Cerita Bersambung
(side a)
Kirana menatap Rayyan yang sedang diberi obat oleh warga. Dari caranya berterima kasih, terlihat sangat sopan.
Rasa penasaran Kirana semakin besar tatkala Rayyan menghubungi seseorang, mungkin ayahnya. Tentu saja, dia sangat penasaran mengingat anak ini mirip sekali dengan seseorang di masa lalunya.
"Hey, lamunin apa sih?" tanya sepupu Kirana—Bagas—mengejutkannya dari samping.
Kirana hanya mendelik kesal sambil kembali ke dalam warung. Tampak Bagas mendekati Rayyan yang selesai bicara di telepon.
"Anak mana? Kayanya bukan orang sini?" Bagas duduk di sisi kanan Rayyan.
"Iya. Tadi sedang jalan-jalan." Rayyan tersenyum.
"Wih bro, bahasamu baku banget," kekeh Bagas sambil bercanda.
"Ya bagus donk, Gas. Daripada bahasa acakadul kaya kamu." Kirana menimpali sambil membawa teh manis hangat, "Kamu yang kemarin berteduh disini kan?" tanya Kirana dengan senyuman.
"Iya kak," jawab Rayyan sopan, "sekalian pesen makan bisa kan?" sepertinya dia kelaparan.
"Boleh, gratis untuk hari ini." Kirana kembali ke warung.
"Wih, bro ... jatuh aja terus biar dapat gratisan." Bagas terkekeh lagi.
Rayyan hanya tersenyum dan berjalan ke warung Kirana dengan masih sedikit pincang.
"Kamu udah suruh orang tuamu jemput?" tanya Kirana, entah kenapa jadi terlihat gugup.
"Belum, baru menghubungi bengkel. Aku bisa pulang naik taksi online." Raut wajah Rayyan langsung berubah. Dia malas pulang dan bosan dengan pertengkaran orang tuanya.
Kirana mengangguk lemah, lalu menyodorkan nasi uduk pesanan Rayyan.
Remaja itu langsung menikmati hidangan yang dikhususkan untuknya, sambil sesekali melirik Kirana yang tengah melayani pembeli lain dan juga Bagas yang bertugas mengantar pesanan, mengambil piring bekas, lalu mencucinya.
Seutas senyum terlukis di wajah Rayyan. Dia seperti memiliki ide brilian untuk lari dari masalah keluarganya.
Selesai makan, dia membawa piring ke sisi warung dan mencuci mengikuti apa yang dilakukan Bagas.
"Eh! Ga usah. Walau gratis bukan berarti kamu harus nyuci piring segala." Kirana terkekeh geli.
Sedang Rayyan malah tersenyum, "Aku boleh kerja disini nggak kaya dia?" tanyanya cepat. Membuat Kirana membulatkan matanya yang berbulu lentik.
"Duh, kamu pasti anak orang kaya. Salah-salah orang tuamu nggak terima, terus warungku diratakan sama tanah," tolaknya dengan sedikit candaan.
"Kebanyakan nonton sinetron." Bagas meledek sengit.
Sementara Kirana mendelik kesal pada sepupunya itu.
"Eh, namamu siapa, bro? Gue Bagas." Remaja pecicilan itu mengulurkan tangan.
"Rayyan." Dia membalas uluran tangan Bagas yang ternyata penuh sabun.
"Kena hahaha!"
Kirana hanya bisa menggelengkan kepala dengan rasa gemas pada sepupunya itu. Bagas kadang jahil, meski sebenarnya sangat baik dan tidak seperti remaja pada umumnya. Dia juga tak malu bekerja di warung supaya dapat uang jajan.
Kehidupan Kirana memang berbeda dengan dahulu. Meski dikatakan tidak mampu—bukan orang berada—masa itu dia tetap kuliah dengan jalur beasiswa, hingga terpaksa kost dan bekerja paruh waktu demi mencukupi segala kebutuhan hidup keluarganya. Terutama karena ayahnya sakit-sakitan. Memiliki cita-cita tinggi mengangkat ekonomi keluarga.
Namun kini dia melupakan mimpinya jadi karyawan perusahaan besar atau bahkan PNS. Dia memilih menjadi pengusaha amat kecil, penjual nasi uduk di pinggir jalan. Meski begitu, wanita itu tak pernah mengeluhkan kehidupan. Satu hal yang selalu menyiksa batinnya adalah keputusan yang pernah dia ambil yaitu mengandung anak pasangan lain demi uang.
Kini, dia hanya bisa beristighfar dan merasa miris ketika membaca sebuah artikel bahkan bertanya pada guru mengajinya, bahwa praktek surrogate mother dilarang dalam islam terlebih jika dilakukan seorang gadis. Maka jatuhnya anak diluar pernikahan akibat zina.
Dalam sebuah buku dengan judul Seri Hukum Kesehatan : Bolehkah Surrogate Mother di Indonesia yang ditulis Desriza Ratman (hal. 120) : untuk melihat golongan anak dari kasus surrogate mother, harus dilihat dulu status perkawinan dari wanita surrogate. Menurutnya, anak yang dilahirkan dari sewa rahim dapat berstatus sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui, jika status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan adalah 'anak di luar perkawinan yang tidak diakui', yaitu anak yang dilahirkan karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau isteri dengan laki-laki atau perempuan lain. (1)
"Astaghfirullahal azdiim ...." Kirana selalu menangis jika teringat itu. Merasa berdosa, bahkan karena keputusannya itu, sang ayah marah dan tak tertolong lagi.
Dalam kesendirian, hari-harinya hanya dia penuhi dengan penyesalan dan air mata. Merindukan anak yang pernah dia kandung, karena meski dari genetik pasangan suami istri tersebut, dalam pandangan agama anak itu adalah anak dirinya juga.
***
Rayyan kembali ke rumah dengan taksi online. Jalannya masih sedikit pincang. Dia tetap tutup mulut meski satpam dan Bi Inah menghawatirkan kondisinya.
Remaja itu langsung masuk kamar, mandi dan merebahkan dirinya.
Segera dia buka iPhone dan mengirim pesan whatsapp pada Bagas, teman barunya.
[Aku dah di rumah.] Tulisnya.
[Siip, bro.]
Hanya itu yang mereka bicarakan. Dan entah kenapa dia selalu terbayang wajah Kirana. Wanita yang sore tadi minta dipanggil Teh Kirana saja olehnya.
[Minta nomor Teh Kirana donk, Gas.]
Dia mengirim pesan lagi pada Bagas. Tak butuh waktu lama, nomor yang dia minta masuk ke ruang chating mereka.
Tanpa mengucapkan terima kasih, Rayyan segera menyimpan kontak Kirana. Mengecek profilnya. Sayang, tak ada foto profilnya. Mungkin hanya bisa dilihat sesama kontak. Diapun memutuskan mengirim pesan, memberitahu bahwa dirinya memiliki nomor sang wanita.
"Dasar Bagas, asal kasih aja," gerutu Kirana saat membaca pesan Rayyan.
Sementara Rayyan hanya tersenyum mendapat balasan singkat dari Kirana, hanya 'ya'. Dia tahu, wanita itu sangat menjaga diri dari siapa saja. Memberi batasan, terlihat dari penampilannya yang sopan.
"Rayyan." Suara barito William memudarkan lamunan Rayyan.
Dengan malas dia membuka pintu kamar dan mempersilahkan ayahnya masuk.
"Bi Inah bilang kamu berjalan pincang? Ada apa?" William langsung meraih kaki Rayyan yang duduk di ranjang.
"Jatuh dari motor," jawabnya singkat.
"Ayo ke dokter, kita periksa."
"Hanya terkilir sedikit, Dad. Sudah diurut sama salah satu warga yang menolong." Rayyan menolak.
"Itu tidak aman."
"Dad!" Rayyan mulai kesal, "tidak ada yang lebih sakit dari melihat kalian bertengkar setiap hari. Ada dokter yang dapat mengobati itu?" tanya Rayyan kesal.
William terdiam, menarik nafas berat dan memejamkan mata, "Daddy juga inginnya semua membaik. Tapi ... entahlah." William menatap kosong sambil melepas kancing kemejanya. Seolah ingin bernafas dengan bebas.
Rayyan menatap langit yang putih, "Kadang aku befikir, kalian tidak mengharapkan kelahiranku."
William terhenyat, dia meraih pundak putranya yang semakin tinggi.
"Jangan bicara seperti itu, Nak. Andai kau tahu seperti apa perjuangan kami mendapatkanmu." William merasa matanya memanas. Berusaha menahan lelehan bening yang mungkin akan keluar dari sana.
"Kadang aku berharap menjadi anak dari pasangan lain. Menjadi anak dari orang-orang yang setiap hari memarahi anak mereka karena terlambat pulang sekolah." Rayyan menatap William yang dadanya tampak naik turun.
Tatapan William yang basah dengan air mata membuat Rayyan menundukkan wajahnya. Ada rasa bersalah telah mengatakan hal itu.
"Sorry, Dad." Rayyan menundukkan wajahnya.
William mengangguk lalu memeluk putra semata wayangnya.
'Kau tahu Rayyan, kau memang persis seperti dia. Berada di dekatmu terus menerus membuatku kembali membayangkan dia ... ibumu.'
Batin William berteriak, seolah mengungkapkan alasan dia tak bisa dekat dengan putra kesayangannya itu.
Dengan gontai dia kembali ke kamar pribadinya karena Rayyan mengatakan ingin tidur. Namun pikirannya kembali melayang ke masa silam.
"Kirana ...." William mendesis, membuka satu persatu kancing kemeja putihnya. Menatap langit yang semakin gelap.
"Uh ... sorry, aku telat pulang lagi." Anna memeluk pinggang suaminya dari belakang.
William diam saja, memejamkan mata sambil menikmati detak jantung istrinya yang tak semerdu saat sama-sama jatuh cinta.
"Kau tahu, hari ini kami mengumpulkan dana hampir dua milyar." Anna berbinar menatap wajah suaminya yang datar, "kau marah? Ayolah ... aku bahkan telah melupakan pertengkaran kita tadi sore." Anna bergelayut manja di lengan William.
"Kalau begitu, bisa tidak menolakku malam ini?" William menarik gaun istrinya dengan kasar. Sementara Anna segera menyongsong bibir suaminya.
Mereka bergumal dengan penuh nafsu, namun seolah hampa tanpa cumbuan agar saling menikmati. Bahkan untuk membuatnya tetap dalam intensitas hasrat, William membayangkan wanita lain yang mendesah dalam dekapannya.
***
Sebuah mobil Toyota Rush melaju perlahan, lalu berhenti di parkiran warung pinggir jalan. Seorang pria memakai koko navy keluar dan berjalan ke warung minuman milik Mang Udin.
"Assalaamu'alaikum," sapanya pada Mang Udin yang tengah membuat pesanan.
"Wa'alaikumussalaam," jawab Mang Udin tersenyum.
"Pak, anak agak bule yang suka main disini ... hari ini kesini tidak ya?" tanya pria itu.
"Oh, Rayyan? Dia mainnya sama Bagas. Tuh yang kerja di nasi uduk sebelah." Mang Udin menunjuk ke warung Kirana.
Wildan, pria yang satu minggu lalu menabrak Rayyan, berjalan menuju warung nasi uduk yang ramai. Dia mengedarkan pandangan mencari anak remaja berwajah sedikit bule itu. Namun matanya justru terkunci pada sosok wanita berjilbab pink yang tengah melayani pembeli.
"Astaghfirullah, mata ... dasar mata," gumamnya sambil melanjutkan langkah ke kursi kosong di depan warung. Tak lama Bagas datang menanyakan pesanan.
"Nasi uduk satu aja, minumnya teh tawar ya." Wildan mati-matian agar tak menoleh pada Kirana yang jujur dia akui sangat cantik. Wajar jualannya ramai, mungkin karena kecantikan penjualnya. Dengan penampilan sopan saja pembeli begitu ramai, apalagi jika berpenampilan seksi? Mungkin bakal viral di jagat sosial media.
"Temen kamu yang bule itu nggak datang?" tanya Wildan pada Bagas ketika mengantar pesanan.
"Rayyan? Ada di belakang, bantuin Teh Kirana gorengin bakwan." Bagas berpindah meja.
"Oh, namanya Kirana," gumam Wildan, "eh ... kenapa jadi fokus ke dia?" Si empunya lesung pipi itu tertawa dan malu sendiri. Lalu mulai mencoba menikmati nasi uduk yang dihidangkan.
"Nikmat, ah ... pantas ramai. Ternyata memang enak. Bukan karena penjualnya yang berparas cantik. Tapi memang enak masakannya," gumam Wildan, bahkan jadi membayangkan memiliki istri yang akan memasakan nasi seenak ini. Dan sudah pasti akan dia larang jualan bahkan berinteraksi dengan pria lain.
"Mencari saya?" Rayyan membuyarkan lamunan Wildan.
Wildan menatap Rayyan yang memiliki lebar mata seperti Kirana.
Apa mereka adik kakak? Atau anaknya?
"Hello Uncle!" Rayyan meninggikan nada suaranya juga menaikkan sebelah alisnya.
"Ah ya, kamu yang kemarin saya tabrak. Maaf ya. Sudah baikkan?" Wildan berdiri dan tersenyum sopan pada remaja tampan itu.
"Oh, nggak papa, Uncle. Aku juga salah. Hanya sedang marah sama Daddy, jadi tidak hati-hati." Rayyan tersenyum ramah.
Wildan melihat Kirana keluar warung untuk menemui Rayyan yang tengah bersamanya. Kirana sempat mengira ayah Rayyan yang datang, dia memang penasaran dengan asal usul anak ini .
"Assalaamu'alaikum, Bu ... maaf kemarin saya nggak sengaja nabrak anak atau adiknya ya?" Wildan jadi bingung sendiri.
Sementara Kirana mengangkat kedua alisnya, pun sama karena bingung. Namun itu sukses membuat Wildan istighfar berkali-kali dalam hatinya.
"Saya pikir yang datang Daddy-nya Rayyan." Kirana tersenyum anggun.
Lagi-lagi Wildan hanya bisa mengucap 'astaghfirullah ... maa syaa Alloh ...' dalam hati.
"Saya pikir, Rayyan ini anak atau adik Mba ... eh Ibu ... eh maaf." Wildan jadi kebingungan, "habis kalian mirip sekilas. Saya sempat ngira anaknya dan mungkin ayahnya yang orang asing ya?"
Kata-kata Wildan sontak membuat Kirana terhenyat. Namun, andai Rayyan anak yang dia kandung dulu, mana mungkin mirip dengan dirinya? Bukankah genetiknya dari pasangan suami istri itu?
"Eh jangan-jangan aku jodoh sama teteh," goda Rayyan.
"Dih ... anak kecil." Kirana mendelik sambil hendak berlalu.
"Kenalkan, saya Wildan."
Kirana membalikkan badan dan mengangguk hormat, menyatukan kedua tangannya memberi isyarat salam jarak jauh.
"Kok nggak salaman?" Rayyan heran.
"Bukan mahrom, bro." Bagas menimpali.
Rayyan tampak bingung tapi tak ambil pusing.
"Usiamu belum seharusnya bawa kendaraan lho, masih tiga belas tahun kan?" Wildan mencoba menasihati.
"Begitu? Tapi Daddy membiarkan aku memiliki motor ini." Rayyan benar-benar tidak faham banyak hal. Dia dibiarkan bebas dengan alasan sayang.
"Besok pakai angkutan umum saja, atau minta antar sopir." Kembali Wildan menasehati.
"Jauh, Uncle. Dari rumah ke sekolah lalu kemari. Aku bosan karena orang tuaku keduanya sibuk. Dan angin seolah membawa aku kemari, bertemu Teh Kirana dan Bagas, jadi nggak kesepian lagi," papar Rayyan dengan jujur. Baru kali ini dia tampak polos dan itu dihadapan Wildan yang baru dia kenal.
Wildan tak berani bertanya jauh soal keluarga remaja ini. Dia lebih fokus pada pertanggung jawaban sebagai pelaku penabrakan. Menanyakan kondisi motor dan dia siap bertanggung jawab. Meski tahu bahwa Rayyan pasti dari keluarga mampu bahkan mungkin berlebih secara ekonomi, tapi ini masalah tanggung jawab. Meskipun pada akhirnya Rayyan juga menolak, karena sudah mendapat asuransi.
Setelah itu Wildan berpamitan pada Kirana yang statusnya sebagai orang yang selalu ditemui Rayyan. Juga sebagai pemilik tempat yang dipakai mengobrol. Kemudian membayar uang nasi uduk, lalu dia pergi meski berulang kali menoleh ke arah warung seolah enggan untuk meninggalkan tempat itu.
***
William lega karena putranya sudah jarang marah-marah bahkan lebih tenang meski ibunya masih jarang ada di rumah. Kadang dia melihat Rayyan tersenyum sendiri memandang iPhone.
"Mungkin dia sudah jatuh cinta." Anna memberi kode nakal pada suaminya.
"Dia baru akan tiga belas tahun."
"Oh come on honey, zaman sekarang anak kecil saja berpacaran. Itu normal." Anna benar-benar cuek dengan kehidupan putranya.
"Ya, tapi ...." William jadi lebih posesif sejak perubahan sikap Rayyan. Bahkan dia menghubungi anak buahnya untuk mengawasi kemana saja putranya itu pergi. Meski bahagian dengan perubahan sikap anak remajanya, tetap saja menyisakan pertanyaan karena terlalu drastis.
Bahkan satpam melaporkan Rayyan selalu pulang pukul tujuh malam, sebelum mommy and daddy-nya tiba. Anehnya, diapun jarang bergaul dengan teman-teman sekolahnya. William beberapa kali bertanya pada wali kelas dan dijawab anaknya itu sangat pendiam, lebih sering di perpustakaan. Lalu pulang dengan motor seorang diri.
Dalam kebingungan itu, sebuah pesan masuk ke whatsapp William saat sedang santai di meja kerjanya. Sebuah foto dari anak buahnya dan sukses membuat dia terkejut.
Rayyan tengah bersama seorang wanita yang memakai kerudung panjang dan lebar. Lengkap dengan gamis. Bukan gadis-gadis pada umumnya. Namun yang pasti senyum putranya penuh kebahagiaan menatap wanita yang membelakangi kamera orang suruhannya itu.
==========
(side b)
Wildan gelisah sepanjang malam. Bahkan ketika siang harus mengajar di sekolah, dia pun seolah tidak konsentrasi. Bayangan wanita berjilbab lebar dengan senyum manis dan mata bulat berbulu lentik di sekitarnya terus mengganggu. Berulang kali komat kamit istighfar agar tidak memikirkan wanita yang bukan mahromnya itu, tapi sulit.
Akhirnya dia keluar kamar, menenui Abi dan Umi yang sedang mengajar anak-anak kecil mengaji.
Abi menoleh pada putranya yang tampak gelisah, lalu dia meminta istrinya melanjutkan pengajian.
"Ada apa? Ko gelisah kelihatannya." Abi duduk menatap putra pertamanya yang tak jadi pendiam.
Wildan bingung harus memulai dari mana, lalu mulai menceritakan kejadian sore itu. Dimana dia menabrak seorang remaja dan akhirnya bertemu seorang wanita yang membuatnya sulit memejamkan mata.
"Kau sudah tahu keluarganya?" tanya Abi santai. Baginya, sudah sepantasnya Wildan menikah. Jadi ini kabar gembira. Apalagi sang putra sampai kesulitan tidur karena memikirkan seorang wanita, tandanya sudah benar-benar harus dihalalkan.
"Belum, Bi. Kemarin-kemarin sudah tanya tetangga-tetangga warungnya. Katanya dia yatim piatu. Cuma tinggal sama pamannya. Itupun beda rumah. Dia ngontrak sendiri. Kalau saya ke rumahnya, bingung juga kalo hanya berduaan nggak ada yang menemani dari keluarganya," papar Wildan panjang lebar.
Abi menganggukan kepala, "Ya sudah, coba cari tahu dia ada guru ngaji nggak? Bisa melalui gurunya."
"Ada sih, namanya Ustadzah Maryamah. Nanti saya ke rumah dia dulu saja. Yang penting Abi tahu dulu, kalau Wildan ... sudah ada pilihan." Pria itu sedikit merona.
Abi bangkit dan menepuk bahu Wildan, "Mudah-mudahan jodoh ya."
"Aamiin, Bi." Wildan senang bukan main.
***
Kirana tengah menyiapkan segala keperluan untuk jualan. Dia biasa buka jam tiga sore. Belanja pagi, lalu mengaji di rumah Ustadzah Maryamah, setelah itu barulah mengolah bahan jualan.
"Assalaamu'alaikum." Ustadzah Maryamah datang dengan senyuman merekah.
"Wa'alaikumusalaam warahmatullah," jawab Kirana dengan senyuman, "tumben Umi kesini?" Kirana heran.
"Lho, nggak boleh tah?" Ustadzah Maryamah menyipit penuh canda.
"Boleh atuh, cuma nggak biasanya jam segini." Kirana menyodorkan teh yang dia buat barusan.
"Iya, Neng. Ada kabar penting buat kamu."
Kirana bisa menebak apa yang akan dikatakan, hanya dari raut wajah berbinar wanita yang selalu dia panggil Umi tersebut.
"Ada yang mau ta'aruf sama kamu, neng." Ustadzah tersenyum.
Namun wajah Kirana malah berubah pucat. Dia memegangi dadanya dan duduk dengan lemah.
"Kok nggak seneng?"
"Ummi kaya lupa aja. Sudah berapa pria yang mundur pada akhirnya, setelah tahu masa lalu saya?" Kirana memilin ujung jilbabnya.
Ustadzah Maryamah menarik nafas dalam, lalu menatap Kirana yang berusaha tidak terpengaruh dengan berita yang dia bawa.
"Kali aja yang sekarang mah bener-bener jodoh, Neng. Yang paling baik dari semua yang baik. Ummi tahu keluarganya, dia bekerja sebagai guru di SMP IT. Keluarganya baik, keturunan baik-baik-"
"Dan melamar wanita dengan masa lalu yang tidak baik? Duh Ummi, Kirana lelah."
"Hush! Istighfar ..., ga boleh bilang gitu." Ustadzah Maryamah mendelik tidak suka. Membuat Kirana memejamkan mata dan istighfar berulang-ulang.
"Temui saja dulu ya besok di rumah Ummi, hanya mengobrol. Jangan dulu bahas masa lalu. Biar Ummi yang cerita nanti, setelah yakin keseriusan dia." Usapan lembut medarat di kepala Kirana yang mengangguk lemah.
Selepas Ustadzah pulang, dia hanya duduk termenung. Mengingat masa lalunya. Dimana dia juga pernah jatuh cinta. Pernah berpacaran. Lalu mengambil keputusan yang membuatnya hancur hingga kehilangan ayahnya.
"Abah, ibu ... andai kalian masih ada. Mungkin Kirana nggak seperti sekarang ini. Kirana bingung." Dia mengusap wajah berulang-ulang, lalu segera mengambil wudlu. Melaksanakan shalat ashar sebelum mengangkut dagangannya ke warung.
***
Rayyan sudah duduk di kursi pelanggan ketika Kirana memarkirkan motor yang penuh dengan barang. Sebelum diminta, dia segera membantu menurunkan dan menaruh di depan warung.
"Bagas nggak datang?" Rayyan membuka obrolan.
"Dia ada kerja kelompok. Jadi libur hari ini," jawab Kirana sambil sibuk membuka kunci warung. Lalu mulai menata dagangan dibantu Rayyan.
"Aku yang goreng pisang sama bakwan lagi ya?" Rayyan segera menyalakan kompor. Dia cukup cekatan dan cepat belajar untuk urusan yang baru dia kerjakan seumur hidupnya.
Kirana masih melamunkan bahasan dengan Ustadzah Maryamah. Sampai-sampai salah menaruh termos nasi uduk yang berakhir jatuh hingga tumpah.
"Astaga, melamun terus sih." Rayyan menatap Kirana yang mengelus dada.
"Yah, ini nggak enak kalau dijual." Kirana mengabaikan sindiran Rayyan.
"Ga ada yang lihat kan? Masih bersih juga. Belum lima jam." Rayyan meniru gaya Bagas soal kata belum lima jam. Padahal di iklan normalnya lima menit. Tapi Bagas menjadikan guyonan hingga lima jam.
"Bukan soal nggak ada yang lihat, tapi etika saja. Kita tahu ini sudah jatuh dan mungkin terkena debu, masa masih dijual? Dagang juga harus jujur, jangan asal cari untung." Kirana memasukkan nasi yang tumpah ke plastik.
"Terus? Kan mubazir, Madam," protes Rayyan.
"Bisa buat ayam," balas Kirana membuka termos satunya. Kali ini dengan hati-hati.
"Udah kamu diluar aja sana! Nggak enak kalau dilihat orang. Gimanapun kita bukan sodara, bukan mahrom," ujar Kirana sibuk.
Rayyan bertolak pinggang, persis dengan William, "jujur aku nggak faham apa itu mahrom." Dia menatap Kirana yang menoleh padanya.
Sesaat, Kirana kembali melihat sosok William kecil di hadapannya. Gaya yang sama, gerak tubuh yang serupa, dan tatapan matanya juga.
"Maaf kalo aku boleh tahu, agama kamu apa?" Kirana tampak sungkan.
Rayyan mengusap rambut, "I don't know. I'm celebrate Christmas, Deevawali, and ofcourse Eidil Fitri. I love all religion. Ada yang salah?" tanyanya serius.
Kirana menarik nafas dalam, lalu menggeleng perlahan.
"Aku bukan mau mencampuri keyakinan kamu, Rayyan. Hanya agar mudah saat diskusi. Karena di keyakinan yang aku anut, laki-laki dan perempuan memiliki batasan dalam berinteraksi. Gitu aja sih," papar Kirana hati-hati. Dia sadar, masalah keyakinan dan agama sangat sensitif di masyarakat. Salah-salah, kepeleset saja bisa dikenakan pasal isu SARA.
Rayyan mengangguk, "Bahkan hanya dengan pria tiga belas tahun sepertiku?"
"Jaga-jaga saja, andai kamu sudah baligh, ya kita dilarang berduaan. Baligh bukan soal usia."
"Baligh, apalagi itu?" Rayyan tersenyum bingung lalu keluar. Memilih membersihkan meja. Hingga tak sadar seseorang terus memotretnya.
***
Kirana gelisah saat duduk di kamar Ustadzah Maryamah. Sang empunya rumah tengah berbincang dengan keluarga dari pria yang hendak meminangnya. Berulang kali dia mengelus dada, beristighfar. Berusaha menguatkan hatinya.
Ini bukan kali pertama dia dilamar seorang pria. Hanya kesemuanya berakhir dengan pembatalan, pasca Kirana mengakui pernah menyewakan rahimnya.
Sebagian mengira Kirana melakukanya dengan cara persetubuhan, melacur. Alhasil umpatan dan pandangan sinis dia terima.
Sisanya tahu prosesnya seperti apa. Tapi tetap menganggap itu bagian dari kehinaan dan terasa ganjil dalam pandangan mereka. Akhirnya mereka memilih membatalkan, tapi Kirana berusaha ikhlas. Baginya andai di dunia tak mendapatkan jodoh, biarlah dia menerima jodoh di akhirat kelak yang sudah pasti pria beriman.
"Neng, kemari." Ustadzah Maryamah mulai membuka tirai kamar.
Kirana bangkit, berulang kali menghapus kegugupan dengan membaca kalimat tasbih dan juga istighfar. Kemudian memberi salam dan duduk di sisi kiri Ustadzah Maryamah.
"Jadi ini, Neng, keluarga Wicaksono mau mengkhitbah kamu untuk anak mereka." Ustadzah memberi jeda, "Mereka sudah tahu kamu yatim piatu. Kalo kalian sudah saling mantap, baru nanti akan menemui pamanmu untuk lamaran."
Kirana mengangguk pelan, entah kalimat yang ke berapa kali yang dia dengar sekarang. Ummi selalu mengulang kalimat sama setiap kali ada lamaran padanya.
"Kira-kira kamu bersedia tidak?" Wildan tidak sabaran. Sejak tadi dia gemas karena Kirana hanya menunduk, sesekali mengangguk. Tanpa sepatah kata pun.
"Sabar dong, Wil," goda ayahnya.
Wajah Kirana terangkat, akhirnya dia melihat siapa pria yang dia dengar tadi sampai tak bisa tidur karena memikirkannya. Ternyata Wildan, pria yang menabrak Rayyan dan beberapa kali datang ke warung. Tak disangka jika pertemuan demi pertemuan itu menumbuhkan rasa yang berakhir pada keinginan memiliki.
"Saya ...," Kirana gugup.
"Kedip, dosa dipandang mulu," goda Abinya Wildan lagi. Sang anak memang terus memandang wanita pilihannya.
"Kalau ngedip terus lihat lagi, malah dosa, Bi," canda Wildan diiringi tawa Umi Wildan dan juga Ustadzah Maryamah.
Hanya Kirana yang makin tertunduk. Menahan kegalaun hati. Antara bahagia dan meninggi karena dipuja puji, selebihnya ketakutan akan kejadian yang sudah-sudah kembali terjadi.
Di masa lalu, Kirana adalah gadis biasa pada umumnya. Memiliki kekasih semasa SMA, hingga dia mengambil keputusan yang paling dia sesali hingga sekarang. Bahkan keluarga Rega—kekasihnya—menuduh Kirana telah melacur saat mengetahui mendapatkan biaya kuliah dari menyewakan rahim.
Lalu kepergian sang ayah yang menjadi hari paling mengerikan dalam hidupnya. Bahkan hampir gila, beruntung bertemu Ustadzah Maryamah.
Sepulang Wildan dan keluarga, Kirana menatap langit Jakarta yang tak biasanya biru nan bersih. Tangannya sedikit gemetar, saat mengingat tentang Wildan yang akan menikahinya. Pria dari keluarga terpandang dan disegani banyak orang. Seorang guru di sekolah islam favorit dan tentu berwajah rupawan. Siapa yang tak bahagia dipinang pria sesempurna itu.
"Usiamu sudah mau kepala tiga, Neng. Terima saja." Paman Kirana angkat bicara.
"Baiknya Wildan dikasih tahu kapan ... soal masa laluku?" Kirana semakin bingung.
"Lebih baik nggak usah dikasih tahu. Daripada batal lagi." Kali ini Bibi yang cemas.
"Kirana nggak jujur dong, Bi?" Mata bulat itu terpejam, "Minggu depan, saat bertemu lagi ... sepertinya waktu yang tepat untuk membahas ini. Kalau dia sungguh-sungguh, pasti menerima apa adanya."
"Ah kamu ini, kebanyakan baca novel romance di sosial media. Mana ada cinta seperti itu, ngeri aja ntar malah ujung-ujungnya kamu dipoligami gara-gara dia kepikiran masa lalu kamu terus," omel Bibi dengan sengit.
"Poligami kan halal, Bi," canda Kirana sambil terkekeh melihat wajah bibinya yang sebal.
"Iya. Bibi nggak bilang haram, tapi nggak akan tega lihat kamu diduakan."
"Kok jadi kemana-mana bahasannya." Paman garuk-garuk kepala tak gatal.
Kirana tersenyum, lalu bangkit menuju motornya.
"Aku jualan dulu deh. Bagas kalau dah sehat suruh bantu aku ya," katanya sambil menyalakan mesin motor.
Paman hanya mengangguk, dan bibi membantu membetulkan bawaan Kirana di motor.
"Sing laris ... sing mijodo sama si Ganteng nya." Bibi mengelus punggung Kirana yang wajahnya jadi merona.
***
William menerima foto-foto Rayyan dari orang suruhannya. Wanita berjilbab lebar, namun wajahnya tak terlalu jelas di foto ini.
"Rayyan ngapain aja disana?" tanya William yang bahasa Indonesianya sangat fasih dan tak lagi baku.
"Kadang hanya duduk, kadang melayani pembeli bahkan cuci piring. Sering juga dia nyanyi dengan gitar, Mister. Ngamen," papar sang mata-mata.
"My God! Hhhh ... maunya anak itu apa?" William menggeram kesal. Lalu berfikir sejenak.
"Aku masih ada urusan ke Singapore selama seminggu. Kau awasi terus. Jangan sampai Rayyan tahu. Minggu depan aku sendiri yang akan kesana." William meremas kertas di meja.
"Siap, Mister."
William terus menduga-duga, apakah perempuan itu kekasih anaknya? Atau hanya ibu dari teman laki-laki yang ada di foto itu juga?
Teringat bagaimana sikap putranya berubah. Tak lagi bawel soal jarangnya mereka bertemu, dia hanya asik memandang iPhone dan tersenyum. Seperti yang kasmaran.
"Kamu lihat perubahan Rayyan?" William akhirnya menanyakan hal ini pada Anna yang baru saja mandi, karena baru pulang dari pesta.
"Perbedaan apa? Lebih baik malah kan? Dia sekarang jarang cemberut. Nggak marah-marah lagi." Anna sibuk memoles krim-krim malam ke wajahnya.
"Itu masalahnya, dia sedang dekat dengan wanita." William menatap istrinya yang sibuk merawat diri.
"Baguslah, sudah remaja kan. Wajar kok pacaran. Kamu juga pasti gitu pas muda." Anna tetap cuek.
"Aku bilang wanita, bukan gadis. Aku harap kamu faham perbedaannya," kata William dengan ketus.
Anna menoleh dan menatap suaminya, "Maksudmu?" Dia mendekat, "Will ... kalau kamu tahu dia pacaran sama cewek dewasa, ya cegah donk! Gimana sih?" Anna meninggi.
William berdiri dan berjalan ke jendela, "Kalau urusan anak saja jadi urusanku, lalu apa fungsi dirimu hem? Aku bekerja siang malam untuk menafkahi kalian! Membeli kosmetikmu yang mahal meski entah siapa yang menikmati wajah cantikmu itu!"
"Apa? Kamu nggak sedang nuduh aku selingkuh kan?" Anna tampak berapi-api.
"Aku nggak tahu. Yang aku tahu kau setiap saat bersolek tapi tak pernah ada untuk suami dan anakmu," tekan William tajam.
Anna berpangku tangan, tak merasa salah dalam hal apapun.
"Aku ini ketua yayasan ibu-ibu sosialita. Kita sibuk beramal, bahkan namamu pun jadi sangat terkenal sebagai donatur terbesar. Bukankah itu baik?"
"Bullshit! Aku tidak keberatan dengan acara amalmu, atau menghabiskan uang untuk kesenanganmu, karena aku mencintaimu. Tapi aku tak lagi melihat cintamu untukku." William memandang ke jendela.
Anna tersenyum penuh kemenangan. Baginya, William hanya merajuk untuk dapat memuaskan hasrat kejantanannya. Dan dia memang tahu persis, sang suami sangat mencintai dirinya melebihi apapun.
"Kalau hanya ingin bercinta, kenapa harus melebar ke mana-mana. To the point saja!" Anna memeluk sang suami dari belakang, mengecup punggungnya dan mengelus dada bidang William dengan erotis.
William memajamkan mata, ada sesuatu yang hilang setiap kali keintiman dengan istrinya terjalin. Entah mengapa selalu wajah orang lain yang hadir dan mengedipkan mata seolah menggodanya. Kemudian membangkitkan hasratnya sebagai seorang pria dewasa.
"Rayyan mungkin sudah pulang." Dia melepaskan pagutan bibir dengan istrinya.
"Will ... tadi kau bilang-"
"Aku akan bicara dengan Rayyan dulu." William melepaskan tangan Anna yang masih mencengkram kaosnya. Lalu keluar menuju kamar Rayyan.
"Ya sudah, aku juga malas jika bukan karena kau merajuk." Anna menepis angin, kembali melihat dirinya di kaca.
***
Rayyan sedang asik bercanda di grup chat whatsapp. Disana hanya ada tiga orang. Rayyan, Bagas dan Kirana.
Awalnya Kirana menolak masuk grup dua anak remaja itu. Berulang kali keluar tapi dimasukkan lagi.
Bagas: Yang dah dilamar pak guru sombong nih, Ray.
Rayyan: Wah? Jadi beneran Om Wildan jatuh cinta pada pandangan pertama? Cepet amat main lamar?
Bagas: Biar nggak dosa, Bro. Kan kebayang mulu wajah teteh tukang nasi uduk yang kinclong.
Rayan: (emoji ketawa dengan air mata) aku nggak ikutan, Teh.
Kirana hanya tersenyum kesal membaca obrolan dua remaja labil itu. Mau gimana lagi?
Sementara Rayyan tergelak baca tulisan Bagas. Sampai-sampai dia tidak sadar sang Ayah telah berdiri di hadapannya.
"Kapan mau dikenalkan sama Daddy?"
Rayyan terperanjat hingga manjatuhkan iPhone ke lantai. William segera mengambilnya dan membaca grup tersebut. Hanya ada nama Bagas disana, lalu Teteh Cantik.
"Teteh Cantik?" William menatap Rayyan yang mulai memasang wajah tidak suka.
"Come on, Dad. Sejak kapan kau peduli pada kehidupanku?" Rayyan berpangku tangan dan enggan menatap William.
"Daddy senang jika kau senang, Rayyan. Maka ceritalah, siapa teteh cantik itu?" William mencoba mengendalikan kepanikan dan kegelisahannya.
"Dia, sepupu Bagas. Temanku," jawab Rayyan.
"Teman sekolah?"
"Dad, perutku mulas. Kalau kau mau menunggu, silahkan. Aku mau ke ...." Rayyan menunjuk kamar mandi. Lalu merampas iPhone di tangan William yang masih tidak puas dengan jawaban putranya.
William keluar kamar, Anna tengah menanyai Bi Inah soal Rayyan.
"Den Rayyan cuma bilang sekarang makannya di luar. Di warung Teteh Cantik, Bi Inah nggak usah masakin aku kalo malam. Gitu Nyonya." Bi Inah tampak ragu dan takut.2
"Kamu tahu siapa perempuan itu, Honey?" Anna tampak panik. Karena aneh saja jika pacaran sampai makan saja di tempat kekasihnya, tidak lagi di rumah.
"Ya, rencana minggu depan aku akan menemui wanita itu," ujar William dengan serius.
Bersambung #3
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel