Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 05 Juni 2021

Lestari Punya Mimpi #6

Cerita bersambung

Begitu ponsel ditutup, Janto menatap Tari dengan wajah merengut.
"Jelek ya kalau lagi merengut," goda Tari.
"Memang aku jelek, dan itu sebabnya aku gak boleh melamar kamu. Bisanya cuma jadi tameng melulu," keluh Janto.
Tari tersenyum.
Sesungguhnya Tari bukan tak mau menjadi isteri Janto. Memang sih, dia tidak cinta, tapi Janto itu kan baik, sangat memperhatikan dan teman yang menyenangkan.
Dan kalau Janto benar benar cinta sama dia, tak apa, bukankah lebih baik dicintai daripada mencintai? Itulah sebabnya dia tak segan-segan menjadikan Janto sebagai tameng ketika Nugroho masih nekat mendekatinya, dan ketika Asty juga ingin menjadikannya madunya. Ahaaii... enakkah hidup di madu? Jadi Janto sekarang menjadi pilihan hidupnya.
Tapi Tari kesal karena Janto seperti tak bersungguh-sungguh. Perkataan itu seperti tak berlanjut, hanya main-mainkah? Itulah sebabnya Tari bermaksud memancing-mancing.
"Boleh kok, ayo makan dulu.. nanti tambah jelek," kata Tari sambil menarik Janto kebelakang. Dimeja itu sudah duduk bapak ibunya Tari dan suci, sedangkan keempat adiknya yang lain duduk dikursi yang berjajar, agak jauh dari meja itu, karena meja makannya tak begitu besar.
"Silahkan nak Janto..."
Janto duduk ketika Tari menarikkan kursi untuknya.
"Seperti tamu agung saja," kata Janto sambil tersenyum.
"Ini masakan Tari dan adiknya, silahkan dinikmati nak.. jangan sungkan.."
"Terimakasih bu.."
Tari menyendokkan nasi ke piring Janto.
"Aku lagi belajar melayani suami nih," kata Tari sambil melirik Janto.
Gemas karena pancingannya tak pernah mengena, Tari lebih berani lagi melemparkan umpan.

"Hm... kali ini buat belajar..." kata Janto sambil menyendok sayur asem yang sudah sedari tadi diliriknya.
Tari duduk dengan wajah masam. Tapi dia senang melihat Janto makan dengan lahap.
"Ini masakanku, apakah aku sudah pantas menjadi isteri?" celetuk Tari lagi ambil berjanji dalam hati, kalau ini tak mengena dia akan menjatuhkan bom berukuran besar didepannya..
"Sungguh beruntung siapapun yang akan menjadi suami kamu Tari," kata Janto sambil menyendok lagi sayur asemnya.
Suci menatap keduanya, yang bicaranya dirasa aneh tapi lucu. Inikah calon suami kakaknya? Cakep sih, cuma agak ceking, tapi itu tak masalah, ganteng juga kok. Batin Suci sambil mengangguk angguk.
"Mengapa kamu mengangguk-angguk Suci?"
Suci terkejut, rupanya Tari memperhatikannya.
"Ini... enak.." jawab Suci sekenanya sambil menyuapkan nasi kemulutnya.
Ketika bapak ibunya menemani Janto duduk santai diteras, Suci keluar dengan membawakan minuman segar.
"Ini jus jambu buatan sendiri," kata Tari, kemudian ikut duduk diantara mereka.
"Hm, segar.." kata Janto yang tanpa malu-malu meraih gelas jus itu sebelum dipersilahkan lalu menyedotnya perlahan.

Tiba-tiba Tari merasa bahwa Janto harus segera berterus terang apa maunya. Apakah dia cuma bercanda? Sekarang Tari ingin membuktikannya. Ini bom terakhir yang setelah ini Tari tak akan lagi mengacuhkannya.
"Bapak, ibu.. beberapa hari yang lalu mas Janto pernah mengatakan bahwa dia ingin melamar Tari."
Janto terkejut. Kedua orang tua Tari menatap Janto penuh pertanyaan. Mengapa justru Tari yang mengatakannya? Apa anak muda itu pemalu?
Tari menatap Janto dengan senyum kemenangan. Kali ini ia akan membuat Janto mengatakan keinginan yang sebenarnya. Seriuskah dia, atau hanya bercanda.
"Katakan mas, apa kamu bersungguh-sungguh atau hanya bergurau. Ini didepan ayah ibuku."
Janto melotot kearah Tari, tapi kemudian tersenyum ketika melihat ayah ibunya Tari menatap kearahnya.
Tari tersenyum ketika Janto terlihat berusaha mengucapkan sesuatu tapi belum juga diucapkannya. Kedua tangannya saling menggenggam, mungkin untuk menenangkan batinnya.
"Tari, kamu ini omong apa, kalau nak Janto tidak ingin mengatakannya, mengapa kamu mengganggunya?" tegur sang ayah.
Malu merasa ditembak mati, Janto kemudian menatap kedua orang tua Tari berganti-ganti.
"Bapak, ibu.. apa yang dikatakan Tari itu benar. Saya ingin melamar Tari, dan ma'af, belum sempat mengutarakannya sebelum ini."
Ini acara melamar yang sedikit aneh. Mungkin hanya Tari yang menciptakannya.
Bapak dan ibunya menatap  Tari, mencari jawab.
"Bagaimana Tari?" tanya sang bapak.
"Tari akan menurut apa kata bapak sama ibu. Kalau bapak mengijinkan, saya menurut saja."
"Artinya kamu bersedia?"
"Sebentar pak, apa mas Janto bersungguh-sungguh?" tanya Tari sambil menatap Janto.
"Bagaimana nak?"
"Saya bersungguh-sungguh pak."
"Itulah, mengapa nak Janto belum melakukannya, justru Tari yang mengatakannya? Tari, itu tidak pantas." tanya sang ibu dengan tatapan menegur kepada anak gadisnya.
"Ibu, ma'afkan Tari. Mas Janto itu kan pemalu. Dia punya mau tapi tidak berani mengatakannya, Tari capek menunggunya bu."
Janto menatap Tari dengan mata penuh ancaman. Tapi Tari tidak menghilangkan senyumnya.

"Tapi bapak, ibu, Janto di dua bulan kedepan akan pindah ke Jawa Timur. Kalau tidak keberatan kami minta agar bisa menikah secepatnya, karena Tari akan saya bawa ke Jawa Timur juga." kata Janto tegas. Ini pembicaraan diluar rencananya. Apa terlalu tergesa-gesa?
"Oh, Jawa Timurnya mana nak?"
"Pasuruhan bapak."
"Jauhnya..." keluh sang ibu.
"Tidak bu, Tari akan sering datang kemari setiap ibu merindukan dia," kata Janto.
Siapa mengira, tembakan Tari kemudian sudah mengarah kearah pernikahan dan rencana membawa Tari serta ke tempat kerjanya yang baru.
Ini sama sekali tak diduga Janto.
***

Tapi ketika siang hari sepulang dari Kantor, Janto melampiaskan kekesalannya pada Tari.
"Kamu tuh ya, pintar-pintarnya menjatuhkan namaku didepan bapak ibumu."
"Kok bisa?"
"Masa kamu bilang karena aku pemalu.. ya jatuh dong namaku didepan orang tuamu.."
Tari justru tertawa keras.
"Kok tertawa sih.. "
"Habis... kamu ngomong seperti nggak serius, aku jadi penasaran..."
"Kamu yang nggak serius.. pakai ngomong sudah ada yang ngelamar kek.. terus aku dipakai tameng berkali kali. Didepan Nugroho.. bilang mau nikah sama aku, ditelpon Asty demikian juga..jadinya aku tuh merasa hanya sebagai tameng."
"Baiklah, kalau menyesal.. nggak jadi juga nggak apa-apa.." kata Tari cemberut.
"Aku sebenarnya bingung."
"Kenapa bingung?"
"Takut kalau kamu menolak.. jadi aku tidak berani meneruskan niat itu."
"Padahal aku menunggu.."
"Benarkah?"
"Ya sudah kalau nggak percaya."
"Kemarin itu bicaranya jadi nggak karuan. Melamar tiba-tiba, bicara pernikahan tiba-tiba, sungguh aku bingung. Aku kesal sama kamu, jadi pengin....."
"Pengin apa?"
"Nggak jadi, paling kamu nanti bilang 'bukan muhrim'... ya kan?"
***

Pernikahan tak harus dibarengi suasana pesta meriah. Itu bukan keinginan Tari, lagi pula orang tuanya bukan keluarga kaya. Kalaupun Janto punya uang, lebih baik untuk bersiap-siap pindah ketempat kerjanya yang baru.
Tari sudah mengajukan surat resign dari tempat kerjanya. Ada yang sudah menduga kalau Tari bakalan menikah sama Janto melihat kedekatan mereka, tapi ada yang terkejut karena keduanya tampak biasa-biasa saja dalam bergaul.

Seminggu sebelum perpindahan Janto, mereka menikah. Hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan teman-teman sekantor.
Tari mengundang Asty, hanya untuk meyakinkan sahabatnya dan suaminya itu, bahwa dia benar-benar tak boleh diganggu lagi.
Tapi Asty tidak datang. Mungkin Nugroho melarangnya, atau memang tidak bisa dengan alasan anaknya masih terlalu kecil.
Tapi Tari bersyukur. Ia sungguh tak ingin bertemu Nugroho lagi, dan ingin menghapusnya dari ingatan, walau cinta itu masih ada. Aduhai.. susahkah menghilangkan rasa cinta?
***

"Sebenarnya aku ingin datang di pernikahan Tari," kata Asty ketika Nugroho pulang.
"Anakmu masih kecil, tidak baik diajak bepergian jauh."
"Ya, tapi aku harus minta ma'af sama kamu mas."
"Minta ma'af untuk apa?"
"Sebenarnya aku tak ingin menghalangi kamu menikahi Tari."
"Tidak apa-apa, lupakanlah."
"Aku juga sudah meminta Tari untuk menerima kamu, tapi Tari sudah menemukan jodohnya. Kamu harus bisa menerimanya."
"Tentu saja, ya." jawaban singkat Nugroho menggambarkan bahwa ia tak ingin membicarakan tentang Tari. Bahwa cinta itu tetap melekat dihatinya, Nugroho menyimpannya erat-erat. Itu cinta sejatinya, yang tak akan pernah dilupakannya. Ia menyesali apa yang telah dilakukannya, tapi Asty selalu mengingatkan bahwa menyenangkan orang tua itu adalah perbuatan yang mulia."
"Kamu wanita yang baik Asty, aku merasa berdosa sama kamu."
"Tidak usah merasa berdosa, kita sama-sama berkorban demi orang tua. Tapi kita harus ikhlas melakukannya.
Nugroho mengangguk. Sore itu ia merasa bisa bercakap dengan santai bersama  isterinya. Selama ini ia selalu bersikap acuh tak acuh, dan jarang sekali bicara.
"Mas tidak usah terlalu menyesali apa yang telah kita lakukan. Ini lebih baik, bukankah kita berteman?"
Berteman, istilah yang sangat apik. Suami isteri baru bisa berteman. Nugroho tersenyum, menatap isterinya lekat. Baru sore ini Nugroho mengerti betapa isterinya sangat cantik. Wajah oval dengan alis tebal, hidung mancung dan mata bening dengan bulu mata lentik. Bibir tipisnya mengucapkan kata-kata yang meluncur bagai nyanyian dari negeri diatas langit. Nugroho menatapnya tak berkedip.
"Mengapa kamu menatap aku seperti itu?"
"Tidak apa-apa, kamu cantik."
Asty berdebar. Setahun lebih menikah, baru sekali ini suaminya mengatakan bahwa dia cantik. Apa karena cintanya pada Tari telah kandas lalu berpaling kepadanya? Asty tak ingin bermimpi. Ia tak menampakkan wajah senang mendengar pujian itu, walau debar jantungnya berdegup cukup keras.
"Asty, anakmu bangun," teriak mertuanya dari dalam membuyarkan debar yang semula tak bisa ditahannya.
Asty bergegas masuk, mendekati anaknya yang sedang merengek dikamar.
"O.. sayang, kamu ngompol?" Asty mengangkat tubuh anaknya, menggantikan popok basahnya. Tangis bayi itu mereda, tapi mulutnya seperti mencari-cari. Asty tersenyum.
"Kamu haus sayang ?"
Tari mengangkatnya dan memangkunya ditepi pembaringan, lalu mulai menyusukannya.
Dengan lahap sang bayi mungil itu menyedot susu dari puting ibunya.
Asty mengelus kepalanya lembut, dan tersenyum memandanginya penuh cinta.

Asty terkejut ketika tiba-tiba melihat Nugroho sudah ada dikamar itu.
Asty buru-buru menutupi dadanya.
"Mas, keluarlah, anakmu sedang menyusu."
"Memangnya kenapa? Bukankah aku suamimu?"
Asty berdebar. Apakah dunia sedang terbalik ?
Nugroho bahkan kemudian duduk disamping Tari sambil mengelus kepala anaknya. Tari gelagapan.
"Nanti aku mau tidur dikamar ini, diluar dingin."
"Auuw... !" Asti menjerit.
"Kenapa?"
"Ini... dia menggigitku," katanya berbohong, padahal dia terkejut akan kata-kata suaminya.
***

Malam itu Suci tampak sedih, karena kakaknya sudah diboyong kerumah Janto. Ia termenung sendirian diteras. Besok hari Minggu, tak akan ada lagi yang datang lalu mengajaknya masak beramai-ramai. Ini masih di Solo, kalau besok Janto sudah mengajaknya ke Jawa Timur, belum tentu bisa sebulan sekali bertemu.
"Suci, kok belum tidur ?"
"Ibu, kok ibu juga belum tidur ?"
"Baru saja ibu menyelesaikan jahitan Bu Nani, besok mau diambil."
"Ya sudah, sekarang ibu istirahat saja."
"Kamu sedang apa? Melamun ?"
"Tidak bu, habisnya besok hari Minggu, Suci libur belajar juga."
"Tak biasanya kamu melamun disini. Memikirkan kakakmu kan?"
"Iya bu, mBak Tari bakalan jauh dari kita. Besok hari Minggu, biasanya kami masak-masak bersama."
"Kamu sudah banyak belajar memasak dari kakakmu, besok masak dibantuin ibu ya?"
"Iya bu.."
"Sekarang tidurlah. Ada sa'at dimana kita harus melepaskan keluarga satu demi satu. Besok kalau kamu menikah, pasti juga akan meninggalkan bapak, meninggalkan ibu dan adik-adikmu. Ya kan?"
"Besok kalau Suci menikah, ibu akan Suci bawa."
"Enak saja, kasihan bapakmu sama adik-adikmu dong," kata ibunya sambil tertawa.
"Dengar Suci, sa'at itu pasti akan tiba. Ketika sepasang orang tua kemudian melepaskan anak-anaknya untuk membangun sebuah keluarga baru. Dan itu harus kita terima."
"Pasti besok bapak sama ibu akan kesepian."
"Itu benar, tapi kalau anak-anak apalagi cucu.. bisa hidup bahagia, bapak ibu pasti juga akan bahagia. Masalah sepi itu kan sudah kodratnya alam nduk."
"Kalau begitu Suci tak mau menikah, supaya tak usah meninggalkan bapak sama ibu."
"Hush, tidak baik berkata begitu. Kalau sudah sa'atnya kamu akan jatuh cinta kepada seorang laki-laki, kemudian kamu akan menikah dan harus meninggalkan rumah ini."
"Hm, jatuh cinta? Seperti apa ya jatuh cinta itu?"
"Nanti kamu akan merasakannya. Sekarang ayo tidur, sudah malam."
"Oh ya bu, minggu depan kan mbak Tari pindahan ke Jawa Timur, apa kita boleh ikut?"
"Ibu belum tau, terserah masmu Janto, bisa mengajak kita apa tidak."
***

Ini hari pertama Tari tinggal dirumah Janto. Banyak yang harus dibenahi. Rumah bujangan tidak mungkin rapi. Banyak kotoran teronggok di bak cucian. Banyak piring kotor belum sempat dicuci, lalu letak barang-barang yang ditata sembarangan.
Janto sedang pergi ke kantor mengurus surat-surat sebelum penugasannya ke daerah lain.
Ada foto keluarga bapak ibunya Janto tertempel didinding, terletak miring. Aduuh.. Tari harus mengambil bangku untuk memanjat supaya bisa membenarkan letak foto itu.

Orang tua Janto hanya datang sehari ketika mereka menikah, karena ayahnya tak bisa meninggalkan perusahaannya di Jakarta.
Janto sendiri tidak mau bekerja di perusahaan ayahnya karena ingin mendapatkan penghasilan dari keringatnya sendiri. Orang tuanya sedikit kesal, tapi tak bisa memaksa kehendak anaknya. Hanya kakak Janto paling tua yang mau membantu di perusahaan itu.
Hampir setengah hari Tari membenahi rumah suaminya. Lalu dia ke dapur, membuka kulkas yang hanya berisi air dan minuman instan,
Tari ingin memasak. Adakah tukang sayur dirumah ini?
Tari berganti pakaian, lalu bergegas keluar rumah. Tukang sayur tak ada, pasarnya jauh entah dimana. Tari memasuki supermarket terdekat yang menjual beberapa macam sayuran dan ikan. Asti memilih beberapa yang akan dimasaknya, dan bumbu-bumbu yang dibutuhkannya, lalu pulang.
"Memasak di rumah sendiri ternyata terasa nikmat."
Tari membuat sup ayam dan perkedel, menggoreng tahu, dan sambal. Barangkali itu cukup.
Dua jam lamanya dia berkutat didapur, kemudian menatanya di meja makan.
Tari keluar dari rumah, bejalan masuk dan mengamati apa yang terlihat kurang sempurna. Kursi tamu dengan taplak bersih, foto-foto keluarga terpampang rapi, meja kursi mengkilat tanpa debu.
Lalu ia memasuki kamar. Seprei bersih, meja dan almari bersih. Tari membuka almari, dan tersenyum lega. Dia sudah merapikan semuanya. Kamarnya juga sudah harum, karena Tari menyemprotnya dengan pengharum yang lembut. Ada bunga plastik yang semula berdebu, Tari sudah mencucinya dan menatanya dengan cantik.
"Besok akan aku gantikan dengan bunga segar yang wangi," gumam Tari.
Lalu dia keluar, memeriksa kamar mandi yang sudah mengkilat karena disikat. Lalu kedapur, menata panci dan piring yang semula berantakan. Kemudian ke ruang makan. Hm, apa yang dimasaknya sudah ditata rapi.
Tari meletakkan dua piring didepan dua buah kursi yang berhadapan. Tampaknya semua sempurna.
Lalu Tari pergi mandi. Ketika suaminya pulang dia harus wangi. Pastilah dia berkeringat karena bekerja merapikan rumah hampir seharian.
***

Janto turun dari mobilnya sehabis dari kantor. Melangkah kedalam rumah dengan perasaan nyaman. Ia merasa memiliki rumah yang baru. Ada harum menyeruak disetiap ruang yang dia masuki. Lalu harum masakan diruang makan.
Janto tersenyum, mencari dimana isterinya berada.
Ia memasuki kamar dan terpana. Kamar itu sungguh sudah rapi, dan wangi.
Tari sudah selesai berganti pakaian setelah mandi. Janto mendekat dan nyaris mencium pipinya.
"Mandi dulu dong mas... !" kata Tari sambil mendorong tubuh suaminya.
"Tapi aku tak sanggup melihatmu begitu."
Janto melepas sepatunya, melepas baju kerjanya, dan begitu saja menggendong Tari lalu membaringkannya.
Tari meronta.
"Mas Janto jorok! Belum mandi! Bau !!"
Tapi Janto tak perduli. Sore itu mungkin terasa gerah, tapi ada nada-nada indah bergaung disetiap sudut kamar.
***

Janto menikmati makan sore itu dengan lahap. Tari senang melihatnya.
"Masakanku enak ?"
Tapi Janto tiba-tiba mengatakan hal yang tidak diduganya.
"Apakah kamu tadi membayangkan sedang bercumbu dengan Nugroho?"
Tari terkejut. Menatap Janto dengan marah.

==========

Tari kehilangan selera makannya. Ditelungkupan sendok garpunya pertanda dia tak ingin melanjutkannya.
"Tari, kok nggak dihabisin ? Enak lho masakanmu."
Tari tak menjawab, langsung berdiri meninggalkan meja makan sambil membawa piring yang masih berisi sebagian makanan. Ia membuangnya ketempat sampah kemudian mencuci piringnya.
Janto melanjutkan makan, seperti tak sadar apa yang membuat Tari bersikap seperti itu.

Tari sibuk membersihkan dapur, lalu ketika melihat Janto selesai makan kemudian dia membawa piring-piring kotor dan merapikan kembali meja makan .
Janto melangkah kedapur, melihat Tari mencuci piring, kemudian mendekapnya dari belakang.
"Mengapa kamu marah? Tidak bolehkah aku bertanya seperti itu? "
Tari meronta, sehingga pegangan Janto terlepas.
"Jangan marah Tari, aku bertanya begitu karena aku sesungguhnya meragukan cinta kamu sama aku."
Tari membalikkan tubuhnya, menghadapi Janto dengan sinar mata kesal.

"Pertanyaan itu tidak seharusnya kamu ucapkan. Jangan bicara lagi so'al cinta. Aku sudah bersedia menjadi isteri kamu, dan aku sepenuhnya milik kamu. Tapi bukan berarti kamu boleh melukai aku seenak kamu ngomong."
Tari melanjutkan mencuci piring, lalu berlari masuk kekamar, ia menangis disana.
Janto memburunya, lalu merebahkan dirinya disamping Tari.
"Tari jangan marah... ma'afkan aku ya."
Tari menutupi wajahnya dengan bantal, lalu Janto merenggut bantal itu.
"Tari, aku berjanji tidak akan mengulangi lagi. Ayo tersenyumlah," kata Janto sambil mengusap pipi Tari lembut.. lalu menyentuh bibirnya.. matanya..
Sebenarnya Tari adalah pema'af yang luar biasa.
Mungkin Janto tak sadar melakukannya, dan berkata begitu karena ada rasa cemburu mengingat Tari dulu begitu mencintai Nugroho.
Tari kemudian menepiskan semua sakit hatinya. Permintaan ma'af itu meluluhkan hatinya. Lalu lebih luluh lagi ketika irama merdu dan dendang yang berkumandang adalah aroma manis yang menghiasi suasana kamar menjelang senja itu.

Ketika Tari mandi dan mengguyur seluruh tubuh dari rambut sampai kekaki, aroma manis itu manis terasa. Semoga demikianlah selamanya, karena semua ini adalah kehidupan yang dipilihnya.
***

Hari itu Tari sudah diajak suaminya pindah ke Jawa Timur. Kedua orang tua Tari belum diajaknya serta mengingat adik-adik Tari yang belum liburan.
"Nanti disa'at liburan kita akan mengajak mereka kemari," kata Janto disela-sela kesibukan menata rumah barunya.

"Tidak apa-apa mas, kalau ikut sekarang nanti bapak sama ibu malah kasihan soalnya mau tidak mau akan membantu kita beres-beres rumah."
"Kamu senang rumahnya? Ini kan rumah fasilitas kantor, jangan membayangkan yang mewah-mewah. Untuk aku ini lumayan bagus."
"Menurutku ini sudah mewah. Aku suka. Aku itu kan biasanya tinggal dirumah sederhana, dilingkungan kumuh. Jadi rumah seperti ini menurutku sangat mewah."
"Ini tampaknya rumah baru. "
"Benar, masih bau cat.. dan perabotnya juga baru. Maklumlah.. untuk bos baru," canda Tari.
"Isteri baru.." sambung Janto sambil tersenyum.
"Istilah isteri baru itu salah mas. Kalau ada isteri baru, berarti ada isteri lama."
"Jadi harus bagaimana?"
"Baru punya isteri, gitu kan ? Terbalik kamu mengatakannya."
"Iya kamu benar. Kalau Nugroho jadi  mengambil isteri kamu, barulah istilahnya isteri baru, ya kan?"
Senyuman Tari kembali menghilang. Mengapa diawal-awal pernikahan mereka Janto selalu membawa nama Nugroho hampir disetiap percakapan? Ini memicu suasana panas, memanaskan suasana manis yang seharusnya ada diantara pengantin baru.
"Kok cemberut?"
Tari menarik meja kecil yang ingin diletakkannya disudut ruangan. Ia enggan meminta tolong pada suaminya. Tapi meja itu berat. Tak apa, Tari nekat melakukannya.
"Mari aku bantu, kok ditarik sendiri, ini berat, karena bahannya dari kayu jati asli."

Tapi Tari sudah terlanjur menariknya sampai ditempat dimana ia ingin meletakkan. Lalu ia meletakkan vas bunga diatasnya. Bunganya belum ada, besok Tari baru akan membelinya.
"Nanti sore kita cari toko bunga ya, barangkali ada beberapa meja yang bagus kalau ada bunga dipajang diatasnya." kata Janto yang melihat bahwa Tari suka bunga-bunga segar, seperti rumah di Jakarta yang ditata apik dengan bunga-bunga.
Tari tak menjawab. Kesalnya belum hilang. Mengapa Janto tak juga mengerti bahwa menyebut nama Nugroho akan merusak suasana yang sesungguhnya bisa menjadi sangat manis? Apakah Janto mempergunakan nama itu untuk menyiksa Tari?.
Tari tak menjawab apapun. Ia ingin Janto mengerti dengan sendirinya. Ia juga lelah bertengkar setelah lelah jiwa raganya membenahi rumah barunya.
"Tari, apakah korden yang kita bawa dari Solo cocog untuk rumah kita ini?"
"Cocog," jawabnya singkat. Ia duduk disebuah kursi dan menyandarkan kepalanya. Lelah.
Biarpun rumah itu lengkap dengan perabotannya, tapi Tari dan Janto banyak merubahnya seperti keinginan mereka.
"Capek ya? Istirahatlah dulu. Apa mau aku pijit kakimu?"
Perhatian Janto itu tiba-tiba dirasanya tidak tulus diucapkannya. Atau mungkin dia belum sadar juga bahwa membawa nama Nugroho akan merusak hari-hari manisnya?
Tari belum menemukan jawabnya. Ia harus menunggu sampai ia benar-benar mengerti akan hati suaminya.
Tari beranjak kedapur, mencari air dingin di kulkas, dan meneguknya sambil duduk dikursi didapur itu.
Mengamati perabot dapur yang lengkap, membuat Tari kembali bersemangat.
Sesungguhnya dia suka memasak, dan apa yang dibutuhkannya ada didapur itu. Wajan penggorengan, panci masak, microwave.. ada panci presto..  rice cooker.. dan semua perlengkapan masak yang tak mngecewakan.

Ini luar biasa. Besok Tari ingin berbelanja, dan masak setiap hari. Harus ada bumbu-bumbu yang lengkap juga. Lalu stock sayur dan ikan harus ada di kulkas, supaya dia tidak harus belanja setiap hari.
Tiba-tiba Tari teringat Suci adiknya, dia juga suka memasak. Pasti sepi didapur yang setiap Minggu pasti ramai karena celoteh Suci dan adik-adiknya yang heboh  mengomentari masakan Tari.
Apakah hari Minggu kemarin Suci juga memasak? Atau dibantu ibu karena Suci belum pintar benar? Ada rasa sedih karena harus meninggalkan mereka. Meninggalkan suasana riuh rendah setiap dia pulang kerumah.
"Besok aku harus kekantor. Kamu tidak usah melakukan apa-apa tanpa aku, tunggu aku pulang saja," kata Janto sambil mendekat.
"Aku mau belanja besok."
"Bagaimana kalau sekarang saja? Aku lapar dan kita akan mencari makan kemudian belanja apa saja yang kamu perlukan."
Ajakan belanja itu membuatnya bersemangat. Apalagi banyak yang dibutuhkan. Tari mengangguk, lalu menuju kekamar dan berganti pakaian.
***

"Tari, kamu dimana ?" itu suara Asty ditelpon, ketika Tari sedang belanja
"Aku sudah ada di Jawa Timur nih, sekarang lagi belanja."
"Lho, kamu di Jawa Timur ?"
"Suamiku dipindahkan ke Pasuruan, baru dua hari ini."
"Wah, selamat ya Tari, aku ikut bahagia."
"Terima kasih Asty."
"Ya sudah, belanja dulu, aku cuma mau bilang ma'af, karena tidak bisa memenuhi undangan kamu. Kamu kan tau, anakku masih kecil, belum tiga bulan."
"Tidak apa-apa Asty, salam buat baby kecilmu yang lucu ya."
"Iya, tante. Dan ma'af juga baru sempat menelpon."
"Iya, aku tau kamu repot merawat bayimu."
"Ya sudah, salam buat suamimu."
"Terimakasih, nanti aku sampaikan, tuh dia lagi memilih-milih, nggak tau apa yang ingin dia beli"
"Kamu nggak titip salam buat mas Nugroho ?"
"Ya, salam saja, nggak apa-apa. Ma'af ya, lagi rame nih ditoko."
Tari menutup ponselnya, lalu terkejut ketika tiba-tiba Janto sudah ada dibelakangnya.

"Sudah disampaikan salamnya?" tanya Janto dengan nada tidak suka.
"Asty minta ma'af karena tidak bisa datang ketika kita menikah." kata Tari mengalihkan pertanyaan Janto yang mengesalkan.
"Kamu kecewa?"
"Tidak, aku mau beli sayuran dulu," kata Tari yang kemudian meninggalkan Janto dengan pertanyaan konyolnya, menuju ketempat dimana sayur dipajang. Ia tak ingin menanggapi kata-kata suaminya.
"Hm, besok-besok aku lebih suka belanja sayur di pasar tradisional saja, disini jauh lebih mahal, gumam Tari sambil memilih milih sayur yang akan dibelinya. Iyalah, di mal semuanya mahal. hanya karena segera dibutuhkan saja maka Tari berbelanja disana, itupun karena Janto yang mengajaknya.
***

Tiga bulan lebih telah barlalu. Astari kecil sudah semakin lucu. Ia sudah bisa duduk sendiri, dan merangkak kemana-mana. Nugroho lebih sering kerumah, tidak seperti dulu yang setiap bulan baru menjenguk anaknya. Kali ini setiap minggu dia datang, bercanda dengan Astari, dan bersikap lebih manis dari biasanya.
Bukan itu saja, Nugroho tak pernah lagi tidur disofa, tapi dikamar, bersama isteri dan anaknya. Dan suasana manis itu telah tercipta, demi sebuah pengabdian, kepada keluarga, walau belum lama disadarinya. Ia juga baru sadar betapa baik hati istrinya.
Apakah ingatan akan Tari sudah pudar? Hanya Nugroho yang tau. Tapi bahwa rasa cinta itu masih ada, bersembunyi jauh didasar hatinya, mungkin saja. Yang jelas sekarang Nugroho sudah banyak berubah. Mungkin harapan untuk memburu cintanya sudah punah.
Mengapa harus bermimpi kalau yang ada disampingnya adalah isteri yang jelas nyata dan ternyata bisa menghiburnya? Asty sendiri sebenarnya juga tak banyak menuntut. Ia sudah bahagia dengan sikap suaminya yang berubah lebih manis.
Pagi itu ibu mertuanya berteriak memanggil, karena Astari menangis keras dikamarnya.
"Asty, kamu dimana, anakmu menangis.."
"Tolong bu, ibu kekamar dulu,"  kata Tari dari dalam kamar mandi.
Sang mertua bergegas masuk ke kamar, mendapatkan cucunya sedang menangis keras.
"Oh, sayang, ibumu lagi dikamar mandi, ayo sama nenek dulu ya, waduh.. pampersmu sudah penuh begini, biar nenek lepas dan ganti yang baru ya."
Melihat neneknya, tangis Asta  mereda. Dengan penuh kasih sayang sang nenek menggantikan pampers yang baru.
"Nah, sekarang sudah nyaman kan, ayo kita keluar, kamu lapar ya? Kita tungguin ibu diluar ya?"
Lalu sang nenek mengendongnya keluar. Tapi tiba-tiba Asty datang dan tidak segera menghampiri anaknya.
"Asty, kamu kenapa? Perutmu sakit? Bau minyak kayu putih nih," katanya sambil mengikuti menantunya masuk kekamar.
"Saya masuk angin bu, tadi muntah-muntah dikamar mandi." kata Asty yang kemudian meminta anaknya dari gendongan sang nenek, karena begitu melihat ibunya lalu Astari merengek-rengek.
"Haus dia."
"Iya bu."
"Kalau kamu sakit, ke dokter saja, kamu kan lagi menyusui, jangan sembarangan minum obat."
"Iya bu, kalau nanti tidak reda juga Asty mau ke dokter."
"Jangan-jangan kamu ngidam," celetuk mertuanya.
Asty terkejut, meraba perutnya sendiri.
"Benarkah ?" rona bahagia segera menghiasi wajah cantik yang kemudian menatap anaknya yang dengan lahap menghisap susunya.
"Benarkah kamu mau punya adik?" bisik Asty.
"Periksa saja ke dokter, nanti ibu antar. Tapi sore nanti kan suamimu pulang, biar Asta sama ibu saja, kamu periksa sama suamimu."
"Baiklah bu."
Semuanya belum jelas benar, tapi Asty sudah merasa bahagia. Ia pernah merasakan ini ketika hamil yang pertama kali. Aduhai, Astari akan punya adik? Adakah bahagia yang lebih menyenangkan daripada akan memiliki momongan? Asty bersenandung sambil terus menerus menciumi anaknya.
Astari menatap ibunya, sesekali melepaskan putingnya dan berceloteh sambil tertawa-tawa, kemudian kembali menghisap putingnya lagi. Asty mendekapnya dengan linangan air mata bahagia.
***

"Selamat pak, isteri anda hamil," kata dokter itu membuat wajah Nugroho dan Asty berseri-seri.
"Terimakasih dokter," kata Nugroho terharu.
"Tapi ibu harus ber-hati-hati. Karena baru enam bulan atau tujuh bulan yang lalu ibu melahirkan. Siapkan susu formula untuk kakaknya karena mungkin dia tidak akan begitu suka lagi menyusu ke ibunya."
"Benarkah?."
"Menyusukan anak dalam keadaan hamil sebenarnya tidak apa-apa, tapi ada kemungkinan si anak akan tidak suka menyusu lagi, karena rasa asi akan berubah. Kecuali itu akan ada gangguan kontraksi sa'at si anak menyusu. Tidak semua benar, tapi ada baiknya perlahan menggantikan susu formula untuk sang kakak."
"Baiklah dokter. Susu formula apakah yang terbaik untuk anak saya?" tanya Nugroho.
"Tidak semua bayi cocog untuk suatu jenis susu, anda harus mencobanya. Banyak ditawarkan untuk itu."
"Baiklah."
"Banyak makan buah dan sayur yang bergizi ya bu. Ini saya berikan resep hanya tambahan vitamin. Ada obat mual yang harus dimakan sa'at perut kosong."
***

Perjalanan kembali disertai rona bahagia keduanya.
"Terimakasih Asty."
"Semoga anak kita laki-laki ya mas."
"Laki-laki atau perempuan  bagiku sama saja, yang penting dia sehat. Ya kan?"
Asty mengangguk, rasa mual kembali mengganggunya. Ia mengambil minyak kayu putih yang dibawanya, kemudian disedotnya. Itu mengurangi rasa mualnya.
"Mau muntah?"
"Mual mas."
"Kita langsung pulang saja, biar aku sendiri yang membeli obatnya, nanti kalau di apotik kelamaan kamu malah muntah-muntah disana."
Asty mengangguk.
"Sekalian coba beli susu formula mas, nanti kita coba, Asta mau tidak? Dan cocog tidak, kalau yang tidak cocog katanya bisa jadi mencret, atau bahkan sembelit."
"Ya, nanti aku coba."
***

Berbulan menata dan mengatur rumah dan isinya, Tari benar-benar merasa menjadi ibu rumah tangga. Ia rajin bersih-bersih rumah dan memasak sendiri untuk makan berdua. Ia melarang suaminya makan diluar, karena makanan rumah lebih sehat. Dan lebih irit pastinya. Bagi Tari yang terbiasa hidup sederhana, menghamburkan uang untuk hal yang tidak perlu adalah pemborosan. Makan diluar, beli pakaian bagus, bukan menjadi kesukaan Tari.
"Masak apa isteriku hari ini?" kata Janto pada suatu siang ketika pulang pada sa'at istirahat kantor.
"Lihat saja sendiri, sudah saya siapkan dimeja."
Janto dan Tari sudah duduk didepan meja makan. Ada rendang daging yang dimasak Tari, ca sayur yang segar, lalu kerupuk ikan. Itu cukup bukan? Tari tak suka masak bermacam-macam jenis masakan, yang nantinya akan terbuang karena tak habis dimakan. Toh mereka hanya berdua.
"Hm, enak, kamu selalu bisa masak enak Tari."
"Itu sebabnya, aku melarang mas Janto untuk makan diluar setiap sa'atnya makan. Boros, tau."
"Iya, tapi kalau sekali-sekali boleh kan?"
"Ya, kalau terpaksa, misalnya aku lagi malas masak..."
Tapi tiba-tiba Tari menutup mulutnya, lalu berlari kekamar mandi.
Janto menatapnya heran, sampai terdengar suara orang muntah-muntah disana.
"Tari..! Teriaknya sambil berdiri dan mendekati kamar mandi."
Suara muntah masih terdengar.
"Tari, kamu kenapa?"
Agak lama Janto menunggu. Ketika keluar, Tari terlihat mengusap mulutnya dengan tissue, wajahnya pucar.
Janto memapahnya kedalam kamar. Mencari obat gosok yang kemudian diangsurkannya pada Tari.
Tari menggosok perut dan ulu hatinya dengan minyak yang diberikan Janto.
"Kamu kecapean. Apa kita harus cari pembantu?"
"Tidak, tidak... aku bisa menyelesaikannya sendiri."
"Tapi kamu jadi kecapean..."
"Jangan-jangan aku hamil," celetuk Tari.
"Haaa..." Janto terkejut.
"Nanti sore kita ke dokter. Semoga benar."
"Mas pulang agak sore ya."
"Ya, aku akan pulang agak sore. Semoga kalau benar hamil, anakku nanti laki-laki. Tapi semoga wajahnya mirip aku, karena kalau mirip  Nugroho berarti kamu selalu membayangkan Nugroho sa'at bersama aku."
Lhaah, kumat lagi?
Tari berlari kekamar mandi.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER