Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 06 Juni 2021

Lestari Punya Mimpi #7

Cerita bersambung

Dikamar mandi itu Tari tak bisa memuntahkan apapun karena isi perutnya sudah terkuras habis. Yang ada hanyalah rasa sakit di perut dan kerongkongan karena ingin memuntahkan sesuatu tapi tak berhasil.
Tari terengah engah. Tapi dia enggan keluar dari kamar mandi. Kata-kata Janto kembali menganggunya, dan ini lebih menyakitkan.
Kalau benar ia mengandung, dan kalau benar anaknya laki-laki, dan kalau benar wajahnya mirip Nugroho, syukurlah. kata hati Tari, kesal.
Janto menggedor pintu kamar mandi.

"Tari,, Tari..." tapi Tari tak ingin membukanya.
Janto terus menggedor pintunya.
"Tari, kalau kamu tidak membukanya, aku akan menjebol pintu ini.."
Tari membuka pintunya, menutupi mulutnya dan bergegas masuk kekamar. Janto mengikutinya dari belakang, karena ketika dia akan menggandengnya, Tari mengibaskan tangannya.
"Tari..  kamu kenapa?"
Tari diam saja. dia membaringkan tubuhnya dan menutupi wajahnya dengan tissue. Diraihnya minyak kayu putih yang ada dibawah bantalnya, dibuka tutupnya dan diciumnya baunya.
"Perutmu kosong, aku suapin makan ya?"
Tari tak menjawab, tubuhnya terasa lemas, dan hatinya merasa gemas. Janto seperti tak mau membawa perasaannya agar bisa menutup masa lalunya, justru selalu mengingatkannya, dengan nada nyinyir dan menyakitkan.
"Baiklah, akan aku ambilkan makanan untukmu, lalu aku taruh dimeja ini. Nanti kalau kamu ingin makan, makan saja," kata Janto sambil keluar dari kamar.

Diambilnya piring, diisinya dengan nasi, lalu sepiring kecil ca sayur, dan sepirimg rendang. Ia juga mengambil air putih untuk diminum. Diletakkannya semua di nampan, lalu ia masuk kekamar dan meletakkan semuanya dimeja sebelah ranjang mereka. Dilihatnya Tari membalikkan tubuhnya, memunggunginya.
Janto menghela nafas.
"Aku akan kembali ke kantor, lalu pulang cepat, aku antar kamu ke dokter," kata Janto yang kemudian keluar dari kamar dan berangkat ke kantor.
Tari tak mengacuhkannya, ia merasa tubuhnya lemas, tapi setelah muntah rasanya sedikit lega. Tari bangkit.
Janto itu selalu menjengkelkan, tapi perhatiannya terhadap isteri sangat besar. Baiklah, Tari lagi-lagi mema'afkan suaminya.

Ia turun dari ranjang, mengambil nampan berisi makan dan minum, yang diletakkan suaminya, lalu dibawanya ke ruang makan.
Ia mengurangi porsi nasi yang disiapkan suaminya, lalu meletakkan sesendok kuah rendang dipiringnya dan makan sesuap demi sesuap. Tapi sungguh, perutnya kembali mual. Ia menghentikan makannya, mencium lagi minyak kayu putihnya. Dan menggosokkan lagi pada perutnya.
Ia membuka kulkas, untunglah masih ada dua butir jeruk. Diambilnya sebutir lalu dimakannya perlahan. Perutnya terasa lebih enak. Kalau begitu yang sebutir lagi harus dihabiskannya.
Tari merasa lebih lega. Ia mengangkat piring-piring kotor dan mencucinya, lalu membersihkan meja. Lalu kedepan memeriksa apakah Janto telah mengunci pintunya, kemudian masuk kembali kekamarnya dan kembali merebahkan tubuhnya.
"Benarkah ini gejala hamil ?" bisiknya sambil mengelus perutnya, masih tampak datar. Lalu Tari tersenyum dengan wajah berseri. Seandainya benar.. alangkah senangnya.

Tak tahan menunggu waktu sore, Tari keluar dari rumah. Ia merasa bahwa makan jeruk bisa membuatnya segar. Ada mini market didekat rumah, yang menjual buah-buahan. Tari membeli jeruk dan kiwi. Bukankah kiwi berasa asam? Tari pulang dan mencuci buah-buah tersebut. Menyiapkannya sebagian dipiring sisanya dimasukkan kulkas.

Hm, segarnya. Tari pergi kekamar sambil membawa sepiring kecil irisan kiwi dan jeruk.
Mengapa buah yang biasanya membuat bibirnya mengerucut dan matanya berkejap-kejap karena rasa asamnya itu tiba-tiba terasa nikmat?
Terserah apalah, yang penting Tari merasa tenang.
Tiba-tiba ia ingin menelpon ibunya, benarkah yang dirasakannya adalah tanda-tanda ngidam?
"Hallo ibu.."
"Tari, apa kabar nak, kami kangen sekali. Kamu baik-baik saja?"
"Iya bu, Tari baik-baik saja. Apa kabar ibu dan bapak serta adik-adik?"
"Kami sehat, dan sedang menunggu liburan bulan depan untuk bersama-sama menjenguk kamu di Pasuruan."
"Wah, baru mendengar Tari sudah senang bu."
"Sedang apa kamu sa'at ini? Sudah masak? Masak apa hari ini?"
"Sudah masak, sudah habis makan siang. Tadi Tari masak rendang daging dan ca sayur. Apa Minggu kemarin Suci masak-masak bu?"
"Iya, Suci masak sendiri. Sup ayam seperti kamu. Enak lho masakan Suci.. Adik-adiknya senang. Katanya mbak Suci sudah pinter masak seperti mbak Tari."
"Syukurlah bu, Tari senang mendengarnya."
"Kamu baru mau tidur, kok suaramu sengau begitu? Pilek?"
"Tidak bu, Tari baik-baik saja.. Ini lagi baringan di kamar, mas Janto belum pulang. Tapi bu, sejak tadi Tari muntah-muntah terus dan perut rasanya mual."
"Lha kenapa?" tanya ibunya khawatir.
"Bu, bagaimana tandanya orang ngidam?"
"Haa, ngidam? Kamu merasa seperti itu ? Sudah telat berapa bulan ?"
"Iya Tari lupa, bulan ini Tari belum dapet. Apa Tari ngidam? Gimana sih bu rasanya ngidam?"
"Ngidam itu setiap orang berbeda-beda. Ada yang muntah-muntah terus, ada yang nggak suka bau masakan, tapi ada yang nggak merasakan apa-apa. Enak saja dia makan sembarang makanan."
"Tari sih tadi tiba-tiba pas makan merasa mual lalu muntah-muntah. Tapi Tari makan jeruk, lalu beli yang asem-asem.. kok enak saja."
"Mungkin kamu ngidam Tari, ibu senang mau punya cucu. Tapi sebaiknya kamu ke dokter dulu, supaya yakin."
"Bagaimana ketika ibu mengandung Tari?"
"Kamu itu tidak rewel ketika dalam kandungan ibu. Ibu doyan makan apa saja, dan bisa mengerjakan apa saja. Beda ketika ibu mengandung Suci, aduuh.. sampai kehamilan bulan ke empat ibu tidak bisa mengerjakan apapun. Mual muntah tak henti-hentinya. Bau wangi muntah, bau masakan muntah..  Tapi setelah menginjak lima bulan, sudah tidak. Biasanya orang ngidam itu terasa benar-benar nggak enak ketika usia kandungan baru awal sampai tiga atau empat bulan. Setelahnya tidak apa-apa, malah penginnya makan melulu."
"Ah, semoga kalau benar mengandung, Tari seperti ibu. Tadi Tari juga sempat masak kok, cuma ketika makan lalu terasa mual."
"Bawalah ke dokter, untuk meyakinkan, dan biasanya kalau muntah lalu diberikan obat anti mual."
"Iya bu, nanti sore mas Janto mau mengantar Tari ke dokter."
"Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Jaga baik-baik bayimu, semoga kamu benar mengandung cucu ibu, nak," kata ibunya dengan gembira.
***

Dan berita menyenangkan itu benar-benar hadir, ketika dokter menyatakan bahwa Tari memang hamil, baru empat minggu.
"Mulai besok jangan bekerja terlalu keras. Jangan melakukan apapun, aku akan mencari pembantu."
"Tidak usah mas, aku bisa mengerjakan semuanya kok."
"Nanti kamu lemas, muntah-muntah.."
"Tadi itu aku makan yang asem-asem langsung enak, mualnya hilang. Lalu bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Bisa membersihkan dapur dan mencuci semua peralatan."
"Tapi kan kata dokter kamu harus menjaga kandunganmu baik-baik. Jangan mengangkat berat, jangan banyak jalan-jalan dulu."
"Iya, aku akan menjaganya. Nanti kalau benar-benar terasa berat aku bilang sama kamu."
Perhatian Janto membuat Tari perlahan bisa menghilangkan kekesalannya, akibat suaminya itu sering menyebut Nugroho dalam setiap kesempatan, sementara Tari ingin melupakannya.
"Kamu juga tidak usah kemana-mana, kalau ingin sesuatu bilang saja. Ada penjual rujak cingur didekat kantor. Kamu mau?"
"Rujak cingur? Apakah rasanya masam?"
"Ya tidak, itu beda dengan rujak di Solo. Rujak cingur ada petisnya, tapi.. ya.. segar kok.."
"Enggak mas, aku mau jeruk, kiwi, pokoknya yang rasanya asam aja. Itu meringankan rasa mualku. Selebihnya aku tidak ingin apa-apa."
"Besok aku belikan sepulang kantor. Di almari es sepertinya ada."
"Iya, aku tadi beli sendiri di mini market sebelah, untungnya dia jual buah-buahan.",
"Lain kali jangan beli sendiri. Bilang saja sama aku."
"Iya.."
"Sekarang obatnya diminum dulu, kan ada yang sebelum makan? Nanti setelah itu kita makan,. Bukankah siang tadi kamu tidak makan?"
"Makan sedikit, yang kamu ambilkan itu. Nggak kuat, aku mual lagi."
"Sekarang coba minum obat dulu, kemudian baru makan lagi."
Tari menurut. Alangkah manisnya Janto ketika bersikap penuh perhatian begini. Diambilnya obat anti mual itu dan diminumnya. Ia berjalan kebelakang untuk menyiapkan makan malam. Dan ternyata Janto telah memanaskan semua masakannya di microwave. Dan sudah menatanya dimeja makan.

"Terimakasih ya mas, kamu sudah melakukan semuanya."
"Itu bukti kasih sayang seorang suami kepada isterinya."
Tari tersenyum, memeluk Janto dengan manis.
"Kamu tau Tari, aku tulus menyayangi kamu, bukan hanya karena pelarian. Tau?"
Tari melepaskan pelukannya. Kembali hatinya teriris oleh kata-kata Janto. Wajah yang berseri mendadak menjadi murung.
"Kamu tidak percaya bahwa aku sungguh mencintai kamu?"
"Aku tidak suka mas selalu mengatakan cinta pelarian !!
"Memangnya bukan?"
"Terserah kamu mau ngomong apa, aku tak perduli."
Dan malam itu suasana kembali memanas, karena Tari dirundung rasa kesal lagi kepada suaminya. Tak ada rayuan ditempat tidur, karena Tari enggan didekati dengan alasan mual.
Tapi ketika bangun pagi itu, Tari tak mendapatkan Janto disampingnya.
"Apakah dia sudah berangkat kerja?"
Tari melihat kearah jam dinding, baru jam setengah enam.
Ups.. Tari harus menyiapkan makan pagi sebelum suaminya berangkat. Walau kesal tapi ia tak ingin melupakan kewajibannya terhadap suami. Setelah sholat dia bergegas kedapur, dan astaga.. sudah ada nasi goreng dimeja makan, dan kerupuk udang, dan telur mata sapi.
Kembali kekesalan itu sirna. Sungguh ia tak mengerti mengapa Janto selalu menyinggung perasaannya dan mengingatkan hubungannya dengan Nugroho, tapi ia tak pernah melewatkan perhatiannya pada sang isteri.
"Ini mas yang bikin?"
"Ya iyalah, apa ada orang lain dirumah ini?" kata Janto sambil tersenyum.
"Terima kasih.." hanya itu yang diucapkan Tari. Ia duduk dikursi dan meminum obat anti mualnya.
Janto menyendokkan nasi goreng kepiringnya, tapi Tari belum mau menyentuhnya. Diraihnya sebutir jeruk, dan dimakannya.
"Oh ya, bagus makan buah sebelum makan, kalau begitu aku juga mau," kata Janto ikut-ikutan makan jeruk.
"Tapi nasi segini aku kebanyakan, nanti aku mual." kata Tari yang kemudian mengembalikan nasi goreng yang ada dipiringnya dan menyisakan separonya saja."
"Ya sudah, terserah kamu saja," kata Janto yang kemudian menghabiskan nasi gorengnya sepiring penuh."
"Lumayan enak," kata Tari sambil menyuapkan nasi gorengnya perlahan. Tapi ia ternyata bisa menghabiskannya.
"Anakku suka makan masakan bapaknya," kata Janto sambil mengelap mulutnya, lalu minum jus lemon yang dibuatnya sendiri.
"Di kulkas masih ada jusnya, kalau kamu suka ambil saja."
Keduanya menyelesaikan makan pagi itu dengan damai. Tari senang karena rasa mualnya berkurang. Semoga seperti juga ibunya, sa'at ngidam dia tak usah terlalu rewel.
Tari bangkit, menumpuk piring kosong dan membawanya ketempat cucian.
"Biar aku saja," kata Janto.
"Tidak, aku bisa," kata Tari yang langsung mengucurkan air dan mencuci piring-piring yang kotor.
***

"Ibu, aku benar-benar hamil..." kata Tari hampir bersorak ketika menelpon ibunya.
"Syukurlah... ibu senang sekali. Bagaimana keadaanmu?"
"Tidak rumit bu, dikasih obat anti mual, sama makan yang asem-asem, Tari tidak muntah-muntah lagi, walau makan belum bisa banyak."
"Tidak apa-apa, yang penting tidak muntah. Dan suka yang asem-asem itu lumrah. Ibu masih ingat kata dokter, bagus makan buah-buahan yang asam dan segar, Asalkan tidak berlebihan. Jangan lupa juga makan sayuran ya nduk, biar anakmu sehat."
"Baiklah ibu.."
"Ibu jadi ingin buru-buru ketemu kamu nduk.." kata ibunya sambil berlinang air mata.
Tari ikut sedih mendengar suara ibunya bergetar.
"Ibu..  ibu jangan sedih, bulan depan kan anak-anak libur, jadi bisa ramai-ramai kesini. Nanti ibu akan dijemput mas Janto, dia sudah janji kok.
"Iya Tari, nanti ibu kabari kalau sudah dekat waktunya."
***

Hari itu pagi-pagi sekali Janto mengendarai mobilnya sendiri ke arah Solo. Ia harus menjemput mertuanya dan adik-adiknya Tari.
Sore hari ketika sampai di Solo Janto ingat bahwa isterinya memesan buah-buahan yang biasa digunakan untuk membuat rujak. Sudah dua bulan usia kandungan Tari, dan perutnya sudah tampak membuncit. Janto suka sekali mengelusnya.
Sebelum keluar dari kota Solo menuju kerumah mertuanya, Janto melihat sederetan pedagang  buah. Janto menghentikan mobilnya.
Ia melihat kesana kemari, mana ada buah yang bisa dibuat rujak? Ia harus bertanya kepada salah satu penjual buah itu.
"Silahkan mas, ini apelnya segar, atau pir.. jambu juga ada.. cari apa to mas, sepertinya kok ada yang dicari.."
"Bu, buah yang biasa untuk rujak ada?"
"O, ya ada mas, ini.. ada nanas, ada jambu kristal.. ada belimbing.. oh.. bengkoang juga ada.. mau yang mana mas..?"
"Beli yang ibu sebutkan tadi.. sekilo.. sekilo.. gitu bu.."
"O.. ya mas, saya pilihkan.. "
"Dia maunya yang rasanya asem-asem.. gitu bu.."
"Oh,  kalau begitu belimbingnya yang belum begitu masak, nanasnya juga manis-manis asem ini mas, seger nanti kalau dibuat rujak. Mas mau bikin rujak sendiri?"
"Iya...isteri saya lagi ngidam bu."
"Owalaah, mengapa tidak beli saja rujak yang sudah jadi?" tiba-tiba seseorang disampingnya nyeletuk. Seorang wanita yang sedang hamil, tapi perutnya belum begitu besar.
"Dimana beli yang sudah jadi?"
"Di Singosaren ada lho mas, saya kalau dulu pengin makan rujak sama lotis beli disana."
"Tapi isteri saya jauh mbak, tidak disini, apa masih enak membawa rujak pulang?"
"Memangnya dimana isteri mas?"
"Di pasuruan mbak."
"O.. jauh ya. Jadi ingat teman saya, dia ikut suaminya pindah ke Pasuruan."
"Pasuruannya dimana teman mbak itu?"
"Waduh, saya kurang tau, namanya Tari, eh.. Lestari.."
Janto terkejut. Siapa gerangan perempuan cantik ini ?Apakah yang dimaksud adalah isterinya?
"Isteri saya namanya Lestari juga. Lestari Rahayu."
"Lho, jangan-jangan itulah sahabat saya. Saya Asty."
Astaga, jadi ini yang namanya Asty, isteri Nugroho? Sedang hamil pula.
"Mas, ini buah-buahnya sudah semua," kata penjual buah yang sudah membungkus semua pesanan Janto dalam tas plastik besar.
"Oh, iya bu, berapa semuanya?"
"Lima puluh ribu saja mas."
Janto membayar buah yang dipesannya, lalu kembali menatap perempuan itu.
"Apa mbak isterinya Nugroho?" tanya Janto tiba-tiba.
"Iya, itu mas Nugroho dimobil  sama anak saya yang besar.. Mas kenal? Jadi mas ini suaminya sahabat saya ?"
"Saya Harjanto, suaminya Tari."
"Tari lagi ngidam?"
"Iya."
Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam mobil.
"Asty, cepat, anakmu nangis nih."
"Oh iya mas,"  Asty membalikkan badannya mendekati mobil suaminya. Ia bermaksud memberitahukan pada suaminya bahwa itu tadi suaminya Tari.
"Mas, itu suaminya Tari."
"Apa? Suaminya Tari?"
"Iya, namanya Harjanto."
"Mana? Yang ngomong lama sama kamu tadi?"
"Iya... itu... eh.. mana dia?"
Asty terkejut, karena Janto sudah pergi.

==========

Setelah membeli buah yang dibutuhkannya, Asty masuk kemobil dan memangku anaknya.
Nugroho menjalankan mobilnya, menatap Asty dengan heran.
"Asty, bukankah kamu pernah sekantor dengan Tari?"
"Ya, kan aku sudah bilang."
"Dulu Tari pernah bilang bahwa ia akan menikah dengan bosnya, kamu tidak mengenali bosnya Tari? Itu bos dibagian apa? Kamu tidak kenal? Apa bukan dia? Apa Tari bohong?"
Tiba-tiba Asty berteriak.
"Ya Tuhan.. ya Tuhan.. mengapa aku tidak mengenali dia? Iya.. aku tau, aduh.. tadi aku tak begitu melihat wajahnya, habisnya dia pakai topi, terus agak brewokan gitu.."
"Kamu juga lupa namanya?"
"Tidak kepikiran, nama sama kan bisa saja, aduuh.. iya.. dia... aku cuma ingin segera mengenalkan dia sama mas, kok nggak kepikiraan mengamati wajahnya dengan jelas..  ya ampuun.. mengapa aku begitu bodoh? Tapi mengapa juga dia tiba-tiba pergi? Dia itu dulu manager personalia. Memang dekat sama Tari, katanya kakak kelasnya di SMA..  tapi pak Janto itu nggak begitu dekat sama aku." lalu berkali-kali Asty menepuk jidatnya.
"So'alnya Tari juga agak tertutup tentang pernikahannya, tidak mengatakan akan menikah dengan siapa. Nggak tau kenapa.. setiap aku menelpon  dia pasti sedang tergesa-gesa.. atau sibuk melakukan apa.. gitu.. jadi  kami nggak sempat cerita sampai tuntas," lanjutnya.
"Ngomong apa tadi kamu sama dia?"
"Dia beli buah-buahan bahan rujak, isterinya sedang ngidam, aku suruh dia beli di Singosaren, tapi katanya isterinya ditingal di Pasuruan. Lalu aku ingat Tari tinggal di Pasuruan sekarang, ternyata dia suaminya. Tapi kok aku nggak memperhatikan wajahnya bener.. "
"Isterinya ngidam? Tari ngidam?"
"Iya, makanya dia beli bahan-bahan rujak. Kami belum banyak cerita, tiba-tiba dia kabur begitu aku akan memanggil kamu."
Nugroho terus menjalankan mobilnya. Ada perasaan aneh mendengar bahwa Tari ngidam. Ada nyeri yang menggesek hatinya.

"Apakah aku cemburu? Apakah aku masih mencintainya?" bisik batinnya.
Asty menatap suaminya yang kemudian tak banyak bicara. Lalu ia mengerti bahwa cinta terhadap Tari itu masih tersisa.. Dan cemburu kemudian mengusiknya,
"Ternyata aku cemburu." bisik hati Asty..
***

"Astaga. itu kan dia... benar namanya Asty.. aku tadi sempat kepikiran, seperti pernah melihatnya," gumam Janto.
Janto memacu mobilnya. Ia baru sadar Asty dulu bekerja di bagian logistik diperusahaan tempatnya bekerja.
"Maklum tidak lama disana, dan sekarang dengan penampilan berbeda. Pakai hijab dan memakai baju hamil. Dulu dia dandan dengan apik, lipstick agak tebal, tapi tadi dia sangat sederhana, nggak ada ulasan make up di wajahnya.  Dan rupanya tadi dia juga tidak lagi mengenal aku. Aku baru ingat. Aduh, mengapa tadi kami bertutur sapa seperti orang asing? Tari juga tidak pernah mengatakan Asty itu siapa," gumam Janto berkali-kali.

Tapi bukan itu yang membuat Janto cepat-cepat pergi. Ia tak ingin bertemu Nugroho. Laki-laki ganteng yang sangat dicintai istrinya. Mungkin juga sampai sekarang.
 Rupanya.. Janto juga digelitik oleh rasa cemburu. Dia kalah ganteng, kalah dalam segi materi dan segalanya. Mana mungkin Tari mencintainya dengan tulus? Pasti masih dicintainya laki-laki itu. Itu yang dipikirkannya.
Aduhai, cemburu tak beralasan tapi cukup membuat hati Janto terbakar.
Rasa itu masih terus dibawanya dan baru mengendap ketika memasuki rumah mertuanya dan mendengar celoteh Suci dan adik-adiknya.
"Lhoo.. mas Janto nih, kirain siapa, kok wajahnya lain? Brewokan begitu sekarang." pekik Suci.
Bapak dan ibunya Tari yang keluar belakangan juga hampir tidak mengenali menantunya karena wajahnya yang brewokan. Belum setengah tahun mereka berpisah dan sekarang Janto tampak lain.
"Nak Janto, sekarang tambah ganteng, brewoknya keren.." seru bapaknya Tari.
"Iya benar pak," sambung ibunya.
"Kereen... " teriak adik Tari yang lain.
Janto tersenyum, lalu menyalami dan mencium tangan mertuanya.
"Suci, ambilkan minum masmu ini, kok malah menatapnya nggak habis-habis," tegur ibunya.
Suci tertawa.
"Menurut aku, mas Janto tampak lebih tua."
"Hush ! Suci !!" ibunya memelototi Suci karena menganggap ucapannya sangat tidak sopan.
"Ma'af mas, Suci bercanda, nggak marah kan?" kata Suci sambil merangkapkan kedua tangannya kearah kakak iparnya.
"Nggak apa-apa tampak tua, memang aku sudah tua. Kan sudah hampir jadi bapak?"
"Iya benar, tapi tambah ganteng kok nak, benar kata bapak. Ayo silahkan duduk." kata ibunya.
"Bapak ibu apa sudah siap? Nanti malam kita berangkat."
"Lho, apa nak Janto tidak capek ?"
"Tidak pak, nanti istirahat sebentar, malamnya sudah merasa segar."
"Kalau begitu nanti setelah mandi istirahat dulu dikamar. Kami sudah siap kok."
***

"Tariiii.... " sapa Asty dengan gembira sore itu ketika menelpon Tari.
"Ya ampuuun.., belum sempat bilang hallo sudah mendengar teriakan kamu."
"Tari, mengapa kamu tidak pernah cerita bahwa kamu menikah dengan pak Janto?"
"Iya, memang aku nggak cerita, apa itu penting?"
"Penting dong Tari, tau nggak..  aku tadi terkejut setengah mati.."
"Terkejut kenapa?"
"Pak Janto itu sekarang brewokan.. dan tambah ganteng lho.."
"Darimana kamu tau?"
"Ketemu?"
"Ketemu, ketika dia sedang beli rujak. Eh.. bukan rujak, buah-buahan untuk bikin rujak, disebuah kios buah di daerah Purwosari. Kebetulan aku juga lagi mau beli buah."
"Oh, kalian ketemu ?"
"Ketemu, dan sama-sama lupa. Aku bener-bener nggak ingat dia, habisnya dia pakai topi, dan hanya sedikit kelihatan wajahnya, lagi pula kok sekarang brewokan begitu."
"Iya, sibuk mengurus aku, sampai lupa mencukur wajahnya. Tapi aku biarkan saja kok. Kata kamu dia tampak lebih ganteng."
"Wah, romantisnya, sibuk mengurus isteri yang lagi ngidam?"
"Dia mengatakan itu?"
"Iya, dia bilang isterinya lagi ngidam. Ee..sudah ngomong lama nggak juga ingat siapa dia, biarpun dia sudah bilang kalau suaminya Lestari. Dan dia tampaknya juga lupa sama aku. Mungkin karena aku sekarang pakai hijab, dan nggak tau kenapa ketika hamil yang sekarang ini aku males dandan.. jadi mungkin wajahku kelihatan kusut dan berminyak.. sudah pasti jelek lah..." kata Asty sambil tertawa.
"Aku baru ingat ketika mas Nugroho menegur aku, mengapa sampai tidak kenal dengan manager personalia."
"Kamu sama .. suami kamu ?"
"Iya, juga sama anakku,"
"Kamu hamil anak kedua?"
"Iya, tapi syukurlah kali ini kehamilanku baik-baik saja, tidak seperti ketika hamil pertama, muntah dan nggak doyan makan apapun."
"Syukurlah.. aku ikut senang Asty.."
"Mengapa kamu nggak ikut ke Solo, kalau ada kamu pasti tak akan terjadi saling melupakan seperti tadi."
"Mas Janto sedang menjemput bapak dan ibu serta adik-adik. Jadi takut mobilnya nggak cukup. Itu saja pasti sudah berdesakan. Lagi pula aku juga sering mual-mual. Kasihan nanti merepotkan semuanya."
"Aduh Tari, aku juga senang kamu juga sudah mengandung. Nanti anak kita akan seumuran, senangnya.."
"Iya Asty."
"Kamu muntah-muntah terus?"
"Hanya kadang-kadang, tapi makan sedikit doyan, masak juga nggak apa-apa."
"Mudah-mudahan lancar semuanya. "
"Kamu sekarang tinggal di Solo?"
"Tidak, mertuaku tidak mau ditinggalkan. Tapi kemarin dia bilang ingin ke Solo, jadi kami ke Solo. Paling besok sudah balik ke Magelang.
 "Ah, sayang harus bolak balik ya, harusnya kamu tinggal sama suami."
"Mertuaku sudah terlanjur biasa aku temani, kasihan kalau aku tinggalkan."
"Oh, bahagianya disayang mertua.."
"Ya sudah Tari, sekian dulu ya,  aku mau menyiapkan makan malam, nanti aku telpon lagi."
***

Malam itu Tari duduk didepan televisi, menatap kearah layar tapi tidak menikmati apa yang sedang ditayangkan.
Ada yang menggelitik perasaannya, ketika tau bahwa Asty sedang mengandung anak keduanya. Itu menandakan bahwa Nugroho perlahan bisa melupakannya. Cintanya terhadap Asty telah tumbuh, dan perlahan bisa melupakan dirinya. Dan itu disyukurinya. Dia telah memilih jalan yang dijalaninya sekarang, dan tak ingin menoleh kebelakang. Bahwa Janto masih mencurigainya, itu dibiarkannya. Ia hanya berharap suatu hari nanti Janto bisa mempercayai ketulusan hatinya.
Mungkin sih, tadinya seperti semacam pelarian, tapi perlahan cinta itu tumbuh. Ia harus mengabdi pada rumah tangga yang telah dijalaninya.

Tari mencecap buah jeruk yang baru dikupasnya. Makanan itu yang membuatnya segar, jadi dirumahnya selalu ada.
Dering ponsel mengejutkannya. Asty lagi?.

"Hallo.. Asty.."
"Aku bukan Asty.." suara lembut itu amat dikenalnya. Hampir terlepas ponsel itu dari tangannya.
"Mas Nugroho ?"
"Ya Tari.. ini aku. Apa kabar Tari..?"
"Baik mas, mengapa mas Nugroho menelpon saya?"
"Hanya ingin mengabarkan keadaanmu Tari. Ini aku memakai ponsel Asty."
"Aku baik-baik saja.. "
"Kabarnya kamu sedang ngidam? Berapa bulan?"
"Baru dua bulan, menginjak tiga bulan mas."
"Aku mengucapkan selamat ya mas, atas mau lahirnya anak yang kedua?"
"Terima kasih Tari."
Tari ingin mengakhiri pembicaraan itu,Tapi....
"Tari, entah mengapa, aku tidak bisa melupakan kamu."
"Mas jangan begitu, kita telah memiliki kehidupan masing-masing. Aku kira ini yang terbaik mas. Asty sudah hampir melahirkan anak kedua, itu sangat membahagiakan bukan?"
"Benar, tapi..."
"Mas, aku mohon hentikan mengingat aku. Itu masa lalu yang harus kita lupakan. Ma'af ya mas., ada telpon masuk, aku harus menjawabnya.." kata Tari kemudian menutup ponselnya.
Telpon itu dari suaminya.
"Ya mas.."
"Barusan lagi telpon sama siapa kamu, lama sekali baru diangkat?" kata Janto sengit.
Tari gelagapan.. kalau dijawab dari Nugroho pasti dia akan marah besar.
"Tari.."
"Oh, iya mas.. baru mau mematikan televisi dulu. Ini tadi Asty.. apa tadi mas ketemu? Dia bilang ketemu mas, tapi saling lupa.. karena penampilan berbeda." jawabnya berbohong. Tapi kemudian ia benar-benar mematikan televisi itu.
"Ya, ketemu Asty dan Nugroho, tapi aku tidak ketemu Nugroho, sudah kesorean. Apa Asty bilang sama kamu bahwa dia sedang mengandung anak ke dua?"
"Iya, Asty sudah cerita."
"Pasti sakit hati kamu."
Tari terkejut, ia ingin marah, tapi ditahannya.
"Oh, ya mas sudah beli rujaknya?" tanya Tari untuk mencairkan suara sengit Janto karena telponnya tidak segera diangkat dan mungkin pertemuannya dengan Nugroho tidak menyenangkannya.
  "Tidak, aku tidak beli rujak."
"Maksudku buah-buahan untuk rujak, nanti kita bisa ngerujak rame-rame kalau sudah sampai disini."
"Sudah."
"Mas balik kapan?"
"Ya nanti lah, sebentar lagi, supaya besok bisa sampai rumah, kan aku harus kerja."
"Mas tidak capek?"
"Tidak. Ya sudah, aku cuma mau bilang bahwa sebentar lagi mau berangkat."
"Iya, hati-hati dijalan ya mas."
Ketika pembicaraan itu selesai, Tari menangkap nada kesal dari suaminya. Tari ingin sekali marah, dan tak habis pikir, mengapa Janto masih merasa bahwa dirinya masih mencintai Nugroho, tapi kemarahan itu ditahannya.. takut keluarga dirumah ada yang mendengarnya.
Tari menghela nafas kesal, lalu masuk kekamar dan mencoba memejamkan matanya.
***

Kedatangan keluarga Tari dari Solo membuat ramai suasana dirumah Janto. Adik-adik Tari begitu cerewet dan selalu heboh. Suci rajin memasak apa saja setiap hari dan dilarangnya Tari membantu.
"Kasihan keponakanku kalau mbak repot karena kedatangan kami, biar aku yang memasak karena aku kan sudah pintar," kata Suci kemayu.

Tari juga senang karena ada buah-buahan yang kemudian oleh ibunya dijadikan rujak.
Tapi mereka hanya seminggu disana, mengingat adik-adik Tari harus masuk sekolah.
"Lagipula ibu masih punya tanggungan beberapa jahitan dirumah," kata ibunya ketika Tari masih ingin menahannya.
"Baiklah bu, nanti kalau kandungan Tari sudah kuat, Tari akan ke Solo, boleh ya mas," katanya kepada suaminya.
"Iya, kalau kamu sudah tidak mual-mual lagi." jawab Janto.
"Nanti setelah tiga bulan pasti justru kamu doyan makan Tari, kata ibunya.
Tapi kepulangan mereka tidak diantar Janto. Janto menyewa  satu mobil untuk mengantarkan keluarga isterinya.
Tari terharu atas perhatian Janto kepada keluarganya.
Sungguh Janto sebenarnya sangat perhatian. Tapi terkadang ia masih suka menyindir dan menyakiti hati Tari dengan mengingatkannya kepada Nugroho.
Tari sudah lelah mananggapinya. Terkadang ia marah dan mendiamkannya saja, tapi Janto selalu pintar meluluhkan hatinya.

Hari bergulung, berganti bulan, kandungan Tari sudah lebih dari tujuh bulan. Tari merengek ingin pergi ke Solo, apalagi ibunya ingin mengadakan acara mitoni dirumah.
Janto menurutinya. Ia senang Tari tampak sehat dan bersemangat.
Begitu sampai di Solo ibunya sudah menyiapkan perlengkapan untuk acara mitoni.
Bagi orang Jawa, kehamilan pertama pada bukan ke delapan selalu diperingati dengan upacara mitoni.
Tapi Tari melarang ibunya mempersiapkan semuanya sendiri. Segala perlengkapan bisa dipesan.
Ada rangkaian upacara mandi dengan sesajian yang beraneka warna. Ada ponthang, seperti piring yang terbuat dari tanah dan berhiaskan janur-janur, berisi ketan berwarna warni dan ada juga rujak. lalu nasi tumpeng dengan sayuran urap dan telur rebus, yang semuanya dihias sangat manis.
Oh ya, air untuk mandi disiapkan dan ada kelapa gading berukiran Kamajaya dan Kamaratih... membuat Tari dan Janto terkagum-kagum.
"Ini lukisan yang sangat rumit tapi indah. Tidak semua orang bisa melakukannya," kata Janto.
"Apa maksudnya ini bu?"tanya Tari.
"Maksudnya adalah, bila nanti anakmu lahir laki-laki, maka ia akan sangat tampan seperti Kamajaya, dan kalau perempuan, dia akan cantik seperti Dewi Kamaratih. Mereka adalah dewa dan dewi dari Kahyangan," kata ibunya sambil tersenyum.
"Tapi ini bukan musyrik. Ini adalah tradisi dan budaya yang sangat indah. Ada orang yang mengaitkannya dengan agama, tapi tidak.. ini hanyalah tradisi," lanjut sang ibu.
Upacara berjalan sangat meriah, dihadiri oleh sanak dan tetangga sekitar. Tidak semua menjalankan tradisi ini, tapi bagi yang tidak tau, ini adalah sebuah peristiwa yang sangat mengesankan.
Banyak rangkaian upacara yang menurut Tari adalah ribet, yaitu harus berganti kain sampai tujuh kali. Aduhai..

Ketika selesai upacara, Janto disuruh membelah kelapa tersebut.
"Kalau airnya muncrat, anaknya akan laki-laki, tapi kalau tidak, anaknya perempuan," sambung ibunya.
"Tapi ini mitos, dan sekali lagi hanya tradisi," kata ibunya lagi.

Dan Janto membelah kelapa itu dengan mulus, membuat air kelapa muncrat, diiringi tepuk tangan keluarganya.
"Anakku akan laki-laki?" teriak Janto gembira.
"Wallahualam... bukankah semua tergantung Alloh Yang Maha Kuasa?"
***

Sore hari itu Tari mengajak Janto berjalan-jalan.
"Mas, mampir ke tukang cukur yuk. Brewokmu  itu lebih baik dicukur saja ya?" kata Tari ketika mereka sedang menyusuri pertokoan disore hari.
"Memangnya kenapa?"
"Jelek ah.."
"Kata orang-orang aku tambah ganteng lho."
"Tapi kataku tidak, mas ganteng kalau wajahnya bersih."
"O, iya.. seperti Nugroho ya, wajahnya bersih dan bersinar.."
Tari merengut. Lagi-lagi Nuroho.
Sampai ketika berada didepan sebuah barbershop, Tari masih diam. Janto menuruti kemauannya tapi menyertakan kata-kata yang tak henti-hentinya membuat Tari sakit hati.
"Jangan marah, itu kan kenyataan, bukankah wajah Nugroho itu bersih?"
"Hentikan menyebut nama itu mas !" kata Tari sengit, dan agar keras. Beberapa orang yang bersimpangan menoleh kearahnya, tapi Tari tak perduli.
Janto merangkul pundaknya.
"Ssst, itu ada yang menoleh kearah kita."
"Biarin !!"
"Kita sudah sampai, ayo, tungguin aku bercukur," kata Janto sambil menggandeng Tari masuk.

Agak sepi di barbershop itu, sehingga Janto langsung bisa dilayani.
Tari menunggu, duduk sambil meraih sebuah majalah yang terletak dimeja.
"Tari !"
Tari mengangkat kepalanya.
"Mas Nugroho ?"
Mendengar suara Tari, Janto menoleh kearah mereka. Wajahnya gelap seketika.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER