.
"Kamu bisa tanya detailnya ke bagian kasir," jawab Dokter Anwar, dia yang menangani Pak Sutarji sejak pertama kali berobat ke rumah sakit itu. Dia kenal betul Kirana akan meminta pengobatan terbaik untuk ayahnya meski tahu biayanya tidak sedikit.
"Sejujurnya, biayanya sangat besar, Nak. Bisa sampai ratusan juta. Tapi andai kamu menyerah dan ikhlas tanpa berusaha menyelamatkan, itu juga tidak bijak." Dokter Anwar menatap Kirana yang sempat membelalakkan mata saat mendengar perkiraan nominal uang yang harus dia keluarkan.
"Iya, Dok. Lakukan saja yang terbaik, Kirana ... bisa tidak ya nyicil gitu biayanya?" tanyanya dengan terisak pelan.
Dokter Anwar tidak mampu menjawab. Dia hanya menatap Kirana sebagai sosok anak yang penyayang, berharap kelak anak-anaknya juga akan mencintai dirinya seperti yang gadis ini lakukan pada abahnya.
"Untuk penanganan sementara, saya bisa bantu meringkankan. Coba kamu minta surat pengantar tidak mampu, lalu mencari bantuan dari lembaga-lembaga yang biasa menyalurkan dana kemanusiaan. Siapa tahu itu membantu." Dokter Anwar menepuk pundak gadis malang itu, "operasi baru bisa dilakukan setelah serangkaian pengecekan. Bisa satu minggu dari sekarang," lanjutnya.
Kirana mengangguk, lalu kembali ke ruangan dimana Abah dirawat. Dia tidak akan membiarkan ayahnya pergi begitu saja. Abah adalah segalanya saat ini, paska kepergian ibu lima tahun lalu. Jadi, dia tidak ingin kehilangan lagi.
***
Setiap hari, dia mendatangi lembaga kemanusiaan meminta bantuan untuk pengobatan sang ayah. Tapi ada banyak syarat yang mereka ajukan dan berikan. Belum lagi survey dan harus menunggu segala macam birokrasi.
Secara kasat mata, Kirana memang tidak tampak sebagai seorang dhuafa. Dia memiliki penampilan layaknya orang kaya dengan pakaian yang selalu matching dalam padu padan. Sehingga banyak yang meragukan jika dia masuk kategori miskin, meski berulang kali bersedia di survey ke rumah sakit dimana sang ayah dirawat.
Tapi belum membuahkan hasil. Hanya satu lembaga kemanusiaan yang memberikan biaya tapi hanya sepersekian dari yang dibutuhkan. Kirana masih harus memutar otak untuk membayar biaya operasi dan pemasangan ring juga biaya rawat inap yang terus berjalan.
"Ikhlaskan saja kali ya, Neng. Bibi nggak tega lihat kamu seperti ini." Bibi menatap Kirana yang baru pulang kerja, tapi harus kembali menemui Abah di rumah sakit. Sementara pagi dia kuliah seperti biasa, lalu mencari bantuan kesana kemari.
"Bibi jangan membuat semangat Kirana kendor dong, bantuin do'a aja ya." Kirana terlihat lelah meski mencoba tersenyum. Beruntung Rega selalu mengantar dan menjemput kekasihnya ke rumah sakit, kuliah bahkan untuk mencari donatur yang dapat membantu.
Hubungan Rega dan Kirana juga tidak berjalan mulus, orang tua sang pria keberatan anak lelakinya dekat dengan gadis miskin dan sibuk mengurus ayahnya yang sakit-sakitan. Mereka tidak mau anak lelakinya jadi korban juga, dimana dia harus membantu membayar biaya berobat Pak Sutarji yang tak sedikit.
Bahkan tak jarang jika ketauan jalan berdua, Ibu Rega akan memaki Kirana tanpa belas kasihan. Lalu diseret dan disuruh menjauhi putranya. Kirana hanya bisa menangis dan menatap Rega yang juga tak mampu berbuat apa-apa.
***
"Aku nggak akan mau kalau kamu nikah lagi demi mendapatkan anak." Anna tampak berlinang air mata saat orang tuanya datang dan menanyakan kondisi dia saat ini.
William menceritakan keadaan Anna yang tak akan bisa memiliki anak, karena rahimnya telah diangkat. Dan orang tua Anna menyarankan mereka mengadopsi, tapi jelas bukan darah daging mereka. Lalu sang ayah mengatakan soal pernikahan kedua, atau poligami.
"Aku juga tidak bisa, Ayah. Aku sangat mencintai Anna. Aku rela menua hanya berdua bersamanya," jawab William menatap kedua orang tua Anna.
"Dalam agama kami itu halal, Nak. Toh sekarang kau seorang muslim, boleh melakukan poligami."
"Ayah ini gimana sih? Kok malah menginginkan anaknya dimadu? Ayah nggak mikirin perasaan Anna?" teriak Anna dengan sorot mata merah dan basah.
Keempatnya kini hanya saling diam, bahkan Anna bangkit dan masuk ke kamar. William segera menyusul setelah berpamitan pada mertuanya.
"Aku nggak akan pernah menikah lagi, Ann. Percayalah." William memeluk istrinya yang terisak.
"Adakah cara lain selain menikah lagi? Aku tidak mau dimadu." Anna menatap suaminya dengan lekat, dengan mata yang masih basah.
"Kita akan tanyakan pada dokter besok, mungkin ada cara yang tidak kita ketahui. Ok?" katanya diakhiri dengan kecupan di kening Anna.
Malampun mereka lalui dengan kegalauan. Setiap pasangan menikah pasti mengharapkan anak sebagai generasi penerus mereka. Dan itu pula yang diharapkan William dan Anna, hanya pasca kejadian memilukan itu, mereka seolah buntu dan hanya fokus pada bagaimana mengobati rasa sesal mereka.
Dokter spesialis kandungan menatap pasangan ini dengan lekat, dia menarik nafas panjang dan tersenyum.
"Tentu, ada cara lain dan tetap menjadi darah daging kalian," jawabnya setelah mendapat curhatan dari Anna dan William.
"How?" William tampak semangat.
"Jangan katakan menikah lagi, aku tidak mau." Anna tampak tegang.
Dr. Allen Sp.OG tersenyum, "Tentu tidak menikah lagi. Ada istilah namanya surrogate mother. Atau ibu pengganti. Kalian bisa melakukan ini. Tapi ...," dia menggantung kalimat.
"Apa?" Anna kini penasaran.
"Negara kita belum melegalkannya, ini melanggar undang-undang. Kalian bisa melakukannya di negara yang membolehkan praktek dan cara ini." Dr. Allen menatap William dan Anna bergantian.
Mereka saling diam, lalu saling menoleh satu sama lain. Kemudian Dr. Allen menjelaskan prosesnya. Bahwa ada yang dengan jalan si suami melakukan persetubuhan dengan si ibu pengganti, yang artinya jelas zina secara terang-terangan. Resiko ringan dan murah, lebih mudah sukses karena melakukan pembuahan alami. Tapi jelas, para istri akan menolak karena sama saja dengan dimadu. Membagi suami dengan wanita lain.
Maka Dr. Allen menjelaskan surrogate dengan proses modern yaitu seperti pada bayi tabung. Sel telur dan sel sperma pasangan suami istri diambil dan dilakukan pembuahan di dalam alat yang dalam istilah kedokteran dianggap tabung, lalu setelah terjadi pembuahan dan sukses menghasilkan embrio, akan ditanam pada rahim sehat yang siap menampungnya selama kurang lebih sembilan bulan. Resikonya memang sulit, dan biaya mahal karena proses yang tidak mudah. Serta dibutuhkan alat-alat super canggih juga tenaga medis handal dari luar negeri.
William mencerna itu dengan baik, dia bisa melakukannya di negara kelahirannya. Negara modern dengan tenaga medis terbaik ada di sana, Inggris.
"But ... how about your mother? Dia akan semakin tidak suka padaku jika tahu aku tidak bisa mengandung." Anna keberatan jika itu dilakukan di London.
William kembali memutar otak untuk mendapatkan solusi terbaik dari masalah ini.
"Cari wanita yang siap mengandung anak kalian dulu. Cari saja orang miskin yang butuh uang. Mereka akan rela melakukan apa saja. Namun ingat, pastikan sang calon ibu pengganti itu sehat jasmani dan rohani." Dr. Allen mengakhiri obrolan.
"Miskin? Kita cari dulu dari keluarga dekat aku aja. Masa dari orang miskin? Joroklah." Anna mendesis kesal.
Bersambung #4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel