Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 12 Juni 2021

Lestari Punya Mimpi #13

Cerita bersambung

Ketika dokter datang dan memeriksa, Tari terkulai di sofa. Matanya berlinang. Kecemasan meremas remas  hatinya. Lalu dilihatnya perawat menyuntikkan obat melalui infus yang terpasang.
"Tidak apa-apa bu, jangan cemas, keadaannya memang belum stabil. Nanti juga baik kok," kata dokter mencoba menenangkan.
"Terimakasih dokter,"
 Tari mendekati suaminya, tubuh Janto masih menggigil. Tari menyelimutinya rapat, dan memeluknya, agar berkurang rasa dinginnya. Sungguh, badan Taripun merasakan panas  seperti merengkuh api.

"Tenang ya mas, sembuh ya mas.." bisiknya didada suaminya.
Janto masih menggigil, mulutnya mengeluarkan suara keluh yang memilukan. Setengah jam lebih Tari merangkul suaminya, barulah gigil itu berkurang. Mulut Janto terkatup rapat, pucat dan kering. Tari melepaskannya, panas itu sudah berangsur turun. Ada keringat didahi Janto, Tari mengusapnya lembut.
Tari menghela nafas lega, walau rasa was-was itu masih ada.
Ia mengambil air wudhu dan melakukan sholat maghrib, sambil menunggu Suci datang menggantikannya, so'alnya dia juga mengingat Haris yang pastinya sudah kehabisan stock ASI.
***

Ketika memasuki ruang rawat kakak iparnya, wajah Suci langsung masam, karena melihat Desy duduk disampingnya, yang kemudian menoleh kearahnya begitu mendengar langkahnya.
Suci tampak mencari-cari, karena tak melihat Tari kakaknya.

"Dik Suci, bu Janto baru selesai sholat, mungkin di kamar mandi," kata Desy tanpa rasa sakit hati walau Suci selalu tak ramah kepadanya.
"Oh," hanya itu yang dikatakannya, lalu ia menatap kakak iparnya sejenak, kemudian duduk disofa.
Desy sudah berdiri, mempersilahkan Suci mendekat.
"Silahkan dik..," kata Desy sambil menunjuk kearah kursi dimana tadi dia duduk disamping Janto yang masih memejamkan mata.
"Tidak, saya disini saja menunggu mbak Tari."
Lalu Suci mengambil ponsel dan membuka-bukanya.
"Syukurlah Suci, kamu sudah datang," seru Tari yang baru keluar dari kamar mandi.
Suci mengangkat kepalanya.
"Bagaimana mas Janto?"
"Tadi begitu kamu pulang, badan mas Janto panas lagi. Aku panik lalu memanggil dokter."
"Sekarang sudah baik?"
"Tadi sudah mendapat suntikan, lalu agak tenang. Sekarang tidur, jadi nanti kamu kalau menunggu disini jangan berisik, supaya tidur kakakmu tidak terganggu."
"Iya, aku tau."
"Desy, aku mau pulang sekarang, kalau kamu masih mau disini ya tidak apa-apa."
"Tidak bu, saya juga mau pulang saja. Tadi setelah mandi saya memerlukan menjenguk pak Janto, sekarang saya juga mau pamit bu, semoga pak Janto segera pulih."
"Terimakasih Desy."
"Suci, jaga kakakmu dulu ya, kalau capek tiduran saja. Nanti aku kembali."
"Saya juga pamit dulu dik Suci," kata Desy sambil menatap Suci. Yang ditatap tampak hanya mengangguk acuh tak acuh.
Tari menggandeng Desy keluar dari kamar itu.
"Ibu, sebenarnya saya merasa tak enak melihat sikap dik Suci." kata Desy sambil berjalan keluar.
"Oh, jangan diambil hati, dia itu masih kanak-kanak, belum bisa bersikap dewasa."
"Iya bu, saya tau. Saya sedang mencari-cari, apakah saya telah melakukan kesalahan."
"Tidak, kamu tidak salah, jangan difikirkan."
"Oh ya bu, saya sampai lupa, ponsel pak Janto masih ada pada saya," kata Desy sambil mengulurkan ponsel Janto yang dikeluarkannya dari dalam tasnya.
"Iya, aku juga lupa menanyakan. Terimakasih. Kamu mau pulang sama-sama? Aku akan memanggil taksi."
"Tidak bu, saya membawa sepeda motor."
"Ya sudah, hati-hati dijalan."
"Terimakasih bu."
Menatap punggung Desy yang sedang berjalan kearah parkiran, Tari merasa bahwa sebenarnya Desy gadis yang baik. Semoga kecurigaan yang masih ada dihatinya adalah salah belaka.
***

"Bagaimana keadaan nak Janto?" tanya ibunya ketika Tari sedang memompa ASI untuk stock bagi Haris.
"Tadi sempat panas lagi. Tari sudah panik bu, tapi setelah mendapat suntikan obat lalu keadaannya membaik. Artinya tidak lagi menggigil, dan sudah bisa tidur."
"Syukurlah. Tapi aku juga menghawatirkan kamu Tari. Kamu jangan sampai kecapean, kamu punya anak bayi yang harus kamu perhatikan."
"Iya bu, tapi kan Tari juga harus menunggui mas Janto."
"Bagaimana kalau aku dan Suci saja yang bergantian menunggu?"
"Ibu, bagaimana aku membiarkan ibu capek dirumah sakit?"
"Ibu kan tidak apa-apa Tari,  kalau dirumah sakit kan hanya duduk dan bisa istirahat, tidak selalu diburu waktu.  Berbeda dengan kamu, harus mikir yang sakit, mikir anak bayi.. "
"Tapi kalau tidak melihat keadaan mas Janto, Tari merasa tidak enak bu."
"Iya ibu tau, tapi ingat nduk, anakmu masih sangat lembut, baru dua bulanan... dan kamu itu kan sepulang dari rumah sakit harus mandi dulu sampai benar-benar bersih, ganti pakaian, dan baru bisa memegang anak bayimu. Rumah sakit itu kan tempat yang tidak sehat nduk, anakmu itu yang ibu fikirkan."
"Iya bu, jadi bagaimana bu.."
"Sudah, malam ini biar Suci dirumah sakit, kamu nggak usah kembali dulu. Kalau ada apa-apa pasti Suci ngabari kan?"
Tari menghela nafas. Sungguh fikirannya terbagi dua, separo dirumah, separo lagi dirumah sakit. Dua-duanya berat, tapi tubuh hanya selembar, mau bagaimana lagi.
Akhirnya diputuskan untuk menuruti kata ibunya. Dia akan dirumah malam ini, menemani Haris.
"Besok pagi ibu dulu yang kerumah sakit."
"Ibu kan belum tau rumah sakitnya, dimana kamarnya."
"Asalkan sudah sampai disana, kan bisa bertanya dimana menantuku dirawat. Itu bukan masalah, bukankah ibu kemari karena ingin meringankan beban kamu?"
Tari memeluk ibunya penuh haru.
"Terima kasih ibu."
"Sekarang kamu makan dan istirahatlah, tadi ibu memasak asem-asem. Isinya buncis wortel dan irisan daging. Hanya itu tadi yang ibu beli di tukang sayur."
"Iya bu, itu bagus, pasti enak sekali masakan ibu."
***

Suci mendekat ke arah ranjang dimana Janto berbaring, ketika didengarnya Janto mengeluh.
"Ada apa mas? Mas mau apa?"
"Minum," katanya lemah.
"Iya, mas.. "
Suci mengambil gelas dan sedotan, agar lebih mudah Janto meminumnya. Bibir Janto masih tampak kering.
"Kamu.. sama siapa?"
"Sendiri mas, mbak Tari baru pulang."
"Kasihan Haris. Bilang sama Tari, tidak usah menunggui dirumah sakit."
"Iya nanti aku bilang. Rasanya sekarang gimana mas?"
"Masih lemas, pusing, perut rasanya gak enak."
"Sabar ya mas.. nanti pasti sembuh."
"Kamu pulang saja.."
"Lho.. mbak Tari nyusuh aku disini kok. Nanti siapa yang njagain... terus... kalau mas butuh apa-apa gimana?"
"Aku merepotkan.."
"Sudah, jangan banyak ngomong, tidur saja, aku duduk disana tuh.. "
Suci kembali duduk di sofa,
Tari sudah mengabari bahwa dia tak akan datang kerumah sakit malam ini, karena dilarang oleh ibunya. Suci maklum karena kakaknya kan harus memikirkan Haris juga.
Ia baru saja membaringkan tubuhnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
"Dari mas Nugroho?" gumamnya pelan.
Suci membuka ponselnya.
"Hallo mas, " sapanya kepada Nugroho yang menelponnya.
"Suci, "
"Ada apa mas?"
"Aku menelpon Tari sejak kemarin, tidak bisa nyambung."
"Iya, mbak Tari mengganti nomor kontaknya."
"Oh, boleh aku minta?"
"Ma'af mas, mbak Tari tidak boleh memberikannya kepada siapapun."
"Biarpun itu aku?"
"Justru mas Nugroho yang paling tidak boleh tau.."
"Ya ampun, aku hanya ingin kabar keadaannya.."
"Ya, mbak Tari baik-baik saja mas, saya mohon jangan mengganggunya lagi, supaya mbak Tari lebih tenang. Kalau mengganggu aku, boleh saja," kata Tari seenaknya.
"Ya, baiklah, kamu lagi dimana?"
"Aku di Pasuruan."
"Pasuruan ? Ngapain?"
"Aku lagi nunguin mas Janto dirumah sakit.."
"Lho, mas Janto sakit apa..?"
"Thypus mas, sudah dua hari ini.."
"Oh, ikut prihatin ya Suci, semoga cepat sembuh. Sampaikan juga salam untuk mas Janto dari keluarga Nugroho."
"Ya, nanti aku sampaikan, sekarang baru bisa tidur."

Suci menutup ponsel dan ingin memejamkan matanya ketika didengarnya Janto memanggil.
"Suci.."
Suci bangkit dan mendekat.
"Ya mas..."
"Siapa yang telpom tadi.. ada namaku disebut.."
"Dari mas Nugroho..."
"Dia lagi?"
"Dia hanya ingin ngobrol sama Suci mas, dulu dia dekat sama Suci, tidak apa-apa.. saya tadi bilang kalau lagi nungguin mas Janto dirumah sakit."
"Dia menanyakan kakak kamu?"
"Nggak, menanyakan sekolah Suci," Suci berbohong.
"Tolong minum lagi..."
Suci kembali mengambilkan gelas dan sedotan, Janto meneguknya sampai setengah gelas.
"Haus ya mas ?"
"Ya.. mulutku kering."
"Tadi mas Nugroho nitip salam untuk mas, dan mendo'akan supaya mas segera sembuh."
Janto hanya mengangguk.
"Suci tiduran lagi ya mas, kalau butuh apa-apa panggil saja. Atau mau Suci kupasin jeruk? Atau apel? Ini dari teman-teman mas kemarin."
"Ya, besok saja, kamu tidurlah."
Suci kembali berbaring, terpikir olehnya mengapa Nugroho masih menanyakan kakaknya. Memang sekedar mengabarkan, tapi Suci merasa hal itu harus dihentikan. Ia sudah menyaksikan sendiri bagaimana keduanya bentrok didepan rumah beberapa hari yang lalu.
***

Pagi itu selesai mandi Suci terkejut ketika tiba-tiba Desy sudah ada disamping kakak iparnya, dan berbicara sambil tersenyum-senyum. Suci ingin mendampratnya, tapi dilihatnya Janto menanggapi percakapan itu.
"Aku berterimakasih karena kamu telah mengurus semuanya," kata Janto.
"Sekarang pak Janto ingin makan apa? Saya bawakan roti manis.. enak lho pak.."
"Iya.. sedikit saja."
Desy membuka plastik dan menyuapkan roti sepotong untuk pak Janto.
Sugi dengan wajah masam mendekat.
"Jangan sembarangan memberi makan mas Janto, nanti kalau makanan itu dilarang bagaimana?" kata Suci ketus.
"Oh, iya, ma'af."
"Cuma sedikit Suci.." kata Janto lemah sambil mengunyah rotinya.
"Sudah ya pak, saya taruh disini kalau bapak masih mau, nanti biar dik Suci mengambilkan."
"Kamu mau masuk ?"
"Iya pak, ini mau langsung ke kantor."
"Terima kasih Desy.."
"Dik Suci, saya pulang dulu, mau langsung ke kantor."
"Ya," kata Suci tanpa memandang kearahnya. Dia asyik menyisir rambutnya.
"Suci..." panggil Janto
"Ya mas.." Suci mendekat.
"Minum... tolong.."
"Baiklah.." Suci membantunya minum.
"Mau makan buah?"
"Roti yang dari Desy tadi masih ada?"
Suci langsung cemberut.
"Mas jangan makan sembarangan, nanti kalau dimarahi dokter gimana ?"
"Sedikit saja."
Walau kesal Suci mengambilkan roti itu.
"Huuh, apa enaknya sih, ditawari makan apapun nggak mau, mengapa roti yang dibawakan Desy dia mau? Apa sih enaknya roti, sama saja," batin Suci sambil menyuapi makan kakak iparnya.
Suci tidak tau, karena badannya merasa enak, lalu Janto merasa lapar. Jadi bukan karena rotinya enak dan bukan karena roti itu dari Desy.

"Sebentar mas, sepertinya ada telpon masuk," Suci bergegas ke-meja mengambil ponselnya yang berdering.
"Oh, ibu.. bagaimana? Ibu didepan, baiklah, Suci jemput kedepan bu."
Suci bergegas meninggalkan kamar setelah pamit kepada kakak iparnya.
"Ada ibu didepan mas, Suci jemput dulu."
Janto mengangguk.
Ibu mertuanya datang dan langsung memeluk menantunya.
"Nak Janto, bagaimana keadaanmu ?"
"Saya baik. Sudah doyan makan roti bu. Ibu sama siapa?"
"Sendiri nak, naik taksi, kemudian setelah sampai didepan saya panggil Suci saja, supaya ibu nggak perlu berputar-putar mencari ruangan ini."
"Kasihan ibu.."
"Tidak apa-apa nak, saya melarang Tari terlalu sering meningalkan anaknya. Kasihan, Haris masih terlalu kecil, dan rumah sakit bukan tempat yang sehat bukan?"
"Iya bu, saya juga berfikir demikian. Saya sudah berpesan sama Suci agar Tari tidak usah menunggui saya disini."
"Ini saya bawakan bubur, sama kuah sup ayam. Enak lho.. masih hangat."
"Iya bu, saya mau.. "
"Lha ini yang dari rumah sakit kok masih utuh?"
"Saya mau yang masakan ibu saja."
"Bagus nak. Suci.. tolong yang ibu bawa itu dibuka, ada piringnya juga, ambilkan untuk masmu nduk."
"Ya bu... wah, bener-bener ibu bisa menarik hati mas Janto, biasanya makan susah sekali," gumam Suci sambil mengambilkan beberapa sendok bubur dengan kuah yang aromanya wangi sedap.
"Namanya orang sakit juga kadang-kadang begitu, sini ibu suapin."
"Jangan bu, biar Suci saja,"
"Nggak apa-apa, ibu juga kepengin meladeni anaknya kok."
Pagi itu Janto doyan beberapa sendok. Belum banyak benar, tapi sudah lumayan.
"Bu, aku boleh nggak makan ini?" tanya Suci yang keburu 'ngiler' mencium aroma masakan ibunya.
"Boleh, kan banyak, buat sarapan kamu juga."
"Asyiiik.."
"Bagaimana keadaan nak Janto, sudah merasa lebih baik?"
"Lumayan bu, masih lemas, dan terkadang panas juga."
"Harus sabar ya nak, ini sudah lebih baik dari kemarin. Besok akan lebih baik lagi."
"Ya bu.."
"Sekarang nak Janto istirahat saja, saya sama Suci menunggu disitu ya."
***

Sudah dua minggu Janto berada dirumah sakit. Setiap hari Desy mengunjunginya, tak perduli walau kalau ada Suci maka wajah gadis itu tampak kurang senang. Sesungguhnya sudah lama Desy memendam perasaan yang ingin diungkapkannya pada Janto. Rasa itu menyesak dadanya, dan hanya kepada Janto Desy ingin mengungkapkannya. Tapi setiap hari dilihatnya Janto masih tampak sakit dan lemah. Namun hari itu dilihatnya Janto tampak lebih segar. Ia menyambutnya dengan wajah sumringah. Janto bahkan juga menanyakan pekerjaan di kantor.
Kebetulan juga tak ada yang menunggu disitu, bahkan si centil yang selalu tak acuh terhadapnya juga tak tampak.
"Semuanya baik-baik pak, bapak tak usah khawatir."
"Tapi mengapa wajahmu tampak kusut? Ada masalah dengan pekerjaan pastinya?"
"Tidak pak.."
"Benar?"
"Saya tidak berani mengatakannya, nanti saja kalau bapak sudah sehat benar dan kembali bekerja."
"Ini masalah pekerjaan?"
"Bukan, besok saja kalau bapak sudah sehat saya bilang,"
"Desy..."
Tapi kemudian mata Desy tampak berkaca-kaca, ia ingin menahannya, tapi alangkah susah. Tampaknya ia tak tahan lagi memendamnya, namun ditahannya karena dilihatnya Janto belum sehat benar.
"Kamu kenapa Desy ?"
Desy mengambil tissue dan mengusap matanya. Sa'at itulah tiba-tiba Suci muncul.

==========

Suci meletakkan tas yang dibawanya dengan kasar, kemudian keluar dari kamar. Desy terkejut, ia ingin menyapa tapi Suci sudah lenyap dibalik pintu.
"Desy, sebenarnya ada apa?"
"Tidak pak, nanti saja saya bilang kalau bapak sudah mulai kekantor."
"Tapi bukan masalah pekerjaan kan?"
"Bukan pak, ya sudah, saya mau pamit dulu karena sudah ada dik Suci yang datang untuk menunggu disini."
"Desy..."
"Permisi pak, cepat pulih ya pak.."
Janto ingin menahan, tapi Desy tetap melangkah menjauh.
Desy  melongok kekanan dan kekiri, barangkali ia bisa melihat Suci untuk berpamitan, tapi Suci tak tampak batang hidungnya.
Desy menghela nafas. Ia sudah tau kalau Suci tidak suka padanya, apalagi tadi Suci pasti melihatnya sedang menangis.
"Ah, sudahlah, yang penting aku tidak merasa berbuat salah."
Desy terus melangkah keluar, langsung ke parkiran. Wajahnya masih muram, karena ada sesuatu yang masih dipendamnya, dan itu sangat menyesak dadanya.
***

Suci berendap memasuki lagi ruang inap kakak iparnya, lalu ketika dilihatnya tak ada siapapun dia langsung masuk.
"Suci.." tiba-tiba Janto memanggilnya.
"Ya mas..."
"Kamu tadi sudah masuk, mengapa keluar lagi ?"
"Oh.. itu mas... lupa mau beli makanan..." jawab Suci seenaknya.
"Makanan apa?"
"Pengin camilan.. tapi ternyata tidak ketemu yang Suci cari."
"Memangnya kamu mau mencari makanan apa?"
"Belum tau juga, tadi melihat-lihat di kantin.. tapi tidak ada yang menarik."
"Itu dimeja banyak makanan. Kemarin orang-orang kantor membawa macam-macam."
"Mas mau? Barangkali buahnya segar, saya akan kupaskan. Kata dokter makan yang manis boleh, tapi yang asem nggak boleh." Suci justru menawarinya makan buah.
"Ya, terserah kamu saja."
"Apel ya?"
"Ya.."
Suci mengupas apel dan memotongnya kecil-kecil, Dalam menyuapkan sepotong demi sepotong apel itu, Suci merasa bahwa sangat penting bertanya tentang Desy kepada kakak iparnya.
Ia selalu mencurigai Desy yang dengan setia setiap hari datang, bahkan yang terakhir dilihatnya Desy menitikkan air mata.
Apa.sih yang sebenarnya ada dalam benak gadis itu? Mulutnya hampir terbuka untuk menanyakannya ketika tiba-tiba Janto minta agar Suci berhenti menyuapinya.
"Sudah ?"
"Cukup, nanti lagi."
Suci meletakkan cawan berisi beberapa potong apel yang tersisa.
"Aku kasihan sama dia.." gumam Janto.
"Apa mas ?"
"Kasihan Desy.."
Suci membatalkan niatnya berdiri.
"Ada apa sebenarnya? Sebel saja Suci melihatnya setiap hari datang membezoek mas, kadang membawa makanan, lalu tadi itu pakai nangis-nangis segala," kata Suci tanpa basa basi.
"Apa yang kamu pikirkan tentang dia?"
"Mas suka sama dia?"
"Kamu itu mikirnya selalu negatif. Apa karena dia datang setiap hari lalu kamu pikir dia suka sama masmu ini?"
"Lalu kenapa?"
"Dia itu sebatang kara, tidak punya siapa-siapa. Orang terdekat yang dia kenal adalah aku."
"Lalu...?"
"Dia seperti sedang memikirkan sesuatu, dan ingin berkeluh kepadaku, tapi mungkin tidak pernah bisa diucapkannya karena melihat aku sedang sakit."
"Bagaimana kalau yang ingin dikatakannya itu adalah 'cinta'?"
"Apa?"
"Mungkin juga dia suka sama mas."
Janto tertawa.
"Suci, kamu ini seperti anak kecil saja. Tapi kan kamu memang masih kecil ya." lalu Janto tertawa lagi.
"Aku sudah mau lulus SMA .. "
"Tapi kamu mikirnya seperti anak kecil."
Suci semberut, membuat Janto melebarkan senyumnya, sambil mengacak rambut adik iparnya.
"Suci sudah sering mendengar, sekretaris menggoda atasannya. Dan sekretaris itu kan pasti cantik, menawan. Jarang sekali bos yang tidak tergoda."
"Kalau aku termasuk atasan yang seperti apa?"
"Kayaknya siih... mudah tergoda, habisnya mas kan baik hati, murah senyum. Suci cuma bisa bilang, mas harus hati-hati sama dia. Bukankah dia cantik dan menawan?"
"Kamu bisa saja.."
Keduanya tertawa renyah, tapi Suci senang kakak iparnya sudah bisa bercanda dan tertawa-tawa.
"Berarti mas sudah sembuh, semoga bisa segera pulang ya mas."
"Iya, mas juga sudah kangen sama Haris. Sudah bisa apa dia sekarang?"
"Sudah lucu mas, kalau diajak ngompng dia tertawa-tawa dan bisa berteriak keras.. pokoknya nggemesin.
"Semakin ingin pulang."
"Sabar mas, nanti kalau dokter sudah menyatakan bahwa mas benar-benar sehat pasti bisa pulang."
Tapi ketika pulang pagi harinya setelah ibunya menggantikannya, Suci mengatakan kepada Tari tentang kecurigaannya.
"mBak harus hati-hati menjaga mas Janto."
"Memangnya kenapa?"
"Suci curiga sama mbak Desy, jangan-jangan dia mau merayu mas Jano."
Tari tertawa. Bukan hanya sekali Suci mengatakan itu.
***

Sudah tiga hari Janto boleh pulang. Suci dan ibunya juga sudah pulang ke Kartosuro, karena Suci harus kembali masuk sekolah.
"Besok aku harus mulai bekerja lagi," kata Janto sambil memangku Haris yang tertidur pulas.
"Apa mas sudah benar-benar sehat?"
"Sudah, lihat aku sudah segar, tapi aku brewokan kembali ya, lama ngga potong sambut juga."
"Biar saja begitu."
"Nanti aku nggak ganteng dong kalau wajahku nggak kelimis."
"Biarin saja, kalau ganteng malah banyak yang naksir lhoh."
"Memangnya kenapa kalau banyak yang naksir? Berarti kamu hebat dong, punya suami banyak yang naksir.."
"Iih, baru sembuh sebentar saja sudah genit nih."
Janto tertawa sambil mencium Haris berkali-kali, membuat si kecil terbangun dan merengek, lalu Janto bangkit dan mengayunkan tubuh anaknya perlahan.
"Tuh mas, brewoknya mas itu membuat Haris geli, tau..."
"Lah katamu brewoknya nggak boleh dipangkas.."
"Nggak boleh, tapi nyium anaknya juga harus pelan-pelan saja dong."
"Kalau nyium ibunya nggak harus pelan dong."
"Sssst.... ada anak kecil nggak boleh ngomong mesum."
"Masa sih, cuma begitu saja mesum?"

Tari mencibir, lalu melangkah kebelakang. Dia harus menyiapkan makan siang. Peringatan dokter untuk kesehatan suaminya sangat diperhatikan. Bukan masakan bersantan, bukan yang banyak lemak, bukan yang berasa asam.. Yang penting ada buah dan sayur. Makanan sehat untuk dirinya yang sedang menyusui juga.
***

Ini hari pertama Janto masuk ke kantornya, setelah hampir sebulan absen karena sakit. Desy tampak gembira menyambut kedatangan atasannya.
"Selamat datang kembali, bapak."
"Apa kabar Desy?"
"Baik pak..."
"Akan saya siapkan minum untuk bapak," kata Desy sambil keluar dari ruang kerjanya, menuju pantry.

Tiba-tiba Janto teringat bahwa Desy akan mengungkapkan sesuatu, yang akan dikatakannya setelah dia masuk ke kantor. Begitu Desy meletakkan segelas teh panas dimeja Janto, Janto menyuruhnya duduk.
"Desy,"
"Ya pak.."
"Dulu kamu pernah bilang akan mengatakan sesuatu."
"Ah.. iya.. nanti saja, sekarang kan bapak harus memeriksa surat-surat."
"Tidak bisa sekaramg?"
Sesungguhnya setelah kesempatan mengatakan itu ada, Desy menjadi ragu. Ia takut mengganggu, atau dianggap keterlaluan. Tapi kebimbangan Desy itu membuat Janto penasaran.
"Katakan saja sekarang, supaya tidak mengganjal."
Tiba-tiba wajah Desy muram, air mata kembali merebak.
"Katakan Desy."
"Saya sedang bingung, tak tau harus berkeluh kepada siapa."
Janto teringat ketika sedang menemani Tari, dan Tari berada dalam kesedihan karena kehilangan cintanya, lalu ia menyenandungkang sebuah lahu, I'm strong if I'm on your soulders..

"Berkeluhlah padaku, " katanya tanpa menyenandungkan lagu.
"Ini sangat berat, dan tak mungkin.."
"Apa maksudmu ? Ceritakan semuanya dengan jelas, aku akan membantu kamu kalau memang aku bisa melakukannya."

Tiba-tiba ponsel Janto  berdering. Dari isterinya.
"Hallo, Tari,"
"Mas, apa mas sedang sibuk ?"
"Tidak, ada apa?"
"Mas menelpon ke Yayasan Perawat Anak ?"
"Oh, iya, kemarin, tapi belum ada jawaban, katanya masih menunggu yang mau ikut kita."
"Kenapa mas nggak bilang sama aku?"
"Kalau aku bilang pasti kamu menolak. Biarlah saja, kasihan kalau kamu melakukan semuanya sendiri. Bukankah Harus sudah bertambah besar?"
"Iya sih.."
"Lalu dari Yayasan tadi bilang apa? Sudah ada?"
"Sudah ada, tapi tidak hari ini. Mungkin besok."
"Syukurlah, semoga kamu cocog."
"Jadi aku harus bilang apa kalau dia menelpon lagi?"
"Bilang saja oke, kita mau mencobanya."
"Ya udah mas, nanti dia mau menelpon lagi."
"Kalau nggak ya kamu saja yang menelpon. Nomornya ada dimeja tulisku."
"Baiklah. Semoga cocog."
Ketika Janto selesai menerima telpon isterinya, dilihatnya Desy sudah kembali ke mejanya dan asyik menekuni pekerjaannya. Janto urung menanyakan permasalahan yang dihadapi sekretarisnya.
***

Tapi ketika sa'at istirahat tiba, dan Janto ingin memanggil Desy lagi, dilihatnya Desy sedang menerima telpon entah dari siapa. Wajah Desy kelihatan tegang, ia menjawab pelan sehingga Janto tak bisa mendengar apa yang dibicarakan.

Sebenarnya Janto ingin  pulang saja karena merasa bahwa itu bukan urusannya, lagipula isterinya pasti sudah menunggunya untuk makan dirumah, tapi ketika Janto sudah berdiri dan bersiap pergi, dilihatnya Desy menutup ponselnya sambil menangis. Dia tampak panik, memandangi Janto seperti ingin mengatakan sesuatu.
Janto tak jadi keluar ruangan, lalu duduk disofa yang ada diruang itu.

"Desy, ada apa?"
Tiba-tiba Desy mendekat dan bersimpuh dibawah kaki Janto sambil menangis, membuat Janto kebingungan.
"Desy, ada apa ini, berdirilah.. jangan begini.. duduk dan ceritakan apa yang terjadi," kata Janto sambil menarik tangan Desy, dan menyuruhnya berdiri.
Desy masih sesenggukan, duduk dihadapan Janto sambil menutup wajahnya.
Janto menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, tangannya bersedakap.
"Baiklah, menangislah sepuas hati kamu, setelah itu kamu ceritakanlah semuanya."
Desy mencoba menenangkan perasaannya dan menghentikan tangisnya. Janto mengulurkan tissue.
"Ma'af pak.. ini yang sebenarnya sudah lama ingin saya katakan pada bapak."
"So'al apa itu?"
"Ketika nenek meninggal, ada pakde yang kemudian menggantikan kedudukan simbah atas diri saya. Artinya, kemudian dia merasa harus mengatur hidup saya. Pakde adalah kakaknya bapak saya, anak simbah yang lebih tua."
"Baguslah, jadi kamu kan tidak berarti tak punya siapa-siapa."
"Tapi pakde itu seorang yang ambisius, gila harta. Sebenarnya itu bukan apa-apa bagi saya, asalkan tidak mengganggu hidup saya. Tapi ketika saya pulang setelah seminggu simbah meningal, pakde memaksa saya menikah dengan seorang yang kaya raya. Dia tuan tanah di kampung saya."
"Kamu tidak suka?"
"Mana bisa saya suka pak, saya akan dijadikan isteri ke tiga."
"Wauuww... enak dong, banyak temannya," kata Janto mengoda, maksudnya agar kerisauan hati Desy agak mencair. Tapi Desy justru kembali menitikkan air mata.
"Bapak jangan begitu," isak Desy.
"Nggak, aku hanya bercanda, supaya kamu bisa tertawa."
"Saya tak boleh menolak, karena pakde sudah menyanggupi permintaan tuan tanah itu."
"Mana bisa begitu, kamu berhak menolak dong."
"Saya sudah menolak, tapi pakde memaksa, kalau saya menolak, ada syaratnya yaitu saya sudah punya calon suami. Begitu perjanjiannya dengan orang itu."
"Kamu sangat takut pada pakdemu itu?"
"Takut sekali pak."
"Lalu apa yang bisa aku bantu untuk kamu?"
"Sore ini pakde datang ke tempat kost saya, dia ingin melihat siapa calon saya. Kalau benar, maka pakde tak akan memaksa."
"Lalu ?"
"Maukah bapak menolong saya? Datang ke tempat kost saya dan mengatakan bahwa... bahwa.. bapak adalah.. calon suami saya?"
Janto terkejut bukan alang kepalang. Mana mungkin dia bisa melakukannya?
"Tolonglah pak, sekali ini saja, agar kemarahan pakde mereda. Setelah pernikahan dengan bandot itu batal, saya akan memikirkan hidup saya sendiri dan tak akan perduli pada keluarga saya."
"Mengapa tidak sekarang saja kamu kabur dari keluarga kamu?"
"Saya masih memikirkan pakde, yang barangkali ada perjanjian dengan orang itu. Lagipula pakde itu sangat kejam. Yang penting perjanjian dengan orang itu harus terputus, kalau tidak maka dia akan terus mengejar saya."
"Bagaimana bisa ada orang seperti itu?"
Desy menghela nafas.
"Saya terlanjur menyanggupi, hanya untuk memutuskan perjodohan itu. nanti ketika pakde datang, saya akan menunjukkan bahwa saya sudah punya calon."
"Kamu yakin setelah kamu membawa 'calon' kamu lalu pakdemu akan berhenti?"
"Saya yakin, karena orang itu tidak mau mengambil saya isteri kalau saya sudah punya calon suami."
"Bagaimana kalau pakde kamu kemudian memaksa saya benar-benar menikahi kamu?"
"Nanti akan saya fikirkan pak, yang penting nanti sore pakde sudah melihat seseorang yang akan saya akui sebagai calon suami."

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER