Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 03 Juni 2021

Lestari Punya Mimpi #4

Cerita Bersambung

Ketika Janto masuk, Tari masih menggenggam ponsel itu. Matanya nanap mengawasi foto laki-laki ganteng yang dikirimkan Asty. Tanpa dosa Asty mengirimkannya. Tanpa rasa Asty menyakitinya. Bukan salah Asty bukan salah semesta ini kalau luka yang ingin dibalutnya kemudian terkuak dan mengalirkan darah. Aduhai..
Janto mendekat dan ikut menatap foto lelaki yang terpampang diponsel Tari.
"Wouuwww... ganteng sekali.."
Tari mematikan ponselnya, menatap Janto dengan air mata mengambang.

"Haaai... senyuman, kemana perginya kamu setelah pagi tadi aku melihatmu?" candanya dengan pandangan lucu. Tapi Tari justru menitikkan air mata.

"Mas Janto, berikan bahu kamu, biarkan aku bersandar.." isak Tari.
"Tari? "
"Aku ingin menangis keras mas Janto, aku ingin menjerit sehingga langit mendengarnya.."
"Lestari...."
Janto menutupkan pintu ruang kerja Tari dan mendekap Tari erat. Kali ini Janto melihat gelimang duka melingkupi seluruh wajah cantik yang berurai air mata.
"Aku rela dia pergi, tapi mengapa dia.. justru sahabatku sendiri..."
"Sahabatmu merebutnya dari kamu?"
"Tidak.."
"Tidak?"
Janto menarik kursi dan duduk dihadapan Tari. Menatap wajah Tari yang mulai mengusap air matanya.
"Ayo kita keluar saja, kalau ada yang melihat jadi nggak enak."

Tari mengambil tissue dan mengangguk.Ketika itu ponselnya berdering, dari Nugroho. Tari mematikannya. Ia tak ingin lagi berhubungan dengan Nugroho. Hari itu juga dia mengganti nomor ponselnya.
***

Tari merasa bahwa adanya teman sangat membantu meringankan beban yang disandangnya. Dan teman itu adalah Janto, yang bisa menghiburnya, menenangkannya dan banyak memberinya petuah.
"Terkadang semua yang terjadi bukan seperti harapan dan impian kita. Jangan terlalu tenggelam dalam rasa sedih dan kecewa, karena itu akan membuat luka bertambah menganga. Pelan tapi pasti lepaskan semua beban. Hari-hari yang bergulung akan melenyapkan semuanya." kata Janto.
"Begitu gampangkah menghilangkan cinta?"
"Tidak gampang memang, bahkan mungkin selamanya akan berbekas dalam sanubari. Tapi bahwa cinta itu membuatmu luka... no way Tari. Hadapi hari-harimu yang masih panjang, dan melangkah kedepan tanpa beban."
Tari mengangguk, terharu bahwa Janto selalu menguatkannya. Janto selalu menyediakan bahunya untuk bersandar.
***

Tapi ketika Tari pulang dan bapak ibunya bicara lagi tentang Nugroho, Tari gelagapan. Ia sudah berusaha untuk tegar dan tak ingin memperlihatkan kesedihannya karena kehilangan Nugroho, tapi pertanyaan itu sungguh berat dijawabnya.
"Apa kamu sudah bicara sama nak Nugroho?" tanya ayahnya.
"Iya nduk, tidak baik berlama-lama jalan berdua tanpa ikatan. Apa kata tetangga kita nanti," sambung ibunya.
"Nanti dulu bapak, ibu.. Tari belum bicara."
"Kamu tidak usah bicara, ajak saja dia kesini, nanti bapak yang akan bicara."
"Benar, lebih baik bapakmu yang bicara."
"Iya bu.."
"Tapi sepertinya nak Nugroho sudah lama tidak datang kemari ya bu."
"Ibu juga ingin bertanya, mengapa nak Nugroho lama tidak datang kemari. Masih pulang ke Magelang? Apa tidak bekerja? Hampir sebulan ya pak."
"Ya, hampir sebulan tidak kelihatan. Sibukkah dia nduk?"
Tari hanya bisa menunduk, tapi ibunya menangkap ada sesuatu yang difikirkan anaknya.
"Apa yang terjadi? Kok tiba-tiba kamu seperti sedih begitu ?"
"Sebenarnya, kami sudah putus.."
Bapak dan ibunya Tari terkejut.

Sejenak mereka tak bisa berkata-kata. Nugroho sudah demikian baik pada keluarganya. Membelikan mesin jahit dan membiayai sekolah adik-adiknya Tari, tapi mengapa tiba-tiba putus?
"Apa kamu banyak menuntut, Tari?" tanya bapaknya.
"Tidak pak, Tari tidak pernah meminta apa-apa, dia yang suka memberi sendiri, kalau ditolak marah-marah."
"Lalu.. mengapa hubungan kalian bisa putus?"
"Bukan salah Tari dan juga bukan salah mas Nug. Orang tuanya menjodohkannya dengan gadis lain."
"Ooh..."
"Ya sudah, berarti dia bukan jodohmu nduk, tidak usah disesali."
"Ya pak, Tari bisa menerimanya kok. Tari tidak akan memikirkannya lagi."

Dan itu benar. Sudah sebulan Tari mengganti nomor kontaknya, sehingga Nugroho tidak lagi bisa menghubunginya.
"Nanti bapak carikan jodoh yang baik untuk kamu," kata bapaknya.
Tari tersenyum.
"Tidak usah pak, jodoh itu konon akan datang sendiri kalau sudah sa'atnya."
"Itu benar. Tapi kamu sudah cukup dewasa. Sa'atnya menikah. Jangan sampai jadi perawan tua." sambung ibunya.
"Iya bu, do'akan saja agar Tari bisa mendapatkan jodoh yang baik."
***

Berbulan telah berlalu, ingatan akan Nugroho semakin tipis, dan Tari terus saja menekuni pekerjaannya.
Sudah lama Asty tak menghubunginya.
Oh ya, tentu saja, Asty tak tau bahwa nomor kontaknya telah berganti. Tapi siang itu sa'at istirahat, Asty menelpon nomor kantornya.
"Ya ampun Tari, menghubungi kamu seperti menghubungi pejabat saja. Berbulan-bulan aku tak pernah bisa ngomong sama kamu."
"Ma'af, ponselku hilang, semua kontak juga hilang," jawab Tari berbohong.
"Oh, bagaimana bisa hilang?"
"Ya, bisa saja Asty, sesuatu yang merasa kita miliki kadang-kadang juga bisa hilang," kata Tari seperti mengisyaratkan keadaan dirinya.
"Baiklah, sebenarnya aku tuh penasaran ketika kamu bilang patah hati. Jadi kamu sudah putus sama .. siapa itu.. aku lupa namanya.. yang kamu kenalan lewat biro jodoh itu?"
"Iya.."
"Ya sudah jangan disesali Tari, kan asal muasalnya juga cuma iseng. Suatu hari nanti kamu pasti mendapatkan yang lebih baik."
"Aamiin."
"Tari, sebentar lagi aku mau menikah."
Bagai dipukul palu godam dada Tari. Hal yang sudah diduganya, tapi tetap saja membuatnya bergetar ketika mendengarnya.
"Tari, kamu mendengar aku bicara?"
"Oh ya, ma'af, ini sambil meneliti surat-surat. Iya.. bagaimana Asty, kapan kamu menikah?"
"Akhir bulan ini Tari, kamu datang ya ?"
"Dimana kamu menikahnya?"
"Di Wonosobo Tari, tapi hanya sederhana saja. Mas Nug, calonku itu.. tidak mau ada pesta meriah, alasannya karena ibunya sedang sakit. Kamu tau Tari, kami ini dijodohkan tanpa sadar. Ibuku, dan ibunya mas Nug itu bersahabat sejak lama, lalu ketika masing-masing punya anak tunggal, kami dijodohkan. Aku baru tau ketika ibu memanggilku pulang. Kami akan segera dinikahkan, dan ini dilakukan karena ibunya mas Nug sakit keras dan ibuku juga sakit-sakitan. Tadinya aku menolak karena belum saling kenal, tapi kemudian aku menerimanya karena calon suamiku tidak mengecewakan, Dan kamu tau, begitu aku dan mas Nug bersedia dinikahkan, ibunya mas Nug berangsur sembuh dari sakitnya," kata Asty renyah seperti kerupuk baru digoreng.
"Oh, syukurlah Asty, aku ikut senang."
"Kamu bisa datang Tari?"
"Ma'af Asty, aku hanya akan mendo'akan kamu dari jauh, tapi tidak bisa datang."
"Ya sudah tidak apa-apa Tari, apalagi besok kalau sudah menikah mas Nug juga akan membawaku ke Solo."

Berdegup lagi dada Tari. Jadi dia bakal sekota dengan orang yang telah merebut cintanya?
"Kita akan sering bertemu Tari, nanti kalau sudah disini aku akan memperkenalkan kamu dengan suamiku."
"Ya Asty, terimakasih."
"Tari, mengapa kelihatannya kamu tidak bersemangat?"
"Aduh, ma'af Asty, ini aku juga sambil mengerjakan tugas kantor."
"Bukankah ini sa'at istirahat?"
"Betul, tapi aku harus menyelesaikannya dulu, keburu dikirim Asty."
"Oh ya, baiklah, nanti aku menelpon kamu lagi. Oh ya, nomor kamu yang baru berapa?"
"Waduh, aku belum sempat beli ponsel Asty. ma'af ya."
"Aduh, baiklah, besok aku menelpon sa'at kamu istirahat saja."

Tari meletakkan gagang telponnya, dan menghela nafas berat. Sempurnalah rasa kehilangan itu. Sempurna karena sebentar lagi Nugroho akan memiliki isteri, gadis lain, sahabatnya sendiri.
Apakah Tari membenci Asty? Tidak, Asty tidak bersalah. Dia tidak merebut Nugroho darinya. Dia tidak tau bahwa pernikahan itu melukai sahabatnya.
Tari kembali menghela nafas, agar sesak didadanya berkurang.
Sekarang dia siap meninggalkan meja kerjanya untuk makan siang di kantin. Tumben Janto tidak tampak sepagi tadi, apa dia tidak masuk kerja? Jangan-jangan dia sakit.

Sambil berjalan kearah kantin Tari memutar nomor ponsel Janto. Lama baru dijawab.
"Tari? Ada apa?  Kangen ya sama aku?"
"Iih, enggak deh.. ngapain kangen sama kamu mas."
"Buktinya kamu menelpon aku."
"Kamu dimana sih? Dari pagi aku nggak nglihat kamu.."
"Aku nggak masuk hari ini."
"Kamu sakit?"
"Sakit berat Tari."
"Sakit berat? Sakit apa?"
"Sakit cinta nih."
Tari terbahak.
"Nggak sembuh-sembuh ya penyakit bercandanya. Sudah ke dokter?"
"Belum, badanku panas dingin nih."
"Mengapa tidak ke dokter ?"
"Anterin dong..."
"Ih.. manja deh. Baiklah, nanti pulang dari kantor aku kerumah ."
Tari merasa prihatin. Janto sakit. Laki-laki baik yang sangat dekat dengannya akhir-akhir ini. Terkadang terpikir oleh Tari, apakah Janto bisa menjadi pengganti Nugroho? Tidak, Tari tidak mencintai Janto. Dia hanya menganggapnya sebagai kakak, tak lebih.
***

Sore itu Tari mengantarkan Janto ke dokter. Tari melakukannya karena tau bahwa Janto hidup sendiri. Kedua orang tuanya ada di Jakarta.
Janto sudah sangat baik kepada dirinya, dan Tari tak sampai hati membiarkan Janto ke dokter sendirian. Mereka naik taksi karena Janto tak bisa menyetir mobilnya. Badannya panas sekali.
Tapi Tari sedikit lega karena  Janto hanya terkena flu berat. Setelah diberikannya resep, maka Janto boleh pulang.
Mereka kembali naik taksi, tapi Tari minta sekalian mampir ke apotik, agar Janto bisa segera minum obat.
Tari turun dari taksi, dan menyuruh Janto menunggu dimobil.

Setelah menyerahkan resep, Tari duduk disebuah bangku untuk menunggu.
"Agak lama ya mbak, so'alnya obatnya ramuan," kata petugas apotik tadi.
Namun ketika menunggu itu tiba-tiba Tari dikejutkan oleh sebuah suara yang menyapanya.
"Tari."
Tari mengangkat wajahnya, dan berdebar ketika melihat Nugroho tiba-tiba duduk disampingnya.
"Siapa yang sakit Tari?"
"Temanku," jawab Tari singkat.
Bagaimanapun pertemuan itu sangat mendebarkan jantungnya.
"Tari, aku akan menikah minggu depan." kata Nugroho tiba-tiba.
Tari mengangguk, tapi tak mengatakan bahwa dia sudah tau..
"Selamat," katanya datar, mencoba bersikap biasa.
"Aku minta ma'af."
"Tidak ada yang perlu dima'afkan, sudahlah."
"Tari, aku masih mencintaimu," bisik Nugroho pilu.
Tari menatap Nugroho, saling pandang dengan perasaan yang tak menentu.
"Dan akan selalu mencintai kamu," lanjut Nugroho.
Ya Tuhan, mengapa dia mengatakan itu. Dan tak urung hati Tari pun bergetar. Ia juga ingin mengatakan, bahwa iapun masih mencintainya. Tapi diurungkannya.

Kemudian Tari diam, menata batinnya yang terasa mengharu biru.
"Tapi aku tidak akan membawa isteriku kemari."
"Mengapa?"
"Biar dia bersama ibuku di Magelang. Itu kemauan ibuku. Tadinya dia ingin ikut tinggal disini."
Diam-diam Tari merasa lega, tak harus sering bertemu Asty yang pasti juga akan mempertemukannya dengan Nugroho.
"Aku sedang membeli obat untuk ibu. Besok pagi aku pulang," kata Nugroho tanpa ditanya.
"Bagaimana keadaan ibu?" tanya Tari yang merasa tak enak kalau seakan tak perduli pada ibunya Nugroho.
"Kesehatan ibu berangsur membaik. Tadi ibu berpesan agar aku membelikan obatnya disini karena di Magelang susah dicari."
"Oh..."
"Kebetulan besok aku pulang. Dan syukurlah disini obatnya ada."
"Syukurlah."
Tari sudah tau bahwa kesehatan ibunya Nugroho berangsur membaik. Itu setelah Nugroho bersedia menikah dengan Asty.  Tadi Asty mengatakannya.

"Bapak Harjanto..!" karyawan apotik memanggil nama Janto. Tari berdiri dan mendekat.
Nugroho menatap punggung Tari yang sedang mendengarkan keterangan dari petugas apotik itu. Dalam hati dia bertanya-tanya. Siapakah Harjanto? Apakah laki-laki sekantor yang dulu pernah disebut Tari sebagai atasannya? Yang sering mengantarkan Tari sepulang dari kantor?
Ketika Tari beranjak pergi, Nugroho berdiri mengejarnya.
"Tari, siapa yang sakit?"
"Kan aku sudah bilang, dia temanku."
"Yang dulu kamu bilang bos kamu?"
"Ya... sudah ya mas, kasihan dia kelamaan menunggu di taksi." kata Tari sambil berlalu.
Nugroho terus menatap Tari sampai dia naik keatas taksi.
Dilihatnya seorang laki-laki duduk menunggu sambil menyandarkan kepalanya. Tampak sakit. Batin Nugroho terasa teriris.Apakah laki-laki itu sudah menggantikan tempatku dihati Tari? kata batin Nugroho.
"Tari.. aku masih mencintai kamu..." bisiknya, kemudian kembali duduk di kursi tunggu, karena obat yang dipesannya belum selesai dikerjakan.
Lalu Nugroho merasa ada yang dilupakannya, ia tidak mengatakan bahwa calon isterinya adalah temannya Tari yang dulu bertemu di sebuah toko. Nugroho tak tau bahwa Tari sudah mengetahuinya.
***

"Lama sekali sih?" keluh Janto dalam perjalanan pulang.
"Obatnya ramuan, jadi agak lama."
"Kamu tadi ketemu siapa, bicara asyik sekali."
"Lagi sakit juga memperhatikan yang didalam apotik. Lagian suaramu seperti orang teler begitu. Sudah jangan banyak bicara."
"Kamu lama sekali, lalu aku melihat kearah apotik, dan melihat kamu sedang bicara dengan seseorang."
"Lamanya itu bukan karena aku bicara sama seseorang, tapi karena obatmu itu ramuan."
"Kamu kenal dia?"
"Ada apa sih nanya-nanya?"
"Aku seperti pernah melihat orang itu."
"Dia mas Nugroho.."
"Oh, pantas.."
"Pantas apanya?"
"Asyik bener."
"Dia mau menikah minggu depan."
"Kamu diundang?"
"Tidak. Sudah diam, lagi sakit banyak ngomong kamu itu. Lihat badan kamu masih panas. Dan suara kamu lemah seperti tak bertenaga begitu.  Nanti sampai dirumah kamu harus makan, lalu minum obatnya. Setelah itu aku pulang."
"Mengapa tidak tidur dirumahku saja?"
"Apa? Enak saja. Masa aku harus menginap dirumah seorang laki-laki,  yang hidup sendirian pula. Bisa ditangkap hansip aku."
"Aku ingin tertawa, tapi badanku lemas."
"Jangan tertawa, memangnya aku pelawak ?
***

Hari-hari terus berjalan, berganti bulan, dan setahun lebih Tari tak mendengar tentang Nugroho dan Asty. Mungkin Asty ingin menghubunginya tapi tak tau nomor kontaknya..
Sore itu Tari sehabis mandi duduk sendirian dikursi tamu depan kamar kostnya.
Memandangi kembang-kembang mawar yang sedang bermekaran dikebun depan kamarnya. Pemilik rumah kost ini seorang yang menyukai keindahan.
Tari kerasan karena suasananya asri dan selalu bersih.
Ia ingin mengambil gelas minuman berisi teh hangat yang tadi disedunya ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti.
Tari berdebar, ia ingat itu mobil Nugroho. Aduh, sudah setahun lebih ia tak melihatnya, mengapa tiba-tiba datang kemari?
Tapi yang duduk dibelakang kemudi itu bukan Nugroho. Tari melihat seorang laki-laki turun dan membukakan pintu belakang, lalu seorang wanita turun, dengan menggendong seorang bayi.
Tari terpana, bukankah itu Asty ?
Tari turun kehalaman.
"Tariii..." teriak Asty sambil mendekat.
Tari menatap bayi dalam gendongan Asty. Bayi mungil yang mungkin belum genap sebulan umurnya.
"Tari, ini anakku.." kata Asty riang.
Tari menerima bayi itu  ketika Asty mengulurkannya. Bayi yang menyenangkan dan menggemaskan. Namun dalam hati Tari berkata..
"Bayi yang seharusnya aku lahirkan."

==========

"Tari, senang sekali aku. Kangennyaaa... , sudah setahun lebih kita tidak bertemu Tari," kata Asty bersemangat, sambil memeluk Tari dan menciuminya bertubi-tubi.
"Heiii... anakmu gelagapan nih.." kata Tari sambil mendorong Asty pelan. Bayi mungil itu kemudian digendongnya masuk kekamar.

"Anakmu cantik, kata Tari sambil mencium pipi  bayi mungil yang dipangkunya.
"Iya, aku namakan dia Astari, dan bapaknya tidak keberatan. Dia justru suka nama itu."
"Apa artinya Astari? Mengapa mirip dengan namaku?"
"Supaya aku bisa selalu mengingat kamu."
Tari tersenyum.
"Ini bayi masih lembut begini, mengapa sore-sore kamu ajak kemari?"
"Aku dari dokter anak, sekalian mampir."
"Sakit?"
"Tidak, hanya konsultasi saja. Aku kan baru sekali punya anak, banyak yang harus aku tanyakan."
"Kamu sudah lama disini?"
"Tidak, baru seminggu. Aku tidak jadi ikut tinggal disini karena harus menemani mertua di Magelang. Sampai aku melahirkan disana."
Ini juga bersama mertua. Aku senang mertuaku sudah kembali sehat. Tapi beliau bilang tidak ingin lama-lama disini. Padahal aku kan lebih suka tinggal disini, dekat suami."
"Aku senang kamu bahagia Asty."
"Entahlah, aku tau bahwa suamiku sebenarnya tidak mencintai aku."
Tari tertegun, tapi ia tak mengucapkan apa-apa.
"Dulu ketika malam pertama, dia bilang bahwa dia mencintai orang lain. Hanya karena ibunya maka dia menikahi aku."
Tari membelalakkan matanya.
"Dia menyakiti kamu Asty."
"Tidak. Aku menerimanya dengan ikhlas. Memang pernikahan kami kan karena orang tua. Tapi aku sangat mencintai suamiku ."
"Sudah setahun lebih berjalan, dan sudah punya anak begini cantik, pasti cinta suamimu sudah tumbuh subur."
"Entahlah. Dia suka sama anaknya, tapi tidak suka sama ibunya."
"Kamu menganggapnya begitu?"
"Bagaimana sikap seorang yang mencintai, dan tidak itu kan kelihatan. Ia tidak pernah mengatakan cinta, tidak pernah bersikap mesra."
"Masa sih? Nyatanya kalian punya anak begini cantik."
"Barangkali dia membayangkannya dengan gadis yang katanya dicintai itu.," kata Asty sendu.
Tiba-tiba Tari merasa iba terhadap Asty. Dia mendapatkan tubuhnya, tapi tidak mendapatkan hatinya. Betapa itu menyakitkan. Tari merangkul Asty dengan sebelah tangannya.
"Pada suatu hari nanti cinta suamimu pasti akan tumbuh." hiburnya.
"Sudah setahun. Apalagi kami jarang bersama. Dia hanya sekali sebulan datang ke rumah ibunya di Magelang, dan ketika itulah kami bertemu. Dan walau sebulan tak ketemu, tak pernah dia tampak rindu sama aku. Dia datang, lalu aku mencium tangannya, kemudian ketika kami sudah punya anak, dia mendekati anaknya, menggendongnya. Aku bukan apa-apa. Tugasku hanya melayani dia makan, menyiapkan semua kebutuhannya, tapi kami tidak tidur bersama."
"Apa?"
"Itu benar Tari. Dia tidur diruang tamu, dan kalau ibunya menegur, katanya takut mengganggu anaknya. Ketika aku hamil, juga dia bilang takut mengganggu isteri yang sedang hamil."
Asty menghela nafas, tapi dia tetap mencoba untuk tersenyum.

Ada rasa iba dihati Tari. Si ganteng yang diimpikannya ternyata tidak bisa membuatnya bahagia.
Tari yakin Asty menangis dalam hati. Lalu dibayangkannya, mana yang lebih sakit, mencintai tidak bisa memiliki, atau memiliki tapi tidak dicintai?
"Tari, aku sebenarnya sudah lama ingin ketemu kamu. Tapi kalau pergi selalu harus bersama ibu mertuaku. Kami jarang kemari karena mas Nug lah yang datang ke Magelang."
"Kamu harus sabar Asty, bahagia itu pasti datang nanti."
Titik air mata Asty mendengar kata-kata penghibur dari Tari.
"Aku ikhlas menerimanya, demi orang tua kami Tari. Apalagi mertuaku sangat menyayangi aku. Itu cukup bagiku."
Tari terharu. Benarkah Nugroho masih mencintainya? Tapi alangkah tega dia mengatakannya terus terang kepada isterinya. Pasti sangat sakit mendengarnya. Dan Asty tampaknya tak tau bahwa gadis yang dimaksud Nugroho itu dirinya.
Apa yang terjadi apabila Asty mengetahuinya?
Tiba-tiba ponsel Asty berdering.
Asty mengambilnya.
"Dari ibu mertuaku.." bisiknya
"Ya ibu... sudah.. saya sedang dirumah teman. Oh ya, sebentar lagi. Astari baik-baik saja. Iya, kami segera pulang."
Asty menghela nafas sambil memasukkan kembali ponselnya kedalam tas.

Bayi Asty merengek... Tari mengayunkannya sambil berdiri.
"Haus nih kayaknya, susukan sebentar dong, kasihan."
Asty menerima bayinya dan menyusukannya dengan mata berbinar. Bahagianya adalah ketika dekat dengan bayinya.
"Tari, jangan lupa kamu beri aku nomor kontakmu ya."
***

Malam itu Tari melamun sendiri dikamarnya. Ia mengira Asty hidup bahagia disamping laki-laki yang menjadi idamannya, ternyata tidak. Ia lebih sakit dari dirinya. Mencintai seseorang yang sama sekali tak pemperdulikannya walau menjadi suaminya.
Selama ini Tari iri padanya, iri akan kebahagiaanya. Ternyata tidak. Sekarang ia justru kasihan pada Asty yang merasa tersakiti.
Tari hampir memejamkan matanya ketika ponselnya berdering. Ia tak kenal nomor itu, jadi diacuhkannya. Ia meraih guling dan didekapnya. Rasanya kantuk sudah menyerangnya. Namun ponsel itu terus-menerus berdering. Dengan mata setengah terpejam diangkatnya.
"Hallo,"
"Selamat malam Tari," sapa itu datang dari seberang, sangat lembut dan sangat dikenalnya. Kantuk itu lenyap seketika. Itu suara Nugroho.
"Lestari Rahayu ?" Nugroho memanggilnya dengan nama lengkap.
"Mas Nugroho ?"
"Senang kamu masih mengingat aku Tari."
"Darimana mas bisa tau nomor ini?"
"Tadi Asty dari sini bukan? Aku tau dia temanmu, dan kalau dia kemari pasti dia meminta nomor kontakmu. Aku mencarinya di ponsel dia ketika dia tidur dan ketemu. Syukurlah."
"Oh, gitu mas, tapi aku senang mas menelpon. Aku ingin bicara sama mas."
"Ya aku tau, pasti kamu kangen sama aku, seperti juga aku."
"Mas, kata-kata itu sungguh tidak pantas. Aku senang mas menelpon karena aku ingin memarahi mas."
"Ingin memarahi aku? Iya silahkan Tari, aku memang bersalah. Aku menikah demi orang tuaku, tapi sumpah demi langit, aku masih tetap mencintai kamu."
"Mas Imam Nugroho, kamu telah melakukan kesalahan yang sangat besar."
"Tari..."
"Kamu memang menikah tanpa dasar cinta mas, tapi kamu tidak bisa melukai isteri kamu dengan mengatakan bahwa mas masih mencintai gadis lain. Itu tidak benar, itu sangat kejam mas. Kalau mas sudah bersedia menikahi dia, maka mas harus mencintainya, melindunginya, menyayanginya, bukan justru membuatnya menderita."
"Tari... tapi aku tidak ingin berpura-pura. Aku ingin dia tau bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."
"Mas sudah punya anak, bayi cantik yang menggemaskan."
"Bayi itu seharusnya lahir dari rahim kamu."
Tari tercenung. Sore tadi begitu melihat bayi itu, batinnya juga membisikkan kata-kata yang mirip dengan apa yang dikatakan Nugroho barusan.
'Bayi yang seharusnya aku lahirkan'
"Tari, apakah kamu masih sendiri?"
"Aku harus menekuni pekerjaanku, demi keluargaku."
"Aku ingin menikahi kamu Tari."
Tari terkejut bukan alang kepalang. Ponsel yang digenggamnya sampai terjatuh disamping bantal.
"Jangan gila mas."
"Aku memang gila Tari, aku tak bisa hidup tanpa kamu. Kalau kamu bersedia, aku akan bicara sama Asty. Aku sudah bilang bahwa aku mencintai orang lain," kata Nuroho enteng.
 Tari menutup ponselnya, dan mematikannya agar Nugroho tak lagi menghubunginya.
Permintaan Nugroho sungguh diluar akal warasnya. Ia sebenarnya sangat lelah, tapi sang kantuk hilang entah kemana. Hampir pagi barulah ia memejamkan matanya.
***

Tari terkejut ketika mendengar ketukan pintu kamarnya. Ia bangkit dan mengucek matanya. Lalu dilihatnya jam beker yang ada diatas meja.
"Astaghfirullah.. jam 8?"
Sementar itu ketukan dipintu terdengar semakin gencar.
Tari merasa kesal. Pasti pengetuk pintu itu habis sarapan sepiring besar nasi sehingga bisa mengetuk pintunya begitu keras.
Ia membenahi baju dan rambutnya, lalu membuka pintu. Astaga, Janto berdiri diluar dengan mata melotot.
"Mas Janto?"
"Tari? Kamu baru bangun? Atau kamu sakit?"
"Tidak mas, ya.. baiklah, aku baru bangun. Tungguin sebentar."
Tari menutupkan kembali pintu kamarnya. Menyambar handuk dan lari kekamar mandi. Menyabun tubuh nya sekenanya lalu mengguyurnya beberapa gayung. Disambarnya lagi handuknya. Eit.. ia lupa menggosok gigi. Masuk kembali kekamar mandi dan menggosok gigi semuanya dengan tergesa-gesa.
Lalu masih dengan berbalut handuk Tari setengah berlari keluar dari kamar mandi. Menyambar  pakaian seragam kerjanya mengenakan sekenanya, dan juga berdandan sekenanya. Untunglah Tari tidak suka bersolek.
Nah, selesai, lalu ia membuka pintu. Janto masih duduk menunggu. Ia menutup dan mengunci pintu kamarnya, lalu memasukkannya kedalam tas tangannya.
"Sudah siap?"
"Ayo mas, telat aku... aduuuh..."
"Kamu mau ke kantor pakai sandal jepit?"
Tari berhenti melangkah.
"Aduuh..." Tari membalikkan badannya lalu berlari kedepan kamar sambil merogoh kunci kamarnya.
***

Tari menghela nafas panjang ketika sudah duduk didalam mobil.
Janto menatapnya sambil tersenyum.
"Aku tadi sampai dikantor, tak melihatmu, lalu aku menelponmu, Ponselmu mati, aku khawatir kamu sakit, lalu aku ketempat kostmu, ee.. kamu masih tidur..." gerutu Janto
"Ma'af mas.. aduh.. padahal pekerjaan menumpuk," keluh Tari.
"Kamu tidur jam berapa?"
"Hampir tidak tidur, menjelang pagi mungkin aku baru terlelap."
"Memangnya lagi mikirin apa?"
"Gila benar."
"Kamu memaki aku gila?"
"Bukan kamu, tapi dia."
"Dia siapa lagi?"
"Iman Nugroho menelpon aku."
"Haaa.. cinta lama bersemi kembali."
"Jangan bercanda mas, aku sedih sekali."
"Memangnya kenapa?"
"Sudahlah, nanti saja sa'at istirahat aku cerita. Ini sudah hampir sampai di kantor, nanti ceritanya belum selesai jadi terputus."
"Hm, baiklah."
"Mas, coba lihat, dandananku ini bener tidak sih? Tadi dandan sambil lari."
Janto menatap Tari dan tersenyum.
"Cantik kok. Memangnya kamu biasanya dandan? Tidak kan?"
"Takutnya bedaknya berlepotan."
"Nggak ada, sudah cantik."
Tari tersenyum, sementara mobil Janto sudah memasuki halaman kantor.
"Aduuh, pasti kartu absenku merah nih," kelu Tari sambil turun dari mobil.
"Jangan khawatir, aku sudah memasukkan kartu kamu sebelum jam kerja."
"Ya ampun, manager personalia kok curang," ejek Tari, tapi dia senang Janto membantunya.
"Demi kamu," kata Janto sambil melangkah masuk kekantor, diikuti Tari dibelakangnya.
***

Selama bekerja di kantor itu Tari terganggu dengan panggilan pesan tingkat yang berbunyi berulang kali. Tari mendiamkannya karena dia masih sibuk bekerja. Baru ketika sa'at istirahat dia membacanya.
"Semuanya dari mas Nugroho, hanya satu dari Asty yang mengatakan bahwa sore nanti dia akan kembali ke Magelang bersama ibunya."
Tari membalasnya dengan banyak pesan yang diharapkan bisa menguatkan Asty.
Tapi pesan dari Nugroho membuatnya merinding. Ia mengulang kata-katanya semalam, bahwa dia benar-benar ingin menikahinya.  Pesan itu diulangnya berkali-kali.
Tari menghela nafas, tapi kemudian dia mematikan ponselnya, karena khawatir Nugroho akan menelponnya sa'at istirahat tiba.
"Sudah siap makan siang?" tiba-tiba Janto muncul didepan pintu.
"Siap bos," kata Tari sambil membenahi mejanya yang masih berantakan.
***

Diantara makan siang itu Tari menceritakan pertemuannya dengan Asty, dan telpon dari Nugroho yang membuatnya tak bisa tidur. Janto mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kamu mau dijadikan isteri muda?"
"Ya enggaklah, enak aja. Bukan karena apa-apa, tapi Asty itu kan sahabatku, mana aku sampai hati merebut suaminya."
"Bagaimana kalau dia terus mengejar kamu? Tampaknya Nugroho itu orang yang nekat. Ia sudah berterus terang kepada isterinya bahwa dia mencintai gadis lain. Pasti lain kali dia akan bilang bahwa isterinya harus rela kalau dia menikahi gadis itu."
"Tidak, aku tetap tidak mau."
"Kisah kamu itu sungguh unik. Dua orang sahabat terlibat percintaan dengan seorang laki-laki ganteng, tapi keduanya tidak mendapatkan apapun yang diinginkannya."
"Maksudnya..?"
"Yang satu mencintai tapi tidak bisa memiliki, satunya lagi memiliki tapi tidak dicintai."
"Aku juga merasa seperti itu."
"Apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku justru minta pendapatmu, apa yang harus aku lakukan."
Janto dan Tari belum menyentuh makanan yang dipesannya direstoran itu. Mereka masih berbicara tentang Nugroho.
"Kita makan dulu saja, keburu dingin nasi rawonnya."
Tari menarik mangkuk nasi rawon didepannya, menyendoknya perlahan. Tapi pikirannya kembali kearah Nugroho.
Bahagianya dicintai, tapi tidak begini caranya. Apalagi Asty adalah sahabatnya. Kasihan Asty, tidak tau bahwa yang dimaksud suaminya adalah dirinya. Kalau Asty tau, pasti dia akan sangat membencinya.
Sejak awal perkenalan dengan Nugroho, Tari tak pernah berterus terang tentang Nugroho. Tapi begitu ketemu Asty, Nugroho sudah tau bahwa Asty mengenal Tari. Dan sama seperti Tari, ia juga merahasiakan hubungannya dengan Tari.
"Kasihan Asty," cetusnya pelan.
"Rupanya kamu masih memikirkan dia? Makan saja dulu, nanti kita bicara lagi."
Tari menyendok nasi rawon yang mulai dingin. Lemak yang mulai mengental membuat kuahnya kurang nikmat. Tari hanya memakannya separo kemudian minum teh didepannya yang kebetulan masih panas.
"Hm, sudah kuduga kamu tidak menghabiskannya."
"Kenyang."
Tari justru menghabiskan teh panasnya untuk menghilangkan rasa tak enak dimulutnya.
"Sebenarnya enak."
"Suasananya yang nggak enak."
"Baiklah, aku sudah selesai makan. Ayo kita lanjutkan pembicaraan kita."
"Ah, melanjutkan apanya, aku justru bingung bagaimana harus menghadapi dia."
"Aku boleh usul?"
"Katakan saja."
"Hanya satu yang bisa menghalangi dia, Tari, yaitu apabila kamu menikah."
Tari membuka lebar matanya, menatap Janto tanpa berkedip.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER