Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 11 Juni 2021

Lestari Punya Mimpi #12

Cerita bersambung

Wajah Janto berubah, Nugroho menatapnya curiga. Tari diam menunggu. Benar kata Asty, kalau Desy mengganggu, ia tak harus lari. Rebut kembali cintamu !!
Janto berdiri, menjawab telpon Desy.
"Ada apa ?" tanya Janto.
"Ma'af pak, hanya mau bilang, bahwa besok saya belum bisa masuk kerja, karena ada pembicaraan dengan keluarga."
"Jadi sampai kapan kamu  bisa masuk ?"

"Besoknya lagi pak, ma'af."
"Ya sudah tidak apa-apa."
Janto menutup ponselnya dan menyerahkannya kembali kepada Tari.
"Desy belum bisa masuk besok pagi, hanya itu yang dikatakannya," kata Janto sambil menatap Tari, ada rasa khawatir isterinya akan curiga.
Tak ada yang mencurigakan, pembicaraan berlangsung akrab, sampai kemudian Tari mengajak pulang.
"Mengapa tergesa Tari, aku masih kangen," kata Asty.
"Ma'af Asty, sa'atnya Haris minum ASI, nanti dia rewel."
"Oh iya, lain kali ajak dia kesini."
"Iya, pasti.. "
***

Dalam perjalanan kembali ke Pasuruan, Tari masih  memikirkan kata-kata Asty. Rupanya memang harus hati-hati menjaga suami, karena sang sekretaris akan ada didekatnya setiap hari. Dan apapun bisa terjadi.
"Mengapa dari tadi diam saja?" tanya Janto
"Nggak apa-apa, aku ngantuk."
"Tidur saja, aku tau kamu capek. Melakukan perjalanan jauh dan belum sempat istirahat."
"Tidak, aku biasa saja. Mas yang tentunya capek,  nyetir tanpa berhenti."
"Nggak apa-apa, aku kuat kok. Sebenarnya kemarin mau ngajak sopir kantor, tapi nggak jadi. Susah kalau harus mengajak dia menginap, kan dirumah nggak ada tempatnya."
"Iya sih."
"Dijalan Haris nggak rewel ya?"
"Paling kalau dia pipis, atau haus.."
"Apa kamu mau dicarikan pembantu?"
"Nggak usah mas, kan dari dulu aku sudah bilang kalau aku masih bisa. Nanti kalau aku merasa repot baru aku bilang."
"Sekarang Haris masih bisa ditinggal-tinggal, nanti kalau dia sudah banyak maunya, baru terasa bagaimana repotnya."
"Iya sih.. nanti saja gampang. Mungkin dua atau tiga bulan lagi."
"Nanti aku pesankan suster perawat dari rumah sakit saja, kan dia lebih tau bagaimana merawat anak, sehingga kamu bisa lebih leluasa melakukan aktivitas apa saja."
***

Namun sesampai dirumah Janto tampak kelelahan. Begitu selesai mandi, istirahat sebentar, dia langsung tidur.
"Mas, harusnya mas makan dulu sebelum tidur, kan tadi makannya sudah sejak siang?"
"Iya, nanti saja, biarkan aku tidur dulu," kata Janto sambil memejamkan matanya.
Seperti berat membuka kembali matanya ketika kantuk menyerangnya.
Tari membiarkannya. Malam itu dia hanya makan sendiri, karena memang terasa lapar. Kata ibunya, memang begitulah wanita yang sedang menyusui bayinya. Lagian kalau tidak makan maka ASI nya juga tidak bisa banyak.
Tari bersyukur, karena ASI yang dihasilkan cukup, dia tak perlu membeli susu formula untuk tambahan.

Selesai makan dan bersih-bersih dapur, Tari masuk kekamarnya. Dilihatnya Janto benar-benar tidur pulas sampai terdengar dengkurnya. Tari membenarkan selimut suaminya, lalu membongkar tas pakaian yang tadi dibawanya dari rumah.

Tiba-tiba ponsel Janto berdering. Tari mendekat dan mengambil ponsel itu. Dari Desy lagi? Pentingkah jam sembilan malam menelpon bosnya? Tari ingin membangunkan suaminya tapi tak sampai hati.  Lalu diangkatnya ponsel itu.
"Hallo pak, selamat malam," sapa Desy sebelum Tari menyapanya.
"Malam," jawab Tari pelan.
"Oh, ma'af, dengan bu Janto ya?"
"Ya, ada apa malam-malam menelpon?"
"Oh, pak Janto sudah tidur ya bu?"
"Sudah tidur atau belum, tapi kalau tidak sangat penting untuk apa menelpon?" kata Tari agak sengit. Kesal sebenarnya.
"Ma'af bu, iya.. saya salah. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sudah sampai di Pasuruan, besok siap untuk bekerja."
"Cuma itu? Bukankah besok kamu sudah bisa bertemu dan dengan demikian pak Janto juga tau bahwa kamu sudah bisa masuk kerja?"
"Oh.. iya bu, maksud saya..."
"Ya sudah, besok pagi saja kalau mau ngomong, kan sudah ketemu pak Janto." kata Tari yang kemudian menutup ponselnya.
"Hanya bilang kalau sudah sampai dan besok mau masuk kerja saja, pakai nelpon malam-malam begini," gumam Tari sambil melanjutkan menata pakaian anaknya yang baru saja dikeluarkannya dari dalam kopor.
***

Pagi itu dilihatnya suaminya masih malas-malasan bangun. Tari memegang lengan suaminya untuk membangunkannya. Tapi ia merasa tubuh suaminya panas.
"Mas, kamu sakit?"
Janto bangkit dan beranjak turun dari pembaringan.
"Jam berapa ini? Aku kesiangan ya?"
"Baru jam enam pagi, mas sholat dulu saja. Tapi kayaknya mas sakit, tubuh mas panas lho."
"Nggak, aku hanya capek," jawab Janto sambil melangkah kekamar mandi.
Tari menunggu sampai Janto selesai shalat, karena ia tau Janto sedang tidak enak badan.
"Mas, kalau mas sakit, mending tidak usah kekantor dulu."
"Aku nggak apa-apa, kemarin dua hari aku meninggalkan pekerjaan, nanti tidak selesai-selesai."
Tari melihat Janto mengambil handuk dan masuk lagi ke kamar mandi.
Tari menyiapkan pakaian kerja suaminya, kemudian kedapur untuk menyiapkan sarapan.
Ada sisa daging ayam di kulkas, dan beberapa sayuran, jadi Tari sempat masak sup ayam pagi itu. Disengaja bikin sup, supaya Janto merasa lebih segar.
Janto melangkah ke meja makan dengan lunglai. Tari merasa khawatir.
"Mas tidak apa-apa? "
"Tidak apa-apa, sarapan apa pagi ini?"
"Ada sup ayam mas, dimakan yang banyak, nanti kan keringat bisa keluar dan badan tidak panas lagi."
Janto duduk, menyendok sup ayam yang aromanya sebenarnya sangat harum dan mengundang selera. Tapi Janto makan hanya sedikit. Perutnya terasa tak enak.
Tari mendekat dan menyerahkan obat demam.
"Mas, makan yang banyak, lalu minum dulu obatnya ini."
 "Iya, ini sudah," Janto meraih obat dan meminumnya.
"Mas sungguh tetap mau masuk kerja?"
"Iya, nggak apa-apa, nanti aku pulang lebih awal."
"Oh ya mas, aku lupa bilang, semalam Desy menelpon. Mas tidur nyenyak sekali jadi aku tidak membangunkan."
"Bilang apa dia?"
Cuma bilang kalau semalam itu sudah kembali, dan hari ini siap masuk kerja."
"Oh, cuma itu?"
"Iya, cuma begitu saja, pake nilpun tengah malam."
"Tengah malam?"
"Ya jam sembilanan lebih lah.."
"Oh, ya sudah, nanti aku tegur dia.."
***

Ketika Janto pergi kekantor, Tari tetap merasa khawatir. Dia melihat wajah Janto memang agak pucat. Tapi Janto mengatakan kalau itu hanya karena capek. Pasti karena dua hari terus menerus mengendarai mobil sendiri, jarak jauh pula.
Begitu selesai memandikan Haris dan menidurkannya, Tari menerima telpon dari Asty.

Aduh, ada apa lagi ini. Sesungguhnya Tari segan berhubungan lagi dengan Asty maupun Nugoro, takut ada yang salah. Bukankah sebaiknya melupakan semuanya dan tak usah berhubungan apapun lagi? Tapi Asty adalah sahabatnya, tak sampai hati Tari tak menerima telponnya.
"Ya Asty.."
"Kamu lagi sibuk ?"
"Iya lah, mau bersih-bersih rumah lalu belanja dan memasak.."
"Baguslah. Bagaimana keadaan kalian? Tidak capek?"
"Ya, mas Janto yang tampak sedikit kecapekan, tapi tadi nekat masuk kerja, semoga saja tak apa-apa."
"Ya sudahlah, aku hanya ingin memastikan bahwa kalian baik-baik saja."
"Terimakasih Asty."
"Ya sudah, aku tak mau mengganggu, salam buat Haris ya."
Tari meletakkan ponsel dan melanjutkan kegiatannya mengurus rumah.
Tukang sayur yang biasanya lewat belum tampak lewat. Tapi sup ayam yang dimasak pagi tadi seakan belum terjamah. Tadi Janto hanya memakannya beberapa sendok.
"Aku hanya butuh beli ikan, atau tahu saja dan selesai," gumam Tari sambil menunggu si tukang sayur.
***

Desy menekuni pekerjaannya. Sejak datang tadi dilihatnya pak bos sangat sibuk meneliti surat-surat. Ia tak berani menyapanya karena melihat wajah bosnya lain dari biasanya. Ada rasa khawatir karena melihat wajahnya tampak pucat. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa semalam menelponnya, tapi diurungkannya. Barangkali nanti ada kesempatan untuk itu. Dia juga ingin mengatakan bahwa tampaknya bu Janto kurang suka ketika malam tadi dirinya menelpon, lalu  Desy ingin meminta ma'af.
"Desy.."
Desy terkejut, dan menghentikan kesibukannya. Diangkatnya kepalanya.
"Ya pak.."
"Tolong ambilkan aku minum panas. Teh panas atau apa saja, yang penting panas."
"Baik pak."
Desy berdiri dan melangkah ke pantry.
Janto merasa badannya kembali terasa panas. Tadi bisa bekerja karena obat demam yang diberikan isterinya. Tapi begitu pengaruh obat itu habis, tubuhnya kembali terasa panas.
Ketika Desy membawakan teh panas, Janto langsung meneguknya.
"Tolong obat demam di almari obat, Des."
Desy mengambil obat yang dimaksud, diserahkan kepada Janto.
"Bapak sakit ?"
"Tidak, cuma agak kurang enak badan," katanya lalu menelan obatnya dengan teh panas.
"Kalau sakit, lebih baik bapak pulang saja, atau ke dokter ?"
"Nanti saja, setelah minum obat pasti lebih enakan. Pekerjaanku kurang sedikit."
Desy meninggalkan Janto dengan perasaan khawatir. Dari meja kerjanya sesekali dilihatnya Janto yang menekuni pekerjaannya.
Janto sebentar-sebentar meneguk teh panasnya. Tampaknya ia ingin mengusir panas badannya dengan minuman itu.
Dan beberapa sa'at lamanya memang rasa panas itu reda. Tapi kepalanya terasa pusing.
Tepat sa'at istirahat tiba Janto berdiri.
"Semua sudah selesai, coba kamu teliti lagi. Aku mau pulang sekarang," kata Janto.
"Baik pak."
Namun baru saja Janto sampai dipintu keluar, tubuhnya terhuyung.
Desy berdiri dan berlari kearah Janto. Dirangkulnya tubuhnya, dan dipapahnya agar duduk disofa yang ada diruang itu.
Janto terkulai lemas.
Desy bingung harus berbuat apa. Ia memanggil sopir kantor, dan memintanya mengantar kerumah sakit.
***

Tari telah selesai menata makan siang untuk suaminya. Ia yakin Janto akan pulang untuk makan siang dirumah. Tapi ternyata sudah lewat jam makan Janto belum tampak pulang. Wajah Tari langsung muram.
"Apakah Desy telah menyiapkan makan siang untuk suamiku?" desisnya menahan marah.
"Tapi aku tak boleh diam menunggu, aku harus menelponnya," gumamnya sambil mengangkat ponselnya.
"Hallo..."
Tari terkejut dan hampir mendamprat Desy yang mengangkat telpon suaminya, ketika tiba-tiba Desy melanjutkan kata-katanya.
"Ibu, ma'af, pak Janto ada dirumah sakit."
"Dirumah sakit? Siapa yang sakit ?"
"Pak Janto bu, tadi hampir pingsan di kantor, lalu saya menyuruh sopir membawanya kerumah sakit. Saya sedang menunggu bapak diperiksa diruang UGD. Ini ponselnya saya yang bawa."
Tari terduduk lemas setelah menutup ponselnya.
"Gimana to mas, tadi aku sudah peringatkan supaya jangan masuk kerja. Ternyata mas sakit beneran kan?" gumamnya sedih.
Ia ingin menyusul kerumah sakit, tapi bagaimana dengan Haris? Ia tak mungkin meninggalkan Haris sendiri dirumah.
Tari kebingungan. Lalu ia menyesali penolakannya ketika suaminya menawarkan mencari pembantu atau baby sitter untuk anaknya.
Ia terpaksa menelpon Desy lagi.
"Tolong kabari aku bagaimana hasil pemeriksaannya," katanya singkat.
"Baik, ibu," kata Desy penuh hormat.
Dalam bingung ia ingin menelpon kerumah orang tuanya, tapi nanti bapak ibunya ikut bingung.
"Aduh, apa yang harus aku lakukan?"

Tiba-tiba terdengar Haris merengek.
Tari masuk kekamar dan mendapati Haris menangis keras. Mungkin sudah sejak tadi dia terbangun, tapi Tari tidak mendengar tangisnya karena hatinya sedang bingung.
"Aduh, ma'af ya, ibu tidak mendengarnya .. cup.. diam sayang, ini ibu.. oh, kamu ngompol ya, " kata Tari sambil mengangkat anaknya dan menggantikan popoknya.
"Dengar sayang, bapak sakit dirumah sakit, kamu jangan rewel ya.."
Sambil menyusukan anaknya dengan hati gundah.
Tak lama kemudian Desy menelpon.
"Hallo, bagaimana ?"
"Ibu, menurut dokter bapak terkena Thypus."
"Apa"
"Dan harus dirawat bu."
"Ya Tuhan... tolonglah hambamu ini," desisnya sambil berlinang air mata.
"Tolong urus dulu semuanya, aku akan kerumah sakit." kata Tari tanpa sadar bagaimana dia bisa pergi kerumah sakit.
"Baik ibu, saya akan mengurusnya."
Tari memeluk anaknya erat sambil menangis. Disadarinya bahwa sesungguhnya dia tak bisa mengurus semuanya sendiri, sementara keluarganya ada nun jauh disana.
"Suci.." akhirnya Tari menelpon adiknya..
"Ya mbak, ada apa?"
"Beranikah kamu datang ke Pasuruan sendiri ?"
"Berani lah mbak, ada apa?"
"Mas Janto dirawat dirumah sakit."
"Ya Tuhan, sakit apa?"
"Katanya Thypus, aku juga belum bisa kesana. Aku tak bisa kemana-mana dan bingung."
"Siapa yang sakit?" terdengar suara ibunya menyambung.
"Mas Janto dirumah sakit bu, mbak Tari minta agar Suci kesana."
"Ya Tuhan.. tidak Suci, kamu jangan sendiri, bersama ibu saja."
"Hallo ibu, nanti kalau ibu pergi .. bapak sama adik-adik bagaimana?"
"Tidak apa-apa, nanti ibu minta agar bapak sama adik-adikmu beli makan diwarung," kata ibunya menyambung.
"Ya sudah ibu, suruh Suci pesan taksi saja, nanti dibayar disini."
***

Malam hari setelah Suci dan ibunya sampai, Tari bergegas kerumah sakit. Ia percaya ibunya dan Suci bisa menjaga Haris dengan baik.
Hari sudah malam, jam bezoek sudah lewat, tapi dengan dalih dia isterinya pasien kemudian Tari diijinkan masuk.
Berdebar hatinya karena menghawatirkan keadaan suaminya.
Disebuah kamar yang ditunjukkan Desy ketika dia menelpon, Tari masuk perlahan.
Dilihatnya Janto terbaring dengan selang  infus dilengannya, dan Desy terus menerus memegangi lengannya. Terkesiap jantung Tari menyaksikannya.
Desy terkejut ketika tiba-tiba Tari sudah ada didekatnya.

==========

Tari mendekat, melihat Janto memejamkan mata, dan mulutnya bergerak gerak.
Desy melepaskan tangannya yang semula memegangi tangan Janto, kemudian berdiri dan mundur kebelakang.
Ada rasa tidak suka dihati Tari ketika melihat Desy menggenggam tangan suaminya. Tapi bagaimanapun ia tak bisa marah. Desy telah membantunya membawa Janto kerumah sakit dan membuatnya segera mendapat pertolongan.
"Ma'af bu, pak Janto mengigau terus memanggil-manggil nama ibu, dan tangannya seperti meraih sesuatu, bergerak-gerak terus, jadi saya memeganginya.
Tari mengangguk. Ia mendekat, memegangi tangan suaminya. Terdengar bisikan lemah dari bibirnya yang pucat kering..
"Tari... Tari..."
Tari mendekap tangan suaminya, meletakkannya didada.
"Ini aku mas, aku sudah ada disini. Mas tenang ya," katanya sambil berlinangan air mata.
Janto masih memejamkan mata, tapi  kemudian menggenggam erat tangan Tari yang memegangnya. Barangkali ada getaran cinta merayapi jemari yang menggenggamnya, dan membuatnya lebih tenang.

"Desy, kamu pasti lelah, istirahatlah di sofa itu, kalau ingin pulang rasanya tidak pantas untuk kamu, ini sudah larut," katanya sambil menoleh kearah Desy.
"Tidak bu, kalau ibu sudah ada disini, saya lebih baik pulang saja."
"Tapi ini sudah larut. Hampir jam duabelas malam."
"Tidak apa-apa bu, rumah kost saya tidak jauh dari sini, saya bisa naik taksi," kata Desy sambil berdiri.
"Sungguh tidak apa-apa?"
Tari membuka tasnya dan mengambil selembar uang lalu diberikan kepada Desy.
"Untuk ongkos taksi, tapi kamu harus berhati-hati. "
"Terimakasih bu, tapi tidak usah, ini sudah ada bu. Sungguh."
Desy menyalami Tari, kemudian keluar dari ruangan.

Tari masih menggengam jemari suaminya. Terasa masih panas. Rasa iba merayapi hatinya. Ia merasa pasti suaminya sangat lelah, ditambah pekerjaan kantor yang melimpah.
"Mas, cepat sembuh, aku ada didekatmu mas.." bisiknya berkali-kali.

Tiba-tiba Tari teringat bahwa sudah sa'atnya Haris diberi ASI. Tari bingung..
Dipegangnya lengan suaminya, sudah tak sepanas tadi. Tapi matanya masih terpejam. Semoga ini pertanda baik. Tari berdiri dan mencari suster jaga. Menitipkan suaminya karena ia harus menyusukan anak bayinya. Suster itu maklum dan bisa mengerti.
"Baiklah bu, tidak apa-apa, kami akan terus mengontrol perkembangan kesehatannya, ibu tidak perlu khawatir."
"Terimakasih suster."
Tari mendekati suaminya sekali lagi, memegang tangannya dan menempelkannya dipipinya.
"Mas, aku melihat Haris dulu, dia juga pasti lapar. Nanti aku kembali ya."

Tari meninggalkan rumah sakit dengan perasaan kacau. Hari menjelang pagi ketika itu. Benar-benar kacau. Sendiri tanpa teman, sementara ia juga harus menyusui bayinya yang belum genap dua bulan. Karena itu dia terpaksa mendatangkan ibunya serta adiknya dari jauh agar bisa membantu meringankan bebannya,
***

Dan benar saja, begitu Tari sampai dirumah, Suci sedang sibuk menghentikan tangis Haris yang kelaparan.
Tari berlari kebelakang, membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian meraih anaknya dari gendongan Suci.
"O, sayang, kamu lapar? Ma'af ya nak, ibu harus meninggalkan kamu."
Haris terdiam begitu puting ibunya memasuki mulutnya. Dia menyedotnya dengan lahap.
Tari terharu, benar-benar anaknya kelaparan.
"Tari, besok belilah botol botol untuk menyimpan ASI kamu. Sebelum pergi kamu bisa  menyimpannya dibotol-botol, biar Suci memasukkannya ke freezer. Jadi setiap Haris lapar dan kamu belum ada dirumah, dia tak akan rewel."
"Baiklah bu, nanti Tari akan mempersiapkan semuanya, supaya mas Janto ada yang menunggui, dan Haris juga tidak kelaparan."
"Bagaimana keadaan nak Janto?"
"Ketika Tari datang tubuhnya masih sangat panas. Dia mengigau tak henti-hentinya, memanggil nama Tari. Tapi ketika Tari mau pulang ini tadi, panasnya sudah turun, semoga keadaannya segera membaik."
"Ya nduk, semoga begitu. Nanti kalau kamu kembali ke rumah sakit, ajaklah Suci, biar dia bisa bergantian menjaga nak Janto."
"Tidak apa-apa ibu sendirian dirumah?"
"Tidak apa-apa nduk, ibu juga pasti bisa menjaga Haris, asal jangan lupa kamu meninggalkan beberapa botol ASI untuk persediaan."
"Ya bu. Sekarang ibu istirahat saja dulu, pasti semalaman ikut tidak tidur."
"Tadi ibu tidur sebentar, baru bangun ketika mendengar Haris menangis."
"Sekarang tidur lagi saja bu, nanti pas subuh bisa bangun lagi. Di kulkas ada ikan dan sayuran, barangkali ibu ingin memasak. Ibu tak usah memikirkan Tari karena disana banyak orang jualan makanan."
"Tapi kalau bisa pulang kan lebih baik nduk, makanan olahan rumah lebih sehat daripada jajan diluar."
"Iya bu. Bagaimana nanti saja."
***

Hari itu Tari datang kerumah sakit sambil membawa baju-baju ganti untuk Janto. Ia datang bersama Suci, perasaannya lebih lega. Urusan ASI untuk Haris, makan untuk ibunya bisa diselesaikannya dengan baik. Ia harus menunggui suaminya dan melihat perkembangan sakitnya.
Ketika dia datang, dilihatnya mata Janto masih terpejam, tapi menurut suster dia tak lagi mengigau seperti semalam.
Tari memegang tangannya, dan Suci berdiri disampingnya.
"Mas.. ini aku.."
Janto membuka matanya. Wajahnya masih pucat. Ia tampak heran melihat Tari disampingnya, disebuah ruangan yang menurutnya aneh.
"Aku... dimana ?"
"Mas, kamu sakit, dirawat dirumah sakit."
"Aku ?"
Janto memejamkan matanya, mencoba mengingat-ingat. Terakhir kali yang diingatnya ialah bahwa dia berada dikantor, lalu ingin pulang, lalu tak ingat apa-apa lagi sampai ketika dia membuka matanya isterinya mengatakan bahwa dia ada dirumah sakit.
"Kamu disini sejak kemarin siang, Desy yang membawamu kerumah sakit."
"Mengapa kamu ada disini? Bagaimana kamu bisa meningalkan Haris?" Walau lemah bicaranya, Janto masih teringat akan anaknya.
"Begitu mas harus opname dirumah sakit, Suci dan ibu langsung aku minta untuk datang."
"Ini aku mas..Suci.." kata Suci sambil mendekat.
"Oh, ada Suci juga?"
"Suci aku ajak kemari, Haris bersama ibu."
"Bagaimana kalau dia haus Tari, pulang saja, aku tak usah ditungguin."
"Jangan khawatir mas, aku sudah punya stock ASI beberapa botol, cukup untuk sehari."
"Bagaimana bisa?"
"Sudah, kamu nggak usah memikirkan Haris, dia tak akan kelaparan dan kehausan. Sekarang bagaimana rasanya mas?"
"Aku merasa lemas, dan perutku sakit.."
"Mas sabar ya, dokter sudah menangani mas dengan baik"
"Terimakasih Suci. Kita merepotkan ibu juga.."
"Sudah mas, Suci sama ibu malah senang tuh, tiab hari bisa gendong-gendong Haris."
"Iya mas, Suci senang kok. Mas Haris bobuk aja sekarang, kebanyakan ngomong nanti nggak sembuh-sembuh," celoteh Suci.
"Iya, mas pengin makan apa? Ini bubur sumsum belum dimakan, aku suapin ya?"
"Sedikit saja, perutku nggak enak rasanya."
"Nggak apa-apa, sedikit saja" kata Tari sambil mengambil piring berisi bubur sumsum, jatah dari rumah sakit yang belum dijamah.
"Suci, kamu istirahat saja dulu di sofa itu, kamu juga pasti capek."
"mBak juga capek kan? mBak juga harus istirahat. Tadi dirumah aku sudah sempat tidur beberapa jam disamping Haris."
"Iya, nanti setelah menyuapi mas Janto aku istirahat."
Dan sesungguhnya sejak semalam Tari juga belum sempat memejamkan matanya. Kekhawatiran akan keadaan suaminya mengalahkan rasa capek itu.
Baru ketika tampak Janto terlelap, Tari membaringkan tubuhnya  begitu saja karena rasa letih yang menggayutnya.
***

Tari terbangun ketika tiba-tiba terdengar Suci berteriak.
"Eeeh, tangannya nggak usah pegang-pegang begitu kenapa sih?"
Tari bangkit dan menatap Suci sedang menuding-nuding Desy.
"Ma'af.. ma'af, saya hanya ingin melihat, pak Janto masih panas atau tidak. Semalam masih panas sekali," kata Desy sambil menjauh dari tempat Janto terbaring.
"Bu Janto, ma'af saya mengganggu," kata Desy sambil mengulurkan tangan kearah Tari.
"Tidak kok, aku sudah cukup istirahat."
"Oh, syukurlah. Itu.. adiknya pak Janto?"
"Itu adikku, dari Solo.. baru datang semalam."
"Oh."
"Baru pulang kantor ?"
"Iya, tadi rekan-rekan kantor pada datang kemari, tapi hanya sebentar. Kata mereka pak Janto tidur, ibu juga sedang tidur, jadi mereka cepat-cepat pulang.
"Oh, pantesan ada parcel buah-buahan diatas meja, pasti dari rekan-rekan kantor itu tadi ya."
"Iya bu.."
"Oh, ma'af, sampaikan ma'af ku ya, aku lelah sekali.. semalam tidak tidur."
"Iya, mereka maklum."
"Suci, kenalkan dulu, ini namanya Desy, sekretarisnya mas Janto."
Suci mendekat tapi wajahnya masam, bagaimanapun dia pernah mendengar tentang Desy. Walau sebenarnya tak ada apa-apa diantara Desy dan kakak iparnya, tapi dia kurang senang pada sang sekretaris itu. Mungkin karena tadi melihat begitu datang dia memegang-megang tangan Janto.

"Oh, iya, saya Suci," kata Suci sambil menjauh, dan kembali mendekati Janto yang masih tampak memejamkan matanya.
"Ibu, saya tidak akan lama, syukurlah keadaan pak Janto sudah lebih baik. "
"Terimakasih Desy, dan sampaikan juga termakasih dari pak Janto atas perhatian rekan-rekan kantornya."
"Baik bu, nanti saya sampaikan."
Ketika Desy pergi, Tari menegur Suci karena terlihat jutek ketika menghadapi Desy.
"Tari, bagaimanapun dia sudah membantu mbak. Dialah yang mengantarkan mas Janto kerumah sakit."
"Suci sebel melihat dia memegang-megang tangan mas Janto."
"Tidak apa-apa, kan dia sudah bilang bahwa hanya ingin melihat apakah mas Janto masih panas atau tidak."
Suci mencibir, lalu menyelonjorkan kakinya disofa.
Tari hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa kamu ingin pulang dulu,
Suci?"
"mBak sendiri disini ?"
"Nggak apa-apa, kamu pulang, mandi lalu kembali kesini, baru aku gantian  pulang, bagaimana?"
"Baiklah kalau begitu, nanti mbak mau dibawakan apa?"
"Nggak usah, kan aku juga mau pulang nanti, siapa tau stock ASI untuk Haris sudah menipis."
"Iya juga ya, baiklah, aku pulang saja sekarang."
"Ayo aku antar kedepan sambil aku carikan taksi," kata Tari sambil menggandeng tangan Suci keluar dari kamar, setelah Suci menyambar sebuah jeruk dari parsel yang terletak diatas meja.
***

Ketika sampai dirumah Janto, Suci mendapati ibunya sedang bicara dengan ayahnya di telpon.
"Tidak pak, bapak tidak usah khawatir, katanya keadaannya sudah membaik. Semalam kata Tari, memang masih panas dan terus mengigau, tapi sekarang sudah lebih baik, sudah sadar dan bisa berbicara biarpun masih lemah."
"Syukurlah bu, aku semalam juga tidak bisa tidur memikirkan kalian."
"Bapak tidak lupa memintakan ijin ke sekolah Suci bukan?"
"Sudah, pagi-pagi sekali aku sudah kesekolah Suci."
"Bapak tadi makan pakai apa?"
"Aku memasak nasi saja, lauknya anak-anak yang beli. Kamu tidak usah memikirkan aku dan anak-anakmu, mereka juga sudah besar dan bisa mengerti, jadi tidak rewel masalah makan."
"Syukurlah, ini Suci baru kembali dari rumah sakit pak."
"Bapak .." kata Suci setelah mengambil ponsel dari ibunya.
"Bagaimana masmu ?"
"Tidak panas lagi, tapi masih mengeluh pusing dan perutnya nggak enak. Makan juga nggak begitu doyan."
"Nanti perlahan pasti akan sembuh, jangan lupa bapak diberi kabar setiap hari ya?"
"Iya pak."
"Nanti dulu, lha Tari mana?"
"Masih dirumah sakit pak, ini Suci mau pulang mandi, lalu kembali kerumah sakit lagi, baru mbak Tari pulang."
"Haris tidak rewel ?"
"Tidak, mbak Tari meninggalkan stock ASI di kulkas."
"Syukurlah. Ya sudah, bapak juga mau mandi, bilang sama ibu, hati-hati menjaga cucu."
"Ya sudah, sana mandi.." kata ibunya begitu pembicaraan itu selesai.
"Iya bu, susu untuk Haris masih cukup?"
"Tinggal satu botol lagi, bukankah nanti mbakmu juga akan pulang ?"
"Setelah Suci kembali, mbak Tari akan pulang."
"Ya sudah sana, ibu juga sudah memandikan Haris, susu yang tinggal sebotol akan ibu minumkan sebentar lagi."
***

Perawat itu datang, memeriksa suhu badan dan tensi Janto. Tari memperhatikan dengan seksama.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Tari kepada perawat itu.
"Suhu badannya naik lagi, tapi tidak seberapa, tensinya sedikit rendah," kata perawat itu yang kemudian pergi.
Tari duduk dikursi ditepi pembaringan suaminya. Agak khawatir karena perawat mengatakan suhu tubuhnya agak tinggi.
Janto terus saja memejamkan matanya.
"Mas..."
Janto membuka matanya.
"Hm... " hanya itu yang diucapkannya.
"Mas merasakan apa?"
Janto menggoyang-goyangkan tangannya.
"Bagaimana mas?"
"Pusing..."
Tari berdiri, dan memijit-mijit kepala Janto. Ketika meraba keningnya, memang terasa agak panas. Tapi kata perawat tidak apa-apa.
"Sabar ya mas. Makanya mas harus makan yang banyak, supaya segera sembuh."
"Haris bagaimana?"
"Dia baik-baik saja mas, jangan khawatir."
Lalu Janto kembali memejamkan matanya.
Tari masih memijit-mijit kepalanya, dan tiba-tiba Tari merasa bahwa suhu badan suaminya semakin panas. Janto tampak menggigil.
Tari berteriak memangil perawat.

Bersambung #13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER