Cerita bersambung
"Lagi ngapain Tari ?" tanya Nugroho sambil duduk disamping Lestari.
Tari belum sempat menjawab, karena dilihatnya Janto mengibaskan tangan kapster yang akan memotong rambut dan jenggotnya.. lalu berdiri dan berjalan mendekati.
"Mas.. iin.. in.. i.. suamiku.." kata Tari yang tentu saja menjadi gugup.
Nugroho mengulurkan tangannya tapi Janto menepiskan tangan itu, lalu jari telunjuknya menuding kearah Nugroho.
"Jangan ganggu isteriku !!" hardiknya.
"Mas !!" Tari mengingatkan, karena diangapnya Janto sudah keterlaluan.
"Ini laki-laki yang kamu cintai kan? Aku heran mengapa juga bisa bertemu disini. Apa kamu mengabari dia supaya datang kemari?" katanya sengit.
"Mas Janto, kamu keterlaluan.!!" pekik Tari.
"Saya minta ma'af, saya tidak mengganggu siapapun.. hanya kebetulan saya juga mau bercukur disini."
Tiba-tiba Janto menarik tangan isterinya dengan kasar, dibawanya keluar dari tempat itu. Tari meronta, lalu tiba-tiba Tari jatuh .
"Aauughh!!" jerit Tari.
Janto terkejut. Ia membungkuk ingin menarik bangun isterinya. Tapi Tari menepiskannya. Nugroho yang melihat Tari jatuh memburu keluar.
"Mau apa kamu?" Janto menghardik lagi.
"Itu mas, Tari berdarah," pekik Nugroho khawatir.
Janto terkejut. Melihat darah merah membasahi baju isterinya. Ia membungkuk berusaha menggendong isterinya. Tapi alangkah beratnya orang hamil. Nugroho tak perduli pada kemarahan Janto, ia membantu mengangkat tubuh Tari. Sehingga berhasil memasukkannya kedalam mobil. Janto memacu mobilnya, meninggalkan Nugroho yang terpana melihat kejadian itu. Trenyuh melihat Tari merintih kesakitan. Trenyuh melihat darah berceceran.
"Ya Tuhan, Tari, apakah kamu bahagia ? Aku melihat betapa bengisnya suami kamu. Tari, aku berharap kamu bahagia, " bisik Nugroho sedih.
Teriris batinnya, karena tak yakin Tari hidup bahagia. Seperti ingin direnggutnya Tari dari sisi laki-laki yang dianggapnya kejam dan tega menyakiti hati isterinya.
"Aku tak rela Tari diperlakukan seperti itu... Tari.. apa yang harus aku lakukan untuk membuat kamu bahagia?" bisiknya lagi.
Tak jadi bercukur, dia menghampiri mobilnya, dan mencari kerumah sakit mana Janto membawa isterinya.
***
Janto duduk terpekur dirumah sakit itu. Hatinya bagai tercabik-cabik. Ia ingin menangis menyesali perlakuannya terhadap isterinya.
Sekarang ia harus menunggu dengan hati berdebar penuh kecemasan.
"Ya Tuhan, selamatkanlah isteriku, selamatkanlah bayiku..." bisiknya dengan linangan air mata. Tak perduli beberapa penunggu pasien menatapnya iba.
Dokter yang merawat Tari keluar dari ruang bersalin. Janto berdiri dan mendekati dengan limbung.
"Anda suaminya?" tanya dokter.
"Ya dokter,"
"Isteri anda mengalami perdaharan. Kehamilan tak bisa dipertahankan."
Pucat pasi wajah Janto. Tubuhnya bersandar pada pintu ruangan itu. Kalau tidak pasti ia akan terjatuh.
"Aap..apa.. maksud dokter? Anakku.. tidak.. bisa selamat?"
"Isteri anda harus segera dioperasi."
"Aapa?"
"Bayi anda akan dikeluarkan paksa. Masih prematur, tapi ini yang terbaik."
Janto hanya bisa mengangguk.
"Lakukan yang terbaik untuk isteri dan anak saya, dokter." katanya gemetar,.
Setelah Janto menandatangani persetujuan operasi itu, Tari segera dibawa ke kamar operasi.
Ketika brankar yang membawanya keluar, Janto memburunya dan berlari kecil disamping brankar itu. Dilihatnya mata Tari terpejam, wajahnya pucat.
"Tari... mas'afkan aku... kamu dan anak kita akan baik-baik saja Tari.." bisiknya.
Begitu isterinya masuk keruang operasi, janto terduduk di kursi tunggu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Kecemasan melanda hatinya. Ia sampai lupa mengabari orang tua Tari tentang keadaan Tari.
Janto masih terpaku ditempatnya, ketika sesosok laki-laki mendekat.
Janto mendongakkan kepalanya. Wajahnya berubah. Dilihatnya Nugroho berdiri didepannya, menatapnya tajam.
"Boleh jadi dia sudah menjadi isteri kamu. Tapi kalau sampai kamu menyakitinya, membuatnya menderita, maka aku tak akan mema'afkanmu!!" kata Nugroho sengit, tegas dan dengan mata memandang menghunjam kearah Janto.
Tapi sebelum Janto menjawab. Nugroho berlalu dengan cepat. Janto ingin berdiri dan memburunya tapi tubuhnya terasa lemas. Ia hanya memandangi punggung laki-laki tegap itu dengan perasaan tak menentu.
Semakin disadarinya, bahwa Nugroho masih mencintai isterinya.
***
"Ini sudah malam, mengapa mereka belum pulang juga?" tanya ibunya Tari.
"Jalan-jalan lah bu, kan sudah lama mbak Tari meninggalkan Solo."
"Apa tidak capek, seharian mengikuti upacara, lalu jalan-jalan sampai malam."
"Namanya orang lagi seneng, mana ngerti bagaimana rasa capek..."
"Tapi kok perasaanku tidak enak begini ta nduk"
"Ibu tuh..."
"Coba kamu telpon dia Suci, ini sudah malam, hampir jam sepuluh. Toko-tokopun sudah pada tutup."
"Hallo...mbak Tari?" sapa Suci ketika menelpon.
"Hallo ini Suci?"
"Lho, ini mas Janto, mana mbak Tari?"
"Kakakmu dikamar operasi."
Suci terkejut bukan alang kepalang.
"Operasi?"
"Ia baru saja melahirkan dengan operasi, bayinya laki-laki."
"Yaaa... ibu... mbak Tari melahirkan.."
"Melahirkan bagaimana ?"
"Dioperasi katanya, ayo bu kita kesana."
Ayahnya yang sudah merebahkan tubuhnya dikamar mendengar suara bahwa Tari dioperasi, langsung bergegas keluar.
"Tari operasi apa?"
"mBak Tari melahirkan pak, dengan operasi."
"Lha kenapa?"
"Ayo pak, kita kesana, Eh mas, dirumah sakit mana? Keadaannya bagaimana?"
"Baik semuanya, silahkan kalau mau kesini. Naik taksi saja, biar aku pesankan taksi on line," kata Janto yang sudah merasa lega.
Walau masih lemas tapi Tari sudah sadar. Janto duduk disampingnya, memegang tangan Tari yang sesekali diciumnya.
"Anakku baik-baik saja?" tanya Tari lemah..
"Anakmu baik-baik saja, ia ada didalam inkubator, karena belum sa'atnya lahir.
"Oh..." Tari memejamkan matanya. Kepalanya masih pusing.
"Aku tidak memberitahu orang rumah, khawatir mereka panik. Tapi barusan Suci menelpon, aku sudah memberitaunya."
"Terimakasih..."
"Tari, ma'afkan aku ya. Ini semua karena aku.." kata Janto terbata.
Tari tersenyum tipis. Tapi dia mengangguk. Tubuhnya masih lemas dan mengantuk. Mungkin efek dari obat bius sa'at dia dioperasi.
"Istirahatlah Tari, aku akan menjagamu."
Alangkah manis kata-kata itu. Tari hanya sayup mendengarnya karena kemudian terlelap.
***
Ketika keluarga Tari datang malam itu, Janto melarang mereka mengganggunya. Mereka hanya menjenguk sebentar, untuk melihat keadaan Tari, kemudian Janto mengajaknya keluar.
"Dimana cucuku?" tanya ibu dan bapaknya Tari hampir bersamaan.
"Masih diruang bayi bu, dimasukkan dalam inkubator karena lahir belum waktunya, tapi kata dokter keadaannya sehat," terang Janto.
"Bagaimana bisa tiba-tiba operasi dan melahirkan?"
"Ma'af bu, pak, saya kurang menjaganya. Tari tadi terjatuh," kata Janto penuh penyesalan.
"Oh, bagaimana bisa jatuh?" tanya bapaknya.
"Ya sudah tidak apa-apa nak, yang penting semuanya baik-baik saja," kata ibu mertuanya.
"Aku ingin melihat bayinya mbak Tari, apakah dia cantik seperti aku?" tanya Suci genit.
"Keponakanmu laki-laki Suci, ganteng seperti bapaknya," kata Janto sambil tersenyum.
"Brewokan seperti bapaknya ya?" kata Suci melucu.
Semuanya tertawa.
"Mana ada bayi brewokan Tari, kamu ada-ada saja," kata ibunya.
"Kalau mau melihat bayinya, besok saja, ini kan sudah hampir tengah malam," kata Janto.
"Bolehkah aku tidur disini?" kata Suci.
"Malam ini kamu sama bapak dan ibu pulang saja dulu, biar aku yang menjaganya."
"Baiklah, besok aku mau pagi-pagi sekali kemari, pengin melihat keponakanku."
"Jam bezoek dimulai pukul 10 Suci. Tuh ada tulisannya," kata bapaknya.
"Iya, sebenarnya ini tadi kan juga belum bisa masuk,"
"Mas Janto menyogok penjaga ya?"
"Bukan menyogok, aku bilang keluarga dari jauh saja. Sekarang bapak ibu pulang dulu, sama Suci, biar Janto carikan taksi ya."
***
Tapi pagi hari itu Janto mendengar dari perawat bahwa Tari perdarahan. Harus mendapat tranfusi darah secepatnya, tapi Janto harus mencari darah dari luar karena persediaan di rumah sakit tidak ada. Golongan darah Tari O.
Janto panik. Golongan darahnya berbeda. Ia menelpon ke rumah, yang cocog adalah golongan darah ibunya. Janto memintanya sang ibu datang.
Ketika Janto sedang bercakap dengan perawat bahwa ia harus menunggu ibunya, perawat mengatakan sebaiknya segera didapatkan. Sa'at itulah Nugroho kembali muncul.
"Apa golongan darahnya suster?"
"O. pak."
"Golongan darah saya O, silahkan diambil."
Janto melotot. Tapi Nugroho sudah mengikuti perawat itu.
Janto menghentak-hentakkan kakinya ke lantai untuk melepaskan rasa gemasnya. Mengapa Nugroho masih berkeliaran disini? Tapi ini kan demi keselamatan Tari.
Janto mengelus dadanya, berusaha mengendapkan rasa amarahnya. Bukankah ia harus berterimakasih?
"Baiklah, keselamatan Tari lebih penting," gumamnya perlahan sambil menata desah nafasnya yang terengah engah.
Janto memasuki ruangan dimana Tari masih terbaring lemah. Wajahnya masih pucat, tapi dia sudah membuka matanya.
"Tari, bagaimana rasanya?"
"Pusing, dan lemas..."
"Kamu harus kuat Tari. Aku sedang menunggu ibu untuk mendonorkan darah untuk kamu, tapi Nugroho sudah datang dan darahnya ternyata sama dengan kamu," Janto menguatkan hatinya untuk mengatakan itu.
Tari mengerutkan keningnya.
"Nugroho?"
"Ia sangat memperhatikan kamu. Tak apa, yang penting kamu segera pulih dan sehat."
Tari tak menjawab. Ia memejamkan matanya, tapi pikirannya melayang kearah Nugroho. Mengapa dia bisa sampai kemari? Apa dia mengikuti ketika mas Janto membawaku kerumah sakit? Kata Tari dalam hati.
Janto juga tak mengatakan apapun lagi. Beberapa sa'at lamanya mereka terdiam, tapi Janto terus memegangi tangan isterinya.
Ketika kemudian perawat memasangkan 1 kantung darah untuk dimasukkan ke tubuhnya, Janto merasa miris.
"Ya Tuhan, isteriku... segera sehat Tari..." bisiknya lirih penuh haru.
Langkah mendekat terdengar, Janto mengira Nugroho memasuki kamar isterinya, ia bersiap untuk pergi dan berdiri, agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan didepan isterinya, tapi ternyata ibu dan bapaknya Tari.
"Nak, ibu siap mendonorkan darah, tapi perawat bilang bahwa darahnya sudah cukup."
"Iya bu, sudah ada pendonor yang memberikannya," kata Janto tanpa mengatakan bahwa pendonor itu adalah Nugroho.
"Mana Suci ?"
"Anak itu kelayapan sendiri. Katanya mau ke kamar bayi, ingin melihat keponakannya," kata bapaknya.
"Bagaimana keadaanmu nduk?"
"Baik bu. Ibu tidak usah khawatir." kata Tari lirih, sambil tersenyum.
"Ya sudah, biar ibu sama bapak menungguimu disini. Nak Janto tidak ingin istirahat dulu? Pulanglah nak, mandi dan ganti pakaian. Pasti nak Janto sangat letih".
"Ya bu, sebentar lagi saya pulang. Bapak ibu sudah makan?"
"Belum nak, nanti saja gampang."
"Saya belikan makanan dulu, baru saya pulang," kata Janto sambil beranjak pergi.
***
"Aduuh.. keponakanku lucu sekali," kata Suci ketika keluar dari ruang bayi sambil tersenyum-senyum.
"Suci !!"
Tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkannya. Suci berhenti melangkah, menatap laki-laki ganteng yang sangat dikenalnya.
"Mas Nugroho ?" panggilnya riang, lalu menjabat tangannya erat, dan menciumi tangan itu berkali-kali.
"Apa kabar Suci?"
"Baik mas, aku sudah hampir klas 3 sekarang. Ini berkat mas Nugroho."
"Jangan begitu Suci. Aku hanya sedikit membantu, dan semua itu adalah karunia dari atas sana," kata Nugrohosambil menunjuk kearah atas.
"Iya mas. Kok mas Nug ada disini? Kabarnya mas Nug sudah menikah? Putranya berapa mas? Laki-laki atau perempuan?"
Nugroho menepuk pipi Suci sambil tertawa.
"Pertanyaan sebanyak itu, mana yang harus aku jawab lebih dulu? Satu per satu dong."
Suci meringis. Senang pipinya ditepuk orang ganteng yang sudah sangat baik pada keluarganya.
"Baiklah, mas Nug sudah menikah kan? Putranya berapa?"
"Hampir dua."
"Laki-laki atau perempuan."
"Yang besar perempuan, sudah bisa lari-lari, yang adiknya masih dalam kandungan."
"Waah, heboh ya, sudah hampir dua.."
"Iya, heboh kayak kamu." kata Nugroho yang lagi-lagi menepuk pipi Suci. Sikap yang sangat akrab, tak berbeda ketika Nugroho masih sering datang kerumah.
"Lalu ngapain mas disini?"
"Baru mendonorkan darah nih, lihat," kata Nugroho sambil memperlihatkan lengannya yang ditempeli plester kecil dan masih tampak setitik darah disana.
"Oh, mbak Tari itu kan.... yaaah.. donor untuk mbak Tari ya?"
Nugroho mengangguk.
"Waaah, terimakasih ya mas, ayo ketemu mbak Tari dulu, bapak dan ibu juga ada disana. Pantesan ibu tidak jadi mendonorkan darah, rupanya sudah ada mas Nugroho."
"Salam saja ya Suci, aku lagi ada perlu."
"Suci !!" sebuah teriakan dari jauh terdengar. Janto melambaikan tangan kearahnya.
"Itu mas Janto, suaminya mbak Tari."
"Iya, aku tau, tapi aku sedang terburu-buru," kata Nugroho sambil berlalu. Ia berbelok arah ketika ada lorong mengarah kekiri, agar tak berpapasan dengan Janto.
"Ngapain kamu?"
"Barusan aku melihat keponakanku, ganteng banget deh mas.. "
"Sini, ini makan pagi untuk kamu sama bapak sama ibu, aku mau pulang dulu."
"Oh, baguslah, aku juga lapar nih. Oh ya, itu tadi mas Nugroho. Mas Janto kenal?"
"Ya aku kenal."
"Dia mendonorkan darahnya untuk mbak Tari, syukurlah, jadi ibu tidak usah diambil darahnya pula."
"Bawa makanan ini kedalam, aku mau pulang dulu," kata Janto sambil berlalu tanpa mengomentari ocehan Suci tentang Nugroho.
Suci bergegas menuju keruang kakaknya sambil menenteng bungkusan berisi makanan.
Begitu masuk ruangan dia berjingkrak mengabarkan bahwa dia sudah ketemu keponakannya.
"Asyik.. aku sudah melihat dia, mungil dan ganteng seperti mas Nugroho.. eh.. mas Janto." celotehnya sekenanya.
"Mengapa tiba-tiba menyebut nama masmu Nugroho?" tanya ibunya.
"Aku ketemu disana, dia yang telah mendonorkan darahnya untuk mbak Tari bu."
"Oh, nak Nugroho?"
Tari pura-pura tak mendengar Kembali ia memejamkan matanya.
***
Diparkiran, Janto melihat Nugroho juga sedang mau masuk ke mobilnya. Ia ingat ancaman Nugroho kemarin, dan geram mendengarnya. Memang benar dia telah menyelamatkan isterinya, tapi ancaman itu membuatnya naik pitam.
Nugroho tak berhak berkata seperti itu. Dia bukan apa-apanya.
Dengan langkah cepat dia mendekati Nugroho.
==========
Nugroho hampir masuk ke mobilnya, tapi ketika melihat Janto mendekat kearahnya, Nugroho menunggu.
Mereka berhadapan, saling menatap tajam.
"Ada apa? " tanya Nugroho mendahului menyapa.
"Kamu, boleh jadi telah menyelamatkan isteriku, tapi kamu tidak berhak mengancam aku."
"Mengancam?"
"Kemarin kamu bilang apa? Lupa?"
"Bukan apa-apa sebenarnya, percayalah aku tak akan merebut isteri kamu, tapi aku tidak suka melihat cara kamu memperlakukan Tari. Dia hampir celaka, bukan?"
"Itu bukan urusan kamu!"
"Aku hanya mengingatkan saja, jangan sampai Tari hidup menderita disamping kamu. Jangan khawatir, aku tidak akan merebutnya dari kamu," kata Nugroho sambil masuk kedalam mobilnya, dan menutupkannya keras.
Tapi ketika Nugroho sudah menstarter mobilnya, Janto berdiri didepan mobil itu, dan menggebrak bodi depan mobilnya.
Nugroho melotot, lalu kembali turun.
"Apa mau mu ?"
"Aku minta hentikan perhatian kamu sama isteriku !!"
"Dengar, aku mencintai Tari, walau tidak bisa memiliki. Aku hanya ingin Tari hidup bahagia, itu cukup! Jangan menyiksa dan membuatnya menderita!! Sekarang minggirlah, ada satpam mendekati kita," kata Nugroho lalu kembali naik ke atas mobil.
Kali ini Janto minggir. Ia tak ingin terjadi keributan ditempat umum, apalagi ia benar-benar melihat satpam rumah sakit berjalan mendekat.
Dengan gontai dia kembali ke mobilnya sendiri, menghempaskan tubuhnya dibelakang kemudi dan memacunya pulang.
Kata-kata Nugroho menancap di ulu hatinya, menimbulkan nyeri yang mengiris iris.
***
Sesampai dirumah mertuanya, Janto langsung mandi, berganti pakaian tapi tidak langsung kembali kerumah sakit. Ia merasa sangat letih, lahir batin. Kemudian ia merebahkan tubuhnya diranjang, mencoba memejamkan matanya.
"Mas, nanti aku boleh ikut kerumah sakit?" tanya salah seorang adik Tari yang tiba tiba menjenguk kearah kamar.
"Aku juga boleh kan?" tanya yang lain hampir bersamaan.
Janto membuka matanya dan tersenyum.
"Boleh, tapi mas mau tiduran dulu sebentar ya? Semalaman belum tidur.
"Ya mas... ayo. ayo... keluar dulu, mas Janto biar tidur dulu," katanya sambil mengajak adik-adiknya keluar.
Janto kembali memejamkan matanya. Perasaan tak enak masih merayapi hatinya. Kata-kata Nugroho terus menerus mengahantuinya.
"Dengar, aku mencintai Tari, walau tidak bisa memiliki. Aku hanya ingin Tari hidup bahagia, itu cukup! Jangan menyiksa dan membuatnya menderita!"
Janto memijit-mijit kepalanya yang terasa berdenyut. Tak pernah di bayangkannya ada seorang laki-laki yang berterus terang di hadapannya bahwa dia mencintai isterinya. Aduhai.
Janto harus menata hatinya untuk menentukan sikap. Haruskah dia menghajar Nugroho, atau mendiamkannya? Tapi dia hanya ingin melihat Tari bahagia. Lalu Janto menyadari, perbuatannya didepan barbershop itu menunjukkan bahwa dia menyakiti isterinya, membuatnya jatuh dan nyaris celaka, dan itulah yang membuat Nugroho mengira bahwa Tari menderita. Tapi menderitakah Tari? Janto merasa bahwa dia selalu mengasihinya dan menyayanginya.
Tapi Janto sama sekali kurang menyadari bahwa mengaitkan banyak hal dengan Nugroho adalah sangat menyakiti isterinya.
Janto tak bisa memejamkan matanya. Ia bangkit dan melangkah keluar.
"Siapa yang mau ikut kerumah sakit?" teriaknya.
"Aku...." teriak adik-adik iparnya.
"Bersiaplah, mas Janto menunggu didepan ya."
"Katanya mau istirahat dulu, "
"Ternyata nggak bisa tidur, lebih baik kerumah sakit saja melihat adik bayi.."
"Asyiiiik..." teriak mereka kegirangan.
***
Siang itu Suci tak bosan-bosannya mondar mandir ke ruang bayi. Walau tidak masuk tapi Suci puas melihatnya dari jendela kaca. Melihat bayi itu bergerak-kerak, terkadang merengek mungkin kehausan.
"Hai... sayang.. ini aku... tante Suci.. cepatlah besar ya.. nanti kita bermain bersama.." sapanya tanpa perduli orang-orang yang lewat memandanginya sambil ikut tersenyum lucu.
Suci terkekeh melihat bayi mungil itu mengejap-ngejapkan matanya dan menggerak-gerakkan bibirnya.
"Hai.. apa kamu ingin menjawab perkataanku? Tapi aku sudah tau apa yang ingin kamu katakan. Tante Suci, aku mau kamu menggendongku... iya kan? Baiklah, kamu harus sabar ya.. begitu pulang dari sini aku akan menggendong kamu kemana-mana... "
Lalu dengan tanpa malu-malu Suci bersenandung... tak gendong.. kemana-mana...Ahaaa.. kali ini Suci juga sambil menggerak-gerakkan tangannya kekiri dan kekanan.
"Suci !! Ngapain kamu !!"
Suci terkejut ketika seseorang menyapa sambil menepuk pundaknya. Ia langsung berteriak kaget.
"Mas Nugrohoooo !!!"
Nugroho tertawa.
"Kamu itu ngapain.. megal-megol disini ?"
"Itu mas, nyanyiin keponakanku. Dia bilang minta gendong sama aku.."
"Ada-ada saja. Oh itu bayinya Tari ?"
"Iya mas, ganteng kan? Kayak mas Nugroho."
"Hush! Masa kayak aku...ya kayak bapaknya dong."
"Lucu bayinya, namanya siapa?"
"Belum tau, nungguin bapaknya lagi pulang, kasihan kecapean semalam nggak tidur."
"Oh ya, kamu sudah makan?
"Tadi makan pagi sudah di belikan mas Janto, tapi ini kan sudah siang."
"Berarti sudah lapar nih..?
Dengan malu-malu Suci mengangguk.
"Ayo makan, dikantin saja yuk.." kata Nugroho sambil menarik tangan Suci kearah kantin.
***
Sesungguhnya Nugroho mengajak Suci makan bukan tanpa maksud. Memang sa'atnya makan siang, tapi itu akan dipergunakannya untuk mencari tau tentang kakaknya.
"Mas Nug tidak ingin bertemu mbak Tari?" kata Suci disela-sela makan nasi soto di kantin itu.
"Ingin, tapi lebih baik tidak usah, nanti aku titip salam saja sama kamu."
"Iya, nanti disampaikan."
"Suci, sesungguhnya aku ingin menanyakan sesuatu."
"Oh ya, tanya aja..."
"Menurutmu, apakah mbak Tarimu itu bahagia?"
"mBak Tari? Maksudnya setelah menikah dengan mas Janto?"
"Ya.."
"Bahagia, kayaknya bahagia tuh, mas Janto kan sangat perhatian sama mbak Tari. Seneng ngelihatnya."
"Oh.. gitu ya?"
"Kenapa mas tanyakan itu?"
Nuhroho sesungguhnya heran, Suci mengatakan bahwa Tari bahagia, bahkan Suci senang melihat kerukunan mereka. Lalu yang dilihatnya didepan barbershop itu? Mangapa Janto begitu kasar pada isterinya, bahkan membuat bayinya lahir paksa dengan operasi padahal belum waktunya.
Suci menatap Nugroho, menunggu jawabannya.
Tapi Nugroho hanya menggeleng, lalu menghabiskan nasi soto yang tinggal beberapa suap lagi.
Nugroho tak ingin mengatakan perlakuan Janto itu. Tapi mengapa didepan keluarganya mereka dianggapnya bahagia? Mungkinkah mereka hanya berpura-pura? Dan Tari tak ingin memperlihatkan kebengisan suaminya didepan keluarganya?
"Mas Nugroho benar-benar tak mau ketemu mbak Tari?"
"Tidak usah, ngak enak sama suaminya."
"Memangnya mas Janto tau kalau mas Nugroho bekas pacarnya mbak Tari?"
"Tahu lah.. "
"Hm.. ya.. tapi harusnya tidak usah cemburu kan mas, bukannya mbak Tari sudah jadi isterinya mas Janto?"
"Harusnya.." gumam Nugroho.
"Apa mas Janto cemburu terhadap mas Nug?"
Nugroho hanya mengangkat bahunya.
"Oh ya, mau nambah?"
"Enggak mas, udah kenyang."
"Kalau begitu ayo, kembalilah kesana, aku juga mau balik saja."
"Mas Nugroho kemari tuh cuma mau nraktir Suci makan dikantin?" tanya Suci heran.
"Hem emh.." kata Nugroho sambil memanggil pelayan dan membayar makan dan minumnya.
Lalu Nugroho menggandeng tangan Suci dan menariknya keluar dari kantin itu. Mereka berpisah didepan ruang dimana Tari dirawat.
***
Janto menurunkan adik-adik iparnya, dan mengantarkannya keruang rawat Tari. Tapi didepan pintu dia berhenti.
"Masuklah, mas Janto mau ada perlu sebentar," kata Janto sambil membukakan pintu untuk mereka, kemudian dia sendiri kembali kedepan, kearah parkiran.
Beruntung ketika itu Janto tak melihat Nugroho yang menjalankan mobilnya keluar, sehingga bentrokan itu tak terjadi.
Janto keluar dari halaman rumah sakit itu, lalu melaju membelah keramaian lalu lintas disiang hari itu.
Ia berhenti didepan sebuah berbershop, tapi bukan barbershop yang kemarin. Barangkali sungkan karena kemarin menimbulkan suasana tak enak disana.
Janto meminta agar rambutnya dicukur rapi, dan brewoknya dibersihkan sampai wajahnya menjadi licin. Itu kan yang disukai Tari?
Selesai bercukur Janto menatap wajahnya dicermin yang ada disana.
"Hm.. bukankah aku juga ganteng?" gumamnya lirih.
Ia membayar ongkosnya, lalu keluar dan mencari sebuah rumah makan. Keluarga isterinya ada disana dan pasti belum makan.
Janto memesan beberapa nasi bungkus lalu dibawanya kembali kerumah sakit.
Dan orang paling heboh yang meneriaki Janto ketika melihat penampilannya yang lain adalah Suci.
"Haaaa... apa ini benar mas Janto kakak iparku?"
Semua orang menatapnya dan tertawa tawa senang.
Janto tersenyum. Ia menyerahkan bungkusan makanan kearah Suci, lalu mendekati mertuanya dan mencium tangan mereka.
"Bapak, ibu.. ini mas Janto bawa makan siang untuk kita," teriaknya.
"Tapi aku sudah kenyang."
"Memangnya kamu sudah makan?" tanya Janto
"Tadi makan soto sama.....
Suci tiba-tiba teringat pertemuannya dengan Nugroho, dan Nugroho menyiratkan sedikit tentang kecemburuan Janto kepadanya, walau tak begitu jelas. Jadi ia tak harus menyebutkan nama Nugroho dihadapan Janto, padahal tadi sudah bercerita sama Tari dan kedua orang tuanya.
"Tadi makan soto sama siapa?" Ulang Janto..
"Makan soto sama kerupuk..." jawabnya seenaknya.
"Sendiri?"
"Nggak, banyak kok temennya..."
Janto tersenyum, Suci selalu bisa membuat orang tersenyum.
Kemudian dia mendekati Tari dan mencium keningnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya lembut.
"Tari, ini wajahku sekarang, seperti kemauanmu."
Tari menatapnya dan tersenyum.
"Bukankah aku juga ganteng?" tanya Janto.
Tapi Tari merasa imbuhan kata 'juga' itu seperti tidak terasa nyaman. Artinya ada si ganteng yang lain. Tapi Janto yang tiba-tiba merasa salah omong, kemudian meralatnya.
"Kan anak kita ganteng, bapaknya juga harus ganteng kan?"
Yang ini Tari bisa menerimanya. Ia tersenyum dan mengangguk. Tari memang belum banyak bicara, tubuhnya masih lemas, biar sorot matanya menampakkan rasa gembira berada diantara keluarganya.
"Tadi perawat menanyakan akan diberi nama apa anak kita," kata Tari pelan.
"Oh, nama.. ya, sudah aku siapkan... bagaimana kalau HARIS ? Haris Harjanto... manis bukan?"
"Apa itu artinya?"
"Artinya adalah pengawal dan pelindung. Ia akan selalu mengawal kamu, dan melindungi kamu."
Tari mengangguk senang.
***
"Mas, mengapa tidak datang menjenguk anak kita Minggu ini ?" tanya Asty hari Minggu itu ketika ternyata suaminya tidak datang.
"Ma'af Asty, lagi sibuk nih."
"Sibuk pekerjaan kantor ya mas?"
"Bukan. Kamu tau nggak, Tari melahirkan."
"Apa? Tari melahirkan? Bukankah kandungannya lebih tuaan aku dari pada dia? Belum ada delapan bulan bukan ?"
"Iya, dia terjatuh, lalu anaknya dikeluarkan paksa dengan operasi."
"Ya Tuhan.... kasihan benar, terjatuh dimana?"
"Dijalan, ketika mereka sedang berjalan-jalan. Kebetulan aku melihatnya." kata Nugroho tanpa ingin menceritakan secara rinci kejadian itu.
"Oh, lalu mas menungguinya?"
"Tidak, tapi aku menghawatirkannya, sehingga aku harus bolak balik kerumah sakit."
"Keadaannya bagaimana ?"
"Baik, tadi harus transfusi darah, kebetulan darahku cocog."
"Jadi mas mendonorkan darah juga untuk Tari?"
"Iya."
Asty terdiam. Apakah ini namanya jodoh terselubung? Raganya tidak bisa bersatu, tapi darahnya mengalir bersama-sama dalam satu tubuh.
"Ya sudah mas, sampaikan ucapan selamat dari saya untuk Tari dan suaminya ya?"
"Ya, kalau bisa ketemu aku sampaikan."
"Memangnya mas tidak ketemu ?"
"Tidak, nggak enak sama suaminya."
"Oh, dia tahu bahwa mas bekas pacarnya ya?"
"Mungkin."
"Ya sudah mas, kalau sempat sampaikan salam saya ya."
***
Seminggu lamanya Tari dan bayinya dirumah sakit. Sekarang Tari boleh menyusukan bayinya. Besok pagi sudah boleh pulang.
Janto sibuk menata kamar yang disediakan untuk bayi dan ibunya. Ia juga membeli box kecil yang apik untuk anaknya.
Suci sibuk membelikan pakaian-pakaian bayi yang lucu-lucu untuk keponakannya.
"Tapi ini semua nanti dipaket saja ke Pasuruan ya, mobil kita nggak muat untuk segala macam box bayi dan semuanya. Sebenarnya bisa beli disana ya, tapi saking gembiranya aku sekalian beli box bayi itu. Bisakah kamu disini sebulan saja lalu aku jemput, so'alnya aku harus masuk kerja besok lusa. Ijinku hanya seminggu.
"Tapi mas, besok mas tidak usah menjemput saya kembali ke Pasuruan dulu."
"Apa maksudmu?"
"Aku mau tinggal disini dulu bersama keluargaku."
Wajah Janto mendadak menjadi gelap. Bayangan Nugroho kembali menghantuinya.
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel