Cerita Bersambung
Janto berlari mengejar sampai ke parkiran, tapi Tari sudah naik keatas taksi yang kebetulan lewat.
Janto menepuk jidatnya berkali-kali.
Upaya berdamai itu hancur berkeping keping. Sekarang dia bingung harus berbuat apa. Ketika kembali masuk kekantornya, dilihatnya Desy sudah besiap untuk pergi.
"Saya mohon ijin pulang sekarang pak."
"Sebentar, biar sopir mengantarmu. Apa kamu akan lama dirumahmu?"
"Tidak pak, saya usahakan tiga hari saya sudah kembali bekerja."
"Baiklah, tunggu sebentar, biar saya panggil sopir kantor dulu."
Setelah mengurus kepulangan Desy karena neneknya meninggal itu Janto kembali keruangannya. Pekerjaan Desy masih banyak, ia harus meneliti semuanya dan kemudian baru bisa pulang.
Sementara ia juga menghawatirkan Tari. Janto merasa menyesal, kedatangan Tari yang diharapkan bisa mencairkan suasana justru menjadi semakin rumit gara-gara dia memperhatikan Desy.
Karena belum bisa langsung pulang, Janto mencoba menelpon isterinya. Ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi Tari mematikan ponselnya. Janto sudah menduga.
"Baiklah, rupanya aku harus bersabar," kata Janto sambil meneliti semua berkas, dan itu memakan waktu lama.
Menjelang sore Janto baru bisa menyelesaikan pekarjaannya, lalu bergegas pulang.
Pikirannya kacau. Difikirkannya apa yang akan dikatakannya untuk meluluhkan hati Tari. Tapi ia tak segera menemukan cara itu.
Jalanan macet karena bersamaan dengan kepulangan para pekerja. Pikiran Janto bertambah kalut.
Setelah satu jam perjalanan dia baru bisa memasuki halaman rumahnya. Janto segera turun dan berusaha masuk kerumah, tapi rumahnya terkunci.
"Tari...! Tari..." teriaknya dari luar.
Tak ada jawaban. Dari samping dilihatnya jendela kamar tertutup. Janto terkesiap, apakah Tari pergi?
Janto mencari-cari didalam tas kerjanya. dimana ia menyimpan kunci duplikat.
Ketika pintu terbuka, tampak lengang didalam. Janto masuk kekamarnya. Tak ada Haris kecilnya disana. Ada yang aneh. Almari pakaian sedikit terbuka. Janto membukanya, dan melihat baju-baju yang kemarin ditata Tari sudah tak ada. Demikian juga dengan pakaian-pakaian kecil yang sudah ditata dimeja samping box anaknya, semuanya tak ada.
"Tariiii..." Janto berteriak sekuat tenaga.
Dia yakin Tari telah pergi. Dicobanya dia menelpon, tapi ponsel itu dimatikan sejak siang harinya.
Janto mulai panik. Pasti Tari pulang ke Kartosuro. Ia harus menyusulnya, tapi ia ingat kantornya sedang sibuk. Banyak program-program baru yang harus digarapnya.
Janto menghempaskan tubuhnya disofa. Kepalanya terasa berdenyut.
Dimeja didepan sofa itu, tergeletak rantang yang berisi makanan yang sedianya akan diberikan pada Janto di kantornya. Janto tak menjamahnya. Tak ada rasa lapar kecuali rasa perih yang terus menerus mengiris jantungnya.
"Tari... kamu salah sangka Tari... kamu salah sangka.." gumamnya berkali-kali.
Janto masuk kekamar, seperti gila dia merangkul box anaknya dengan linangan air mata.
"Haris, katakan pada ibu, bapak hanya mencintai ibu.. bapak tidak cinta siapa-siapa selain ibu. Katakan Haris...Jangan pergi.. jangan meninggalkan bapak dengan cara ini.."
Dan Janto benar-benar menangis. Sesal melanda hatinya. Mengapa suasana nyaman yang hampir sempurna tercipta kemudian hancur berkeping-keping?
***
Keluarga Tari sangat terkejut ketika malam itu Tari dan anaknya tiba-tiba muncul. Tanpa suaminya pula.
"Ada apa ini? Mana nak Janto?" tanya ibunya.
"Suci, apakah box bayi itu masih ada dikamarku?" Tari bertanya kepada Suci yang ikut menyambut kedatangannya.
"Masih ada mbak, tak ada yang merubahnya."
"Tolong bersihkan dan tata untuk Haris ya."
Tanpa menjawab Suci sudah membalikkan tubuh memenuhi permintaan kakaknya.
Sambil menunggu Suci menyiapkan tempat tidur untuk Haris, Tari duduk dikursi yang ada diruang tamu.
Ibu dan bapaknya mendekat, melihat Tari datang malam-malam dengan wajah kusut.
"Apakah kamu mau menceritakannya sekarang? Atau besok pagi saja?" kata bapaknya yang kasihan melihat keadaan anaknya.
"Ya pak, besok pagi saja Tari mengatakannya."
"Tapi nak Janto baik-baik saja kan?" sambung ibunya.
"Baik bu.."
"Syukurlah, "
"Ma'af, Tari tak membawa oleh-oleh, tak sempat membelinya di jalan."
"Tidak apa-apa, yang penting kamu, suami dan anakmu sehat-sehat semuanya. Mana cucu nenek, biar nenek gendong, kamu pasti letih."
Tari mengulurkan anaknya kepada ibunya. Bocah itu masih terlelap. Sang nenek menciuminya dengan penuh kasih sayang.
"Sudah siap mbak, mana Haris, biar aku yang menidurkan," kata Suci.
"Eeh, sudah, kamu buatkan minum untuk mbakmu, biar ibu menidurkannya," kata ibunya sambil berdiri untuk menidurkan Haris dikamarnya.
"Kalian bertengkar?" tak urung sang ayah ingin mengorek sedikit keterangan dari Tari.
"Tidak pak. Kan besok saja Tari menceritakan semuanya."
"Baiklah."
"Ini teh panas mbak, minumlah, apa mbak mau makan?"
"Masih adakah makan malam untuk aku?"
"Tadi ibu masak sayur lodeh, masih ada, tapi lauknya cuma ikan asin. mBak mau?"
"Itu enak Suci, mbak mandi dulu sebentar, setelah itu baru makan."
***
Tari makan dengan lahap. Bagi seorang ibu yang menyusui bayinya memang harus makan yang banyak, karena rasa lapar berpengaruh pada ASI nya. Memang benar sejak siang dia belum makan apapun. Tadinya Tari ingin makan bersama suaminmya dikantor, tapi karena peristiwa itu maka Tari langsung pulang untuk mengambil baju-baju dan perlengkapan untuk Haris, kemudian memesan taksi yang bisa membawanya pulang.
Menikmati kembali masakan ibunya walau hanya sedikit tersisa, membuat Tari sejenak bisa melupakan sakit hatinya.
"Kurang ya mbak, lauknya? Mau aku gorengkan telur ?"
"Nggak, ini cukup. Enak, masakan ibu selalu enak."
"Iya benar. "
"Kamu masih suka masak-masak kalau Minggu?"
"Setiap Minggu aku selalu masak."
"Bagus."
"mBak lagi marahan sama mas Janto?" kata Suci yang tak tahan untuk tidak segera bertanya.
"Ceritanya panjang. Nanti akan aku ceritakan."
Seorang isteri sampai kabur dari rumah, pasti ada sesuatu yang luar biasa. Pikir Suci.
Tiba-tiba Suci teringat ketika Nugroho menemuinya di kantin rumah sakit. Ia agak merasa heran ketika Nugroho menanyakan apakah hubungan kakaknya dan Janto baik-baik saja. Mengapa Nugroho menanyakannya? Dan bukankah Tari dan Janto selalu terlihat rukun dan tak pernah berantem? Apakah Nugroho mengetahui ada sifat Janto yang buruk terhadap isterinya? Nyatanya kakaknya sampai kabur dari rumah, dan ini bukan berarti baik-baik saja.
Tari sudah selesai makan, Suci mengambil piring dan semua bekas makan kakaknya, lalu mencucinya.
Kemudian Tari menemani bapak ibunya yang duduk diruang tengah sebentar, sekedar menanyakan bagaimana usaha ibunya dalam jahit menjahit.
"Baik-baik saja, dan alhamdulillah ada saja pekerjaan untuk ibu. Terkadang harus minta tolong Suci untuk membantu. Misalnya memasang kancing, membuat lubang itik.."
"Syukurlah bu."
"Kamu istirahat saja dulu, pasti lelah berjam-jam naik taksi, sambil memangku bayi pula."
"Ya bu, Tari mau istirahat dulu," kata Tari sambil berdiri dan masuk kedalam kamarnya.
Tapi bapak dan ibunya masih asyik berbincang. Mereka prihatin akan keadaan rumah tangga anaknya.
"Kalau Tari memutuskan kabur dari rumah, pasti ada hal yang luar biasa terjadi," kata bapaknya seperti yang difikirkan Suci juga.
"Nak Janto begitu baik dan penuh tanggung jawab, kesalahan apa yang bisa membuat Tari pergi meninggalkannya?"
"Ya sudahlah, besok kita ajak dia bicara, kalau perlu kasih tau dia bahwa tidak baik seorang isteri kabur-kaburan begitu."
***
Dikamar, sambil tiduran, Tari menceritakan permasalahannya kepada Suci. Dia menganggap Suci sudah bisa mengerti. Tapi Tari ragu-ragu untuk berterus terang kepada bapak ibunya. Pasti permasalahan itu akan membebani perasaan mereka.
"Sebenarnya aku tak ingin membawa permasalahan ini kerumah. Bapak sama ibu pasti sedih dan kepikiran karena aku."
"Tapi mbak sudah sampai dirumah, itu juga sudah membuat bapak sama ibu kepikiran."
"mBak menyesal melakukannya. Tapi mbak sudah lelah. "
"Dulu waktu mbak melahirkan, mas Nugroho pernah mengajakku makan di kantin. mBak ingat waktu aku cerita sudah makan soto itu?"
"Iya, kamu sudah mengatakannya."
"Tapi kan aku tidak mengatakan kepada mbak, apa yang mas Nugroho bilang waktu itu."
"Dia bilang apa?"
"Dia nanya sama aku, persisnya aku lupa, intinya adalah apa mbak Tari bahagia jadi isterinya mas Janto, gitu.."
"Kamu bilang apa?"
"Mereka baik-baik saja, mas Janto sangat memperhatikan mbak Tari. Gitu.."
"Iya, kamu benar"
"Aku kok nggak ngerti ya mbak, mengapa mas Nugroho menanyakan itu."
"Ya, pasti ada sebabnya..."
"Apa tuh ?
"Sudah, kamu kebanyakan bertanya .."
"Aku tidak menyangka mas Janto tega melakukan itu. Apakah sekretaris itu cantik? Sexy ? Suka merayu ?"
"mBak belum pernah bertemu dia, tapi mbak pernah melihat dia ketika datang untuk mengambil sepeda motor yang dititipkannya dirumah. Tapi waktu itu aku sudah merasa enggan bertemu sama dia, jadi aku pura-pura sakit perut kemudian masuk kekamar mandi. Ya, dia cantik.. tapi dia sangat akrab dengan mas Janto."
"Pasti dia pintar merayu dan bisa meluluhkan hati mas Janto."
"Aku justru mengira, mas Janto minta aku datang ke kantornya itu, agar aku bisa melihat kemesraan diantara mereka."
"Busyeet... jahat banget itu."
"Aku juga heran. Mas Janto itu terkadang tampak sangat menyayangi aku, lalu cemburu berlebihan, lalu dia sendiri melakukan hal yang sangat menyakiti aku."
"Kalau begitu mengapa dulu mbak tidak menikah saja sama mas Nugroho?" tanya Suci seenaknya.
"Hush !! Kamu itu Suci. Mas Nugroho kan sudah dijodohkan dengan orang lain, dan aku sudah bisa menerimanya kok. Isterinya itu sahabat mbak waktu masih sama-sama bekerja. Tidak apa-apa, memang mbak bukan jodohnya."
"Dan mbak mendapatkan jodoh yang keliru," sungut Suci.
"Entahlah, ayo sekarang tidur, aku lelah. Nanti sebentar lagi Haris pasti bangun, sudah sa'atnya minum ASI."
"Kalau begitu lebih baik dibangunin sekarang biar dia minum, supaya mbak bisa tidur nyenyak.."
"Tuh, dia mendengar kamu ngomong, langsung bangun tuh, lihat !" kata Tari ketika melihat Haris menggeliat dan mengeluarkan suara merengek.
Suci terkekeh...
"Iya, anak pinter, biar aku yang mengangkat mbak..." kata Suci yang segera melompat dari ranjang, menghampiri box keponakannya.
Tapi begitu mengangkat, Suci berteriak.
"Aaauuh... rupanya kamu ngompol... hadeew.. tanganku kena ompol kamu Haris..." kata Suci sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Tari tertawa, ia bangkit lalu mengangkat anaknya.
"Tante Suci bagaimana sih, cuma kena ompol aja teriak-teriak... "
Tari segera menggantikan popok anaknya sebelum kemudian menyusukannya.
***
Pagi itu Tari tak berani berterus terang tentang permasalahannya dengan suaminya. Tak sampai hati melapor kepada kedua orang tuanya bahwa Janto selingkuh. Tidak, jangan sampai bapak ibunya merasa terluka dengan keadaan rumah tangga anaknya.
"Jadi mengapa kamu harus lari dari rumah kalau tak terjadi sesuatu yang luar biasa ?"
"Mas Janto terlalu sibuk dengan pekerjaannya pak, jadi lebih baik Tari pulang saja."
"Kamu itu isteri macam apa to nduk, suami menyibukkan diri dengan pekerjaan kok kamu malah pergi? Harusnya justru memberi semangat dan kekuatan agar dia tidak merasa lelah."
Tari terperangah. Alasan bahwa suaminya sibuk justru membuat dirinya disalahkan. Aduh, bagaimana ini.
"Seorang isteri itu, dalam suka dan duka harus tetap berada disamping suaminya," sambung ibunya.
Tari terdiam. Ini namanya terperosok kedalam lubang yang digalinya sendiri. Tari hanya terdiam. Sungguh ia tak sampai hati untuk berterus terang.
"Iya, bu, Tari kesal tidak diperhatikan, jadi lebih baik pulang saja." akhirnya kata Tari.
"Kamu itu bukan anak kecil Tari, kamu itu seorang isteri, seorang ibu. Berfikir dewasa dong nduk. Masa tidak diperhatikan saja terus ngambeg."
Waduh.. lagi-lagi Tari disalahkan. Tapi apa boleh buat. Bukankah ucapan yang meluncur itu bak anak panah dilepaskan dari busurnya? Mana bisa ditarik kembali.
"Iya, tapi ijinkanlah Tari disini dulu beberapa sa'at lamanya pak, agar hati Tari tenang."
"Ya tidak apa-apa kamu pulang kemari, tapi kamu harus ingat bahwa kamu itu punya kewajiban disamping suami kamu."
Tari hanya mengangguk-angguk. Tapi ia sedikit lega, setidaknya kedua orang tuanya tidak terbebani oleh 'penderitaannya'.
***
"Asty, bagaimana keadaanmu?" tanya Tari ketika menelpon Asty.
"Tari, senang sekali kamu menelpon aku. Aku baik-baik saja, besok sudah boleh pulang."
"Syukurlah, selamat ya atas kelahiran anak kedua kamu. Aku ikut bahagia."
"Kalau kamu di Solo pasti aku akan minta supaya datang kerumahku. Aku kangen sekali Tari."
"Aku sedang di Solo nih. Di Kartosura tepatnya, kan rumahku di Solo pinggiran?"
"Ya ampun, ini menyenangkan, biar mas Nugroho menjemput kamu ya, kamu sama anakmu kan?"
"Iya lah, masa anakku aku tinggal."
"Dalam rangka apa kamu pulang? Bersama suami kamu juga kah?"
"Tidak, cuma aku sama anakku. Dalam rangka apa? Ya dalam rangka kangen sama orang tua lah."
"Kamu itu, sudah jadi ibu masih gampang kangen orang tua, padahal belum lama kamu kembali ke Pasuruan kan?"
"Iya sih, ini mungkin juga karena ingin ketemu kamu."
"Wah, seneng aku, besok kerumah ya.. biar dijemput mas Nugroho."
"Nggak lah, mengapa harus dijemput, biar aku naik taksi saja."
"Jangan Tari, Kartsuro itu jauh, nanti aku minta mas Nugroho menjemput kamu."
***
Sore hari itu Tari sedang mandi, karena dia sudah janji akan datang menemui Asty dan bayinya.
Suci menggendong Haris diteras, sambil menyenandungkan sebuah lagu. Entah lagu apa, yang penting itu adalah lagu, yang diharapkannya bisa membuat Haris terlelap.
"Ini tante sudah nyanyi lagu bagus, mengapa kamu tidak mau bobuk sayang? O, iya.. soalnya nanti mau jalan-jalan sama ibu kan ? Hm, senangnya."
Suci terkejut ketika tiba-tiba melihat sebuah mobil berhenti diluar pagar. Lebih terkejut lagi ketika melihat siapa yang turun dari mobil itu.
"Mas Nugroho !!" teriaknya gembira lalu turun dari teras menyambut Nugroho yang tersenyum-senyum melihat Suci menggendong bayi.
"Kamu itu belum pantas menggendong bayi, tau."
"Iih, mas Nugroho jahat. Iyalah, kan Suci masih kecil."
"Mana ibunya?"
"Lagi mandi, katanya mau ketemu mbak Asty."
"Iya, ini aku menjemputnya." kata Nugroho sambil mengikuti Suci ke teras.
"Duuh, anak ganteng sudah rapi, mau jalan-jalan liat adik kan?" kata Nugroho sambil mengelus kepala Haris tapi dipelesetkannya dengan mengacak kepala Suci.
"Mas Nugroho, mengapa kepala Suci yang diacak-acak," kata Suci sambil merengut.
"Iya, salah... ini yang bener... anak ganteng.." kata Nugroho yang kemudian benar-benar mengelus kepala Haris.
"Huh.. sengaja !"
Nugroho tertawa.
"Bapaknya Haris nggak ikut ?"
"Nggak, kan lagi marahan.." kata Suci sambil berbisik.
"Marahan? Kenapa ?" tanya Nugroho sambil melotot tajam.
"Mas Janto selingkuh," bisiknya lagi.
Nugroho terkejut. Tiba-tiba matanya berkilat, ada marah dimata itu, dan Suci merasakannya. Tiba-tiba Suci merasa keceplosan bicara. Aduh, mengapa Suci susah sekali mengatur mulutnya ya.
"Ma'af mas, jangan bilang mbak Tari kalau aku ngomong begitu, nanti dia marah," bisiknya lagi dengan takut, sambil menoleh kearah belakang.
"Lho, mas Nugroho mengapa kesini?" tiba-tiba Tari keluar dan tampak sudah siap berangkat.
"Aku mendapat tugas dari Asty untuk menjemput kamu," kata Nugroho sambil menatap Tari lekat-lekat. Benarkah Tari sedang berduka karena ulah suaminya? Nugroho mengepalkan tangannya. Geram mendengar bahwa Janto menyakiti hati Tari. Tapi dia tak mengucapkan apa-apa.
"Ayo mas, kalau begitu kita berangkat. Ayo Haris sama ibu ya."
"Bapak sama ibu mana?" tanya Nugroho.
"Lagi ke kondangan dikampung sebelah," jawab Tari.
"Suci baik-baik dirumah ya," kata Nugroho yang lagi-lagi mengacak rambut Suci.
Suci tersenyum lalu melambaikan tangannya.
Nugroho bersama Tari berjalan melangkah menuju mobil yang diparkir ditepi jalan,
Tari sudah naik keatas mobil, dan Nugroho sudah siap menstarter mobilnya, ketika tiba-tiba sebuah mobil lain berhenti tepat didepan mobil Nugroho.
Tari terkejut bukan alang kepalang. Itu mobil suaminya.
==========
Nugroho mematikan mesin mobilnya, menatap seseorang yang turun dari dalam mobil didepannya. Laki-laki berperwakan kecil tapi bertubuh tinggi itu dikenalnya. Matanya menatap tajam kearahnya. Nugroho juga turun dari mobil, berjalan saling mendekat dan saling menatap. Dua mata tajam bertemu, seperti menyemburkan api. Memiliki amarah yang berbeda arah. Yang satu karena cemburu, yang satu karena merasa perempuan yang dikasihinya disakiti. Janto dan Nugroho, masing-masing memiliki keyakinan akan kebenaran yang erat dipegangnya, yang harus dipertahankannya.
"Tarii!! Turun ! " Janto menghardik sambil menuding kearah Tari yang masih duduk didalam mobil.
Tari menggelengkan kepalanya. Bayangan Desy melintas, dan membuat dadanya sesak.
"Ada apa mas?" tanya Nugroho dingin.
"Dia isteriku !!"
"Ya, aku tau... Lalu apa?"
"Suruh dia turun !!"
"Silahkan saja kalau dia mau."
"Kamu jangan ikut campur, kamu bukan siapa-siapa!!"
"Mana yang lebih baik, bukan siapa-siapa tapi bisa menjaganya, atau ... disebut suaminya tapi menyakitinya?"
"Bangsat kamu!! gertak Janto sambil melayangkan pukulan kearah Nugroho. Nugroho menghindar, tapi sebelah tangannya berhasil menonjok pelipis Janto, dan membuat Janto sempoyongan, kemudian terpelanting. Pelipis itu luka terkena batu. Janto bangkit dengan geram. Ketika dia merangsek maju, didengarnya jeritan Tari.
"Hentikaaaann!!" teriak Tari yang kemudian turun dari dalam mobil.
Nugroho menoleh kearah Tari, dan kesempatan itu dipergunakan Janto untuk balas menghantam rahangnya. Nugroho hampir terjengkang kalau tak ada badan mobil dibelakangnya.
"Hentikan mas... hentikaaan.."
Tari sambil menggendong Haris berdiri diantara kedua lelaki yang siap saling terjang.
"Aku mohon, hentikan."
Janto mengusap pelipisnya yang berdarah, Nugroho mengelus rahangnya yang membiru,
"Kamu minggir Tari, laki-laki ini bilang tak akan merebut kamu dariku, tapi apa yang dia lakukan? Buahh!! Kelakukannya memuakkan. Mau kamu bawa kemana isteriku ?"
"Dan buka sekali lagi kuping kamu, bahwa aku tidak akan merebut isteri kamu. Aku hanya ingin... agar..."
"Diaaam!!" teriak Janto memotong kata-kata Nugroho.
Tari terisak. Ia tak tau harus berbuat apa. sebelah tangannya merangkul Haris, dan sebelah lagi direntangkan diantara kedua lelaki yang sedang bertaruh kebenaran ini.
"Kamu yang diaamm! Dia ini sudah menjadi sahabat aku, derita yang dirasakannya adalah sakitku !!"
"Omong kosong!!"
"Tolong berhentilah. Kita sudah menjadi tontonan." kata Tari ketika melihat beberapa orang mulai mendekat.
"Mas Nugroho, kamu pulang saja dulu, bilang sama Asty aku akan datang lain kali."
"Tapi dia..."
"Biarlah aku bicara sama dia mas, mas pulang dan ma'afkan aku ya. Jangan lupa bilang sama Asty ya mas.." kata Tari sambil terisak.
"Baiklah Tari, tapi kalau dia menyakiti kamu, bilang sama aku, aku yang akan menghajarnya."
Janto melotot kearah Nugroho yang sudah membalikkan tubuh dan masuk kedalam mobilnya.
Lestari merasa lega, ia menghela nafas lalu mengusap air mata dengan ujung bajunya. Kemudian dia melangkah masuk kedalam rumah. Janto mengikutinya dari belakang.
Suci menyandarkan tubuhnya dipintu. Ia melihat keributan itu dan merasa ketakutan. Beruntung adik-adiknya yang lain ada dibelakang dan tak melihat apa yang terjadi. Dan bapak ibunyapun sedang kondangan di tetangga kampung sebelah.
"Suci, tolong jangan bilang apa-apa sama bapak dan ibu tentang keributan ini," pesan Tari sambil melangkah kedalam, langsung masuk kekamarnya.
Suci mengangguk. Kemudian ia mengambil kapas dan obat merah ketika dilihatnya pelipis Janto berdarah.
"Biar aku bersihkan mas," kata Suci sambil menarik tangan Janto dan diajaknya duduk.
Suci membersihkan darah pada luka dipelipis Janto, kemudian menutup luka itu dengan perban dan plester. Untung tak begitu parah.
"Jangan sampai bapak sama ibu tau bahwa ada keributan ya mas, kasihan mereka."
Janto tak menjawab, wajahnya muram, menampakkan wajah yang masih geram.
"Saya ambilkan minum ya mas."
Tari bergegas kebelakang dan keluar dengan membawa segelas teh hangat. Janto menerimanya dan meneguknya perlahan.
"Mas.. istirahat dikamar dulu.."
"Suci, kakakmu cerita apa saja?"
"Tidak cerita apa-apa, mbak Tari tak ingin bapak dan ibu tau apapun. Dia hanya mengatakan bahwa mas Janto sedang sibuk makanya mbak Tari pulang kemari."
"Dia salah sangka. Tak ada apa-apa antara aku sama sekretarisku."
Suci hanya mengangguk. Ia merasa tak pantas mengomentari apapun.
"Temui dulu mbak Tari mas, dia ada dikamar."
Janto mengangguk. Ia kebelakang dan masuk kekamar mandi. Salah seorang adik Tari berteriak.
"Ada mas Jantooo!!"
Suci menutup mulutnya dengan jari, sebagai isyarat agar mereka tak berisik.
"Kenapa?"
"Jangan ganggu, mas Janto lagi sakit," katanya agar adik-adiknya tak banyak bertanya.
***
Janto selesai membersihkan diri dikamar mandi, duduk di kursi yang ada dikamar itu, sambil menatap Tari yang masih menyusukan anaknya.
Tak saling bersapa, hanya kebisuan yang merayapi kamar itu.
Sesekali terdengar suara Haris mengecap nikmatnya ASI ibunya.
"Kamu salah sangka Tari," akhirnya Janto membuka suara.
Tari tak menjawab, membenarkan letak anaknya dipangkuan, setelah memindahkannya kesebelah kanan. Tampak nikmat menyedot ASI, Haris sama sekali tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada ayah ibunya.
"Tak ada apa-apa antara aku dan Desy."
Tari mendongakkan kepalanya.
Terbayang olehnya ketika Janto mengelus pundak Desy dan mengulurkan tissue pengusap air matanya.
"Harusnya kamu masuk dan kamu akan mengetahui semuanya.
Tari membelalakkan matanya. Masuk dan melihat suaminya bermesraan?
"Kamu salah sangka. Baru saja Desy mendapat tilpun dari kampung, yang mengabarkan neneknya meninggal."
Tari menatap Janto, mencoba bisa menerima perkataan suaminya.
"Dia tak punya siapa-siapa.."
Kata-kata itu seperti memaksa agar Tari menurunkan sedikit belas kasihan.
"Sejak kecil dia ikut neneknya, dibesarkan dan disekolahkan, hingga bisa bekerja di kantorku."
Tari menatap tak berkedip. Sebuah cerita yang mengharukan. Dibesarkan dididik disekolahkan hingga sekarang bisa menghidupi dirinya sendiri, kemudian tiba-tiba ia ditinggalkannya.
"Ia menangis waktu itu dan aku berusaha menghiburnya. Percayalah Tari, aku tak punya perasaan apa-apa. Aku hanya mencintai kamu Tari."
Tari membayangkan kembali bagaimana tangan suaminya mengelus pundak Desy. Dicobanya mengerti, dicobanya agar amarah yang membara menjadi padam. Dicobanya agar cinta yang dikatakan suaminya bisa benar-benar menyatu dihatinya.
"Kamu harus percaya Tari, kalau tidak karena cinta, mana mungkin aku bersusah payah menyusul kamu kemari, sementara pekerjaan dikantor menumpuk, dan semuanya adalah tanggung jawabku.
Tari menatap Haris yang sudah melepaskan putingnya, dan tampak sudah pulas. Ia berdiri, meletakkan Haris di boxnya, menata agar berbaring dengan nyaman, lalu menyelimutinya.
Tari membenahi pakaiannya, dan kembali duduk ditepi pembaringan.
Janto terdiam, menunggu reaksi Tari setelah dia bicara panjang lebar.
Tiba-tiba Tari berdiri, mendekat kearah meja disamping box anaknya, dan mengambil sepotong kapas. Ia melihat pelipis suaminya kembali berdarah. Janto terkejut ketika Tari tiba-tiba memegang kepalanya dan melepas plester dari pelipisnya. Tari membersihkan darah itu dengan alkohol yang tersedia disitu.
Janto meringis karena pelipisnya terasa perih. Tapi perih dihatinya seperti tersiram guyuran air dari sorga, terasa sejuk dan membuatnya terhanyut. Ini pelampiasan sebuah cinta, tak usah diucapkan dengan kata-kata, dan Janto merasakannya. Janto memeluk pinggang isterinya, dan merengkuhnya. Tari sudah selesai menutup kembali luka di pelipis suaminya dan juga luka dihatinya.
"Aku akan mencoba percaya, dan akan membuktikan bahwa cinta itu ada." kata Tari. Belum ada senyuman yang melegakan, tapi Janto mengerti, perhatian ketika melihat luka dikeningnya adalah sebuah ungkapan cinta.
***
"Ya ampun mas, sampai sebegitunya pak Janto membenci mas?" kata Asty sambil menggosok rahang suaminya dengan salep anti lebam.
"Sakitkah mas ?"
"Tidak, sudah.. ini cukup Asty."
"Mengapa bisa terjadi baku hamtam mas, seperti anak kecil saja."
"Ini tentang mempertahankan kebenaran."
"Apa maksudnya?"
"Janto berselingkuh.."
"Apa? Tari mengatakannya?"
"Tidak, Tari tak mengatakan apa-apa. Suci yang bilang. Aku kesal terhadap perlakuan itu. Tari begitu baik, bagaimana Janto bisa melakukan sesuatu yang menyakitinya?"
Asty menatap suaminya. Ia melihat sinar mata berkilat disana, sinar mata penuh kemarahan. Asty selalu bisa mengerti, masih ada cinta dihati suaminya terhadap Tari. Suaminya tak rela Tari disakiti. Asty menghela nafas, mencoba menghilangkan cemburu yang mengirisnya. Tidak, ia harus menerimanya. Tari adalah sahabatnya, dan cinta itu ada bukan karena
salah siapa-siapa.
"Mengapa ya pak Janto tega melakukannya?"
"Dasar laki-laki kurangajar dia !!!!" katanya geram.
Asty menyesal telah mengucapkan kata-kata yang kembali menyulut amarah Nugroho.
"Ya sudahlah, mas jangan terlalu memikirkannya. Semoga Tari dan pak Janto bisa segera menyelesaikan permasalahannya."
"Coba kamu menelpon dia Asty, tanyakan bagaimana keadaannya," pinta Nugroho kepada isterinya.
"Nanti saja mas, barangkali sa'at ini mereka sedang berbincang untuk menyelesaikan masalah mereka."
"Aku tak sabar mendengar bagaimana keadaan mereka."
Asty diam.
"Ma'af Asty, aku menganggap Tari sebagai sahabat, sebagai saudara, jadi kamu jangan salah sangka."
"Iya aku tau. Apalagi aku percaya pada Tari, dia tak akan menyakiti aku.."
"Apa aku menyakiti kamu ?"
"Tidak .. kamu suami yang baik..."
Nugroho tersenyum. Senang hubungan mereka tak pernah menjadi hubungan yang menyesakkan rasa. Dan itu karena Asty memiliki hati yang baik dan perangai yang santun. Barangkali dia menyembunyikan sesuatu yang membuatnya sakit, tapi dia selalu bersikap manis. Justru Nugroho merasa berdosa karena masih sulit menghilangkan rasa cintanya pada Tari.
"Dan kamu isteri yang sangat baik," balas Nugroho sambil memeluk isterinya.
***
Tari masih berada dikamarnya. Tapi Janto merasa sedikit lega karena Tari tampak sudah tenang. Sinar matanya tampak lembut.
"Apakah besok kamu mau pulang bersama aku?"
"Ada yang aku inginkan sebelum kita pulang."
"Katakan saja."
"Kita menemui mas Nugroho dan mas harus meminta ma'af."
Janto membelalakkan matanya. Ia harus ketemu Nugroho dan meminta ma'af? Janto tak merasa bersalah.
"Mengapa? Aku salah apa? Dia yang selalu berusaha mendekati kamu." katanya kesal.
"Bukan. dia tidak seperti itu. Bahwa hubungan kami dekat, itu adalah seperti saudara. Asty itu sahabatku. Dia sangat baik dan tak pernah berprasangka buruk terhadapku. Mas Nugroho juga sangat menyayangi dia."
"Kamu bilang sama dia bahwa aku berhubungan dengan sekretarisku?"
"Tidak. Seburuk-buruknya aku, tak mau aku menjelekkan suami sendiri kepada orang lain. Kepada keluargakupun tidak. Hanya kepada Suci aku mengadu, sesak dadaku kalau harus menyimpan derita seorang diri. "
"Tapi kan itu tidak benar?"
Tari menghela nafas. Sesungguhnya dia belum sepenuhnya mempercayai suaminya,walau kemarahannya sudah sirna.
"Dan tampaknya Nugroho menuduhku melakukan itu. Darimana dia tau?"
"Bukan aku. "
Tiba-tiba teringat olehnya Suci yang berbincang dengan Nugroho ketika ia masih mandi.
"Jangan-jangan Suci."
"Haa.. Suci.."
"Anak itu sungguh tak pernah bisa menjaga mulutnya Ma'af ya mas." keluh Tari.
Janto terdiam, teringat olehnya kemarahan Nugroho tadi. Dia menuduhnya menyakiti Tari.
"Maukah kita kesana ? Agar semua kesalah fahaman ini tuntas. Aku tidak suka mas Janto selalu berprasangka buruk sama mas Nugroho, dan itu mas lampiaskan kepadaku setiap sa'at."
"Apa kamu akan ikut pulang besok bersamaku?"
"Ya, kalau sebelumnya mas mau menemui mas Nugroho dulu."
Mau tak mau Janto menyetujuinya. Mungkin benar, semuanya harus segera diselesaikan, agar permasalahan tak semakin berlarut dan dia tak selalu merasa curiga.
***
Tari mengatakan kepada keluarganya bahwa Janto terantuk pintu sehingga pelipisnya luka. Orang tua tak boleh merasakan derita anaknya. Dan mereka juga lega, karena Janto bersikap biasa saja.
"Kata Tari nak Janto sedang sibuk, mengapa sudah sampai disini ?"
"Iya pak, saya pikir Tari ingin segera kembali, lalu saya menjemputnya."
"Jadi nanti nak Janto mau mengajak Tari pulang ke Pasuruan?"
"Ya pak, kalau Tari bersedia."
"Sebaiknya memang begitu. Aku sudah memarahi Tari, ketika suaminya sibuk mengapa justru dia meninggalkannya."
"Mudah-mudahan Tari sudah tidak capek untuk melakukan perjalanan besok, so'alnya baru kemarin dia sampai."kata Janto.
***
Sementara itu dikamar Tari menjewer kupin Suci keras sekali.
"Auuw.. sakit dong mbak."
"Suci, lain kali kamu harus hati-hati kalau bicara. mBak ajak kamu bicara, karena mbak anggap kamu sudah dewasa. Mengapa kamu masih suka ceplas ceplos begitu? Hayo, tadi kamu ngomong apa sama mas Nugroho?"
Suci segera teringat, benar tadi keceplosan ngomong sama Nugroho bahwa Janto selingkuh. Suci langsung memeluk kakaknya.
"Ma'af ya mbak, iya Suci keceplosan."
"Itu membuat mas Nugroho sangat marah pada mas Janto. Kamu tadi melihat bagaimana serunya pertikaian mereka. Dasarnya mas Janto tidak suka sama mas Nugroho.. jadi deh..!!"
"Iya, ma'af mbak.."
"Lain kali kamu harus bisa mengatur bibirmu ini, supaya tidak sembarangan bicara," kata Tari sambil mencubit lirih bibir adiknya.
"Iya, aku akan berusaha lebih hati-hati. Apa mas Nugroho masih marah?"
"Aku akan mengajak mas Janto kesana malam ini. Jaga Haris sebentar ya."
"Asyyiiik.... iya.. lama juga nggak apa-apa." teriaknya riang.
***
Dan malam itu juga Janto dan Tari sudah sampai dirumah Nugroho.
Nugroho yang semula terkejut, kemudian menerima mereka dengan baik. Begitu bertemu pandang, Tari mencubit pinggang Janto, mengingatkan bahwa Janto harus meminta ma'af.
"Selamat malam, mas Nugroho.."
"Selamat malam, mas Harjanto.." jawab Nugroho yang keheranan melihat Janto dan isterinya datang berdua, dan tampak sudah berdamai.
Mereka bersalaman akrab, Tari dan Asty saling pandang dan menyimpan senyum melihat kedua laki-laki yang sebelumnya bertikai kemudian bisa bersalaman dengan manis.
"Saya minta ma'af," lanjut Janto.
"Sayalah yang harus minta ma'af."
"Banyak hal sudah terjadi, dan saya merasa dengan tidak adanya komunikasi diantara kita, maka kesalah fahaman akan terus berlarut-larut."
"Itu benar. Saya katakan sekali lagi disini, bahwa saya tidak akan merebut Tari dari sisi mas Janto. Tapi saya tidak ingin dia menderita. Berita bahwa telah terjadi suatu hubungan yang tidak baik antara mas Janto dan...."
"Itu tidak benar," kata Janto memotongnya.
"Saya sudah menjelaskannya pada Tari bahwa tak ada hubungan apa-apa diantara saya dan sekretaris saya. Dia itu sangat menghormati saya. Saya hanya mencintai isteri saya."
"Alhamdulillah.." Nugroho bernafas lega.
"Semoga dengan pertemuan kita ini, kita akan tetap menjadi saudara."
"Pasti mas Janto, dan setelah ini semoga tak ada lagi yang akan saling menyakiti."
Ketika kemudian Nugroho dan Janto berbincang akrab, Asty menyuruh pembantu untuk menyuguhkan minuman, lalu Asty menarik Tari kedalam kamar.
"Anakmu lucu sekali, dan ganteng ya Asty."
"Sayang kamu tidak jadi membawa anakmu kemari."
"So'alnya sudah malam, nanti lain kali pasti ada waktu untuk bertemu."
"Tari, apa kamu mempercayai apa yang dikatakan suami kamu bahwa tak ada hubungan apa-apa antara dia dan sekretarisnya?"
"Aku mencoba mempercayainya Asty."
"Dengar Tari, apapun yang terjadi kamu harus menjaga suamimu. Sekretaris itu juga setiap hari ada disamping suami kamu, dan setiap sa'at setan bisa saja menyemburkan bisa nikmat yang setiap sa'at orang bisa mereguknya."
"Ya Tuhan..."
"Aku tidak menakuti kamu Tari, tapi kamu wajib ber-hati-hati. Hanya saja pesanku, kalau hal itu terjadi, jangan lagi kamu kabur dari rumah. Rebut kembali cinta suami kamu !!" kata Asty sambil menarik tangan Tari kembali kedepan, untuk berbincang bersama Janto dan Nugroho.
Ketika itulah ponsel Janto berdering.
"Tari, tolong, ponselku tadi aku masukkan kedalam tasmu."
Tari membuka tasnya, dan mengambil ponsel suaminya. Matanya menatap tajam kearah ponsel itu.
"Dari Desy," kata Tari singkat.
Bersambung #12
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel