Cerita bersambung
Janto tak menjawab. Ia menyimpan gemuruh didadanya hanya didalam hati. Ia segan kepada mertuanya dan adik-adik iparnya.
Tapi Tari sengaja melakukannya. Biarlah agak lama tak bertemu. Ia ingin Janto mengerti, dan tak lagi mengusik ketenangan rumah tangganya dengan angan yang tidak pada tempatnya.
Tari tidak mengerti, justru keinginannya tinggal membuat Janto bertambah curiga.
Sehari setelah Tari dan bayinya pulang, Janto juga segera kembali ke Pasuruan, karena besok pagi dia sudah harus mulai bekerja.
Memasuki rumahnya yang sudah sepuluhan hari ditinggalkannya, Janto merasa senyap menyelimuti hatinya.
Disetiap ruangan, tak ada suarapun menyambutnya.
Janto menghempaskan tubuhnya ke sofa. Lelah menyergapnya. Ia enggan kekamar mandi, dan tanpa melepas sepatunya juga, ia membaringkan tubuhnya. Menepis sepi yang menyentak, mencoba mengendapkan perasaan dengan memejamkan matanya.
***
Janto terbangun ketika mendengar alarm pada ponselnya. Pertanda sa'atnya bangun dan sholat subuh. Janto bangkit, heran melihat ia tidur masih dengan pakaian yang kemarin dan sepatu masih melekat dikakinya.
Diliriknya meja didepannya, tak ada secangkir teh panas menyambutnya.
Ia baru sadar bahwa dirumah ini dia sendirian, sepi tanpa teman.
Dengan perasaan mengharu biru dia bangkit, melepas sepatu dan membiarkannya terletak dimana dia melepasnya, lalu bangkit kekamar mandi.
***
Dalam sujud Janto khusuk berdo'a, agar rumah tangganya baik-baik saja.
Janto melangkah lagi keruang tengah.
Melihat kopor dan bungkusan yang entah apa isinya, masih teronggok disana.
Astaga, Tari membawakannya pisang goreng, lauk gudeg dan sambal goreng, telur pindang dan kerupuk udang. Janto mengeluarkannya. Memasukkan pisang goreng kedalam microwave. Tapi sayur gudeg dan sambal gorengnya basi. Sayang sekali. Harusnya semalam dia memanaskannya.
Ia membuang makanan basi ketempat sampah. Lalu mengeluarkan pisang yang telah hangat.
Oh ya, Janto lupa membuat minuman. Ia harus memanaskan air, lalu mengambil teh celup, dan menyeduhnya dengan air panas. Semuanya dibawakan oleh isterinya.
Janto duduk sambil menikmati teh buatannya sendiri dan goreng pisang yang legit.
Tak ada perhatian isterinya yang mengecewakan. Tapi mengapa hatinya selalu panas mengingat hubungan isterinya dengan Nugroho dimasa lalu? Apa karena dirinya kalah ganteng? Kalah dalam segi materi dan semuanya. Mengapa itu selalu menghantuinya? Bukankah ini bukan lagi sebuah pertandingan kalah dan menang sementara Tari sudah menjadi isterinya?
Janto merasa, alangkah susah sekali melepaskan perasaan itu.
Dentang jam tujuh kali berbunyi nyaring, Biasanya Janto sudah ada didepan meja makan dan menikmati masakan isterinya yang lezat. Janto menghela nafas, mencomot lagi sepotong pisang goreng, yang kemudian cukup membuatnya kenyang.
Ia berdiri, berganti pakaian kerja dan siap berkarya. Oh ya, ia harus menelpon isterinya. Tapi sebelum dia melakukannya, Tari telah menelponnya.
"Mas, sudah bangun?"
"Sudah, aku baru akan menelpon kamu."
"Sudah mandi dan sudah sarapan?"
"Sudah."
"Mas makan sama gudeg yang aku bawakan?"
"Oh.. iy.. iya.. makan," jawabnya berbohong karena tak ingin mengecewakan isterinya.
"Pisang gorengnya juga?"
"Ya.. sudah habis tiga potong."
"Syukurlah, sa'atnya mas bersiap untuk kerja kan?"
"Iya, apa kabar Haris?"
"Dia habis menyusu, sudah pulas lagi."
"Baguslah, jaga anakku baik-baik Tari. Dan jaga juga kesehatan kamu. Kalau kamu sehat maka anak kita juga akan sehat."
"Ya mas, hati-hati ya."
Hanya sekedar saling memperhatikan, itu cukup buat Janto. Semoga tak ada situasi yang merusak ketenangan hatinya. Tapi lagi-lagi perasaan was-was itu menghantuinya.
"Bagaimana kalau Nugroho datang dan tebar pesona dihadapan Tari?" gumamnya pelan.
Janto masih ingat, bahwa terang-terangan Nugroho mengatakan bahwa dia masih mencintai Tari. Dan itu membuatnya geram, walau Nugroho juga pernah mengatakan tak akan merebut Tari darinya. Lalu dia juga yakin bahwa Tari pasti juga masih mencintainya.
Janto mengenakan sepatunya lalu mempersiapkan apa yang harus dibawanya ketempat kerja.
***
Tapi ditempat kerja itu dia sama sekali tidak bisa sepenuhnya menekuni pekerjaannya. Setumpuk map yang belum dibuka dan butuh tanda tangannya masih diam membeku karena belum tersentuh oleh tangannya.
Desy, sekretarisnya datang, membawakan segelas coklat susu, lalu meletakkannya dimeja dihadapannya.
"Bapak, saya mengucapkan selamat atas lahirnya putra pertama," ucapnya sambil tersenyum manis. Apakah setiap sekretaris selalu memiliki sebuah senyuman manis untuk atasannya?
Janto mengangguk dan membalas senyuman itu.
"Terima kasih Desy."
"Lain hari saya akan datang kerumah dan mengucapkan selamat kepada ibu juga," lanjutnya masih dengan pose berdiri dan tetap dengan senyuman manis.
"Oh ya, tapi sa'at ini ibu Janto belum ikut pulang kemari, masih di Solo bersama orang tuanya."
"Oh, jadi bapak sendirian dirumah?"
"Apa boleh buat. Anak saya masih terlalu kecil untuk sebuah perjalanan jauh. Mungkin di bulan kedua atau ketiga nanti."
"Kasihan. Oh ya, bapak sudah sarapan ?"
"Eh... belum tuh", katanya sedikit malu.
Desy tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.
"Saya tau karena sa'at ini tidak ada yang melayani. Saya pesankan untuk makan pagi ya? Nasi rawon? Mau ?"
"Boleh, boleh... pagi-pagi begini nasi rawon pasti enak.."
Desy beranjak pergi, mencari OB agar memesankan nasi buat bosnya.
Janto merasa, dadanya sedikit merasa lega. Apakah karena senyuman sang sekretaris? Bukan lah, mungkin karena disa'at perut lapar lalu ada yang memperhatikan, dan itu membuatnya nyaman.
Janto meraih map-map yang bertumpuk dihadapannya, dan memulai pekerjaannya.
***
Hari-hari yang dilalui Tari penuh dengan kesibukan merawat bayi kecilnya. Ia belajar memandikan, mengganti popok.. semua dari ibunya.
Suci yang ingin mencoba memandikan bayi dimarahi sama ibunya.
"Jangan dulu Suci, kamu itu polahmu saja nggak karuan, ibu takut bayinya nanti merucut.. apa nggak kasihan."
"Lha kamu kalau pengin segera punya bayi, ya cepat menikah to, seperti mbak Tari itu," kata adiknya sambil nyengir.
Suci mendelik menatap adiknya.
"Enak aja! Aku kan masih kecil."
"Katanya pengin punya anak..."
"Hush, bukan pengin punya anak, cuma pengin ikut mandiin Haris kok.."
"Suci, nanti kalau Haris sudah agak besar kamu boleh memandikannya, kalau sekarang, mbak masih khawatir. Lihat, dia masih sangat lembut, mBak saja masih was-was.." kata Tari.
"Iya.. tak sabar menunggu dia besar... duuh.. padahal kalau sudah agak besar pasti sudah dibawa bapaknya ke Pasuruan..," omel Suci.
Ketika Haris sudah dimandikan, dan wangi.. Suci dan adik-adiknya berebut mendekati dan menciumnya. Lalu bertengkar mana yang sudah dan yang belum.. aduuh.. bahagianya hati Tari menyaksikan kehebohan dirumah itu.
"Tari, menurut nak Janto, kamu sudah akan dijemput sebulan kemudian, mengapa kamu menolak? Kamu kan tidak seharusnya berlama-lama meninggalkan suami kamu."
"Tari kan punya anak bayi bu, dan masih banyak yang harus Tari pelajari dari ibu tentang bagaimana merawat bayi," kata Tari memberi alasan.
"Apa sebulan tidak cukup untuk kamu belajar? Ibu merasa kasihan sama nak Janto, siapa yang akan meladeninya kalau kamu tidak ada didekatnya."
"Iya bu, nanti akan Tari pikirkan lagi."
***
Pagi itu ketika sedang berjemur bersama anaknya didepan rumah, tiba-tiba Asty menelponnya.
"Hallo ibu muda..."
"Asty ?"
"Selamat atas kelahiran anak kamu ya,."
"Kamu tau darimana ?" tanya Tari kaget. Pasti Nugroho telah menceritakan perihal jatuhnya dia, lalu terpaksa melahirkan dengan operasi.
"Ya tau lah, mas Nugroho menceritakan semuanya. Dia juga mengatakan bahwa telah mendonorkan darahnya untuk kamu."
"Oh, iya.. ma'af.."
"Kamu tidak tau bahwa darah mas Nugroho mengalir dalam nadimu?"
Tari terkejut. Hatinya berdesir. Kata-kata yang baru saja diucapkan Asty begitu membuatnya merinding. Ya benar, ada darah Nugroho ikut mengaliri seluruh nadinya. Ini tak pernah difikirkannya. Ada darah laki-laki yang pernah dicintainya mengaliri tubuhnya.
"Tari, kamu tidak tau ?"
"Aku.. ma'af, aku setengah sadar waktu itu.. iya.. terimakasih banyak, tolong disampaikan ya Asty."
"Baiklah, akan aku sampaikan."
"Terima kasih Asty."
"Kandunganku harusnya lebih tua dari kamu, tapi kamu lebih dulu melahirkan. Tapi aku senang, kamu dan bayimu sehat."
"Iya, sehat. Alhamdulillah."
"Kamu di Pasuruan?"
"Tidak, aku masih di Kartosura, tapi mas Janto sudah kembali, karena kan harus bekerja."
"Oh, jadi kamu masih dirumah ibu? Baguslah, kalau aku ke Solo pasti akan mampir. Kangen sekali Tari, lama aku tidak bertemu kamu."
"Iya Asty."
"Ini kamu lagi ngapain?"
"Lagi berjemur sama anakku."
"Ya ampun, kirim ke aku donk fotonya."
"Baiklah, atau VC saja ya, tutup dulu biar aku menelpon kamu, biar kamu tau polah anakku juga."
"Bagus, baiklah.."
Dengan videocall itu Asty dengan jelas bisa melihat wajah anaknya Tari, bagaimana matanya berkedip, bibir mungilnya bergerak lucu.
"Ya ampuun, anakmu ganteng sekali, hidungnya mancung, matanya bening, rambutnya lebat. Oh ya, pak Janto masih berewokan?"
Tari tertawa.
"Sudah dicukurnya ketika aku melahirkan. Katanya biar nggak kalah ganteng sama anaknya."
Astypun ikut tertawa.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti didepan pagar. Tari terkejut.
"Asty, sudah dulu ya, sepertinya ada tamu, lain kali disambung lagi."
Tari menutup ponselnya. Ia berdiri menunggu tamu itu. Nugroho. Jantung Tari berdebar tak menentu.
Darah laki-laki itu mengalir ditubuhnya, membuatnya merinding. Baru saja dia membicarakannya bersama Asty, tiba-tiba dia muncul. Masih pagi pula. Dan membawa bungkusan yang besar, dijinjingnya.
"Tari..." sapa Nugroho, selalu dengan suara lembut, yang dulu bisa menghanyutkannya. Tapi tidak untuk sekarang. Ada batasan yang melarang hatinya untuk itu. Tapi debar jantungnya tak juga hendak berhenti.
Nugroho melangkah semakin mendekat, kemudian wajahnya berseri mengamati bayi dalam gendongan Tari. Dialusnya kepala Haris.
"Aku belum sempat mengucapkan selamat. Sekarang aku ucapkan, semoga anak ini selalu sehat, cepat besar, dan menjadi kebanggaan orang tua."
"Aamiin," kata Tari dengan suara bergetar.
"Ini hadiah untuk si baby," katanya sambil mengulurkan bungkusan itu.
"Terima kasih."
"Aku letakkan diteras ya, nanti kamu berat membawanya," kata Nugroho sambil membawa bungkusan yang kemudian diletakkannya di teras.
"Kok sepi ?"
"Sudah pada berangkat sekolah, bapak berangkat kerja, ibu sedang kepasar."
"Bagaimana keadaanmu? Sehat?"
"Sangat sehat. Terima kasih telah menyambung hidupku dengan mendonorkan darah mas untuk aku," kata Tari yang lagi-lagi bergetar, teringat bahwa darah itu masih mengalir ditubuhnya.
"Aku hanya melakukan yang terbaik untuk kamu."
"Terima kasih."
"Suami kamu sudah kembali ke Pasuruan?"
"Sudah, kemarin, kan dia harus bekerja hari ini."
"Iya, sudah kuduga."
"Silahkan duduk mas."
"Aku hanya sebentar, karena harus ke kantor juga."
"Barusan Asty menelpon."
"Oh, syukurlah, aku sudah memberi tau bahwa kamu sudah melahirkan."
"Kapan Asty melahirkan?"
"Perkiraan bulan depan."
"Semoga lancar semuanya."
"Terima kasih Tari. Aku harap kamu bahagia."
Tari mengangguk. Ada rasa tak menentu ketika Nugroho meninggalkannya. Apakah cinta itu masih ada? Tari menggendong anaknya masuk kedalam, dan menepiskan perasaannya.
"Hentikan Tari, kamu isteri Harjanto, kamu harus mengabdi kepada rumah tanggamu," bisiknya pelan. Ia menidurkan anaknya di box bayi kemudian kedepan untuk mengambil bungkusan yang tadi diberikan Nugroho.
Perlahan Tari membukanya.
Sebuah selimut bayi berwarna biru muda, handuk bayi yang juga berwarna biru muda, sebuah gendongan bayi, semuanya sewarna, dan satu set perlengakapan bayi lainnya.
Tari menghela nafas.
"Ini barang-barang mahal, semoga nanti mas Janto tidak menanyakannya supaya tidak menimbulkan suasana panas kembali." bisiknya pelan sambil menata barang-barang itu diatas ranjangnya, dan membiarkan sebuah ucapan selamat, dari keluarga Nugroho masih terletak disana.
***
Siang itu Janto selesai makan siang. Desy membelikannya lontong. Entah lontong apa.. Janto tidak tau namanya. Ada kerang.. ada apalah.. ketika perut lapar maka makan apapun enak, apalagi ditemani Desy sekretarisnya yang melayaninya sejak dia makan pagi tadi.
Janto bermaksud menelpon Tari ketika Desy membawa segelas jus jeruk dan diletakkan dimejanya.
"Kok lengkap benar makan siangnya?" tanya Janto yang sudah siap menelpon isterinya.
"Tadi saya pesan sekalian. Biar segar. Silahkan diminum pak."
"Terimakasih, aku mau menelpon isteriku dulu."
Desy tampak mundur lalu duduk dimejanya sendiri yang agak jauh disudut ruangan.
"Tari.."
"Hallo mas Janto, ini aku Suci, mbak Tari lagi kebelakang."
"Kamu nggak sekolah?"
"Sudah pulang mas, gurunya rapat."
"Wah, senang ya kalau gurunya rapat, bisa pulang cepat."
"Iya dong mas, ini sudah ada dikamar Haris. Sayangnya dia lagi bobuk."
"Awas ya, kalau deket-dekat bayi harus sudah cuci kaki tangan dan ganti pakaian bersih."
"Sudah mas, jangan khawatir."
"Kalau Haris lagi bobuk.. ngapain kamu disitu? Jangan gangguin yang lagi bobuk ya."
"Enggak mas, aku lagi ngelihat nih, ada hadiah-hadiah bagus untuk Haris. Nih, selimut berwarna biru. handuk, gendongan bayi.. dan perlengkapan bayi yang bagus-bagus, semuanya berwarna biru. Cantik deh mas."
"Hadiah dari siapa tuh?"
"Dari... sebentar, ini ada tulisannya.. oh.. Nugroho..." Suci terkejut pada ucapannya sendiri, bukankah mas Jantonya cemburu berat sama Nugroho? Tapi sudah terlanjur, bagaimana meralatnya?
Dan Suci berhasil memanaskan darah ditubuh Janto. Jadi benar bahwa dengan tak adanya dirinya disamping isterinya lalu Nugroho bebas datang mengunjungi Tari?
"Eh.. dari siapa sih mas.. nggak jelas, habis tulisannya sudah sobek-sobek," tapi ralat yang diucapkannya tak berhasil mengusir rasa kesal dihati Janto. Suci sudah mengatakan dengan jelas, dan tak mungkin dia salah membaca.
***
Karena kesal itu Janto tak jadi berbicara dengan Tari. Dengan alasan banyak pekerjaan Janto segera menghentikan pembicaraannya dengan Suci.
"Pak, jusnya sudah nggak dingin lagi lho," seru Desy dari sudut sana, setelah melihat Janto menutup ponselnya.
"Oh, iya, terimakasih, masih dingin..." katanya sambil menyedot jusnya, dan berusaha mendinginkan darah dikepalanya.
Kemudian dia menutup map yang tadi dibukanya, dan membenahi semua alat kerjanya.
"Desy, aku mau pulang sekarang."
"Oh, pulang pak?"
"Iya, badanku agak kurang enak, kepalaku pusing," katanya sambil berdiri, kemudian berlalu keluar dari ruang kerjanya.
Desy tiba-tiba merasa menyesal telah memberinya minuman dingin. Mungkinkah bos gantengnya pusing karena jus yang diberikannya?
***
Perasaan Janto terus-terusan merasa tak enak. Cemburu itu kembali mengusiknya.
"Kali ini hadiah untuk bayi Tari, kemudian untuk Tari, lama-lama apa..." Janto memijit keningnya sambil duduk diteras rumah.
Udara diluar mendung, seperti suasana hatinya, gelap dan pengap.
Lalu guntur bertalu, dan hujan mengucur deras, bagai dicurahkan dari langit.
Janto berdiri, bermaksud masuk kedalam rumah ketika sebuah sepeda motor memasuki halaman rumahnya.
"Desy?"
Dilihatnya Desy turun dari sepeda motor, lalu berlari keteras, sambil mengusap wajahnya yang kuyup oleh hujan. Bukan hanya wajahnya, bajunyapun basah kuyup.
"Desy, dari mana kamu hujan-hujan sampai kemari?"
"Dari kantor pak, khawatir bapak sakit, saya lalu kemari. Nggak taunya kehujanan. Sudah dekat ketika hujan turun deras."
"Aduh, kamu pasti kedinginan. Sebentar, ada baju isteriku yang barangkali bisa kamu pakai, pergilah kekamar mandi dan gantikan bajumu," kata Janto sambil masuk kedalam kamar.
Ia membuka almari isterinya, dan memilih baju yang sekiranya pantas untuk dipakai Desy.
==========
Desy melangkah kekamar mandi disebelah belakang seperti ditunjukkan Janto, bukan dikamar mandi yang ada didalam kamarnya. Ia sedikit kedinginan. Semua baju berikut daleman dilepaskannya, digantikannya dengan baju yang diberikan Janto. Ternyata sangat pas ditubuhnya. Tapi ia sungkan meminta kepada Janto untuk meminjam pula bra dan CD milik Lestari. Jadi ia hanya mengenakan baju saja. Tak apa, asalkan kering dan mengurangi rasa dingin yang menggigit.
Desy belum pernah bertemu Lestari, tapi baju yang dikenakannya bisa pas ditubuhnya.
Desy keluar setelah menggantungkan baju basahnya di tempat jemuran dibalik kamar mandi itu.
Ketika melangkah kembali kedepan, Janto sudah menyiapkan segelas teh hangat dimeja.
"Desy, minumlah agar kamu merasa hangat."
"Terimakasih pak, saya jadi merepotkan."
"Sebenarnya kamu ini kenapa, hujan-hujan datang kemari?"
"Saya sebenarnya merasa bersalah telah memberikan jus dingin kepada bapak siang tadi."
"Mengapa?"
"Bukankah itu yang membuat kemudian bapak mengeluh sakit lalu buru-buru pulang?"
"Oh.. itu...." Janto tertawa..
"Karena jus itu barangkali, lalu saya memerlukan mampir sebentar untuk melihat keadaan bapak. Tak taunya kehujanan."
"Tidak, memang aku sedang tidak enak badan. Jadi bukan karena jus itu. Terimakasih perhatiannya, tapi ini membuat kamu kehujanan dan basah kuyup."
"Tidak apa-apa, begitu hujan reda saya permisi pulang."
"Sepertinya hujan ini akan awet. Kamu tinggalkan saja sepeda motor kamu, nanti aku antarkan."
"Tidak pak, tambah merepotkan."
"Tidak apa-apa, dikantor juga aku selalu mjerepotkan kamu."
"Tidak juga, kewajiban saya kan melayani bapak dikantor."
"Baiklah, minum dulu tehnya, aku masukkan sepeda motormu ke garasi, lalu aku antar kamu pulang."
"Biar saya masukkan sendiri pak."
"Jangan, sudahlah, minum saja tehnya, biar aku urus sepeda motor kamu."
Ketika Desy menyeruput tehnya, Janto sudah memasukkan sepedanya kedalam garasi, lalu mengeluarkan mobilnya kedepan teras agar ketika masuk kedalam mobil mereka tak kehujanan.
Sungguh Desy merasa tak enak telah menyusahkan bosnya.
"Sudah siap, mau saya antar sekarang?"
"Baiklah pak, sekali lagi terimakasih dan mohon ma'af ya pak."
"Sudah, lupakan saja. Ayo naik, biar aku mengunci pintu terlebih dulu."
***
Malam itu Tari menata barang-barang yang masih terserak, terutama hadiah-hadiah untuk Haris. Rasanya almari tidak cukup untuk semuanya, jadi Lestari hanya menatanya dimeja.
"Oh ya mbak, aku lupa, tadi siang mas Janto tilpon, ketika mbak lagi dikamar mandi, aku lupa bilang."
"Kok bisa lupa?"
"Habis, tadi aku disuruh ibu mengantarkan jahitan ke dekat pasar, jadi lupa semuanya."
"Bilang apa dia?"
"Tadi aku lagi ngelihat hadiah yang dari mas Nugroho, dia nanya, aku lagi ngapain, lagi ngelihat hadiah bagus-bagus.. trus dia nanya, hadiah dari siapa, aku bilang dari mas Nugroho."
Tari terkejut.
"Kamu bilang begitu?"
"Iya, apa mas Janto marah ya, telponnya langsung ditutup. Katanya lagi banyak pekerjaan."
Tari terdiam, mungkin saja Janto marah.. ia kan alergi mendengar nama Nugroho..?
"Baiklah, biar aku telpon saja dia."
Tari kemudian menelpon suaminya, tapi lama sekali tak diangkat.
"Kemana ya dia?"
Tari mencoba berulang-ulang, tetap tak diangkat.
Suci merasa bersalah ketika melihat Tari mengeleng-geleng setiap kali memencet nomor suaminya.
"Ma'af ya mbak, aku keceplosan.. memang mulutku ini agak susah diatur... Ma'af ya," kata Suci sambil memeluk kakaknya.
"Tidak apa-apa Suci, mungkin mas Janto sudah tidur."
"Ini kan masih sore mbak."
"Mungkin sedang beli makanan, kasihan tak ada yang melayani."
"Bukannya dia marah ya mbak?"
"Semoga saja tidak, sudahlah, jangan difikirkan lagi. Ayo menyiapkan makan malam, ini sudah sa'atnya."
"Tapi Haris masih belum tidur tuh, matanya melihat-lihat kearah aku. Hai... gantengnya tante.. mau ngomong apa kamu?"
"Ya sudah, kamu duluan sana, biar aku susukan Haris lebih dulu."
Namun sambil menyusui itu perasaan Lestari sungguh tidak enak kalau saja dia bisa bicara, tapi apakah Janto memang tak mau menerima telponnya? Kalau begitu dia marah beneran.. Aduhai, Tari sungguh sedih memikirkannya. Ia benar-benar lelah mendapat perlakuan seperti ini. Cemburu yang tidak beralasan. Cemburu buta yang benar-benar membutakan mata hatinya. Bahkan tidak mempercayai cinta isterinya.
"Apakah sebaiknya aku minta dijemput saja ya, supaya kecurigaan dia tidak semakin berlanjut. Aku kira aku bisa kok merawat anak sambil mengurus rumah tangga," gumamnya sambil mengelus kepala anaknya.
***
Sudah malam ketika Janto kembali kerumahnya, karena dia mampir kesebuah rumah makan untuk makan malam. Sesampai dirumah ia ingin segera tidur, agar hilang semua kekesalannya.
Begitu memasuki kamar, dilihatnya ponselnya tergeletak diatas meja. Rupanya dia lupa membawanya karena keburu harus mengantarkan Desy pulang.
Dilihatnya beberapa kali isterinya menelpon.
"Ada apa dia menelpon? Ingin mengatakan kegembiraannya karena Nugroho datang menyambangi dia dan memberikan hadiah istimewa untuk anaknya?" gumam Janto yang kemudian mengabaikan ponselnya, beranjak kekamar mandi untuk membersihkan diri, lalu merebahkan tubuhnya diranjang.
Beberapa sa'at lamanya, tiba-tiba Janto mendengar suara teriakan..
"Pak Janto... pak Janto..."
"Lho itu kan suara Desy, ada apa Desy berteriak-teriak?"
Langkah-langkah mendekat mengejutkannya. Desy menubruknya dengan pakaian yang sudah robek disana sini. Janto merengkuhnya.
"Ada apa kamu ini? Apa yang terjadi ?"
"Aku mau diperkosa pak, tolong.. lihat, ini baju bu Janto yang saya pakai, ditarik-tarik sama orang itu, sampai tercabik-cabik seperti ini," tangisnya tanpa melepaskan pelukannya.
Nafas Janto sesak, tubuh itu semakin erat merengkuhnya sehingga dia jatuh terjerembab.
"Adduh....."
Janto membuka matanya. Tubuhnya berada dibawah ranjang, sebelah bahunya terasa nyeri.
Tak ada Desy dikamarnya, Janto bingung.
"Ya Tuhan, aku hanya bermimpi. Mengapa aku memimpikan Desy? Aku sama sekali tidak memikirkannya. Apa karena aku tadi mengantarnya lalu kebawa dalam mimpiku?" keluhnya sambil bangkit, lalu kembali merebahkan tubuhnya, sambil mengelus elus bahunya yang sakit.
***
Pagi hari itu ketika Janto sudah bersiap berangkat, Tari menelponnya.
"Ya, ada apa, tidak usah dilaporkan, aku sudah tau," kata Janto ketus.
"Apa sih mas, mas itu jauh atau dekat kok ya tidak ada bedanya, suka sekali menyakiti aku. Kalau begitu namanya bukan cinta. Mas memang ingin menyiksa aku bukan?" kata Tari menahan isak.
Hati Janto luluh. Ia tak sampai hati mendengar atau melihat isterinya menangis.
"Tari.. mengapa Nugroho masih menyambangi kamu? Itu yang membuat aku sakit."
"Dia hanya memberikan hadiah buat Haris, pagi sebelum kekantor. Tidak bicara banyak. Aku juga belum mengucapkan terimakasih karena dia telah menyambung nyawaku. Baru kali itu sempat mengucapkannya. Apa mas sudah ? Bukankah kalau tidak ada dia maka aku sudah tak ada didunia ini karena kehabisan darah?" kata Tari bertubi-tubi.
Janto tersentak. Memang benar bahwa kalau tak ada Nugroho mungkin isterinya sudah tak ada lagi disampingnya.
Tiba-tiba Janto merasa bahwa bulu kuduknya merinding. Bukan apa-apa, tapi bayangan kehilangan isterinya itu sangat menakutkannya.
"Tari, ma'afkan aku."
"Mas selalu begitu."
"Ya sudah, jangan sedih, aku kan sudah minta ma'af. Sekarang aku berangkat ke kantor dulu ya."
"Mas, tunggu.. bagaimana kalau minggu depan mas menjemput aku?"
"Menjemput kamu? Tapi Minggu ini dan Minggu depan ada acara kantor, jadi aku belum bisa, mungkin minggu berikutnya."
"Acara apa hari Minggu mas?"
"Kami sedang merencanakan akan membuka cabang didaerah lain. Minggu besok dan minggu berikutnya ada pertemuan yang tidak bisa aku tinggalkan."
"Ya sudah mas, aku menunggu saja. Berangkatlah ke kantor dan hati-hati. Oh ya mas, semua cucian ngak usah dicuci saja. Masukkan ke laundry saja biar ngak kecapean."
"Iya.. Aku siap-siap dulu."
Janto teringat mengumpulkan baju kotornya, dimasukkannya kedalam tas. Dan akan dibawanya ke laundry. Memang benar, ia tak harus mencuci sendiri baju-baju kotornya.
***
Tapi hari itu Janto tidak menemukan Desy diruangannya. Tampaknya dia belum datang. Tapi tumben, biasanya dia datang lebih dulu.
"Oh, ya ampun .. motornya kan ada dirumah.. mungkin dia naik angkutan umum lalu kena macet."
Janto menelponnya.
"Halo pak, saya minta ma'af."
"Kamu dimana Desy?"
"Saya masih dirumah, saya sakit pak, badan saya panas sekali."
"Waduh, sudah minum obat?"
"Kebetulan tidak punya obat apapun dirumah pak."
"Baiklah, aku suruh orang membawakan obat untuk kamu, tapi kalau sampai sore panasnya belum reda, lebih baik kamu ke dokter. "
"Tapi.. kendaraan saya ada dirumah bapak."
"Nanti aku antarkan kamu. Tapi coba dulu minum obatnya, sebentar, aku akan suruhan orang ketempat kamu."
"Terimakasih pak."
Janto segera menyuruh orang untuk membelikan obat lalu mengirimkannya ke rumah Desy.
***
Sore itu Janto mengantarkan Desy kedokter, karena dia hanya anak kost yang jauh dari orang tua.
"Ini bukan panas biasa, saya curiga ini thypus atau demam berdarah." kata dokter itu.
"Lalu bagaimana dok, dikasih obat?"
"Ini obat sementara, hanya untuk menurunkan demamnya, tapi sebaiknya diperiksakan darahnya di laboratorium."
"Oh, baiklah dokter."
"Saya berikan resepnya untuk ambil obat di apotik, dan surat pengantarnya untuk laborat. Besok hasilnya diberikan kepada saya."
"Baiklah."
Janto langsung mengajak Desy ke laborat untuk cek darah. Karena sudah sore, hasilnya baru bisa diambil besok paginya. Janto membelikan obat sesuai resep yang diberikan dokter, lalu mengantarkannya pulang.
"Apa kamu sudah makan?"
Desy mengangguk lemah.
"Kalau begitu segera sesampai dirumah kost kamu, minum obatnya. Besok aku yang akan mengambil hasil lab.nya kemudian langsung membawanya ke dokter," kata Janto sebelum meninggalkan rumah kost Desy.
"Kalau ada apa-apa, segera telpon saya."
"Baik, terimakasih banyak pak."
Janto meninggalkan rumah kost itu dengan perasaan iba. Sebetulnya dia tak tega meninggalkannya dalam keadaan sakit, tapi mau bagaimana lagi. Semoga tak ada apa-apa yang menghawatirkan. Kata batin Janto.
***
Tapi hasil lab menunjukkan bahwa Desy terkena thypus. Ia harus opname dirumah sakit.
Janto sibuk menempatkan Desy dikamar yang baik,
"Kamu tenang saja disini Desy, dokter akan merawatmu sampai sembuh. Sekarang berikan alamat keluargamu atau nomer kontak yang bisa aku hubungi, agar aku bisa mengabarinya."
"Jangan pak. Yang ada dirumah hanya nenek saya, sudah tua. Saya tidak punya orang tua lagi."
"Oh.. begitu ?"
"Iya pak, kasihan nenek kalau mendengar saya sakit, nanti dia sedih dan kebingungan."
"Jadi tak apa-apa seandainya tak ada yang menemanimu disini ?"
"Tidak apa-apa pak."
"Baiklah, tapi kalau ada apa-apa tolong aku dikabari. Kalau bukan aku nanti akan aku minta orang kantor mengurus semuanya. Semoga tidak akan lama, kamu segera sembuh. Yang penting ta'ati semua anjuran dokter."
Desy mengangguk. Tubuhnya terasa lemas dan badannya masih panas. Janto meninggalkannya agar Desy bisa beristirahat.
***
"Jadi nak Janto tidak bisa segera menjemput kamu ?"
"Tidak bisa bu, ada acara dikantor yang tidak bisa ditinggalkan."
"Kalau kamu segera ingin pulang, naik travel saja, biar Suci mengantarkan."
"Jangan bu, kasihan Haris. Nanti saja nunggu mas Janto."
"Ya sudah, ibu itu kan hanya prihatin, kalau nak Janto mengurus semuanya sendiri."
"Kalau disuruh milih sih, lebih suka disini, rame.."
"Hush, kamu itu sudah bersuami, sudah punya kewajiban yang berbeda dengan mengurusi keluargamu. "
"Iya bu.."
***
Tapi dua minggu yang dijanjikan itupun Janto belum bisa menjemput isterinya. Ia sibuk mengurusi Desy yang ternyata baru duapuluh hari boleh pulang.
Minggu ketiga itu Janto baru bisa menjemput isteri dan anaknya. Tapi ia enggan membawa box bayi yang pernah dibelinya. Senang hati Tari begitu memasuki halaman rumahnya.
Bagaimanapun Tari rindu dengan rumahnya yang hampir setahun ditinggalinya bersama suaminya.
Ia memasuki rumah yang masih tertata rapi, tapi banyak debu disana sini.
"Mas Janto nggak sempat membersihan debu2.. " gumamnya.
Tapi ketika memasuki kamarnya. ia melihat kamar itu tertata rapi. Dan sudah ada box bayi disana, semuanya dengan tatanan yang apik. Pantesan Janto tak mau membawa box bayi yang sudah dibelinya di Solo.
Tak ada debu dikamar itu, semuanya rapi dan berkilat.
"Aku khusus membersihkan kamar ini untuk Haris. Yang lainnya tidak sempat. Ma'af ya." kata Janto ketika isterinya menidurkan anaknya di box barunya.
"Tidak apa-apa, kan sudah ada aku. Disela-sela merawat Haris aku masih bisa merawat rumah kok."
"Dan merawat aku juga kan?"
"Iya, asalkan tidak neka-neka saja.."
"Neka-neka itu bagaimana sih?"
"Ngomong yang engak-enggak.. aku nggak suka itu."
Janto hanya tersenyum. Tapi alangkah susah menghilangkan rasa cemburu itu.
Lestari melangkah kebelakang. Melihat isi kulkas, adakah persediaan makanan disana. Ternyata tidak ada. Untunglah tadi membawa sayur masakan ibunya dari Kartosura.
Kemudian ia membuka pintu belakang dapur, agar bisa bernafas dengan lega, dengan melihat hijaunya kebun disamping rumah.
Tapi tiba-tiba matanya tertuju kepada sesuatu yang tersampir di jemuran.
Ada pakaian wanita, celana dalam wanita, dan bra, tersampir disana.
Tari tersentak kaget. Jadi ada perempuan menemani Janto dirumah ini? Apa saja yang dilakukannya?
Lestari bergegas kedepan, dengan kemarahan yang tak bisa ditahannya.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel