Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 09 Juni 2021

Lestari Punya Mimpi #10

Cerita bersambung

Tari mencari suaminya kedepan, tadi dia melihatnya masih membuka bagasi mobil untuk mengeluarkan barang-barang, ternyata tak ada.
Tari masuk lagi kedalan, dan melihat suaminya sedang berbaring disamping anaknya.
"Mas, sini mas, keluar. Jangan menjamah anakku dengan tangan kotormu !!"
Janto terkejut.
"Cepat mas, keluaaarr!!

Tari menunggu diruang tengah, agar anaknya tak sampai terbangun dengan kata-katanya yang tak terkendali.
"Apa ini? Ada apa? Tari,,,"
Janto menatap isterinya yang duduk dikursi dan memandangnya dengan mata berapi-api.
"Itu sebabnya mengapa kamu mundur-mundur ketika aku ingin kamu segera menjemput aku. Itu sebabnya telponku tidak segera kamu jawab. Kamu menyindir nyindir aku setiap sa'at untuk sesuatu yang aku tidak pernah melakukannya. Tapi kamu sendiri melakukan perbuatan yang menjijikkan. Dimana kamu melakukannya mas, biar aku buang ranjang dan kasurnya ke jalanan!!"
"Tari, kamu mengucapkan apa? Ada apa kamu ini Tari, aku tidak mengerti."
"Ya, kamu tidak mengerti ketika tiba-tiba aku tau semuanya. Tak perlu lama membuktikan kebusukan kamu, dan Tuhan telah menunjukkannya padaku."
"Tariii..!"
"Aku mau pulang kembali ke Kartosura. Jangan bongkar barang-barangku!" kata Tari yang kemudian bangkit dan berjalan kearah kamar.
Kopor berisi pakaiannya dan pakaian anaknya belum dibongkar. Tari menariknya keluar dari kamar, menempatkannya di teras. Janto mengikutinya dengan bingung.
"Tari !! Apa kamu sudah gila?"
"Ya, aku gila karena telah mempercayai kamu. Jangan halangi aku, aku mau pulang kembali, sekarang juga."
Tari mengambil ponselnya, mencoba memesan taksi atau apapun, yang bisa segera membawanya pergi.
Janto merebut ponsel itu.
"Maukah kamu menjelaskannya, aku benar-benar tak mengerti."
"Minggir mas, aku mau membawa anakku pulang, Mana ponselku !!" katanya sambil berusaha merebut kembali ponselnya.

"Baiklah, tenangkan dulu hatimu, redakan kemarahan kamu. Aku sungguh tidak mengerti mengapa kamu tiba-tiba marah yang tidak terkendali. Aku belum pernah melihatmu marah seperti ini. Katakan Tari."
"Mana ponselku, aku mau menelpon taksi."
"Baiklah, tak usah menelpon taksi, mari aku antarkan saja. Tak apa pulang kembali ke Kartosuro kalau memang itu maumu."
"Hm, seneng ya.. membiarkan aku kembali, biar kamu lebih leluasa lagi membawanya kerumah ini."

Tari sudah berhasil merebut ponselnya dan kembali menelpon taksi.
"Biar aku antar kamu, tapi tolong katakan ada apa Tari," kata Janto memohon, kali ini berusaha merengkuh Tari.
"Jadi kamu menganggap aku bodoh dan tidak tau apa-apa mas, baiklah, akan aku tunjukkan," kata Tari sambil beranjak lagi kebelakang. Ia meraih baju yang masih tergantung di kawat jemuran, berikut bra dan celana dalamnya, kemudian dilemparkannya kehadapan Janto.
"Kurang jelas apa ini? Seorang wanita, mencopot baju berikut celana dan bra nya, dirumah ini. Kurang jelas apa mas?"
Janto terperangah.
"Mengapa baju ini masih tertinggal disini ?"
Dan ucapan keheranan itu justru membuat kemarahan Lastri lebih meluap.
"Barangkali dia sengaja meninggalkannya supaya aku tau. Kamu terkejut? Lupa mengingatkan bahwa dia harus menyembunyikan barang busuk ini?" "
"Tidak, begini Lastri, sebenarnya itu sudah lama.. sejak..."
"Bagus, sudah lama? Berapa lama?" Tari memotong dengan sengit.
"Bukan begitu, aduh, dengar dulu dan jangan memotongnya, apalagi dengan kemarahan. Tenang, jangan bicara apapun dan aku akan mengatakannya. Itu baju Desy, sekretaris kantor, yang kesini waktu hujan lebat."
"O, jadi sekretaris kantormu sudah berani menjamah suamiku?"
"Tari dengar dulu, aku tak sekotor itu, dengar dan jangan bicara!!" kali ini Janto membentak karena Tari tak hendak berhenti memaki-makinya.
Tari terdiam, terkejut mendengar Janto yang sudah bersalah tapi masih berani membentaknya.
Tapi kemudian dia memang diam sambil menahan emosinya.

Lalu Janto menceritakan ketika sore sepulang kantor Desy kerumah, mengira dia sakit dan ketika datang itu dia kehujanan. Melihat bajunya basah kuyup, dia menyuruhnya mengganti pakaian kering punya Lestari. Mungkin dia lupa membawa pulang baju basahnya itu.
Tari mendengarkan, tapi masih belum bisa menerima.
"Kalau dia meninggalkan bajunya tidak sengaja, mengapa keesokan harinya tidak diambilnya?"
"Dia jatuh sakit pagi harinya, sampai opname selama duapuluh hari lamanya, baru kemarin boleh pulang dari rumah sakit. Lihat di garasi, sepeda motornya masih tertinggal disitu."
Tari mulai menurunkan gelegak darah yang memanas diubun-ubunnya. Ia merasa apa yang dikatakan suaminya itu beralasan. Tapi ia masih merasa curiga. Ditatapnya Janto untuk mencari kesungguhan dalam kata-katanya.
"Kamu mengerti Tari? Kamu bisa mempercayai aku ?"
Melihat Tari terdiam, Janto mendekati isterinya, dan merengkuhnya erat.
"Aku ketakutan melihat matamu menyala seperti menyemburkan api. Baru kali ini aku melihatnya Tari, tapi aku senang, bukankah cemburu pertanda cinta?"
Kemarahan Tari perlahan luluh, tapi ia tidak sepenuhnya mempercayai kata-kata suaminya, apalagi bayangan baju, bra dan celana dalam itu selalu terbayang dipelupuk matanya.
Dalam hujan, basah kuyup, hanya berduaan, apapun bisa terjadi. Aduhai.. Ternyata tak mudah menghilangkan rasa cemburu.
***

Suasana sudah mereda Tari tampak tenang . Ia mulai membersihkan rumah yang dilihatnya berdebu karena berhari-hari tidak dibersihkan.
"Tari, biar aku saja."
"Nggak apa-apa, kan mas harus bekerja."
"Nanti kamu kecapekan..."
"Biar saja, nggak apa-apa.. itu aku sudah menyiapkan sarapan. silahkan makan dulu."
"Baiklah, nggak ditemani ?" tanya Janto ketika Tari tidak beranjak.
"Tanganku kotor mas.. ini masih bersih-bersih. Mas makan saja dulu, aku nanti saja, gampang."

Dan Janto merasa bahwa sikap Tari masih tampak kaku dan tak banyak bicara.
Berarti Tari masih mencurigainya. Belum sepenuhnya percaya pada semua kata-katanya kemarin.
Janto menghabiskan sepiring makan paginya tanpa mengucapkan kata-kata.

Setelah isterinya marah-marah kemarin, sikap mereka masih tampak kaku dan canggung. Yang satu masih memiliki sedikit rasa curiga, satunya lagi masih kesal karena dimaki-maki.
"Sudah mas, sarapannya?"
"Sudah."
Janto sedang mengeluarkan mobilnya dari garasi, ketika tiba-tiba Desy muncul. Tari yang sedang berada diruang tengah untuk menggantikan taplak meja melihat kedatangannya. Ia belum pernah bertemu Desy, tapi ia yakin pasti itulah Desy.
Begitu mendekati suaminya Desy langsung menyalami tangan Janto, dan menciumnya agak lama. Dada Tari sedikit gemuruh. Mengapa sih pakai cium-cium tangan segala, agak lama pula.
"Terimakasih atas semuanya pak, kalau tidak ada bapak, entah apa yang terjadi pada saya ini."
"Sudahlah, simpan saja rasa terima kasihmu itu, aku tak merasa berbuat lebih. Kamu karyawan yang baik, dan bukan cuma aku yang memperhatikan kamu. Banyak kawan-kawan kamu yang lain kan?"
Tari terus menerus mengawasi adegan itu. Ia berjanji, kalau keduanya berpelukan maka ia sudah menyiapkan gagang sapu untuk dipukulkannya. Tapi tidak, mereka berbicara entah apa.
Tari tidak bisa mendengarnya karena jaraknya terlampau jauh, tapi senyuman Desy itu membuat hatinya terusik. Alangkah manisnya senyum itu. Kalau Janto terpesona, rasanya tidaklah aneh.
"Saya ingin mengembalikan baju ibu, dan saya baru ingat baju saya tertinggal di jemuran belakang kamar mandi."
"Oh iya, ayo masuk dulu, kamu juga sekalian mau mengambil sepeda motormu?"
"Iya pak, habis ini saya langsung ke kantor."
"Tariiii..." Janto berteriak memanggil isterinya. Maksudnya mau memperkenalkan Desy kepada isterinya. Tadi sepertinya ada diruang tengah, kemana dia?
"Oh, ibu sudah ada disini?"
"Ya, kemarin aku menjemputnya. Sebentar ya.."
Janto melangkah kebelakang.
"Tariiii..."
Lalu dia masuk kekamar, kamar mandinya terkunci.
"Tari ?"
"Aku didalam mas, perutku sakit sekali," teriak Tari dari dalam kamar mandi.
"Oh, ada Desy, kamu harus berkenalan."
"Aduh, aku masih lama mas, bilang saja aku lagi di kamar mandi."
"Dia mau mengembalikan baju kamu yang aku pinjamkan dulu, sambil mengambil bajunya yang tertinggal dan juga sepeda motornya."
"Ya, mas, urus saja semuanya, perutku tiba-tiba mules nih.."
Janto kembali kedepan sambil membawa bungkusan baju yang kemarin dilemparkan isterinya lalu kemudian dibungkusnya dengan sebuah tas plastik.
"Ini baju kamu Desy, sebentar, aku ambilkan sepeda motor kamu."
Janto mengambilkan sepeda motor Desy yang kemudian diterima Desy lalu meletakkan bungkusan plastik berisi bajunya di gantungan sepeda motornya.

Desy mencoba menstarter sepeda motornya, tapi susah. Lama tidak dipergunakan jadi ngadat. Janto mendekat lalu mencoba menstarternya. Ketika itu Desy sudah duduk diatas sadel, dan Janto menstarter sambil memegangi belakang sadel dan kemudinya. Ketika itu Tari melihatnya, dan berdesir hatinya karena seakan Janto sedang memeluk Desy dari belakang.
Untunglah kemudian mesin motor itu menyala, dan Janto mundur kebelakang.
"Jangan dijalankan dulu, dia perlu pemanasan," kata Janto.

Beberapa sa'at lamanya barulah Desy meninggalkan halaman rumah Janto setelah mengucapkan terimakasih.
Tapi baru saja berjalan Desy menghentikan motornya dan menoleh kearah Janto.
"Lain kali saya akan kemari untuk ketemu ibu ya pak."
"Ya Desy, silahkan."
Tak lama kemudian Desy sudah lenyap dibalik pagar.
Ketika membalikkan tubuhnya, dilihatnya Tari berdiri diteras sambil membawa kemoceng ditangannya.
"Kamu tadi kenapa?"
"Perutku mendadak mulas sekali."
"Sekarang bagaimana ?"
"Sudah lega."
"Ini baju kamu yang dulu aku pinjamkan untuk Desy. Dia bilang suatu hari akan datang menemui kamu."
"Untuk apa?"
"Ya bersilaturachmi .. kan kalian belum pernah berkenalan. Ini baju kamu."
"Oh ya, taruh saja disitu mas, aku belum selesai bersih-bersih."
"Ya sudah, aku berangkat kekantor dulu ya.." kata Janto sambil berlalu.

Tari menghela nafas. Terbayang kembali wajah cantik yang memiliki senyuman sangat manis, dan tampaknya suaminya sangat memperhatikannya.
Ketika suaminya berangkat, ia membuka bungkusan baju yang tadi dikembalikan Desi. Sudah wangi dan diseterika rapi. Tapi Tari membiarkannya tergeletak dikursi depan.
"Nanti kalau ada tukang sayur lewat aku akan memberikannya. Baju ini masih terhitung baru, tapi aku enggan memakainya setelah dipakai Desy," gumamnya sambil melanjutkan bersih-bersih.
Katika selesai dan memasuki kamarnya, dilihatnya Haris masih terlelap. Anak itu tidur dengan sangat beraturan. Dia baru bangun setelah tiga jam ibunya memberikan ASI, dan menidurkannya.
***

Siang hari itu Tari selesai belanja, hanya di tukang sayur yang kebetulan lewat. Baju yang tadi dikembalikan Desy diberikannya kepada ibu tukang sayur itu, yang kemudian menerimanya dengan senang hati.
Tari hanya memasak sayur bening yang berisi bayam dan kacang panjang, lalu ia juga menambahkan wortel dan irisan tomat kedalamnya. Ia harus banyak makan sayuran agar anaknya juga sehat. Itu anjuran ibunya sebelum dia berangkat.
Ia juga membuat tahu dan tempe bacem. Lalu menggoreng ikan yang semuanya dibeli dari tukang sayur itu. Ia tak harus belanja untuk memasak lau kemana-mana, karena tukang sayur itu membawa dagangan sayur lengkap dengan semua bumbu-bumbunya.

Setelah mandi Tari duduk diruang tengah sambil menikmati acara di televisi.
Karena iseng dia kemudian menelpon Asty. Hatinya tak begitu tenang setelah kedatangan Desy, dan sekarang ingin berbincang dengan sahabatnya.

"Hallo Asty.." sapanya sebelum Asty menjawabnya.
"Hallo Tari..." tapi itu bukan suara Asty. Suara bariton tapi lembut itu sangat dikenalnya. Tari berdebar.
"Mas Nugroho ?"
"Iya, Asty sedang periksa kandungan, baru saja masuk."
"Asty ada di Solo ?"
"Iya, ia minta ketika melahirkan aku bisa menungguinya, sehingga ibu membawanya ke Solo karena memang sudah sa'atnya."
"Oh, baiklah.. nanti saja aku telpon kalau dia sudah selesai."
"Tunggu Tari.."
"Ya mas.."
"Bagaimana keadaan kamu?"
"Saya baik-baik saja mas.."
"Bayi kamu ?"
"Dia sehat."
"Oh, baiklah, aku senang kalau kamu baik-baik saja. Satu harapanku untuk kamu, yaitu kamu harus hidup bahagia."
"Terimakasih mas, saya bahagia. Semoga mas demikian juga."
"Terimakasih juga, saya akan masuk keruang periksa dulu ya."
"Salam untuk Asty."
Tari menutup pembicaraan itu dengan hati berdebar. Tak menyangka Nugroho yang menerimanya. Dan selalu ditanyakannya apakah dia bahagia. Tari menghela nafas berkali-kali untuk mengurangi debar jantungnya.
"Tampaknya setelah ia melihat kekasaran mas Janto didepan barbershop itu, mas Nugroho selalu menghawatirkan aku, Pasti ia mengira bahwa mas Janto selalu bersikap begitu sama aku. " desahnya sambil menyandarkan kepalanya disandaran sofa.
Tapi Tari tak bisa memungkirinya, setelah mendengar suara Nugroho, keresahannya tiba-tiba terasa lenyap. Barangkali ada cinta yang masih tersisa, yang disimpannya jauh-jauh didasar hatinya.
Suaranya selalu lembut, seperti sebuah kidung yang mengalun dari atas sana.
"Dosakah ketika cinta tak mau pergi meninggalkan nurani? Yang jelas langkahku tetap melenggang dijalan yang benar, dan aku akan tetap mengabdi pada suami dan keluargaku," bisiknya sambil memejamkan mata, mencoba mengibaskan bayangan Nugroho dari benaknya.
***

Siang itu Desy tanpa menawarkan terlebih dulu, telah memesankan makan siang untuk Janto.
Ketika pesanan itu datang, Janto sudah berdiri dari duduknya dan bersiap untuk makan siang dirumah. Itu yang dilakukannya setiap hari selama isterinya ada.
"Lho pak, ini sudah saya pesankan makan siang, maukah bapak makan dulu sebentar? Sayang kalau tidak dimakan," kata Desy ketika melihat sang bos mau pergi.
"Waduh, harusnya saya pulang dan makan dirumah Desy. Bagaimana kalau diberikan OB saja?"
"Tadi saya sudah beli untuk OB juga pak."
Janto kembali duduk, menghadapi nasi rawon yang aromanya menusuk hidung.
"Sayang kalau tidak dimakan," katanya sambil mengaduk kuahnya, lalu menyendoknya perlahan karena masih panas.
Desy menatapnya dari sudut ruangan sambil tersenyum simpul. Sesungguhnya dia senang melayani bos gantengnya. Apa boleh buat, isterinya sudah kembali dan ia tak lagi berhak melayani makan pagi dan siangnya seperti beberapa hari yang lalu.

Janto makan dengan cepat. Bagaimanapun ia harus pulang karena Tari pasti sudah menunggunya.
"Desy, besok lagi jangan pesan makan untuk aku ya.. aku harus makan dirumah karena isteri sudah memasak."
Desy hanya mengangguk sambil tersnyum. Sesungguhnya dia kecewa.
***

Ketika pulang dan makan hanya sedikit, Tari menegurnya.
"Kok makan cuma sedikit mas?"
"Iya, nggak tau kenapa aku sudah merasa kenyang. Mungkin karena masakan kamu keasinan. Tidak seperti biasanya," kata Janto memberi alasan sekenanya, tanpa sadar bahwa dia melukai hati isterinya.
Dengan wajah masam Tari mengecap ngecap sayur buatannya.
"Nggak ada asin-asinnya, bagaimana mas bisa bilang bahwa ini keasinan?"
"Oh, ma'af, mungkin mulutku yang salah.." kata Janto sambil menutupkan sendok dan garpunya diatas piring, bingung mau menjawab apa.
Tiba-tiba Tari berkata agak keras.
"Oh, bukan karena masakanku keasinan mas, tapi karena mas sudah makan dikantor. Sekretaris sudah melayaninya makan siang, ya kan?"
"Bukan, mengapa kamu mengira begitu?"
"Tadi itu mungkin.. apa ya.. kuahnya pakai kecap.. semur.. atau..." Tari tak melanjutkan bicaranya. Ia mendekati suaminya, menunjuk tetesan kuah yang mengotori bajunya dengan tak terasa. Mungkin karena makan tergesa-gesa.
Tari menundukkan mukanya, mencium kearah noda kecoklatan dibaju Janto.
"Hm.. ini aroma rawon mas.." katanya sambil menatap suaminya tajam.

==========

Janto gelagapan. Tak mengira Tari sekritis ini. Iya benar, mungkin karena tergesa-gesa, kuah rawon tumpah mengenai bajunya.
"Harusnya tadi mas memakai celemek didada.. sehinga tidak belepotan begini. Apa tadi mas makan sendiri, atau disuapin ?" ledek Tari dengan wajah gelap.
"Tari... begini.. tadi itu sebelum aku pulang, Desy terlanjur memesankan aku nasi rawon... dan.."
"Dan kemudian masakan isterinya terasa keasinan.. lalu makan hanya sedikit?"
"Ma'af Tari, maksudku..."
"Mas, seandainya mas berterus terang bahwa tadi sudah makan dikantor, aku mungkin tidak semarah ini. Mas bohong !! Itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang mas sembunyikan, yang aku tidak boleh tau !"
"Bukaan .. maksudku tadi... ya.. aku... aku salah Tari. Ma'af ya."
Tak ada yang bisa diucapkan Janto, ia gelagapan tak bisa membela diri karena memang semuanya sudah ketauan. Ia berbohong agar isterinya tidak marah, tapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Tari kembali ke kursinya, lalu menumpuk piring-piring kotor.
"Tari, sesungguhnya aku ingin berterus terang, tapi takut kamu marah. Aku tadi ingin menolaknya, tapi sayang barang sudah dipesan dan diletakkan diatas meja. Aku minta ma'af."
Tapi Tari tak menjawab apapun. Ia melanjutkan membawa piring kotor kebelakang dan membersihkan meja makan dari makanan dan lauk pauk yang disediakan.
Janto tetap duduk dikursinya, menumpu kepalanya dengan kedua tangannya, diatas meja.
"Tari...."
Suara gemerecik air ledeng cucian  terdengar bersahutan dengan kelunting piring sendok yang dicucinya. Pastinya Tari tak mendengar panggilan itu, atau malah pura-pura tidak mendengar.
Janto menghela nafas. Apapun yang akan dikatakannya tak akan membuat amarah itu mencair. Kemudian dia berdiri, mengambil kunci mobil diatas meja dan bermaksud kembali ke kantor.  Tapi dia ingat bahwa ia harus mengganti bajunya karena kotor oleh  bercak tumpahan rawon. Ia masuk kekamar untuk melepas baju dan menggantikannya dengan yang bersih. Setelah itu didekatinya Haris yang masih terlelap. Diambilnya tangan kecilnya dan diciumnya.
"Sayang, bilang pada ibu bahwa bapak tak melakukan apapun yang buruk ya," bisiknya lembut.
Haris menggeliat karena merasa ada yang menyentuhnya, kemudian matanya kembali terpejam. Janto tersenyum, lalu meninggalkannya keluar dari kamar itu untuk segera kembali ke kantor.

Setelah selesai membereskan dapur, Tari melongok kedepan, dilihatnya mobil suaminya sudah tak ada. Tari mengempaskan nafas kesal,  kemudian masuk kekamar. Dilihatnya Haris menggeliat, lalu merengek lirih.
Tari mendekati, mengangkat tubuh mungil itu dan mengganti popoknya, karena ternyata dia pipis.
"Oowh, sayang, anak pintar, kalau popoknya basah memang terasa risih kan? Baiklah, ibu gantikan nih, supaya kamu merasa nyaman."
Mata bulat bening itu berkejap-kejap, menatap ibunya, barangkali ingin mengucapkan 'terima kasih ibu'... Tari tersenyum lebar, mengangkat Haris dan memangkunya.
"Sudah sa'atnya nenen bukan?"
Tari mulai menyusukan bayinya.. senang melihatnya menyedot dengan lahap.
Dielusnya kepala anaknya, dan berusaha mengendapkan kekesalannya pada suaminya. Kecurigaan tentang hubungan suaminya dan Desy kembali melintas..
"Tak mungkin kalau tak ada apa-apa. Mengapa mas Janto harus berbohong kalau memang tidak menyembunyikan apapun?"
"Dengar nak, kekuatan ibu hanya pada kamu. Hati ibu ini ditempa terus menerus dengan berbagai cobaan. Kemarin-kemarin dituduh masih mencintai pacar lama, dan kalaupun iya, ibu melakukan apa? Ibu tetap setia melayani bapak kamu dengan sangat baik. Dan sekarang, dianya sendiri yang selingkuh dibelakang ibu. Anakku, kekuatan ibu hanya pada kamu.?" bisik Tari menahan isak.

Haris melirik kearah ibunya, mata berning itu kembali berkejap-kejap. Barangkali juga akan dikatakannya 'ibu jangan sedih, ada Haris disamping ibu'
Tari membungkukkan kepalanya, mencium kapala Haris bertubi-tubi. Ada komunikasi kecil diantara darah daging dan jiwa yang menyatu, dan tak terungkap oleh kata.
***

Di kantor, Desy menatap bosnya dengan heran. Melihat wajah muram dan tampak tak bersemangat, tergoda hatinya untuk bertanya, tapi takut dianggap lancang.
"Bapak mau rujak ?" tanya Desy, hanya untuk membuka komunikasi.
"Tidak, terimakasih, sudah kenyang."
"Mau saya pesankan jus di kantin ?"
"Tidak. aku sedang tak ingin apapun, tolong jangan ganggu aku Desy." katanya dingin.
Desy terdiam, diamatinya sang bos yang tampak sedang memandangi laptop, tapi tak ada yang dilakukannya.
Apakah ada masalah antara sang bos dengan isterinya?
Lalu Desy pun menyibukkan diri dengan menyelesaikan tugasnya, tapi sebentar-sebentar matanya melirik kearah Janto.
"Bapak, bolehkah besok saya kerumah bapak?"
Janto langsung mengangkat kepalanya.
"Boleh kan pak, saya belum pernah bertemu ibu."
Janto merasa, bahwa kalau itu dilakukannya disa'at Tari masih terbakar emosi, maka akan kurang baik jadinya. Bisa-bisa Tari akan pura-pura sakit perut lagi karena tak mau bertemu Desy. Janto tau kok, sebenarnya Tari tidak benar-benar sakit perut pagi itu. Nyatanya ketika keluar dia baik-baik saja, bisa melanjutkan pekerjaannya bersih-bersih rumah.
"Boleh kan ?" Desy mengulangi perkataannya.
"Oh, ya.. tentu saja boleh, tapi jangan besok..  hari Minggu saja, jadi bisa lebih santai." kata Janto.
"Baiklah, terima kasih pak."
Lalu Desy kembali melanjutkan pekerjaannya, sementara Janto masih berkutat dengan rasa kesalnya terhadap Tari.
***

Malam hari itu Asty tak bisa tidur dengan nyenyak. perutnya sebentar-sebentar terasa mulas, dan terkadang terasa kencang mengeras.
Asty membangunkan suaminya yang telelap disampingnya.

"Mas, mass..." pelan Astu menyentuh lengan suaminya, takut kalau ia mengejutkannya.
Nugroho tak bergerak, tidurnya sangat nyenyak.
"Maas... mas..." Asty mengulang sentuhannya. Kali ini agak keras, karena perutnya semakin kenceng-kenceng dan sakitnya luar biasa.
Nugroho membuka matanya.
"Hm.. ada apa?"
"Perutku sakit sekali mas... dan terasa kenceng-kenceng terus..
Nugroho bangkit, mengucek matanya, menatap isterinya yang masih terbaring, meringis menahan sakit.
"Sakit?"
Asty mengangguk...
Nugroho bangkit .. bergegas memakai celana panjang.. lalu setengah berlari pergi kekamar ibunya, membangunkannya dan berpesan untuk menjaga Asta.
Ia kemudian menuntun isterinya keluar. Sejak periksa terakhir kalinya kemarin, dokter sudah menyuruhnya bersiap-siap, itulah sebabnya mobilnya selalu siap didepan teras, satu tas berisi baju-baju ganti dan perlengkapan bayi sudah siap didalam mobil juga. Begitu Asty mengeluh sakit, tinggal memacu mobilnya kerumah sakit dengan segala perlengkapan sudah siap bersamanya.
***

Tapi sesampai dirumah sakit, dokter mengatakan bahwa belum ada perkembangan yang berarti untuk melahirkan malam itu. Mereka masih harus menunggu.
Nugroho duduk diruang tunggu dengan wajah berkeringat. Kali ini ia benar-benar menikmati dirinya sebagai calon ayah. Ketika anak pertamanya lahir ia sama sekali tak menungguinya, karena ketika itu Asty berada bersama mertuanya dan Nugroho belum begitu memperhatikannya.
Dengan debar tak menentu, ia berdiri .. lalu duduk... lalu berjalan kesana kemari.
Ia butuh teman untuk berbincang.. tiba-tiba ia teringat Lestari, tapi ini sudah malam. Pasti Lestari sudah terlelap. Tapi ia mencoba menulis pesan singkat.
"Tari.."
Hanya itu yang ditulisnya. Tapi tanpa diduga Tari membalasnya.
"Ada apa mas?"
"Ma'af, kamu belum tidur ?"
"Baru  .. ini... Haris terbangun karena haus mas... "
"Oh, syukurlah.."
"Ada apa?"
"Aku hanya ingin menenangkan diri.. butuh teman ngobrol.."
"Memangnya ada apa?"
"Asty sudah masuk kamar bersalin.. aku panik, baru kali ini aku menunggui isteri mau melahirkan, rasanya gelisah dan ketakutan. Aku butuh teman."
"Mas harus tenang, selalu berdo'a untuk isteri dan anak mas ya."
"Ya.. ya.. sebentar, dokternya tampaknya mencari aku."

Sambungan pesan singkat itu terhenti. Lestari ikut berdebar ketika mengetahui dokter memanggil Nugroho. Jangan-jangan ada sesuatu.
Dilihatnya  suaminya tampak tidur dengan pulas. Tari masih duduk disebuah kursi dikamar itu, sambil menyusukan anaknya.
Beberapa hari terakhir ini, semenjak suaminya ketahuan makan siang dikantor tapi berbohong kepada isterinya dan mengatakan tidak, hubungan mereka sedikit renggang. Mereka hanya bicara kalau perlu saja.
Keduanya bersikukuh atas sesuatu yang diyakininya. Yang satu merasa tak berbuat salah, satunya tetap menganggap ada sesuatu diantara suami dan sekretarisnya.
Lestari  berdiri karena Haris tampaknya sudah berhenti menyedot putingnya, dan terlelap.
Tampaknya ia  mimpi bertemu bidadari, karena bayi mungil itu tersenyum-senyum dalam tidurnya.
Tari kembali duduk ketika ada pesan singkat pada ponselnya.
"Tari, tolong do'akan Asty, dia harus segera dioperasi."
"Memangnya kenapa?"
"Katanya ari-ari menutupi jalan kelahiran bayi. Sudah diusahakan agar bisa lahir normal tapi susah, sementara Asty sudah kesakitan."
"Mas, tenanglah, dan teruslah berdo'a, aku akan membantumu dengan do'a juga."
"Terimakasih Tari."
Lalu Tari membaringkan anaknya di box, dan berbaring perlahan disamping suaminya.
"Ada pesan dari siapa sih? Tang ting tang ting dari tadi." kata Janto membuat Tari terkejut, ternyata Janto mendengar suara dari masuknya pesan singkat itu. Tari lupa membuatnya silent.
Tari tak menjawab, dia meletakkan ponsel begitu saja disampingnya, didekat bantal suaminya. Sengaja dilakukannya supaya Janto membaca pesan-pesan itu seandainya ia ingin tau.
Janto membiarkannya dan pura-pura kembali tidur. Tapi rasa ingin tau mengusiknya. Ketika dilihatnya Tari sudah terlelap, dibukanya ponsel isterinya, dan dibaca semua pesan yang masuk beserta jawaban isterinya.
***

Pagi itu Tari sedang mempersiapkan makan pagi untuk suaminya. Pikiran Tari selalu tertuju pada keadaan Asty. Apakah semalam jadi dioperasi? Berhasilkah operasinya? Anaknya bagaimana? Lalu ia mempercepat pekerjaannya karena ingin segera bisa menelpon Nugroho.
Sarapan itu sudah siap dan Janto duduk dikursi makan tanpa Tari harus mempersilahkannya.
"Masak apa?"
"Hanya nasi goreng udang dan telur ceplok," jawab Tari sambil ikut duduk didepannya. Ia meletakkan ponsel dimeja begitu saja.
"Makan pagi kok bawa-bawa ponsel."
"Aku pengin segera menelpon mas Nugroho," katanya terus terang.
Janto menghentikan tangannya yang hampir menyendok nasi, menatap isterinya tajam.
"Semalam dia bilang, Asty sudah masuk rumah sakit karena sa'atnya melahirkan. Tapi tampaknya harus dioperasi."
Janto ingat pesan-pesan singkat diponsel isterinya kemarin. Tak ada sapa mesra dan kata cinta yang dicurigainya. Mereka tampak berteman.
Janto mennyendokkan nasi goreng dipiringnya.
"Tanyakan saja beritanya," ujarnya singkat lalu memasukkan suapan nasi goreng ke mulutnya.
"Enak nasi gorengnya," katanya. Tampaknya Janto ingin menyenangkan isterinya dengan mengatakan nasi goreng masakannya enak. Tadi juga dia mempersilahkan isterinya menelpon Nugroho.
"Benar enak? Bukan keasinan?" ejek Tari.
"Sangat enak. Isteriku memang jago memasak."
Tari mencibir. Ia merasa Janto sedang merayunya.
"Oh ya Tari, hari ini aku banyak sekali pekerjaan, jadi aku tak bisa pulang untuk makan siang."
Wajah Tari mendung seketika. Ia sudah membayangkan, pasti Desy akan melayaninya dengan menu-menu yang menjadi pilihan suaminya. Kemarin rawon, hari ini apa lagi ya?
"Tapi aku ingin makan siang masakan kamu saja."
Tari menatap suaminya.
"Bagaimana mungkin, tidak pulang tapi ingin makan masakan aku?"
"Nanti kamu bawakan dong makan siangku ke kantor."
"Aku ? Lalu Haris bagaimana ?"
"Ajaklah Haris, biar dia tau dimana kantor bapaknya. Dan tungguin bapaknya bekerja beberapa sa'at lamanya, biar bapaknya senang."
"Apa sekretarismu nggak ada?"
"Ya ada, tapi kenapa? Aku ingin isteri dan anakku datang kekantor barang sebentar, melihat dan menunggui aku makan, dan bekerja."
Tari tersenyum dalam hati. Tampaknya Janto benar-benar ingin menyenangkan perasaannya, mengajaknya berdamai setelah beberapa hari suasana sangat kaku dan penuh rasa kesal.
"Mau tidak ? Kalau aku pulang maka pekerjaanku tidak akan selesai."
Janto kan manager disitu, ada sekretarisnya pula, alasan tidak bisa menyelesaikan pekerjaan apabila harus pulang makan, sepertinya hanya dibuat-buat. Ide cemerlang ini baru saja dipikirkannya. Harus ada sesuatu yang menyenangkan isterinya, agar kemarahannya mereda.
"Baiklah, mau dimasakkan apa?"
"Terserah kamu saja, aku percaya kok, semua masakan kamu pasti enak."
Tari tersenyum, ia tau suaminya sedang ngegombal.
Tapi bahwa kemudian Tari memang merasa senang, itu benar.
Selesai makan Tari menelpon Nugroho. Tak ada sungkan karena suaminya sudah mengijinkan.
"Hallo mas.."
"Ya Tari.. aku baru akan menelpon kamu, syukurlah. Sudah selesai melayani suami kamu?"
"Sudah, kami baru saja selesai sarapan. Bagaimana Asty?"
"Akhirnya dioperasi. Alhamdulillah sudah selesai, anakku laki-laki."
"Syukurlah mas, nanti bisa jadi teman main Haris dong."
"Iya. Lega rasanya."
"Keadaan Asty dan bayinya bagaimana?"
"Mereka baik, bayiku sangat besar. Beratnya hampir 4 kilo."
"Wauuw.. itu sangat besar, pantas harus dioperasi. Tapi syukurlah kalau semuanya sudah selesai dan baik-baik saja."
"Sayangnya kamu jauh ya, kalau dekat pasti Asty senang kalau kamu bisa menengoknya."
"Nanti pasti ada waktu untuk itu mas. Ya sudah, aku mau memandikan anakku dulu ya mas."
Tari penutup ponselnya, dan sa'at itu Janto sudah siap berangkat ke kantor.
"Tari aku berangkat dulu, jangan lupa sebelum jam duabelas harus sampai di kantor ya."
Tari mengangguk sambil tersenyum.
Entah mengapa Tari sangat bahagia.
"Alangkah indah hari ini," bisiknya senang.
***

Pagi itu, setelah memandikan Haris dan membuatnya tidur, Tari memasak didapur. Tadi dia sudah membeli daging. Ia ingin memasak rawon, tapi rawon yang berbeda dengan yang kemarin disuguhkan Desy. Ini rawon yang dagingnya di iris-iris, ada kecambah mentah sebagai lalapan, dan lauk perkedel sama kerupuk. Ah ya, harusnya ada telor asin, tapi tak apa, barangkali ini cukup, lalu sambal terasi.
"Hm, baunya sedap sekali," bisik Tari.
Ia kemudian menata nasi di rantang, memasukkan rawon dan perkedel di wadah yang berbeda-beda. Oh ya, sendoknya lupa, dan kerupuknya dibungkus plastik saja.
Tari bergegas mandi dan mengenakan pakaian yang menurutnya paling bagus dan enak dipandang, juga sedikit memoles wajahnya dengan make up yang walau sekadarnya, tapi cukup menonjolkan kecantikannya.Tak perlu membubuhkan rona merah dipipi karena pipinya sudah kemerahan, Tak perlu membuat garis mata kehitaman karena matanya sudah tajam bak sepasang bintang. Melentikkan bulu mata? Tidak.. Bukankah bulu mata Tari sudah lentik?
Tiba-tiba Haris merengek.
Lestari sudah cukup cantik, Harus sudah didandaninya dan wangi. Agar bapaknya tak akan bosan menciuminya nanti.
Jam 11 lebih sedikit, Tari memanggil taksi. Rumah sudah dikunci, dan rantang makanan sudah siap. Ia juga membawa tas berisi pakaian Harus barangkali bayi kecilnya membutuhkan ganti.
***

Desy sedang sibuk dengan pekerjaannya, ketika telpon kantor berdering.  Karena dilihatnya Desy sibuk, Janto mengangkat telpon yang ada dimejanya.
"Hallo, ya benar.. oh ada..." jawabnya.
"Telpon untuk kamu Desy.."
"Oh ya, ma'af pak, terlambat mengangkat."
Desy mengangkat telpon itu, lalu berbicara pelan, entah dari siapa, Janto tadi tidak menanyakannya. Tapi tiba-tiba terdengar Desy berteriak.
"Apa? Nenek meninggal ?"
Janto mengangkat wajahnya, menatap Desy yang kemudian meletakkan telpon dan menangis tersedu sedu.
Janto berdiri dan mendekat.
"Ada berita apa?"
"Nenek saya meninggal pak, baru saja,"
"Innalillahi wa ina ilaihi roji'un..." bisik Janto.
"Saya tidak punya siapa-siapa pak.. saya tidak punya siapa-siapa didunia ini," katanya sambil menelungkupkan wajahnya dimeja.
Janto menepuk-nepuk pundaknya.
"Tenangkan hati kamu Desy, kamu harus ikhlas. Sekarang bagaimana? Kamu mau pulang saja ke rumah kamu?"
"Iya pak.."
"Biar aku suruh sopir mengantarkan kamu. Sudah, hentikan tangismu."
Kata Janto sambil mengulurkan tissue yang ada dimeja, sementara sebelah tangannya merangkul pundak Desy.
"Dan ingat, kamu bukannya sendiri, anggap saja aku adalah keluarga kamu, mengerti?"
Sa'at itulah Tari yang menggendong anaknya sambil menenteng rantang, masuk keruangan itu, dan melihat adegan yang membuatnya limbung. Ia langsung membalikkan tubuhnya dan menutupkan pintu ruang itu dengan keras.
Janto terkejut. Ia memburu keluar dan melihat Tari setengah berlari meninggalkan kantornya.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER