Cerita bersambung
Sore itu Asty berkemas-kemas. Sore ini mertuanya mengajaknya kembali ke Magelang.
Orang tua sering begitu, tidak pernah kerasan tinggal lama dirumah anaknya. Lebih suka berada dirumahnya sendiri.
Bagi Asty itu tidak masalah. Dia sudah tau bagaimana sikap Nugroho, bagaimana isi hatinya. Baginya apa yang dilakukannya adalah baktinya kepada orang tuanya. Bahwa ternyata cintanya kandas dibatu keras, itu sudah disadarinya dan sudah dirasakannya sejak awal pernikahannya. Dan dia bisa menerimanya.
Hidupnya adalah hidup Astari anak kandungnya, belahan jiwanya. Nugroho hanyalah orang yang kebetulan hidup bersama-sama.
Bukankah cinta tidak harus memiliki? Menderitakah Asty? Tidak. Derita itu sudah perlahan dihapusnya bersama bergulungnya hari demi hari yang sudah dilaluinya.
Asty menitipkan anaknya dipangkuan metuanya ketika ia menata barang-barang yang akan dibawanya. Lalu membawa sebuah kopor besar berisi perlengkapan bayi dan pakaiannya sendiri kedepan. Dilihatnya Nugroho duduk diteras sendirian, mengotak atik ponsel entah sedang melakukan apa.
Ketika Asty mau melangkah kebelakang, Nugroho memanggilnya.
"Asty, kemari sebentar."
Asty mendekat lalu duduk didepan suaminya, karena suaminya memberi isyarat dengan tangannya agar dia duduk.
"Aku ingin bicara sama kamu."
"Ya mas.."
"Ini hal yang mungkin membuat kamu kecewa. Sebelumnya aku minta ma'af."
Asty menatap suaminya dengan hati berdebar. Apakah dia akan menceraikan aku? Bisik batinnya.
Tapi Asty sudah menata hatiya. Diceraikan atau tidak, adakah bedanya? Toh dia juga tidak bisa memiliki Nugroho sepenuhnya. Hati Asty kokoh bagai tembok berkerangka besi. Tak ada rasa khawatir walau jantungnya berdebar kencang.
"Asty, aku ingin menikahi gadis itu," kata Nugroho pelan, sambil menatap Asti lekat. Bagaimanapun ia merasa bersalah dan berat harus mengucapkan itu.
Tapi tanpa diduga Asty mengembangkan sebuah senyuman. Senyuman begitu manis yang tak pernah disadari Nugroho sebagai miliknya.
"Mas Imam Nugroho, aku isteri yang mencintai suamiku. Kalau suamiku tidak bahagia, akupun juga tidak bahagia. Jadi lakukanlah apa yang terbaik menurut mas, dan yang bisa membuat mas bahagia."
Kata-kata itu begitu tulus, muncul meluncur lancar dari bibir tipisnya.
Nugroho terpana. Ia mencari air mata yang pasti akan mengambang, mewakili rasa sakit hati dan luka. Tapi air mata itu tak ada. Mata bening berbinar indah, menatapnya dengan senyum tersungging, begitu tulus.
Lalu tiba-tiba Nugroho merasa bahwa Asty telah menghempaskannya jatuh dari ketinggihan, ngilu dan sakit.
"Mengapa menatapku seperti itu mas? Tidak mempercayai kata-kataku? Apakah nada suaraku tidak menunjukkan bahwa aku tulus mengucapkannya? Tulus sampai ke dasar hatiku?"
"Asty... aku minta ma'af," kata Nuhroho dengan suara bergetar.
"Apa yang harus dima'afkan? Aku senang mas Nugroho sudah mengatakannya sejak awal pernikahan kita sehingga aku segera bisa menata batin. Aku merasa bahwa kita hidup bersama-sama, seperti aku hidup bersama orang lainnya. Ada status suami isteri tapi tidak dengan rasa apapun dihati kita."
"Kamu sangat baik.."
"Ah... bukan karena aku baik, aku melakukannya karena baktiku kepada orang tua."
"Asty, apakah kamu tau siapa gadis yang aku maksud?"
"Apakah aku perlu tau? Siapapun dia kalau itu membuat mas bahagia, lakukanlah," kata Asty sambil berdiri.
Ia mendengar rengek Astari. Sa'atnya menyusukan, sebelum berangkat pulang ke Magelang.
Nugroho tercenung dikursinya. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa gadis itu adalah Tari, sahabat Asty, tapi urung dikatakannya karena Asty tampak tak perduli.
Ia heran Asty begitu tegar mendengar suaminya ingin menikah lagi. Tak tampak luka atau sakit hati, justru senyumnya mengembang dan itu membuat Nugroho seperti terpuruk dalam angan-angannya sendiri.
***
Sore hari itu Tari sudah berada dirumah orang tuanya. Tak usah menunggu Minggu supaya bisa tidur bersama adik-adiknya.
Suasana ramai dan begitu hingat bingar, karena malam Minggu tak ada acara untuk belajar.
Canda ceria memenuhi rumah kecil sederhana tapi yang penuh kasih sayang itu. Sejenak Tari melupakan kegelisahannya atas permintaan Nugroho beberapa hari yang lalu.
Tapi malam sebelum tidur sebuah pesan singkat mengusiknya.
"TARI, BOLEHKAH AKU BICARA?"
Berdebar hati Tari. Tapi dijawabnya pesan itu.
"TIDAK BOLEH, AKU SEDANG BERADA DIRUMAH ORANG TUAKU."
Lalu dimatikannya ponselnya.
Tari menarik selimutnya, meringkuk disamping Suci yang sudah terlelap sejak tadi. Sesungguhnya hatinya memang benar-benar terusik. Ia hampir bisa mengobati sakit hatinya ketika tiba-tiba Nugroho muncul lagi dan merayunya. Aduhai.
Tiba-tiba terdengar suara ibunya yang melongok kearah kamar.
"Tari, kamu sudah tidur?"
Tari membalikkan tubuhnya.
"Belum bu, ada apa?"
"Keluarlah sebentar, ibu mau bicara."
Tari melemparkan selimutnya dan turun dari pembaringan, menghampiri ibunya yang duduk sendirian diruang tengah. Tampaknya bapaknya sudah tertidur, lelah sehabis bekerja seharian.
"Duduklah dulu."
"Ya bu, ada apa, tampaknya penting sekali?" tanya Tari sambil duduk didepan ibunya.
"Ibu tuh mikirin kamu, bekerja keras sendiri untuk membantu orang tua."
"Tidak apa-apa bu, Tari senang melakukannya. Mengapa ibu memikirkan Tari?"
"Ibu ingin kamu segera menikah."
Tari tersenyum.
"Iya bu, nanti kalau sudah ada yang mau sama Tari."
"Ini ada yang mau lho nduk."
Tari terkejut.
"Apa?"
"Kemarin ibu ketemu bu Yana. Itu,, yang rumahnya disudut kampung, kamu tau kan?"
"Ya, sudah tua sekali ya bu, bu Yana itu? Tapi masih tampak sehat."
"Benar. Anaknya bu Yana yang sulung itu kan belum menikah."
"O, mas Hartono?"
"Iya, dia sudah mapan, jadi pegawai negri pula. Bu Yana bermaksud mengambilmu sebagai menantu. Bagaimana ?"
Tari kenal sama mas Hartono. Umurnya jauh diatasnya, mungkin terpaut sampai belasan tahun. Tapi orangnya tampak cuek, tak pernah bersikap ramah kepada siapapun juga. Mungkin itu salah satu sebab mengapa dia jadi perjaka tua.
"Bagaimana Tari? Cuma saja, dia bekerjanya bukan disini, jauh dikota lain, ibu belum menanyakannya dimana."
Tari menghela nafas.
"Bolehkah Tari memikirkannya dulu? Sepertinya Tari kurang suka sama dia.""
"Kamu boleh memikirkannya, dan ibu juga tidak memaksa. Ibu cuma menyampaikan saja pesan bu Yana. Kalau tidak mau menerima ya tidak apa-apa."
"Ya bu, Tari akan memikirkannya. Cuma sebenarnya Tari belum memikirkan untuk berumah tangga."
"Kamu kan sudah dewasa."
"Belum dulu ya bu.. tapi Tari akan memikirkannya, " kata Tari sambil berdiri.
Ibunya menghela nafas panjang. Jawaban Tari menyuratkan jawaban tidak menerima, walau katanya ingin memikirkannya.
"Ya sudah, barangkali belum jodohnya," gumam ibunya lirih.
***
Pagi hari itu Tari ingin mengajak Suci kepasar. Tari ingin memasak buat bapak ibu dan adik-adiknya. Ia menunggu diteras karena Suci baru mandi.
Tiba-tiba ibunya keluar sambil membawa ponselnya yang masih mengeluarkan bunyi berdering.
"Ada telpon nduk."
Tari menerima ponselnya dan melihat siapa yang menelpon. Rupanya Asty. Tari mengangkatnya.
"Selamat pagi nyah," sapa Tari ramah.
"Tari, kamu dimana?"
"Saya dikampung, dirumah orang tuaku. Kamu masih di Solo?"
"Tidak, kemarin sore sudah bertolak ke Magelang, kan aku sudah bilang sama kamu."
"Jadi ini dirumah Magelang?"
"Malam tadi baru nyampe. Ini aku habis menidurkan anakku, lalu ingin omong-omong sama kamu."
"Oh, iya.. bicaralah, ada apa?"
"Kamu tau nggak, kemarin sore, sebelum berangkat pulang, suamiku mengajakku bicara. Dia bilang ingin menikahi gadis yang dia cintai itu."
Tari terkejut. Bahkan Nugroho sampai berterus terang mengenai hal itu pada isterinya? Sungguh keterlaluan. Pasti Asty sangat sedih.
"Asty, aku ikut prihatin ya, kamu sedih sekali pastinya."
"Tidak, aku baik-baik saja."
"Apa? Baik-baik saja? Suami minta ijin mau menikah lagi dan kamu bilang baik-baik saja?"
"Tari, aku itu sama suamiku sudah sejak awal hanya sebagai teman hidup saja. Hidup bertetangga malah, karena dia jarang menemui aku sebagai seorang suami. Jadi perasaanku biasa saja. Sungguh."
"Lalu kamu bilang apa?"
"Aku bilang sesukamu .. gitu saja. Pokoknya yang terbaik bagi dia, yang bisa membuatnya bahagia, aku persilahkan dia melakukannya."
Tari geleng-geleng kepala.
"Kamu luar biasa Asty. Sungguh suamimu sangat keterlaluan."
"Tidak apa-apa Tari, aku menelponmu bukan karena aku ingin berkeluh, tapi hanya ingin berbagi cerita saja."
"Aku ikut prihatin Asty."
"Jangan, aku baik-baik saja kok."
"Ayo mbak, aku sudah selesai," tiba-tiba Suci muncul dan sudah rapi.
"Ya, sebentar."
"Tari, kamu mau bepergian?" tanya Asty karena mendengar suara Suci.
"Cuma mau kepasar, aku ingin memasak untuk keluargaku."
"Oh, bagus Tari. Baiklah, pergilah kepasar dan masak yang enak ya, aku juga mau menyiapkan makan pagi untuk mertuaku."
"Suamimu ada kan?"
"Tidak, kami pulang bersama sopir."
"Oh.."
***
Disepanjang perjalanan kepasar itu Tari terus memikirkan pembicaraannya dengan Asty di telpon. Ia merasa Nugroho sangat keterlaluan. Ia selalu menyakiti hati isterinya. Dan itu yang Tari tidak suka.
Asty sahabatnya yang sangat baik, yang diharapkannya akan hidup bahagia disamping suaminya, ternyata tidak.
Tari sudah merelakannya dan hampir berhasil memupus sakit hatinya. Tapi sekarang Nugroho mengusiknya lagi.
Lalu Tari teringat kata-kata Janto, untuk menghindari Nugroho, jalan terbaik adalah segera menikah. Aduhai. Menikah dengan siapa? Ia juga teringat pembicaraannya dengan ibunya semalam, ada yang mau mengambilnya sebagai menantu. Tapi sungguh Tari tidak suka. Hartono terlalu tua untuknya. Bukan itu saja, laki-laki itu sangat aneh dan sukar bertegur sapa dengan siapapun juga. Tidak, Tari tidak mau.
"mBak, kita beli apa dulu, mengapa terus kesana, pasarnya belok kekanan," tegur Suci karena kakaknya seperti berjalan tanpa arah.
"Oh.. iya.."
"mBak Tari melamun ya ?"
"Ah, cuma memikirkan mau masak apa.."
"Katanya mau bikin ca sayur, sama goreng ayam. Kita beli sayur dulu kesana."
"Oh iya, mbak lupa."
"Mbak seperti sedang memikirkan sesuatu. Ingat sama mas Nugroho ya?" goda Suci.
"Ih, kamu ada-ada saja.."
"Ibu kemarin bulang, bu Yana mau mengambil menantu mbak Tari."
"Oh, kamu juga tau?"
"Tau, ngomongnya sama bapak, aku mendengarnya."
"Kamu nguping ya? Nggak bagus itu, nguping pembicaraan orang tua."
"Suci bukannya nguping, kebetulan lewat dan mendengar. mBak mau jadi isterinya pak Hartono?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Jangan mbak, dia itu orang aneh, nggak pernah bertegur sapa walau ketemu tetangga. Eh mbak, cari suami yang ganteng dong, kayak mas Nugroho."
Tari hanya tersenyum.
"Ayo beli sayur dulu, itu ada brokoli segar-segar."
***
Makan siang dirumah terasa nikmat, dan juga heboh, karena adik-adik Tari dengan gembira menyantap masakan kakaknya.
"Kemarin mbak Tari gajihan ya, makanya beli ayam begini banyak?" tanya adiknya yang nomer tiga.
"Kalau ada rejeki banyak, pasti mbak Tari akan memasak yang enak buat kalian, yang paling kalian sukai. Ayam pada suka kan?" tanya Tari.
"Suka mbak, apalagi yang ada kremesnya seperti ini."
"Benar, aku juga suka," teriak yang lainnya.
"Besok-besok beli ikan ya mbak. Ikan bakar juga enak.."
"Baiklah, baiklah, semua keinginan kalian akan mbak catat semua. Nanti kalau mbak pulang lagi pasti akan mbak belikan."
"Yang enak yang dimasak mbak Tari atau ibu. Kalau mbak Suci pasti keasinan."
Adik-adik yang lain tertawa, tapi Suci mengerucutkan bibirnya, kesal.
"Tidak, masakan mbak Suci juga enak kok, Hanya saja karena kamu nggak suka asin, jadi merasa keasinan. Tapi mbak Tari suka tuh. Ya kan bu?"
"Iya, ibu juga suka."
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
Tari berdiri mengintip dari balik korden. Dan Tari sangat terkejut. Ia melihat Nugroho berdiri didepan pintu. Tari kembali dan mendekati ibunya.
"Ibu, tolong ibu keluar dan bilang kalau Tari tidak pulang ya bu?" bisik Tari cemas.
"Mengapa?"
"Tolong bu," kata Tari sambil menelangkupkan kedua telapak tangannya, memohon.
Sang ibu berdiri dan melangkah keluar.
Tari menyuruh adik-adiknya diam, dan tidak ada yang keluar atau bersuara. Tari lupa bahwa rumahnya tidak begitu besar, jadi suara gaduh dari dalam pasti terdengar.
"Eeh, nak Nugroho ya ?"
"Iya ibu, lama tidak bertemu," kata Nugroho sambil mencium tangan ibunya Tari.
"Silahkan duduk nak, tapi dirumah sedang tidak ada orang."
"Oh, Tari tidak pulang?"
"Tidak nak."
"Tadi saya ketempat kostnya, tapi pintunya terkunci, saya kira Tari pulang."
Tapi Nugroho tidak lupa, semalam Tari mengatakan kalau Tari berada dirumah orang tuanya, jadi dia tau bahwa ibunya Tari berbohong. Pasti Tari yang memintanya.
"Tidak nak."
"Dimana Suci dan adik-adiknya?"
"Main barangkali, ibu tidak tau kemana. Bapak sedang tidur."
"Oh, ma'af saya mengganggu. Kalau begitu saya pamit saja bu, ini sekedar oleh-oleh untuk Suci dan adik-adiknya," kata Nugroho sambil mengulurkan satu tas besar berisi oleh-oleh.
"Tidak duduk dulu nak?"
"Terimakasih bu, lain kali saya akan bertandang lebih lama."
"Terimakasih juga sudah repot-repot membawa oleh-oleh untuk anak-anak."
Nugroho berlalu. Setelah suara mobil menjauh, barulah Tari dan adik-adiknya keluar.
"Aduh nduk, gara-gara kamu ibu harus berbohong." keluh sang ibu.
"Ma'af bu, saya memang sedang menghindari dia. Dia kan sudah menikah, tidak baik kalau masih sering menemui saya."
"Ya nduk, ibu juga setuju. Nanti kalau isterinya tau kamu akan dikira mengganggu rumah tangganya."
***
Sore sepulang kantor seperti biasa Tari ikut bersama mobil Janto. Tapi ketika mobil itu akan keluar, Tari melihat Nugroho berdiri menghadang.
Janto terpaksa menghentikan mobilnya.
"Tari, aku ingin bicara."
Aduh, nekat sekali Nugroho ini. Menemui di kost atau dirumah tak berhasil, dia nekat mencegatnya di kantor sa'at pulang kerja.
Tari memandangi Janto, seakan minta pendapat.
"Temui saja dia, maunya apa," kata Janto pelan lalu membukakan pintu otomatis untuk Tari.
Tari keluar dengan hati berdebar. Nugroho menatapnya lekat.
"Ada apa mas?"
"Tari, ma'af, karena susah menemui kamu, jadi aku nekat mencegatmu disini. Di kost tdak ada, dirumah kamu sembunyi dan tidak mau menemui aku."
"Mas.."
"Kemarin aku kerumah, mendengar suara ramai adik-adikmu, dan aku juga mendengar suara kamu, tapi kamu tidak mau keluar. Jadi ma'af, aku menempuh cara ini."
"Mau apa lagi sih mas?" tanya Tari tanpa berani menatap wajah Nugroho. Si tampan ini masih memiliki tatapan memukau, dan Tari tak ingin tergoda.
"Ayo ikut bersamaku Tari, aku ingin bicara."
"Mas itu bagaimana, apa mas lupa kalau mas sudah beristeri?"
"Tari, dengar, aku sudah bicara sama Asty.."
"Tidak mas, aku sudah mau menikah."
Nugroho tercengang.
"Itu benar mas, dia calon suamiku," katanya sambil menunjuk kearah Janto yang sudah meminggirkan mobilnya.
==========
Nugroho terdiam seketika. Wajahnya berubah sendu. Mata tajam itu tampak suram. Tari merasa iba dan ingin merengkuhnya. Ya Tuhan, jangan sampai hatiku luluh. Dia orang lain, bukan siapa-siapa bagiku.
Kemudian Nugroho mengangguk lemah, membalikkan badan kemudian kembali kemobilnya.
"Ya Tuhan, ya Tuhan.... dia mencintai aku sampai kehilangan akal warasnya. Semoga pernyataanku tadi membuatnya sadar bahwa dia tak harus mengingatku lagi." bisiknya pilu.
Hampir titik air mata Tari memandangnya, memandangi kemana mobilnya bergerak lalu menghilang diantara keramaian.
Tari mengerjap-ngerjapkan matanya, agat telaga bening yang mengambang disana tak tampak lagi. Ia kembali ke mobil Janto, yang mnungguinya sambil menatapnya penuh perhatian.
Janto terus menatapnya sampai Tari sudah duduk disampingnya. Menangkap kesedihan yang tampak pada wajahnya.
"Sudah ?"
Tari mengangguk.
"Mengapa tadi kamu menunjuk-nunjuk kearahku?"
"Aku bilang, bahwa aku mau menikah sama kamu."
"Haa... apa itu hanya untuk menyingkirkan dia? Bagaimana yang sesungguhnya?"
"Apa maksudmu ?"
"Bohong itu dosa.."
"Maksudnya?"
"Bagaimana kalau aku benar-benar melamar kamu?"
Tari menoleh kearah Janto. Mencari kesungguhan pada wajahnya. Bukankah Janto suka bercanda? Tapi Janto menatap lurus kedepan, tak ada wajah lucu yang suka mengodanya dan mengejeknya.
"Kamu bercanda bukan?"
"Aku serius."
"Mas Janto ? Aku kan..."
"Kamu boleh menolaknya. Tapi satu yang ingin aku ingatkan sama kamu, Nugroho akan terus mengejarmu."
Tari menghela nafas. Ia tak pernah mencintai Janto, tapi Janto sangat baik. Selalu menjaganya dan menghiburnya ketika dia sedang sedih.
"Tapi bulan depan aku akan dipindahkan ke Jawa Timur."
"Apa ?"
"Itu tempat yang jauh. Mungkin lebih jauh dari Magelang."
Tari berfikir dan menimbang. Tak ada cinta dihatinya, tapi bukankah cinta akan tumbuh bersama berjalannya waktu? Hal terbaik unuk menghindari Nugroho ialah apabila dia segera menikah. Lalu pergi jauh? Bukankah dengan demikian Nugroho tak akan bisa mengganggunya lagi?
"Tapi kamu tidak usah memusingkan kata-kataku. Aku bukan pemerkosa. Maksudku.. pemerkosa rasamu."
***
Malam itu Tari terus memikirkan Janto. Laki-laki baik yang selalu bisa menghiburnya, membuatnya tersenyum dan tertawa dikala duka sedang melanda.
"Kamu sudah dewasa nduk, sudah sa'atnya berumah tangga..."
"Bu Yana ingin agar kamu jadi menantunya.."
"Tapi ibu tidak akan memaksa, kalau kamu tidak suka ya tidak apa-apa."
"Dia pegawai negeri, tapi kerjanya ada diluar kota."
Kata-kata ibunya terngiang kembali ditelinganya. Kata demi kata yang harus dipikirkannya. Apa dia harus menerima Hartono? Tidak, dia sama sekali tidak menarik. Bukan hanya wajahnya, tapi juga sikapnya.
Jadi akan diterimakah Janto?"
Tari memijit keningnya karena kepalanya serasa berdenyut. Pernikahan bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Ia harus menjalaninya dengan sepenuh hati. Bukan seperti Nugroho yang kemudian sama sekali tak pernah mengacuhkan isterinya.
Ah, kok Nuroho lagi?
Tari memejamkan matanya. Memeluk guling erat-erat. Tapi yang terbayang adalah wajah Nugroho. Tari benci dengan perasaannya sendiri. Wajah masam penuh kesedihan itu terbayang kembali. Wajah yang menggambarkan kekecewaannya karena Tari mengaku bahwa dirinya akan segera menikah.
"Tidak mas, pergilah jauh-jauh dari pikiranku." bisiknya lirih.
"Aku akan menikah, aku akan menikah, aku akan menikah.." ucapnya berkali-kali, berharap ia bisa segera terlelap.
***
Hari-hari berikutnya, Janto bersikap biasa saja. Ia tak mengulang kata-kata bahwa dia akan melamarnya. Dia tetap kocak dan penuh canda. Seperti tak pernah terjadi percakapan tentang pernikahan diantara mereka. Rupanya Janto membiarkan Tari memikirkannya masak-masak, dan Janto tak akan mengusiknya.
Itu membuat Tari lebih tenang. Kalau Janto bertanya sekarang, dia pasti belum bisa menjawabnya.
"Hari Minggu kamu pulang?"tanya Janto ketika mereka pulang kantor bersama-sama.
"Iya mas, sudah janji mau masak-masak lagi untuk adik-adikku."
"Perlu diantar ?"
"Tidak usah, aku mau mampir belanja dulu, nanti kalau ditungguin jadi nggak tenang."
"Baiklah."
"Kamu jadi dipindahkan ke Jawa Timur?"
"Bulan depan, mungkin akhir bulan depan, jadi masih ada waktu satu setengah bulan lagi untuk kita bisa bertemu seperti ini."
Entah mengapa tiba-tiba Tari merasa sedih. Membayangkan Janto jauh darinya, betapa akan sepi hidupnya. Siapa teman mengadu, siapa teman untuk bersandar dibahunya?
Apa sebaiknya Tari menerima saja lamaran Janto?
"Kok melamun?"
"Tidak.. "
"Sedih ya mau berpisah dengan aku?"
"Bahu siapa tempatku bersandar nanti mas?" tanya Tari berterus terang.
"Nanti juga pasti ada."
Tari agak kesal dengan jawaban Janto. Dia seakan tak lagi mengingat akan lamaran terhadapnya. Tak sekalipun mengingatkannya juga. Apa dia bersungguh-sungguh?
"Nanti kalau pulang akan ada yang aku bicarakan sama bapak dan ibu."
"Tentang apa?"
Tiba-tiba Tari merasa malu kalau harus berbicara tentang lamaran Janto.
Sesungguhnya dia sedang memancing Janto agar kemudian Janto menebak bahwa dirinya akan bicara tentang lamarannya.
"Ada yang melamar aku dikampung," tiba-tiba Tari ingin memanas-manasi Janto.
Tapi jawaban Janto sungguh membuatnya kesal.
"Haaa... aku senang."
"Mengapa kamu yang senang ?"
"Kalau kamu senang, aku juga senang.."
"Tapi aku tidak senang."
"Lho, mengapa? Apa dia tidak tampan? Sudah tua? Duda? Atau kamu mau dijadikan isteri muda?"
Tari merengut. Ia menatap kedepan, tak menjawab sepatah katapun. Ia ingin melihat Janto cemburu, tapi tak terlihat rasa itu.
"Kok tiba-tiba cemberut."
Tari tak menjawab. Ia bahkan tak berbicara apapun sampai ketika Janto menurunkannya didepan rumah kostnya.
***
Tapi pagi harinya Janto malah menjemputnya.
"Mengapa kemari?"
"Menjemput kamu, takut kamu bangun kesiangan, ternyata sudah dandan cantik."
"Hm.. sudah lama aku cantik, " kata Tari dengan cemberut. Ia masih merasa kesal.
Janto tertawa.
"Mengapa ya, hari ini senyumnya menghilang?"
"Ayo mas, berangkat, keburu telat."
"Tidak, masih jam tujuh. Kita makan pagi dulu di Nonongan."
"Nasi liwet?"
"Iya. Ayo berangkat."
Tiba-tiba Tari teringat Nugroho lagi. Kencan pertamanya adalah di nasi liwet Nonongan. Begitu menyenangkan ketika itu. Karena Tari baru menemukan cinta pertamanya.
"Bagaimana kalau tidak nasi liwet?"
"Aku ingin sekali nasi liwet. Kamu harus mau, jangan sampai membuat aku kecewa sebelum kepergianku."
Tari tak bisa apa-apa selain menurutinya. Mengapa ingatan terhadap Nugroho selalu saja ada.
***
Dan Janto membawnya kepada penjual nasi liwet yang sama. Padahal ada beberapa penjual disepanjang jalan itu.
Ketika mereka sudah duduk di tikar, penjual nasi liwet itu menatap wajahnya lekat-lekat.
"Saya seperti pernah melihat mbaknya ini."
Tari tak mengacuhkannya.
"Pernah makan disini kan mbak?"
"Ah, lupa bu, iya barangkali."
"Aku mau sama ampela ati bu," kata Janto.
Tuh kan, ini juga membawa ingatannya kearah Nugroho lagi. Siapa yang menyuruh Janto datang kemari, kemudian pesan ampela ati seperti Nugroho ketika itu.
Tapi kali ini Tari tak mengingatkannya bahwa ampela ati bisa memicu kolesterol tinggi.
"Aku ayam suwir saja bu."
Diantara makan itu Janto selalu menatap Tari.
"Ada apa sih, melihat aku seperti itu?"
"Aku heran kamu tidak tampak gembira sejak pulang dari kantor kemarin."
"Sedih, kan mau kamu tinggalkan?"
"Ah, yang benar..."
Tari menghabiskan nasi liwetnya, lalu membuang pincuk bekas wadah nasi liwet itu ketempat sampah yang disediakan.
"Sudah? Nggak nambah?"
"Tidak mas, sudah sa'atnya ke kantor."
Janto membayar jajanannya lalu menggandeng Tari masuk ke mobilnya.
***
Minggu itu Nugroho pergi ke Magelang. Entah mengapa dia sangat rindu akan anaknya. Barangkali sedih dan kecewa karena Tari mau menikah, membuatnya sepi dan merasa tak memiliki siapa-siapa. Tadinya dia berharap Tari akan menerimanya. Apalagi Tari kan sudah mengenal Asty, dan Asty tidak menolak seandainya dirinya menikah lagi.
Tapi semua itu sudah buyar dengan perkataan Tari bahwa dia akan segera menikah.
"Aku memang gila," bisiknya sambil terus memacu mobilnya.
"Astari... bapak kangen."
Dan ketika memasuki halaman rumah ibunya di daerah Plengkung, wajah Nugroho berseri-seri. Dilihatnya Asty sedang menggendong anaknya diteras.
Begitu mobil berhenti, Nugroho bergegas turun kehalaman dan mendekati Asty serta anaknya. Tapi begitu tangannya terulur untuk menggendong anaknya.. Asty mundur kebelakang.
"Mas, cuci kaki dan tanganmu dulu baru boleh menjamah anakmu."
"Oh, iya..." kata Nugroho yang kemudian bergegas kebelakang.
Didengarnya ibu mertuanya menyambut Nugroho dengan gembitra.
"Dengan siapa le?"
"Sendiri bu, seperti biasa. Nug mau ke kamar mandi dulu bu."
"Benar, tidak boleh memegang anakmu sebelum cuci kaki tangan sampai bersih."
Asty masih berdiri di teras. Ia tak perlu menyiapkan minum bagi suaminya karena mertuanya pasti sudah menyuruh pembantu untuk melakukannya. Ia terus saja menggendong Astari dan menciuminya ber-kali-kali.
"Bapakmu datang nak, bergembiralah," bisiknya.
Seperti mengerti Astari mengerjapkan matanya dan tersenyum merekah.
Gemas Asty menciuminya lagi berkali-kali.
Ketika Nugroho mendekat, Asty kemudian beranjak kebelakang, barangkali ada yang harus dilakukannya. Lagi pula ia tak perlu menemani suaminya karena selamanya dia tak merasa dibutuhkannya.
Tapi kemudian Nugroho menahannya.
"Asty, duduklah dulu."
Asty duduk. Kembali dadanya berdebar. Apakah suaminya akan mengatakan kapan akan menikah lagi, atau bahkan sudah menikah, lalu ingin mengajaknya pulang kerumah ini?
"Ada apa?" tanya Asty datar.
"Aku hanya ingin bercerita."
"Oh, tentang pernikahan mas?"
"Tidak, dia menolaknya."
"Lalu, apa yang akan mas lakukan?"
"Tidak ada, aku terima keputusannya."
Asty terdiam. Pemberitahuan itu dirasanya tak begitu penting. Tapi ia enggan berkomentar.
"Dia gadis yang baik."
"Ya, tentu saja, dan itu sebabnya kamu tergila-gila bukan?" katanya tanpa nada sakit hati.
"Asty, kamu pasti mengenal dia."
Asty mengerutkan keningnya. Di Solo siapakah gadis yang aku kenal dan kira-kira dekat dengan suamiku? Kata batinnya.
"Aku mengenal dia jauh sebelum kita menikah. Kami saling jatuh cinta, kemudian terputus karena aku harus menikahi kamu."
"Oh, kasihan gadis itu. Tapi aku mengenalnya?"
"Dia, Lestari Rahayu."
Asty hampir terjatuh dari tempat duduknya karena dia hanya meletakkan pantatnya diujung kursi, berharap tak akan lama berbicara dengan suaminya.
"Tari ?"
Nugroho mengangguk. Kali itu Asty merasa sedih dan marah. Sedih karena telah merusak kebahagiaan sahabatnya, marah karena Tari tak pernah berterus terang padanya.
***
Tari sibuk memasak didapur bersama Sugi. Berkali-kali adik-adiknya menengok kebelakang, karena mencium harum masakan dari arah dapur.
"Belum masak ya mbak?"
"Sebentar, kamu nih, memangnya sudah sangat kelaparan?" tegus Suci sambil merengut.
"Iih, mbak Suci galak... Kabuuuuurrr...." teriak salah satu adiknya diikuti yang lain, sambil tertawa-tawa gembira.
"Sudah Suci, angkat saja ikannya, dan langsung tata dimeja."
"Ini sudah matang?"
"Ya sudah, kan sudah kering begitu, nanti gosong kalau dilanjutin."
"Oke..." kata Suci gembira.
Hari Minggu adalah hari-hari yang menyenangkan, apalagi ketika Tari pulang kerumah dan memasak buat keluarganya.
"mBak.. bagaimana dengan lamaran bu Yana?"
"Sst.. apa sih kamu itu, tiba-tiba menyinggung bu Yana," tegur Tari.
"Sebenarnya aku berharap, mbak tidak menerimanya. Sunggu orang itu tidak menyenangkan. Kalau cari suami itu harusnya seperti mas Nugroho."
"Ssst, diam Suci, disuruh mengentas ikan kok malah ngomong yang enggak-enggak."
Suci memeletkan lidahnya, sambil menata ikan yang sudah dientasnya dari penggorengan.
"Tapi bener lho mbak, jangan sama anaknya bu Yana," kata Suci berkali-kali.
"Tenang saja..." kata Tari sambil tersenyum.
Suci menata piring dan semua perlengkapan makan, sambil bersenandung. Senang mendengar jawaban kakaknya.
Tiba-tiba didengarnya suara mobil berhenti didepan rumah. Lalu suara ibunya menyapa tamu.
"Ya ampuun, nak Janto.. ayo silahkan masuk, lagi pada didapur tuh."
Tari mengentas sayur lalu diletakkan dimeja, kemudian menjenguk keluar. Benar, Janto yang datang.
"Tari, aku datang mau sekalian mencicipi masakan kamu," teriak Janto dari luar.
"Iya nak, kebetulan sa'atnya makan, silahkan masuk."
"Terimakasih bu."
"Tari, sudah selesai masaknya? Ini, ajak nak Janto makan sekalian."
Tari meninggalkan dapur sambil berpesan pada adiknya.
"Suci, tambahkan satu piring untuk mas Janto."
"O, mas Janto? Jangan-jangan mbak pacaran sama dia," seloroh Suci.
"Ssst..."
Tapi tiba-tiba ponsel Tari berdering. Ya ampun, Asty sangat rajin menelponnya.
"Hallo Asty.."
"Tari, kamu itu keterlaluan !!"
Tari terkejut, nada suara Asty sangat tidak enak didengar. Ada apa nih?
"Asty, aku salah apa?"
"Ternyata pacarnya mas Nugroho itu kamu! Mengapa kamu tidak berterus terang Tari, kamu jahat! Aku benci sama kamu Tari."
"Asty.. "
"Baru tadi mas Nugroho datang dan mengatakan semua itu."
"Ma'af Asty, aku hanya tak ingin melihat kamu terluka."
"Sekarang ini, aku mau kamu menerima mas Nugroho menjadi suamimu."
Tari berjalan kearah teras, memegang sandaran kursi lalu duduk dengan tangan gemetar.
"Apa maksudmu?"
"Aku mau kamu menerima lamaran mas Nugroho Tari!"
Mana Mungkin Tari menerimanya?
"Tidak Asty, aku sudah mau menikah."
"Kamu bohong !"
"Tidak, ini, calon suamiku ada disini. Mau bicara sama dia?"
Janto yang duduk didepan Tari memelototkan matanya.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel