Cerita bersambung
"Mas, kok terlambat pulang makannya? Banyak yang harus diselesaikan ya?" tanya Tari ketika Janto pulang untuk makan.
"Ya.." jawab Janto singkat, sambil terus kebelakang untuk mencuci kaki tangan sebersih mungkin, karema ia ingin memeluk anaknya.
Tari yang menunggu dimeja makan tersenyum melihat Janto sudah masuk keruang makan sambil menggendong Haris.
"Mas bangunin ya ?"
"Tidak, begitu aku masuk dia sudah bangun, mengoceh ah eh ah eh... lalu aku gendong deh."
"Ya sudah, sini sama ibu, bapak biar makan dulu.."
"Masak apa isteriku hari ini ?"
"Semur daging, sama perkedel... " jawab Tari sambil mengambil anaknya dari gendongan suaminya.
Janto menyendok nasi dan semurnya.. tapi pikirannya kembali kearah kantor. Ia tak bisa melupakan tangis Desy yang begitu memilukan. Tak adakah jalan lain? Tadi dia juga belum menyanggupi, ia harus berfikir masak-masak sebelum menerima, cukupkah hanya mengatakan bahwa Desy ada calonnya lalu mereka akan berhenti? Bagaimana kalau nanti dia dipaksa segera menikahi beneran? Aduhai.. bisa kacau nih. Janto juga ingin mengatakan permasalahan itu kepada isterinya, ia tak bisa memutuskannya sendiri, ini bukan masalah sepele.
"Mas, sudah di sendok kok belum segera masuk ke mulut? Nggak enak ya masakanku? Atau tadi sudah ada yang nyiapin rawon di kantor?"
"Waduh, kok masih diulang-ulang lagi... "
"Habisnya.. mas makan kayak nggak niat begitu, atau sambil ngelamun ? Ngelamunin apa? Pekerjaan yang belum usai.. atau apa...?"
"Nanti aku mau cerita, oke.. semurnya enak,, aku habisin dulu ya.."
Tari memperhatikan suaminya makan, tampak lahap, tapi seperti dibuat-buat, barangkali hanya untuk menyenangkan hati isterinya yang telah bersusah payah memasak untuknya.
Begitu selesai makan, Janto mengajak isterinya bicara diruang tengah.
"Tampaknya ada masalah serius nih, apa sih mas?" tanya Tari yang duduk didepannya sambil memangku Haris.
Lalu dengan perlahan dan hati-hati, Janto menceriterakan perihal masalah Desy. Tari terkejut mendengar bahwa Janto akan berpura-pura menjadi calon suami Desy, untuk mencegah pakdenya menjodohkannya dengan seorang bandot.
"Apa mas? Mas sanggup melakukannya? Ini bukan sebuah permainan mas, ini masalah serius," kata Tari berapi-api.
"Iya aku tau. Itu sebabnya aku bingung."
"Sebenarnya itu bukan masalah kita kan mas?"
"Benar, tapi Desy itu sebenarnya sangat baik, bahkan aku berhutang nyawa sama dia. Bukankah dia yang melarikan aku kerumah sakit ketika aku setengah pingsan di kantor?
"Karena itu mas akan mengorbankan harga diri mas untuk berpura-pura menjadi calon suaminya?" Tari memandang suaminya dengan gemas.
"Tari, seandainya kamu jadi aku, apa kamu juga akan membiarkan seseorang yang butuh pertolongan sementara kamu sebenarnya bisa menolongnya?"
"Mas, ini bukan masalah mau atau tidak untuk menolong. Ini masalah teka teki akan apa yang selanjutnya terjadi. Ya kalau setelah itu kemudian masalahnya akan selesai. Bagaimana kalau keluarganya menuntut agar mas segera menikahinya? Atau justru sore nanti yang namanya pakde itu sudah membawa penghulu sekalian kemudian mas harus menikahinya sa'at itu juga?"
Janto terdiam.
"Apa mas sudah mempersiapkan jawaban untuk menolak seandainya itu terjadi? Atau jangan-jangan mas memang suka melakukannya, suka menjadi suaminya beneran.."
"Tari, mengapa kamu berkata begitu? Ini murni untuk menolong dia."
"Ada-ada saja permasalahan yang harus mas hadapi. Oh ya, tidak adakah orang-orang dikantor mas yang masih bujangan dan bisa dimintai tolong ? Kalau bujangan sih, dipaksa menikahpun tak masalah, kan tidak ada yang akan menghalanginya. Lhah kalau mas, aku jelas nggak mau dong kalau mas benar-benar menikahi gadis lain."
Janto memeluk isterinya, membuat Haris yang ada dipangkuannya meronta.
"Iih, mas.. anakmu ini ada disini... main peluk saja. Risih dia... ya kan nak?"
"Habisnya.. kamu menuduh yang tidak-tidak. Suamimu ini hanya ingin menolong seseorang, dan seseorang itu adalah pembantuku dikantor."
"Ya sudah, pikirkan saja baik-baik, apa yang akan mas lakukan."
"Itu sebabnya aku bingung Tari, waktunya tinggal sore nanti."
"Mengapa Desy baru mengatakannya sekarang?"
"Sudah lama, sejak neneknya meninggal, tapi kan aku sakit, jadi dia tak sampai hati mengatakannya."
"Ya sudah mas, kalau memang mas ingin menolongnya, lakukan saja, tapi mas harus hati-hati dan fikirkan segala kmungkinan yang akan terjadi. Yang penting, kalau dipaksa nikah jangan mau," kata Tari sambil cemberut.
***
Tari masih termangu diruang tengah, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Tari terkejut, nomornya tak dikenal, tapi dia membuka ponsel itu.
"Hallo selamat siang,"
"Tari.. susah sekali menghubungi kamu. Nomor kamu pakai ganti segala."
"Ya ampun, bapak, ma'af bapak, Tari tidak mengenali nomor bapak. Iya bapak, ma'afkan Tari, ponsel Tari hilang dan segan mengambil lagi nomor lama, lalu memilih berganti nomor. Dari mana bapak tau nomor ini?"
"Aku menghubungi adikmu, Suci, aku terkejut mendengar Janto sakit dirumah sakit. Mengapa kamu tidak memberi tau bapak?"
"Ma'af bapak, sekali lagi mohon ma'af, bukannya Tari tak ingin mengabari bapak, tapi Tari hanya tak ingin membuat bapak khawatir. Baru hari ini mas Janto mulai bekerja. Maksud Tari kalau semuanya sudah baik, Tari baru akan mengabari bapak sama ibu."
"Bagaimanapun orang tua kan ingin tau keadaan anaknya."
"Iya bapak, sekali lagi Tari mohon ma'af."
"Kalau Janto kurang perhatian sama orang tuanya, kamu lah yang harus lebih perhatian."
"Iya bapak, Tari akan lebih memperhatikan."
"Bagaimana kabar cucuku ?"
"Baik dan sehat bapak. Nanti Tari kirimkan video nya kesini. Bagaimana kabarnya ibu sama bapak?"
"Bapak baik-baik saja, ibumu yang sekarang sering sakit. Gula tinggi, kolesterol tinggi..Tapi kami rajin kontrol ke dokter."
"Nanti kalau Haris sudah agak besar, kami akan ke Jakarta, kangen sama keluarga disini."
"Baiklah, tadi bapak menelpon hanya ingin menanyakan nomor kontak kamu, malah mendengar bahwa Janto habis sakit."
"Sekarang sudah sehat bapak, atas restu dari bapak dan ibu juga. Salam hormat saya untuk bapak dan ibu."
"Ya, ya.. hati-hati menjaga cucuku ya nak."
"Iya bapak.."
Tari menghela nafas. Sesungguhnya dia dan Janto tak mengabari keluarga Jakarta hanya karena tak ingin menyusahkan. Tapi namanya orang tua, maunya semua-semua harus tau.
Tari sedang menidurkan Haris yang tadi dipangkunya, ketika mendengar suara dering bel tamu. Ia menutup pintu kamar pelan dan bergegas keluar. Seorang wanita berdiri didepan pintu dan mengangguk hormat. Usianya mungkin diatas Tari, berpakaian putih dan wajahnya menunjukkan sifat ramah.
"Selamat siang," sapanya.
"Selamat siang, mbak mau ketemu siapa ya, ma'af."
"Apakah ini rumah bapak Harjanto?"
"Benar, mbak siapa?"
"Saya Mamiek, perawat yang dikirim oleh ibu Zaenal kemari karena pesanan dari bapak Janto."
"Oh, ya ampun.. ayo silahkan duduk," kata Tari mempersilahkan Mamiek duduk di teras. Senang melihat penampilannya, tampak bersih dan rapi.
Beberapa hal yang perlu ditanyakan sudah ditanyakannya. Tentang KTP, tentang pekerjaan sebelumnya, dan keluarganya.
"Saya merawat bayi sudah hampir sepuluh tahun. Dulu pernah sekolah di pendidikan perawat tapi tidak selesai karena keburu harus mendapat pekerjaan mengingat orang tua yang tidak mampu."
"Sebelum ini bekerja dimana ?"
"Dirumah seorang dokter, dari anaknya masih bayi sampai sekarang sudah bersekolah. Saya berhenti karena dokter itu tidak lagi membutuhkan saya setelah anaknya besar."
"Anak saya baru berumur tiga bulan. Kalau suami bekerja, saya sendirian dirumah. Saya hanya membutuhkan yang bisa membantu merawat anak saya, tapi tidak sepenuhnya. Dia masih meminum ASI penuh, dan tanpa susu formula."
"Itu bagus sekali ibu."
Tari mengajak Mamiek masuk kekamar Haris, dan mengatakan apa yang harus dikerjakannya. So'al gaji sudah dibicarakan dan sudah saling setuju. Tari juga menunjukkan kamar dibelakang untuk Mamiek , dan tampaknya Mamiek juga suka.
"Kalau mbak Mamiek suka, boleh segera mulai kapan saja."
"Bolehkah saya mulai hari ini?"
"Oh bagus, saya senang."
"Saya akan ke Panti dulu untuk mengambil baju-baju saya, dan segera saya akan kembali kemari."
***
"mBak Tari kemana saja, ditelpon dari tadi nggak diangkat," gerutu Suci ketika menelpon kakaknya.
"Oh, baru ada tamu, berbicara macam-macam, ponselku didalam kamar."
"Tamu siapa sih ?"
"Perawat yang akan membantu dirumah."
"Oh, perawat untuk Haris ya, syukurlah, harusnya sejak kemarin-kemarin mbak cari perawat."
"Itu juga yang pesen mas Janto, nggak bilang dulu sama aku."
"Iya aku tau, kalau bilang pasti mbak akan menolak bukan?"
"Iya sih. Ada apa siang-siang menelpon ?"
"Ini, aku mau bilang, mertua mbak marah-marah."
"Iya, tadi juga mbak sudah kena marah."
"Dia menelpon mbak nggak pernah berhasil, lalu menelpon Suci, aku kasih tau kalau nomor kontaknya ganti. Terus aku juga bilang kalau mas Janto habis sakit."
"Iya, nggak apa-apa, mbak memang nggak kasih tau, supaya mereka tidak kepikiran, apalagi ibunya mas Janto kan juga sakit-sakitan."
"Ya sudah kalau sudah menelpon kemari. Gimana mas Janto? Sudah mulai masuk kerja?"
"Hari ini baru masuk, tampaknya sudah sehat."
"Hati-hati, jangan lupa pesan Suci lho mbak."
"Pesan apaan sih?"
"Itu, tentang sekretarisnya mas Janto yang cantik."
Tari hampir mengatakan apa yang baru saja dibicarakan dengan suaminya tentang Desy, tapi diurungkannya,mengingat Suci yang terkadang suka keceplosan bicara, nanti malah bapak ibunya mendengar lalu khawatir pula.
"Bener lho mbak."
"Iya, aku tau, jangan khawatir. Ya sudah, mbak mau menata kamar yang mau mbak suruh pakai untuk perawat itu, sebentar lagi dia balik, ini lagi mengambil baju-bajunya."
"Iya baiklah."
"Bapak sama ibu baik-baik saja kan?"
"Baik, ibu nih lagi sibuk, banyak orang bikin baju baru, so'alnya lagi musim orang punya kerja."
"Nah, tapi kamu harus mengingatkan supaya ibu jangan terlalu capek."
"Iya, Suci juga membantu kok."
"Syukurlah, anak baik."
***
Tari sudah selesai menata kamar yang mau dipakai Mamiek, ketika dia datang dengan membawa sebuah tas yang agak besar.
"Ini kamarmu mbak."
"Ibu, mengapa ibu yang menyiapkannya untuk saya, kan saya bisa menatanya sendiri?"
"Nggak apa-apa, kan baru pertama kali. Di almari itu ada ganti seprei dan sarung bantal kalau mbak ingin menggantikannya nanti."
"Ya ibu."
"Dan almari itu juga untuk tempat pakaian mbak."
"Baik ibu, nanti saya akan menatanya."
Tari kemudian mengajaknya kekamar Haris dan menunjukkan semua keperluan Haris dan perlengkapannya.
"Tapi kalau sa'atnya dia lapar, aku yang akan memberinya ASI, kecuali kalau aku pergi, ada persediaan ASI di freezer. Aku ingin mbak selalu menjaga kebersihan."
"Pasti ibu, saya selalu memperhatikan itu."
***
Mamiek sedang membawa baju-baju kecil punya Haris yang ada dikeranjang kotoran, bermaksud ingin mencucinya, ketika Tari tiba-tiba memanggilnya.
"mBak, itu mencucinya nanti saja, sekalian sama kotoran Haris setelah mandi."
"Oh, iya bu."
"Di freezer ada persediaan ASI apabila nanti Haris menangis, aku mau pergi sebentar."
"Oh, baiklah bu, kalau begitu saya disini saja supaya mendengar kalau Haris bangun."
"Ya, sambil menonton teve juga nggak apa-apa mbak, saya hanya mau belanja."
"Baiklah bu."
Tari keluar dari rumah dan meminta agar Mamiek menguncinya dari dalam, lalu ia memanggil taksi.
***
Janto masik berkutat dengan laptopnya, ketika dilihatnya Desy menerima tilpon. Janto berdebar, pasti pakdenya Desy sudah datang. Ia harus segera memutuskan, mau menolongnya atau tidak.
Janto menutup laptopnya.
Dilihatnya Desy sudah selesai menelpon, lalu menatapnya. Tampaknya ia ingin memastikan apakah sang bos jadi mau menolongnya atau tidak, so'alnya tadi Janto belum mengatakan apa-apa, karena buru-buru pulang untuk makan dirumah.
Janto menyandarkan tubuhnya. Dilihatnya Desy melangkah kearahnya, lalu duduk didepannya.
Janto belum menanyakan apa-apa, dilihatnya mata Desy berkaca-kaca.
"Bapak, " katanya pelan.
Janto menegakkan tubuhnya.
"Apa yang harus saya lakukan? Pakde sudah berada dirumah kost saya."
"Oh ya?"
"Pakde datang bersama dia."
"Dia itu siapa?"
"Dia.. yang.. tuan tanah itu.. "
"Oh, dia juga ikut datang?"
"Tampaknya dia ingin memastikan, benar tidaknya saya sudah punya calon."
"O, rupanya dia tidak percaya seandainya pakde kamu sendiri yang mengatakannya."
"Tampaknya begitu."
"Lalu..?"
"Pak..." air mata yang semua mengambang itu jatuh bergulir dipipinya yang pucat. Ia gelisah seharian dan tubuhnya terasa lemas.
"Jadi kamu harus benar-benar membawa seorang laki-laki kehadapan mereka yang akan kamu akui sebagai calon suami kamu?"
"Hanya itu satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari mereka."
"Seandainya di kantor ini ada seorang bujangan yang mau menolongmu.. tapi tak satupun ada. Mereka sudah tampak tua, dan hanya aku yang seperti muda," kata Janto sambil mengelus brewoknya.
Teringat kata-kata isterinya, bahwa brewoknya tak usah dicukur, supaya jangan kelihatan ganteng.
Janto ingin tersenyum, tapi diurungkannya melihat wajah pucat didepannya.
"Saya mohon ma'af pak.. sekali ini saja. Saya bersedia melakukan apa saja asalkan bapak bisa menolong saya."
"Tidak, kalau aku mau menolong maka aku tak sedikitpun membutuhkan imbalan. Aku hanya ingin menyelamatkan kamu."
"Terimakasih banyak pak," kata Desy sambil mengusap air matanya.
"Tapi ada syaratnya."
"Apa pak?"
"Setelah ini kamu harus melepaskan diri dari keluarga kamu. Untuk apa kamu punya keluarga kalau tidak bisa menjadi pelindung kamu yang sudah tak punya orang tua dan saudara, dan malam membuat kamu sengsara?."
"Desy mengangguk."
"Kamu keberatan kehilangan harta peninggalan nenek kamu seandainya kamu dicoret dari daftar keluarga?"
"Tidak pak, saya akan berusaha untuk hidup tanpa bergantung kepada warisan simbah ataupun orang tua."
"Satu lagi."
Desy menatap Janto.
"Jangan sampai kemudian setelah aku datang, lalu mereka memaksa untuk segera menikahi kamu.Fikirkan alasan yang tepat untuk menolaknya. Aku hanya ber-pura-pura. Mengerti?"
"Saya mengerti pak."
"Baiklah, sudah sa'atnya pulang, kamu boleh bersiap-siap."
Desy tiba-tiba bangkit, lalu mendekati Janto dan bersimpuh dihadapan Janto sambil kembali menitikkan air mata.
"Sudah, nggak usah begitu, sekarang bersiap-siaplah."
Desy berdiri dan melangkah kemejanya untuk berkemas.
Ketika keduanya sudah hampir membuka pintu, tiba-tiba seseorang telah membukanya terlebih dulu.
Janto terkejut. Tari sudah berdiri didepannya.
==========
"Tari... apa yang kamu lakukan disini ?"
"Mas jadi mau berangkat ?" tanya Tari tanpa menjawab pertanyaan suaminya.
Desy terpaku ditempatnya, wajahnya semakin pucat, hatinya berdebar mengira Tari akan marah padanya dan menghalanginya untuk bergi bersama suaminya.
"Ibu..." sapanya gemetar.
"Tari, mengapa wajahmu pucat? Kamu ketakutan? "
"Saya mohon ma'af.. saya..." kata Desy terbata-bata.
"Tari, apa maksudmu? Mengapa kamu datang sendiri? Mana Haris ?"
"Apakah mas kira aku ini seorang ibu yang begitu saja bisa meninggalkan anaknya? Aku datang untuk membantu kamu. Kamu tidak bisa pergi sendiri mas, ada hal yang bisa terjadi diluar perkiraan kita, dan itu menyangkut rumah tangga kita. Aku tak bisa membiarkannya."
"Maksud kamu, kamu mau ikut bersama kami?"
"Tentu saja, kalau tidak mengapa aku susah-susah datang kemari?"
"Tapi dimana anakku?"
"Dia ditempat yang aman, ayo pergi, jangan kelamaan, aku harus segera pulang."
"Ibu... saya.."
"Aku akan bicara sambil berjalan. Tenang saja, aku juga akan membantu kamu," kata Tari sambil menarik tangan Desy dan Janto, yang masih penuh tanda tanya dengan kedatangan Tari, terutama Janto yang menghawatirkan anaknya.
"Perawat yang kamu pesan itu sudah datang, tampaknya aku suka. Aku titipkan Haris sebentar bersamanya," kata Tari sambil berjalan,
"Oh, isteriku memang luar biasa.Terimakasih karena selalu menguatkan aku," kata Janto sambil memeluk pinggang Tari. Beberapa karyawan tersenyum melihat t bos brewok mereka merangkul isterinya dengan mesra.
Desy hanya diam, masih berdebar membayangkan apa yang akan terjadi nanti.Tapi dia bersyukur bu Janto tidak marah.
Ketika dia akan mengambil motornya, Tari memegang lengannya.
"Bagaimana mungkin kamu datang bersama 'calon suami' tapi naik kendaraan sendiri-sendiri?
"Tt..tapi..."
"Tinggalkan motor kamu disini, dan naik mobil bersama kami."
***
Ketika mobil Janto berhenti didepan pagar halaman kost itu, dilihatnya tiga orang laki-laki berdiri didepan kamar kost Desy.
Yang satu seorang laki-laki bertubuh agak tinggi, memakai peci, berumur enampuluhan tahun, satunya lagi laki-lagi bertubuh sedang, berkumis tipis berwajah gelap, tak tampak ramah, satunya lagi laki-laki bertubuh tambun,tampak tidak lagi muda, juga berkumis bermata sipit.
Ketika Janto dan isterinya serta Desy turun, laki-laki tambun itu menatap Desy lekat-lekat dengan pandangan penuh gairah, seakan ingin menelannya bulat-bulat.
Desy mendekat, menyalami laki-laki tinggi itu dan mencium tangannya.
"Ini pakde, katanya sambil menoleh kearah Janto."
Janto juga menyalami, bahkan menyalami ketiga-tiganya, sementara Tari hanya merangkapkan kedua tangannya.
Desy mengajaknya duduk diruang tamu tempat kost itu.
"Pakde," kata Desy membuka percakapan setelah mereka semua duduk.
"Apakah dia laki-laki brewok itu calon suami kamu?"
Desy mengangguk pelan. Wajahnya selalu menunduk, karena laki-laki tambun itu tak pernah mengalihkan pandangan kearahnya.
Janto dan Tari yakin bahwa dialah laki-laki bandut yang ingin beristeri ketiga kalinya.
"Apa benar itu nak,.. mm.. saya belum tau namanya," kata pakdenya Desy.
"Saya Harjanto."
"O, nak Harjanto... benar anda suka sama keponakan saya yang cantik ini dan ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Ya," jawab Janto singkat.
Lalu pakdenya Desy menatap laki-laki tambun itu, yang masih memandangi Desy yang duduk menunduk.
"Pak Kasno, jadi saya mohon ma'af karena ternyata Desy sudah punya calon suami."
"Benarkah anda calon suami Desy?" tanya si tambun yang dipanggil Kasno sambil menatap Janto.
"Benar."
"Lalu yang cantik disamping anda ini siapa?"
"Saya adiknya," jawab Tari sebelum Janto mengatakannya.
"Hm, cantik... sudah punya pacar ?" pertanyaan yang tidak sopan ini membuat wajah Tari menjadi gelap.
"Benar-benar laki-laki urangajar !! " batin Tari sambil memandang kearah lain.
"Saya terima alasan Desy menolak saya, tapi bolehkan saya berkenalan lebih dekat dengan dia?" katanya sambil menunjuk kearah Tari.
Harjanto menatap si tambun dengan wajah garang. Ingin rasanya dia menampar mulut lancang yang tidak tau sopan santun ini.
"Desy, karena aku dan mas Janto sudah datang kemari dan menunjukkan kepada pakde kamu tentang hubungan kamu dan mas Janto, maka ijinkan kami pulang, karena aku meninggalkan bayiku."
"Haa.. rupanya sudah punya bayi? Pantas tubuhnya padat berisi."
Janto sudah mengepalkan tangan ingin menghajar mulut si bandot, tapi Tari menahannya.
"Bolehkah kami pulang?"
"Sebenetar nak, kalau memang benar nak Janto ingin mengambil keponakan saya sebagai isteri, saya akan menunggu nak Janto dirumah untuk membicarakannya, karena banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi menantu keluarga kami."
Janto menatap pakdenya Tari dengan masgul. Ini pasti hubungannya dengan uang. Tari sudah mengatakan kalau pakdenya mata duitan.
"Kami akan memikirkannya nanti bersama keluarga, karena soal mengambil isteri tidak bisa dibicarakan diantara kita saja." kata Tari menimpali.
"Baiklah, kapan kira-kira nak Janto bisa datang?"
"Saya belum bisa memastikannya."
"Pakde, saya sudah bicara dengan mas Janto, yang jelas saya sudah punya calon dan pakde tidak usah mencarikan saya calon suami.
"Bagaimana dengan uang yang sudah saya serahkan kepada pakde kamu ini?" kata si tambun lagi.
Tuh kan, pakdenya sudah mendapat bayaran.
"Pakde, pakde jual saja rumah bagian saya dari peninggalan simbah, untuk membayar uang yang sudah diserahkan sama pakde," kata Desy kesal.
"Desy, katanya kita mau bicara lagi, sebaiknya kamu ikut aku sekarang," kata Tari sambil mengedipkan sebelah matanya.
Desy segera mengerti, bahwa pembicaraan tidak usah terlalu lama.
"Pakde, saya minta ma'af, karena kami ditunggu oleh keluarganya mas Janto."
"Kalau begitu aku ikut saja bersama kamu Desy, supaya semuanya segera selesai."
"Jangan pakde, tidak usah, nggak enak kalau pakde ikut serta. Biar saya saja."
"Kalau begitu buatlah surat pernyataan dulu."
"Pernyataan apa pakde?"
"Bahwa kamu menyerahkan rumah peninggalan nenek kamu."
"Baiklah, saya akan buat sekarang."
Janto serta merta mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kerjanya, diberikannya kepada Desy.
"Buatlah segera, ini ballpoint nya.." kata Janto.
Desy membuat secara singkat bahwa rumah peninggalan neneknya akan diserahkan kepada pakdenya. Dia menandatangani surat itu. Janto juga memiliki materai yang dibubuhkan di surat itu.
"Ini pakde, saya kira semuanya sudah selesai."
Pakdenya Desy menerima surat itu, dan membacanya dengan rasa puas. Baginya yang penting adalah uang, dan bagi Desy, yang penting adalah terlepas dari belenggu pakdenya yang mata duitan.
"Ketika mereka berpisah, pakdenya masih berpesan.
"Nanti kalau sudah siap, saya tunggu nak Janto dirumah saya."
Janto tak menjawab. Ia menarik isterinya dan Desy agar segera pergi menjauhi orang-orang yang tak tau tatakrama itu.
***
Tari meminta Desy kerumahnya lebih dulu, untuk menghindari pakdenya dan juga kawan-kawannya berbicara lebih banyak.
Janto langsung kebelakang, mandi dan berganti pakaian bersih. Ia ingin segera menggendong Haris yang waktu itu sudah dimandikan Mamiek dan tengkurap di boxnya.
Janto berbincang sejenak dengan Mamiek, kemudian menggendong Haris kedepan.
Tari masih berbicara dengan Desy.
"Kamu tidak menyesal memberikan warisan simbah kamu kepada pakde kamu itu?"
"Tidak bu, saya lebih baik terlepas dari pakde. Dulu ketika simbah masih hidup, pakde juga selalu merongrong simbah untuk meminta uang tak henti-hentinya. Perhiasan simbah sudah habis, tinggal kalung dan cincin yang saya pakai ini."
"Kamu benar, lebih baik tidak usah berhubungan lagi dengan pakdemu, biarpun masih saudara tapi kamu akan terus menerus disengsarakannya."
"Iya bu."
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
"Saya akan mengganti nomor kontak saya dan berpindah tempat kost."
"Bagus, lebih baik kamu menghindari pakdemu, dan menjalani hidup kamu sendiri."
"Ya bu, sekarang saya sebatang kara, benar-benar tidak punya siapa-siapa."
"Anggap saja aku sebagai keluarga kamu. Semoga kamu segera mendapatkan jodoh yang baik dan bisa melindungi kamu."
"Aamin, terimakasih ibu."
"Malam ini tidurlah saja disini. Dibelakang ada kamarnya Mamiek, barangkali bisa untuk kamu berdua, aku akan bilang sama dia, dia perawat Haris, baru sehari disini."
***
Malam itu Desy tidur dirumah Janto, sekamar dengan Mamiek yang memang kamarnya agak luas, Seranjang berdua tidak masalah karena Mamiek memang seorang yang ramah.
"Ma'af ya, saya mengganggu."
"Tidak apa-apa mbak, saya senang malah, ada temannya.. lagi pula ranjangnya juga cukup besar.."
"Disini baru sehari ini ya mbak?"
"Iya, tapi tampaknya saya betah, bu Janto sangat baik."
"Benar mbak."
"Ya sudah tidur saja, ini nsudah malam."
***
Tapi pagi setelah shalat subuh Desy pamitan.
Dilihatnya Mamiek sudah berada didapur, membantu Tari menjerang air dan membuat minuman. Tari melarang tapi Mamiek nekat. Ia belum bisa memandikan Haris karena Haris belum bangun.
"mBak, saya pamit dulu ya," Desy berpamit ke dapur.
"Tidak minum dulu, ini mau saya buatkan lho mbak," kata Mamiek.
"Terimakasih mbak, nanti ditempat kost saja, saya harus bersiap-siap masuk kerja."
Desy melangkah kedepan, diikuti Tari.
"Tidak sekalian kekantor saja bareng pak Janto?" tanya Tari.
"Tidak bu, saya kan tidak membawa ganti. Nanti setelah mandi dan ganti baju saya berangkat kekantor sendiri saja."
"Baiklah, tapi kamu harus segera mencari tempat kost yang baru, dan jangan lupa nomor kontak kamu sebaiknya diganti segera."
"Iya bu, hari ini juga saya ganti, dan juga segera mencari tempat kost yang baru."
Desy pulang menembus pagi yang masih remang, diiringi rasa iba dihati Tari.
"Dulu aku pernah mencurigainya, dan sikapku itu hampir membuat rusak rumah tanga yang aku bangun penuh mimpi, ternyata dia adalah gadis yang pantas dikasihani."gumam Tari penuh iba.
Tari masuk kekamar, membangunkan suaminya untuk sholat.
"Jam berapa ini ?" tanya Janto sambil menggeliat.
"Jam lima kurang, baru saja Desy pulang."
"Pulang?"
"Dia harus ganti .baju juga, kan kemarin langsung dia kita bawa kemari."
"Oh, ya sudah. Hei... Haris sudah bangun juga.." kata Janto ketika melihat Haris mengangkat-ngangkat kedua kakinya dan mengoceh menggemaskan."
"Selamat pagi, anak bapak yang ganteng."
"Mas mandi dan sholat dulu, Haris biar bersama mbak Mamiek. Aku akan menyiapkan sarapan."
"Siap, tuan puteri," kata Janto sambil memeluk pinggang isterinya.
"Maaas, mandi sana.. lalu shalat," kata Tari sambil mengangkat Haris.
"mBak Mamiek, si ganteng sudah bangun.." teriak Tari, lalu Mamiek setengah berlari menghampiri.
"Adduuh.. mas ganteng sudah bangun, mandi dulu ya sama mbak.."
Tari senang, Haris juga tidak rewel dengan pengasuh barunya.
Ia segera kedapur, menyiapkan sarapan pagi.
***
Selesai memasak, Haris sudah bersih dan wangi. Sementara Haris menyusu ibunya, Mamiek membersihkan tempat tidur Haris dan mengambil semua pakaian kotor.
"mBak, yang dicuci pakaian Harus saja, lainnya biar aku."
"Nggak apa-apa bu, sekalian."
"Tapi nyucinya jangan bareng ya mbak."
"Tidak bu, yang pakaian mas Haris saya cuci pakai tangan. Lainnya saya masukkan ke mesin cuci. Saya selalu menyendirikan pakaian bayi, tidak tercampur pakaian orang dewasa."
"Bagus mbak, terimakasih sudah mengerti."
"Hm.. Haris sudah lebih dulu sarapan ya," sapa Janto yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya.
"Habisnya... kelamaan nunggu bapak... ya le?"
"Masak apa isteriku hari ini ?"
"Sayur bening sama goreng ayam, sudah siap tuh mas..."
"Baiklah, hm... bau ayam gorengnya menusuk hidung. "
"Tapi sayurnya juga harus dimakan, nggak boleh cuma ayam saja."
"Iya ibu, galak benar isteriku kalau so'al makan," kata Janto sambil membalikkan piring.
"Ambil sendiri ya mas, Haris masih belum kenyang nih.."
"Iya, nggak apa-apa. Minum yang banyak ya nak, biar cepat besar, setelah itu nanti bapak buatkan adik biar ada teman main kamu ya." kata Janto sambil melirik isterinya.
Tari mencibirkan bibirnya.
"Sadar ya, kalau mencibir begitu jadi tambah cantik.." gumam Janto sambil mencomot paha goreng.
"Iya lah... aku.. gitu lhoh."
Janto mengunyah makanannya dengan tersenyum nakal..
"Inilah hidup yang aku impikan, penuh wangi, bagai menari disebuah taman bunga, Ahaaa.. kan seperti film India" kata hati Tari sambil mengelus kepala anaknya. Tapi kemdian terkekeh sendiri, mambayangkan dirinya berkejaran ditaman bunga bersama suaminya, mendendangkan kidung-kidung penuh gelora cinta.
"Heeiii... mengapa tertawa? Ada yang lucu ?" tegur Janto.
"Iya, ada sebutir nasi belum sempat masuk kemulut," kata Tari berbohong.
Janto meraba sekitar bibirnya.
"Nggak ada tuh.."
"Sudah terjatuh, kata Tari sambil berdiri dan melangkah kekamar untuk menidurkan Haris.
***
Tapi sesampai di kantor, Janto tak menemukan Desy dimejanya. Padahal biasanya Desy pasti datang lebih awal.
Janto menunggu, setengah jam.. sejam.. bahkan sampai jam sepuluh Desy belum tampak batang hidungnya. Ini tak seperti biasanya. Kalau mau datang terlambatpun Desy pasti meminta ijin atau mengabarinya.
Janto mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi, tapi tidak tersambung. Lalu Janto teringat bahwa Desy akan mengganti nomor kontaknya.
"Apa yang terjadi? gumam Janto.
Karena penasaran Janto memanggil salah seorang satpam kantor. Ia disuruh kerumah kost Desy dan melihat keadaannya. Jangan-jangan Desy sakit lagi.
Tapi begitu yang disuruhnya kembali, Janto mendapat keterangan yang mengejutkannya.
"Kata teman kost nya, Desy dijemput seseorang, diajaknya pergi.
Janto terpaku ditempat duduknya.
Bersambung #15
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel