Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 21 Mei 2021

Ibu Pengganti #1

Cerbung
Oleh : Majarani

(side a)
#Sewa Rahim
"Aku bersedia mengandung anak Anda, maksudku anak Anda dan istri." Seorang wanita mengusap sudut mata yang terus basah.
Sementara seorang pria asing berkulit putih dan wanita keturunan asli Indonesia menatapnya lekat.

"Kau sudah diskusikan ini dengan orang tuamu?" tanya pria itu serius.

Gadis itu menggeleng, "Abah bisa membunuhku jika tahu. Aku katakan ... akan menjadi TKW di luar negeri. Kontrak selama dua tahun." Dia kembali menyeka pipi yang basah.
Pria asing itu hanya mengangguk, "Terserah bagaimana baiknya. Nanti kita akan bahas mekanismenya." Dia melirik ke arah sang istri yang sedari tadi diam saja.

Mereka adalah pasangan yang divonis tidak bisa memiliki keturunan paska kecelakaan mengahncurkan rahim sang istri. Karena itu, mereka berniat melakukan proses ibu pengganti, atau yang dikenal dengan istilah surrogate.

William Alvaro adalah pria berkebangsaan Inggris, dan istrinya Anna Silvia seorang wanita Indonesia. Mereka jatuh cinta dan menikah. Namun saat Anna mengandung anak pertama, sebuah kecelakaan merenggut semuanya. Rahim Anna diangkat sebagian karena tidak sempurna lagi. Dan William yang setia menolak menikah lagi.
Tentu, Anna juga enggan diduakan. Dia lebih rela berpisah daripada cinta suaminya terbagi. Hingga jalan terakhir mereka tempuh. Mencari wanita yang bersedia menjadi ibu pengganti.

Kini, lima belas tahun telah berlalu dari keputusan gila itu. Karena dalam hukum perundang-undangan di negara ini, praktek surrogate tidak dibenarkan. Apalagi dilakukan seorang gadis.

Kirana, gadis yang kini mematung di saat hujan mengenang masa lalu. Meratapi keputusan yang mengubah kehidupannya di masa kini.

"Astaghfirullah ... ampuni aku Ya Alloh," gumamnya sambil merapatkan jari-jari tangannya. Bukan hanya karena dingin yang memeluk raganya, tapi juga meratapi sebuah penyesalan.

Hujan seolah enggan menghentikan siramannya pada bumi. Meski daun-daun telah basah dan jalanan susah payah menahan tekanan air hingga hampir meninggi, rintik itu terus berjatuhan dengan syahdu. Mengembalikan ingatan Kirana pada kesalahan di masa lalu.

"Permisi. Bisa numpang bertenduh?" Seorang remaja mengusap rambutnya yang basah dan memeluk helm. Berdiri di depan warung milik Kirana.
"Ya, silahkan." Kirana mengijinkan, karena bukan kali pertama warungnya jadi tempat berteduh para pengendara motor yang tidak membawa jas hujan.

Remaja belasan tahun itu tampak menatap jalanan yang basah. Lalu menoleh ke etalase makanan yang dijual Kirana.

"Kakak jual apa?" Akhirnya remaja tampan yang sedikit bule itu bertanya. Mungkin dia merasa lapar, dan harum gorengan yang dimasak Kirana membangkitkan seleranya.
"Nasi uduk dan aneka gorengan," jawab Kirana tersenyum sambil membetulkan kerudungnya. Meski sudah kepala tiga, dia masih tampak awet muda seperti gadis 25 tahun.
"Owh, apa itu?" tanya si pria bengong.

Kirana seperti merasa dejavu melihat sorot mata penasaran dari lelaki muda di hadapannya. Matanya, bahkan mirip sekali dengan pria asing yang pernah ada dalam kehidupannya cukup lama.

"William," gumam Kirana hampir tak terdengar.

Segera dia menyadarkan diri. Lalu tersenyum seramah mungkin, "makanan khas daerah. Nasi dimasak dengan santan, lalu lauk pauknya seperti ini." Kirana seperti kebingungan.
Anak muda tadi tampak bengong dan tersenyum penuh ketidakfahaman.

"Kau tidak tinggal di daerah sini? Atau baru datang ke Indonesia?" tanya Kirana penasaran.
"Aku besar disini, tepatnya sampai usia sembilan tahun. Tapi ya, sekarang baru kemari lagi." Dia tersenyum. Benar-benar membuat Kirana tertegun lagi.

'Astaghfirullah ... kenapa terus-terusan ingat Mr. William,' keluhnya dalam hati.
Remaja tadi sangat dewasa untuk usianya. Juga sangat sopan. Tampak sekali kelas ningratnya.

"Aku mau coba ya, sedikit saja. Lapar sekali. Hujannya malah makin deras." Dia mengambil goreng pisang, lalu memakannya dan kepanasan.

Kirana memberinya piring kecil, lalu menyendok nasi uduk sedikit ditambah orek tempe, bihun dan telur. Lalu ditaruh di meja di depan si remaja.

"Enak." Dia menikmati makanan yang baru pertama kali dia nikmati. Bahkan, dia minta nambah karena masih lapar.

Kirana hanya tersenyum, sudah biasa pembelinya nambah karena rasa masakan dia memang enak. Tapi tak biasanya, sore ini masih sepi pembeli. Hujan terus mengguyur deras. Menjadikan hanya ada dia dan remaja tampan yang tengah menikmati seporsi nasi uduk dan teh manis hangat.

Tak lama, beberapa pembeli langganannya mulai berdatangan. Duduk dan menikmati gorengan hangat yang terhidang.
Remaja tadi berdiri dan mendekati Kirana, "Berapa kak? Billnya?"
Semua menoleh pada remaja itu.
Kirana tersenyum dan menghitung, "Nasi uduk nambah ya, dengan orek dan telur dadar, 12 ribu. Teh manis tiga ribu, dan pisang goreng dua ribu. Jadi tujuh belas ribu."

"Apa? Murah sekali?" Si remaja memegang uang seratus ribuan tiga lembar.
"Memang segitu." Kirana tertawa kecil.
"Ya sudah, kasihkan kami saja uangmu kalau banyak," goda pembeli lain.

Anak muda itu hanya tersenyum, menyerahkan uang seratus ribuan selembar. Lalu menerima kembalian.

"Thanks. See you again," katanya ramah.
Kirana hanya mengangguk sungkan, sama seperti pada pembeli lainnya.
Entah kenapa dia benar-benar merasa anak itu mirip sekali dengan Mr. William Alvaro.

'Mungkinkah dia anak yang pernah aku impikan....???

==========
(side b)

Remaja itu melajukan motor sport dalam kecepatan tinggi. Menerjang jalanan yang masih basah oleh air hujan. Perut kenyang membuatnya semangat memacu kendaraan hingga tak peduli keselamatan.
Usianya baru dua belas tahun, siapa sangka? Tapi tubuh tinggi besarnya seperti remaja delapan belas tahunan. Matanya kuning kecoklatan, dengan rahang keras khas pria idaman para wanita.
Secepat kilat motornya menjauh dari jalanan ibu kota yang penuh sesak, mulai melesat di kawasan perumahan elit yang tidak mudah dimasuki orang biasa.

"Sudah pulang, den?" sapa seorang satpam yang membukakakan gerbang rumahnya.
"Ya," jawabnya singkat, "Daddy sudah pulang?" tanyanya sambil melepas helm.
"Belum, den. Nyonya juga belum pulang." Satpam itu tampak sedikit membungkuk meski tubuhnya tegap dan besar.

Dengan malas dia melangkahkan kaki ke dalam rumah mewah itu, lagi ... hanya disambut pekerja di rumahnya.

"Den Rayyan mau disiapkan makan?" sapa Bi Inah sanga pelayan.

Ya, namanya Rayyan Alvaro. Putra dari CEO sebuah perusahaan asing di Jakarta. Putra semata wayang yang dulu sangat diidamkan. Namun kini bagai terabaikan. Kedua orang tuanya sibuk, seolah waktu mereka adalah milik siapa saja. Dan sang anak hanya sebuah kisah harapan masa silam.
Rayyan menatap asisten rumah tangga yang bisa menemaninya sejak kecil, "Ga usah, Bi. Aku dah makan diluar," jawabnya lemah.

Bi Inah langsung mengangguk, lalu pamit ke dapur. Dengan pesan yang sama, "jika butuh sesuatu panggil bibi ya, Den."

Sampai di kamar dia melemparkan ransel dan membanting tubuhnya ke ranjang empuk. Memijat kepalanya perlahan, dan mengecek iPhone yang sejak sore tak ia sentuh.

[Daddy pulang malam.]
[Mommy ada arisan.]

Dua pesan yang dia bosan untuk membacanya. Dilemparkannya iPhone ke sisi kiri, lalu memejamkan mata untuk dapat tidur. Seperti itu setiap harinya.
***

"Morning," William duduk setengah tiduran di ranjang Rayyan. Mengelus kepala putra tecinta.
"I'm not a baby, Dad. You always said that." Rayyan menolak lengan ayahnya.
"Daddy tahu, tapi rasanya tetap kau anak bayi seperti dulu." William tersenyum jahil. Menggoda putranya.
"Really? Bayi mana yang selalu sendirian? Bagaimana jika dia terjatuh? Or anything else?" Rayyan tampak kesal.

William sadar putranya marah lagi, dia menganggukan kepala perlahan dan menatap Rayyan yang merapikan buku sekolahnya.

"Jam berapa mommy pulang?"
Rayyan menghentikan aktifitasnya, "She's your wife," sindirnya tajam.
"I hope that's true," William bangkit dan menepuk pundak Rayyan, "kita sarapan. Aku akan mengantarmu sekolah."

Rayyan menatap punggung sang ayah yang keluar dari kamarnya. Dia pun tahu, hubungan ayah dan ibunya tidak harmonis. Keduanya terlalu sibuk, bahkan sering bertengkar.

"Morning," Anna datang ke meja makan saat Rayyan dan William akan memulai sarapan.
"Duduklah," William menggeser kursi di sisinya.
"Sorry Honey, aku ada meeting. Aku akan sarapan di sana. See you at nite." Dia mengecup pipi suaminya, "bye Rayyan. Jangan ngebut ya bawa motornya," lanjutnya sambil melambaikan tangan.

Rayyan bahkan tak menoleh sama sekali, sedang William meremas tissu makan di tangan kirinya.
Keduanya hanya sarapan berdua. Lalu kembali dengan rutinitas masing-masing. William bekerja, dan Rayyan sekolah.
***

Sore yang cerah, tak biasanya Rayyan mendapati dua mobil milik daddy dan mommy-nya ada di garasi utama. Artinya mereka ada di rumah.
Sebelumnya, William menghubungi Anna agar pulang cepat dari acara amal sosialita yang dipimpinnya. Dia ingin sang istri ada waktu untuk anak mereka. Sejak kembali ke Jakarta, Anna semakin sibuk dengan kegiatan amalnya. Tapi melupakan tanggung jawab pada anak.
Sedangkan William, sebagai seorang CEO dia sangat sibuk. Pasca kembali ditugaskan di Indonesia, waktunya banyak tersita di kantor. Menjadikan Anna bosan dan mencari kegiatan diluar. Hingga keduanya lupa untuk bercengkrama dengan anak yang dulu sangat mereka idamkan.

"Bisakah kau kurangi acara amalmu itu? Maksudku beramalah tanpa harus meeting, party atau apalah agar kau lebih banyak waktu di rumah." William sedikit meremas rambutnya.
"Karena itu kau menyuruhku pulang? Kau lupa berapa jam waktumu habis di kantor?" teriak Anna tak kalah tinggi.
"Aku kepala kelurga. Mencari nafkah. Dan kau?"
"Aku istri, berhak menikmati kehidupanku. Lagipula Rayyan sudah besar, dia sudah tak merasa nyaman bersamaku. Dia anak laki-laki." Anna tak kalah sengit.

Rayyan mematung di pintu masuk. Menatap kedua orang tuanya yang saling menyalahkan. Bahkan ini bukan kali pertama dia mendengar perdebatan sengit antara dua orang dewasa itu.

"Jika cinta telah lenyap, kenapa kalian tidak cerai saja?" Rayyan melewati William dan Anna yang terkejut dengan kedatangannya, terlebih dengan perkataan yang dilontarkan .
"Rayyan ...." William melemah.
"Aku bosan dengan pertengkaran kalian. Bosan sekali!" keluhnya dengan penekanan, "you're right mom, aku sudah besar. Karena itu telingaku sakit mendengar kalian saling menyalahkan. But ... who cares!" Rayyyan kembali keluar setelah melemparkan tas ke sofa.
Lalu kembali menaikki motor sport yang masih terparkir di halaman utama.
William mengejarnya dan menahan lengan putra tercinta, "Rayyan, maafkan dad ... kembali," pintanya lemah.
"Selesaikan masalah kalian. Lalu aku akan kembali." Rayyan meraungkan motor lalu melesat meninggalkan istana milik orang tuanya.
Sementara William dan Anna masih saling menyalahkan atas kepergian anak mereka. Tak ada yang mau disalahkan, hingga keduanya kembali saling diam di ruangan masing-masing.
Anna diam di kamar dan William di ruang perpustakaan yang juga ruang kerja. Sementara Rayyan melesat menembus jalanan ibu kota hingga tiba di sebuah lapangan kampung di pinggiran kota.
Dia tak tahu akan pergi kemana. Hanya ingin lari dari kebosanan dan kekecewaan pada orang tuanya. Mengikuti angin sejuk yang seolah terus menuntunnya ke arah yang tak pernah dia pikirkan. Hingga berkilo-kilo meter, angin seolah sirna dan dia pun menghentikan laju motornya
Dia turun dan menatap anak-anak seusianya yang tengah asik bermain bola. Mereka tampak bahagia meski dengan pakaian dekil dan lumpur di kaki mereka.
Hingga bola berhenti di dekat kaki Rayyan. Mereka menatap wajah bersih nan tampan yang juga terdiam kaku menatap kumpulan remaja-remaja kotor tapi penuh suka cita.

"Hey bro, bisa tendang bola kemari?" pinta salah satu dari mereka.
"Gile lu, mana mau dia. Bisa-bisa spokat konclong dia kotor," ujar lainnya.

Mereka tertawa dan mendekati bola. Namun Rayyan bergerak meraih bola dengan kaki, lalu menendangnya keras ke tengah lapangan.
Benar, sepatu sport merk New Balance kesayangannya jadi kotor. Dan dia hanya tersenyum membalas senyuman remaja yang mengacungkan jempol padanya.
Rayyan berbalik, menaiki motor lagi dan berniat pergi. Dengan perlahan dia hendak balik arah, namun sebuah mobil kecepatan tinggi menghantam motornya. Rayyan terpental, beruntung dia tidak terluka parah. Semua berlarian ke arah remaja yang memegangi siku dan sebagian membangunkan motor.

"Kamu baik-baik saja, nak?" tanya seorang pria paruh baya.
Rayyan hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Minum dulu." Seorang wanita berjilbab biru dongker menyodorkan air mineral botol yang baru dibuka.

Rayyan tersenyum pada wanita itu. Dia ingat, wanita ini yang menjual nasi uduk tak jauh dari tempatnya jatuh tadi. Sungguh tak disangka dia kembali ke tempat ini.

"Terima kasih, kak." Rayyan buka suara.

Kirana kembali terhenyat melihat senyum itu. Nafasnya terasa memburu, entah kenapa. Dia sendiri tidak tahu. Toh dulu pun dia tidak ada hubungan spesial dengan Mr. William di masa lalu. Kalau mengagumi ketampanan dan kesetiaan pada istrinya, mungkin ya.
Orang yang menabrak Rayyan keluar dari mobil sejak tadi dan diinterogasi warga. Dia tampak mendekati Rayyan setelah menjelaskan alasan dia ngebut hingga menabrak sang pemuda.

"Kamu baik-baik saja, Dek? Mau saya antar ke rumah sakit? Kebetulan saya akan kesana karena ibu saya dirawat." Pria yang menabrak Rayyan itu tampak bimbang.
"Aku baik-baik aja, Om. Hanya lecet. Ini bisa diobati sendiri," jawab Rayyan bijak. Meski baru kelas 1 SMP dia sangat dewasa.
"Ini kartu nama saya kalau kamu butuh sesuatu. Misal karena motormu itu rusak. Saya siap tanggung jawab." Pria itu tersenyum ramah.
"Ok." Rayyan menerima kartu nama itu. Lalu membacanya.

Wildan Fahrizal Wicaksono, S.Pd.

Pria bernama Wildan itu berpamitan pada semua orang. Sedangkan Rayyan memilih beristirahat di deretan warung tenda yang salah satunya tentu milik Kirana.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER