Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 14 Juni 2021

Lestari Punya Mimpi #15

Cerita bersambung

"Tari, Desy mengabari kamu sesuatu?" tanya Janto ketika pulang untuk makan siang.
"Mengabari apa? " Tari balas bertanya dengan heran.
"Hari ini Desy tidak masuk kekantor."
"Sakit?"
"Tidak tau, aku suruhan kesana, kata teman kostnya dia dijemput seseorang lalu pergi entah kemana."
"Siapa yang menjemput?"
"Itulah yang aku tidak tau.."

"Kok dia tidak mengabari ya, perasaanku jadi tidak enak."
"Jangan-jangan ini ulah pakdenya."
"Mengapa lagi? Dia sudah mendapatkan bagian warisan neneknya Desy. "
"Kita tidak tau apa maunya., barangkali pemberian harta warisan itu belum cukup, nyatanya dia masih mengharap kita akan datang menemuinya, pasti dia akan minta uang lagi."
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Aku akan menyuruh orang mencari ke kampungnya, bagaimana ?"
"Iya mas coba saja. Jangan-jangan ada masalah lagi? Alamat rumahnya ada kan?"
"Ada, aku akan melihat datanya, pasti ada alamat dia di kampung."
"Aku kira permasalahan sudah selesai. Kalau benar itu ulah pakdenya, berarti dia masih ada disana ketika Desy pulang dari sini."
"Jangan-jangan dia malah mengikuti kita sampai kemari."
"Mengapa permasalahan menjadi rumit?"
"Ya sudah mas makan saja dulu, nanti kalau sudah kembali ke kantor coba mas cari alamatnya dan suruh orang mencarinya kesana. Kalau sampai dia tidak mengabari kita, berarti dia dalam kesulitan.."
"Baiklah, aku makan dulu saja nih, lapar, bau masakannya sudah tercium dari tadi."
***

Ketika Desy membuka matanya, ia sedang terbaring disebuah kamar yang asing. Ia bingung, kepalanya pusing. Ia mengingat ingat apa yang tadi dilakukannya.
Pamitan dengan keluarga Janto, lalu naik ojol kerumah kontrakan, bermaksud mandi ganti baju dan siap-siap kerja. Lalu terdengar ketukan dipintu, dan ketika dibuka, pakdenya berdiri disana.

"Pakde?"
"Desy.. ayo ikut aku.."
"Kemana pakde? Saya siap-siap mau kerja."
"Ikut aku dulu, penting sekali," kata pakdenya sambil menarik tangan Desy.

Desy terpaksa mengikutinya, lalu pakdenya mendorong tubuhnya masuk kesebuah mobil, lalu mobil itu terkunci.
Desy meronta, tapi sebuah saputangan basah mendekapnya, lalu ia tak ingat apa-apa lagi.
Begitu sadar dia sudah berada ditempat asing yang membuatnya bingung.
Desy berusaha bangkit, tapi kepalanya terasa berdenyut. Ia memejamkan matanya. Dimana pakdenya? Ini jelas bukan rumah pakdenya, ia tau benar setiap sudut rumahnya. Jadi ini rumah siapa? Mengapa pakdenya membawanya kesini, dan mengapa tadi harus membiusnya juga? Desy kembali berusaha bangkit. Ini tidak wajar. Ia melihat kearah jam tangannya. Jam 11 siang?

"Ya Tuhan, aku kan harus masuk kerja. Pak Janto pasti bertanya-tanya kalau aku tidak datang," gumamnya pelan.
Desy meraba raba ditempatnya berbaring, maksudnya mencari ponsel. Tak ada. Memang tadi kan dia tidak membawa apa-apa.
Dan ponsel itu sim card nya juga sudah dilepas, dia bermaksud membeli nomor kontak yang baru agar pakdenya tak bisa menghubungi. Tapi malah sekarang dia berada ditangan pakdenya.

"Mana pakde? Mengapa dia melakukan ini? Bukankah semalam sudah ada pembicaraan antara diriku dan pakde, sehingga tak seharusnya ada urusan lagi dengan diriku?"gumamnya.

Desy memegangi kepalanya, masih terasa pusing, tapi dia nekat turun dari ranjang. Ia melangkah mendekati pintu, bermaksud keluar dan pergi dari tempat itu.
Namun ia tak berhasil membukanya.
Rupanya pintu itu dikunci dari luar.

"Jadi aku disekap disini? Tempat apa ini ?" gumamnya sambil terisak.
Ia benar-benar bingung. Tak bisa menghubungi siapapun, dan tak bisa keluar dari tempat itu.
"Mengapa pakde melakukan ini? "
Desy benar-benar putus asa.
"Toloooong...." ia berteriak sekerasnya. Adakah yang mendengarnya?
"Tolooooong..." ia berteriak berkali-kali.

Beberapa sa'at lamanya terdengar pintu terbuka, lalu muncul sesosok wajah yang membuatnya muak. Si tambun bermata sipit mendekat sambil tersenyum menjijikkan.
Jadi pakde menyerahkan aku sama laki-laki jahanam ini? pikir Desy gemas.
Matanya menatap laki-laki itu dengan marah.
Ia mundur ketika si tambun mendekatinya.

"Mengapa berteriak-teriak ?"
"Mengapa aku ada disini ?"
"Oh, iya, pakde belum memberi tau ya?"
"Biarkan aku pergi !!" kata Desy sengit.
"Tidak, kamu tidak boleh pergi, kamu akan menjadi milikku Desy," laki-laki itu menyeringai, menampakkan gigi kekuningan yang membuatnya tampak semakin menjijikkan.

"Aku sudah punya calon suami, semalam kamu sudah melihatnya bukan?"
Si tambun tertawa ngakak. Desy mundur lagi karena dia semakin mendekat.
"Aku tau kamu bohong. Kamu kira aku sebodoh itu? Kami mengikuti kamu sampai kerumah si Janto itu. Dia bukan calon kamu, dia sudah punya isteri, dan isterinya yang ikut bersama dia semalam itu."
Desy gemetar. Bagaimana dia bisa tau?

"Tetangga dia yang punya warung didekat rumah berbicara banyak. Hahaaa... kamu kira aku bodoh?"
Lemas seluruh tubuh Desy. Sekarang dia benar-benar merasa berada disarang singa.
"Aku tidak suka kamu. Kamu sudah punya banyak isteri."
"Sayangku, kalau kamu mau, aku akan menceraikan keduanya. Tak masalah buat aku," katanya sambil mendekat.
Desy mundur, bergerak samakin mendekati pintu.Ia ingin bisa meraih gerendel pintu dan memutarnya, lalu kabur.

"Bagaimana? Kalau kamun ingin, sa'at ini juga aku akan menceraikan mereka."
Desy menatapnya muak. Sekarang dia sudah sampai didepan pintu, tapi si tambun menyeringai sambil menunjukkan sebuah kunci.
"Kamu mau kabur? Pintu sudah aku kunci, hanya ada aku dan kamu diruangan ini."
Desy semakin pucat, matanya melihat ke sekeliling kamar, Barangkali ada sesuatu yang bisa dipakai senjata untuk memukul laki-laki menjijikkan itu.Tapi tak ada sesuatupun.
"Cah ayu, apa menurut kamu aku ini tidak ganteng? Semua perempuan tak pernah menolak aku, aku bukan cuma ganteng, tapi aku juga banyak uang, kamu tidak percaya?"
"Tolong lepaskan aku, bukankah kamu bisa mengambil kembali uangmu yang sudah kamu berikan kepada pakde? Kamu tidak akan rugi."
"Ini bukan masalah untung rugi, ini masalah cinta. Aku cinta sama kamu sejak kamu masih kanak-kanak. Dan dengar, mana mau pakdemu mengembalikan uangku? Dia suka sekali uang."

Desy terdiam, laki-laki itu tampak nekat, terus mendekatinya dan berusaha memeluknya dengan kedua tangan dikembangkan.
Desy terus mengitari ruangan kamar yang tidak begitu luas. Ia tak hendak menyerah. Tampaknya si tambun ingin menguasainya sa'at itu juga.
"Ya Tuhan, kalau ada belas kasihMu, tolonglah hambaMu ini, hanya karena kuasaMu hamba bisa terlepas darinya," doanya dalam hati, dengan air mata yang berlinang-linang.

Namun pada suatu sa'at si tambun berhasil mendorongnya keatas ranjang. Desy menjerit keras.
"Lepaskaaan, kamu menjijikkan !!" teriak Desy ketika laki-laki itu berusaha menindihnya.
Desy meronta, dengan sekuat tenaga. Laki-laki yang benaknya penuh nafsu bejat itu terus berusaha, dan entah kekuatan darimana yang menuntunnya, Desy berhasil berguling kesebelah kiri, lalu kakinya menendang si tambun sangat keras, membuat tubuh gendut itu terjerembab ke lantai.
Desy melompat turun, meraih kunci kamar yang tergeletak dilantai.

Si tambun berusaha bangun dengan susah payah. Desy bertindak cepat, ada sebuah kursi didekatnya, diangkatnya dan dipukulkannya kekepala yang setengah botak.
"Aaauuw!!" jeritnya kesakitan.
Desy segera membuka pintu, dan keluar, tapi lebih dulu mengunci pintunya.
Bergegas Desy keluar dari rumah itu, dilihatnya laki-laki tinggi kecil yang semalam ikut bersama pakdenya dan lelaki tambun itu.
Ia menatapnya dan berusaha menghalangi, tapi Desy sudah sampai kehalaman.
Sebuah pot bunga diraihnya dan dilemparkannya ke arah orang itu, lalu Desy berlari keluar sambil berteriak minta tolong.
Laki-laki itu berusaha mengejar.
"Majikan kamu mampus dikamar!" teriak Desy.
Laki-laki itu berhenti, ragu akan melakukan apa, tapi kemudian berlari kedalam.

"Tolooong..." teriak Desy sambil berlari.
Dia tak tau dia berada didaerah mana, tapi Desy terus berlari. Rumah si tambun itu terpisah oleh sebuah kebun luas dari rumah lainnya, sehingga tak ada yang mendengar teriakannya.
Desy terus berlari. Kakinya luka terkena batu runcing yang diinjaknya. Terpincang pincang langkahnya. Ia menoleh kebelakang, tak ada yang mengejarnya.
Ketika tiba disebuah rumah, dia berhenti. Ada seorang perempuan setengah tua sedang menjemur kerupuk mentah. Desy masuk dan terjatuh didepan perempuan itu.

"Lhoh... nak.. kamu kenapa?"
"Tolonglah saya..."
"Kakimu berdarah.. Ada apa?"
"Saya, dikejar... tolong.. ijinkan saya masuk kerumah.. supaya dia tidak melihat saya.."
"Ya.. ya.. ayo masuklah, biar aku bersihkan lukamu."

Perempuan itu menuntun Desy kedalam, mendudukkannya dikursi panjang. Lalu dia bergegas kedalam, mengambil lap bersih dan air hangat.
Desy meringis ketika perempuan itu membersihkan lukanya. Lalu ia membubuhkan obat merah diluka itu.
Setelah selesai, perempuan itu memberikan minum segelas air putih.

"Sekarang ceritakan nak, apa yang terjadi?"
Lalu Desy menceritakan semua yang dialaminya, dimana dia hampir diperkosa oleh si tambun, kemudian dia berhasil melukainya lalu melarikan diri.
"Oh, dia? Itu namanya Kasno. Bandot mata keranjang itu. Sudah berapa gadis dihamili oleh dia, lalu ditinggalkannya setelah diberi imbalan uang. Ya ampuun, kamu tadi sempat diapa-apakan?"
"Tidak bu.. untunglah saya bisa melarikan diri."
"Syukurlah. Itu memang rumah mesum. Setiap membawa korbannya pasti kerumah itu. Sungguh menjijikkan."
"Terimakasih bu, sudah menolong saya, tapi..sebenarnya ini daerah mana bu?"
"Ini Bangil .. nak cantik mau kemana?"
"Ke Pasuruan bu.. nama saya Desy."
"Oh, iya nak Desy, itu agak jauh dari sini.. tapi kakimu masih luka, tidak bisa jalan, apalagi tanpa alas kaki. Nanti aku pinjamkan sandal, tapi lukanya harus dibalut, sebentar, aku mau ke warung beli perban, mudah-mudahan ada."
"Saya merepotkan, dan saya tidak membawa uang sepeserpun, saya ini seperti diculik."
"Kasihan nak, untung bisa menyelamatkan diri. Tak apa-apa, kalau cuma buat beli perban saya punya."
"Ibu adakah punya ponsel? Saya ingin menelpon kantor tempat saya bekerja."
"Ibu tidak punya nak, kalau suami ibu ada, tapi dia sedang bekerja, kira-kira jam tiga biasanya baru sampai rumah. Nak Desy mau menunggu?"
"Ya bu, apa boleh buat. Satu-satunya jalan saya harus menghubungi kantor. Baiklah bu, ini jam tangan saya boleh ibu ambil.. so'alnya..."
"Eeh... tidak.. tidak... masa sih menolong harus dikasih imbalan.." kata perempuan baik hati itu yang kemudian keluar rumah untuk membeli perban."
Desy masih duduk terpaku, merenungi nasibnya seharian tadi. Merinding membayangkan tadi hampir diperkosa oleh bandot tambun yang menjijikkan.
"Hanya Tuhan yang telah menyelamatkan aku," bisiknya sambil merangkapkan kedua tangannya.
***

Orang yang disuruh kekampung Desy kembali dengan tangan hampa.
"Saya dimaki-maki oleh dia pak. Malah dia berkata begini, semalam yang membawa kan yang namanya Janto itu. Ya berarti dia yang menyembunyikan keponakanku, gitu katanya."
Janto menarik nafas panjang. Harus kemana dia mencari Desy? Tampaknya sesuatu yang tak baik telah terjadi. Kalau tidak, pasti Desy mengabari dia. Mungkin tidak bisa masuk kerja karena sedang ada perlu, atau sakit, atau apa.
"Mas, kalau sampai sore tidak ketemu, lapor saja ke polisi," kata Tari ketika menelpon suaminya menanyakan tentang Desy.
"Iya, aku juga bermaksud begitu."
"Pasti pakdenya itu yang membawa Desy, tapi mengapa? Bukankah dia sudah bisa menerima ketika bertemu semalam?"
"Itu juga yang membuat aku bingung."
"Jangan-jangan mereka tau kalau Desy berbohong mas."
"Entahlah, semua masih membingungkan, sementara pakdenya tadi malah berbalik menuduh aku yang menyembunyikan Desy." kata Janto kesal.
"Kalau kita menyembunyikan, untuk apa? Kalau benar, masa harus pura-pura bertanya pada keluarganya."
"Kita tunggu saja sehari ini, semoga ada titik terang."
***

"Pak.. ada berita buruk." Kata laki-laki tinggi kurus pembantu Kasno kepada pakde nya Desy.
"Berita buruk apa? Kamu kalau ngomong selalu tidak jelas."
"Pak Kasno masuk rumah sakit."
"Memangnya kenapa?"
"Belum jelas, dia belum sadar, kepalanya luka berdarah-darah. Tapi dokter sudah menanganinya. Katanya gegar otak."
"Lalu dimana Desy?"
"Kabur pak."
"Kabur? Kurangajar. Masa kamu tidak bisa menangkapnya? Dia kan tidak membawa apa-apa? Paling hanya lari pakai kaki."
"Saya ingin mengejar, tapi Desy mengatakan bahwa pak Kasno mati. Saya masuk kerumah dan  kemudian membawa pak Kasno ke dokter.."
"Kamu bawa mobilnya?"
"Iya itu, saya bawa."
"Antarkan saja aku kesana, pasti anak itu masih ada disekitar, dan sembunyi dirumah salah seorang penduduk."
"Baiklah, tapi saya juga harus kembali kerumah sakit dengan membawa baju-baju pak Kasno."
"Itu nanti, yang penting Desy harus ditemukan, kalau tidak dia bisa lapor ke polisi."
"Baiklah pak.."
"Sebentar, aku ganti baju dulu.."
***

Perempuan itu sudah membalut luka di telapak kaki Desy. Dia juga memberinya makan seadanya. Sudah setengah tiga, Desy memang merasa lapar.
"Terimakasih banyak bu, kalau tidak ada ibu, entah apa jadinya saya ini."
"Jangan difikirkan nak. Oh ya, tadi aku melihat Triman mengendarai mobil Kasno lewat , dan berjalan cepat sekali, sampai debu mengepul kemana-mana."
"Mungkin kerumah sakit, soalnya tadi majikannya luka. Saya memukul kepalanya dengan kursi."
"Biar dia tau rasa. Orang seperti dia harus mendapat hukuman setimpal. Selama ini tak ada yang berani melerai perbuatan jahatnya karena dia punya uang. Dia sangat royal membagi-bagikan uang, sehingga orang sungkan terhadapnya. Tapi percayalah, pasti Tuhan akan menghukumnya.
"Iya bu.."
"Masih terasa sakit kakinya?"
"Sedikit bu, tidak apa-apa."
"Berbaring saja dulu kalau letih, sebentar lagi suami ibu akan datang. Sekarang saya mau mengentas jemuran kerupuk saya."
"Ibu membuat kerupuk sendiri?"
"Iya nak, sekedar untuk menambah uang belanja. Lagian ini sudah menjadi pekerjaan ibu selama bertahun-tahun, sejak ibu masih muda."
"Ma'af, saya ingin membantu.. tapi.."
"Tidak usah, kakimu kan masih sakit, duduk saja disitu, ibu tidak lama."

Tak lama Desy duduk menunggu, tiba-tiba didengarnya sebuah sepeda motor memasuki halaman, lalu berhenti ketika ibu itu memanggilnya. Rupanya dialah suaminya. Mereka tampak berbincang, pasti isterinya menceritakan tentang keadaan Desy yang ditolongnya.
Desy menunggu laki-laki itu masuk kerumah dan menghampiri Desy.

"Nak, kasihan sekali kamu. Ini, kalau mau menelpon keluarga kamu, bisa memakai ponsel ini," katanya sambil mengulurkan ponselnya.
"Terimakasih banyak pak."
Desy tak begitu hafal nomor ponsel Janto, tapi dia tau nomor  kantornya.
Begitu Janto menerimanya, Desy terbata mengatakan apa yang dialaminya.
"Ya ampun Desy, beruntung kamu bisa lolos, tunggu disitu dan jangan kemana-mana. Ini perbuatan kriminal, aku akan langsung melapor ke polisi."

Desy mengulurkan ponselnya kepada pemiliknya, agar dia memberi tahu dimana alamat rumah penolongnya, juga nomor ponselnya, agar mudah kalau ingin menghubunginya.
Desy merasa lega. Berlinang air matanya karena berhasil menghubungi Janto.
"Nak, berbaringlah dulu dikamar ibu, pasti nak Desy letih."
"Tidak bu, saya disini saja sambil menunggu pimpinan saya menjemput kemari.
***

Sudah hampir sejam dia duduk tiba-tiba Desy melihat mobil Kasno melintas. Ia tau karena mobil itu diparkir dihalaman ketika dia melarkan diri. Ia sangat tau karena pagi tadi dia dipaksa pakdenya untuk naik kedalam sehingga dia kemudian tak ingat apa-apa lagi.
Desy berdebar, bagaimana kalau mereka tau bahwa dirinya bersembunyi dirumah juragan kerupuk ini ?
"Itu, mobilnya Kasno lewat," kata suami si ibu tadi.
"Pak, tolonglah, kalau dia kemari dan menanyakan saya, jangan bilang kalau saya ada disini ya pak," kata Desy ketakutan.
"Tidak, mana mungkin saya mengatakannya. Saya geram dengan kelakukannya."

Tapi tiba-tiba dilihatnya mobil itu memasuki halaman.
Desy pucat pasi. Ia kemudian berdiri dan bermaksud masuk kedalam dengan terpincang-pincang. Dilihatnya pemilik rumah sudah keluar.

==========

Seseorang turun dari mobil. Mendekati yang punya rumah sambil kepalanya melongok-longok kedalam.
"Anda mencari siapa?"
"Eh..anu.. saya mencari seseorang.. lari dari saya.. apa dia datang kemari?"
"Siapa ya?"
"Seorang gadis, hati-hati, dia itu pembohong, jangan sampai sampeyan terkecoh. Ini kan rumah pertama setelah dia kabur.. jadi... saya kira dia kemari."
"Oh, tidak ada gadis pembohong masuk kemari."
"Tadi seperti ada perempuan didalam sana.. berjalan kearah belakang."
"Tidak ada.. itu isteri saya..."
"Tapi bajunya kok..."
"Tidak ada yang bapak cari, jadi mohon tinggalkan rumah saya, mobil anda menghalangi isteri saya mengentas kerupuk-kerupuk itu."
Pakde melongok lagi kedalam, seperti tidak percaya pada keterangan si empunya rumah, lalu membalikkan tubuhnya, masuk kedalam mobil dan menyuruh Triman memundurkan mobilnya untuk keluar dari halaman.
"Kita kemana lagi pak? Saya harus kembali kerumah sakit, saya juga belum mengabari isteri-isterinya." kata Triman.

"Sebentar, aku mencurigai rumah itu. Sepertinya ada seorang perempuan didalam, bajunya seperti baju Desy, aku ingat sekali baju yang dia pakai."
"Lalu bagaimana?"
"Berhenti agak menjauh, tapi terus mengawasi rumah itu, suatu sa'at pasti dia keluar juga."
"Kelamaan pak.. kalau memang bapak yakin Desy ada disitu, langsung masuk saja."
"Itu yang punya rumah, berkacak pinggang didepan pintu, bagaimana aku bisa masuk?"
"Kalau tidak segera , bisa-bisa dia duluan yang melapor ke polisi."
Pakde kebingungan, yang dikatakan Triman ada benarnya. Dia harus nekat kalau ingin selamat. Lalu dia kembali masuk ke halaman rumah itu. Seorang perempuan sedang mengentas kerupuk-kerupuk yang dijemur.
"Tuh, yang ini pasti isterinya, tapi yang aku lihat tadi bajunya berbeda. Itu bajunya Desy," pikir pakde.
Lalu dia semakin mendekat, perempuan itu menoleh.
"Ada apa lagi pak?"
"Bu, tolong, ijinkan saya membawa gadis itu, dia itu pembohong dan sangat berbahaya."
"Gadis yang mana pak?"
"Saya tau ada gadis berbaju biru tua didalam, dia keponakan saya, agak sinting dia, biarkan saya membawanya."
"Tidak ada gadis berbaju biru."
"Saya melihatnya bu, tolonglah, saya peringatkan ibu, dia itu sangat berbahaya. Jadi jangan biarkan dia berada dirumah ini."
"Itu, suami saya sedang menerima telpon, tanya saja sama dia."
Dan memang pakde melihat laki-laki tadi sedang berbicara di telpon.

"Tidak jauh lagi pak, ada perempatan dimana ada pos ronda, bapak belok kekiri. Ya, bagus, segera pak, orangnya ada disini."
Laki-laki itu mendekati pakde.
"Bagaimana pak, masih belum percaya? Bapak mau menggeledah rumah saya? Ayo pak, silahkan masuk saja, silahkan.."
Pakde heran, karena laki-laki si empunya rumah itu tiba-tiba mempersilahkannya masuk. Iapun masuk mendekati pintu, tapi belum sampai dia masuk lebih dalam, terdengar sirene polisi.
Pakde kebingungan, ia kembali keluar, tapi laki-laki pemilik rumah itu menghadang di pintu.
"Kok kembali pak, silahkan masuk saja, barangkali yang bapak cari ada didalam."
Sebuah  mobil person dan mobil polisi berhenti didepan pagar. Tak lama Janto keluar diikuti dua orang polisi. Pakde ketakutan.. Wajahnya pias. Ia ingin kabur, sudah berhasil melangkah cepat ke halaman, tapi Janto memegang tangannya. Tangan kuat Janto mencengkeram lengan pakde, lalu menyerahkannya kepada polisi.
"Ini dia penculiknya pak," kata Janto.
Pakde meronta, tapi seberapa kuat seorang setengah tua ditangan dua polisi kekar?
Desy keluar dari rumah dengan langkah tertatih. Begitu melihat Janto ia menubruknya dan menangis terisak.
"Terimakasih pak."
"Sudah, semuanya sudah berlalu, kamu aman," kata Janto sambil menepuk pundaknya.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada penulong Desy, Janto segera membawa Desy pergi Desy menatap pakdenya yang digelandang masuk ke mobil polisi. Bagaimanapun dia juga darah dagingnya.
***

Setelah memberikan keterangan di kantor polisi, Janto membawa Desy kerumah sakit, takut lukanya terkena infeksi mengingat ada luka sobek dibeberapa tempat.
Sudah jam delapan malam ketika Janto sampai dirumah, dengan membawa Desy pula.
Tari bersyukur Desy selamat dari cengkeraman bandit tambun itu, tapi juga merasa kasihan melihat kaki Desy luka lumayan parah.
"Kamu tinggal disini saja dulu, dan tidak usah ke kantor," kata Tari.
"Tidak bu, saya pulang saja, dan akan berusaha masuk kantor besok pagi."
"Jangan bawel, kamu kan belum bisa berjalan."
"Bisa, biar terpincang pincang sedikit. Badan saya tidak apa-apa."
"Ya sudah, tapi besok pagi saja, ini sudah malam. Tidurlah sama mbak Mamiek. Aku punya baju tidur yang belum pernah aku pakai. Pakai aja."
"Terimakasih banyak ibu."
***

Dua tahun berlalu setelah kejadian itu. Desy benar-benar sudah putus hubungan dengan keluarga pakdenya.
Dia sudah menemukan jodohnya, seorang karyawan baru yang ditempatkan sebagai kepala gudang, yang kemudian menyuruh Desy resign agar benar-benar menjadi ibu rumah tangga.
Tari bersyukur hidupnya berjalan sangat manis.
Kemarin dengan diantar Janto Tari memeriksakan kandungannya yang sudah berumur empat bulan.
Haris sudah bisa berlari-lari dan bermain sendiri, tapi belum mau terlepas dari mbak Mamiek yang selalu memanjakannya. Lagipula Haris akan punya adik, dan mbak Mamiek masih diperlukan untuk membantu mengasuh  bayinya.

"Ibu, aku mau digendong ibu.." rengek Haris pada suatu pagi.
"Wouw, anak ibu yang ganteng, sekarang Haris tidak boleh minta gendong ibu," kata ayahnya.
"Haris mau gendong ibu.." Haris masih merengek.
"Dengar, didalam perut ibu ini ada adik. Kalau Haris minta gendong juga, nanti adiknya nangis, gimana hayo.."
"Ada adik?" mata Haris berbinar.
"Iya, ada adik, suka nggak Harus punya adik?"
"Haris suka.. haris suka...." lalu Haris berjingkrak-jingkrak.
"Gendong bapak saja ya, huppp!!" kata Janto sambil mengangkat tubuh Haris tinggi-tinggi. Haris terkekeh senang.
"Lagi... lagi..." teriaknya.
"Huppp!!!"
"Lagi.. lagi..."
Berkali-kali Janto mengangkat tubuh Haris dan membuatnya terkekeh-kekeh.
"Sudah... sudah... nanti bapak capek."
Haris turun dan berlari mencari mbak Mamiek yang sedang sibuk dibelakang.

Tari tersenyum senang. Janto duduk disamping isterinya, mengelus perutnya yang mulai membuncit.
"Senang ya kali ini anak kita tidak rewel?"
"Iya mas, tidak begitu rewel seperti ketika mengandung Haris. Anaknya perempuan 'kali ya."
"Memangnya kalau perempuan tidak membuat kehamilan rewel?"
"Ya tidak mas, perempuan itu memang tidak suka rewel. Beda kalau laki-laki, banyak maunya," kata Tari sambil tersenyum menggoda.
"Enak aja. Memangnya aku ini rewel.?"
"Bangeettttt..."
Janto mencubit pipi isterinya dengan gemas.
"Mana sih aku rewel? Dikasih.. aku suka, nggak dikasih.. aku juga minta.."
"Lhaaah... itu kan sama saja?"
"Ooh, sama ya?"
Canda itu terhenti karena ponsel Janto berdering.
"Dari bapak.." bisik Janto sambil mengangkat telponnya.
"Syukurin, kalau disuruh nelpon orang tua susah banget," gerutu Tari.
"Hallo bapak?"
"Apa kabar kamu ?"
"Baik, bapak, bapak dan ibu sehat kan?"
"Sehat, tapi akhir-akhir ini ibumu sedikit rewel."
"Lho, kenapa pak?"
"Kangen sama kamu, kangen sama cucunya. Kamu tidak pernah pulang ke Jakarta dengan membawa anak kamu."
"Oh, iya pak, Janto akan mencari waktu luang untuk ke Jakarta."
"Bener ya, mana Haris, bapak ingin bicara."
"Hariiiiss..." teriak Janto sambil berdiri mencari anaknya.
"Ya bapak.. " Haris berlari mendekati ayahnya.
"Ini, kakek mau bicara, bilang hallo sama kakek.."
"Hallo kakek..."
"Hallo cucu kakek yang ganteng. Kamu lagi ngapain."
"Lagi main mobil-mobilan..."
"Nenek kangen sekali sama kamu, kamu ke Jakarta ya, sama bapak, sama ibumu?"
"Iya.. Haris mau... naik pesawat kan?"
"Iya..iya, nanti kakek jemput di bandara."
Haris mengulurkan ponselnya kepada ayahnya.
"Bapak, Haris mau ke Jakarta, nanti dijemput kakek"
Janto mengangguk angguk.

"Ya bapak, saya cari waktu luang untuk ke Jakarta, secepatnya."
"Anakmu belum tiga tahun bicaranya sudah jelas, nggak cadel sama sekali."
"Iya bapak."
"Ya sudah, sehat-sehat semuanya ya."
"Ibu mana?"
"Tidur, sudah, jangan diganggu, kalau malam sering tidak bisa tidur, jadi kalau siang-siang begini dia tidur, bapak tidak mau mengganggu."
"Iya bapak, semoga sehat-sehat semuanya."
"Mas mau ke Jakarta?" tanya Tari setelah ponsel ditutup.
"Ibu kangen sama kita."
"Besok Sabtu?'
"Iih, kamu senengnya .. kalau mau diajak jalan-jalan..."
"Gimana sih, katanya ibu kangen sama kita.."
"Iya.. iya.. tapi aku tidak bisa hari Sabtu. Ada tamu  yang bisanya ketemu besok hari Sabtu siang. Bagaimana kalau kamu berangkat dulu sama mbak Mamiek dan Haris? Aku menyusul hari Minggunya, hari Senin aku tidak kekantor. Tapi kalau rencana Sabtu dibatalkan aku bisa ikut bersama kalian."
"Terserah mas saja, kan mas yang membelikan tiketnya?"
"Tapi kamu tidak apa-apa kan berangkat sendiri? Kandunganmu tidak rewel kan?"
"Tidak mas.. jangan khawatir."
***

"Mbak Mamiek.. mbak Mamiek..." Haris berlari-lari kecil lalu merangkul pengasuhnya dari belakang.
"Ya ampun, mas Haris.. mbaknya sampe kaget.. mbok ya jangan lari-lari.. nanti jatuh kayak kemarin lho."
"Aku nggak jatuh .."
"Iya.. ada apa.. cah bagus?"
"Besok ikut ke Jakarta ya ?"
"Ke Jakarta?"
"Haris mau ketemu kakek sama nenek.. mbak Mamiek ikut ya?"
"mBak Mamiek belum tau, kan bapak sama ibu belum bilang sama mbak Mamiek."
"mBak Mamiek harus ikut..." Haris merengek.
"Iya Haris, nanti mbak Mamiek ikut kok.." kata Tari yang tiba-tiba sudah ada didekat Haris.
"Horeeee!" Haris berjingkrak kegirangan.
"mBak Mamiek, nanti tolong disiapkan baju-baju Haris dan semua perlengkapannya, kita akan ke Jakarta selama dua atau tiga hari.
"Baik bu.."
"mBak Mamiek juga ikut lho, nanti kalau enggak Haris pasti rewel."
"Iya bu.."
"Kalau mas Janto belum tentu, katanya hari Sabtu masih harus ke kantor. Tapi kalau acara kantor bisa diundur ya ikut bareng kita."
"Aku bisa ikut, " tiba-tiba Janto sudah ada diantara mereka.
"Kok mas sudah pulang? Ini jam berapa?"
"Iya, aku lapar.. boleh minta makan bu?" canda Janto sambil mengembangkan tangannya, bermaksud  merengkuh isterinya.
"Eiit.. cuci kaki tangan dulu, main sosor aja.."
"Iya.. lupa..."
Janto beranjak kebelakang...dari arah kamar Haris berteriak.
"Bapaaaak..."
"Sebentar, bapak cuci kaki tangan dulu.." katanya sambil masuk kekamar mandi.
"Mbak Mamiek, tolong disiapkan makan siang ya, pak Janto sudah pulang."
"Ya bu, ini sudah.. tinggal mengangkat sayurnya.
mBak Mamiek biarpun tugasnya hanya mengasuh Haris, tapi tak mau berhenti membantu Tari mengurus rumah. Terkadang juga memasak. Janto senang, karena isterinya tak harus bekerja keras mengurus semuanya.
"Masak apa mbak Mamiek hari ini?" tanya Janto yang sudah siap duduk didepan meja makan.
"Tadi ibu hanya menyuruh masak  sayur asem sama bacem tahu tempe."
"Hm, enak nih...Hariis, ayo makan bareng bapak."
"Haris mau disuapin mbak Mamiek ajah."
"Iya..iya.. sini.. sama mbak Mamiek."
"Bisa ikut bareng ke Jakarta mas? Acaranya nggak jadi?"
"Diundur hari Senin, jadi aku bisa ikut bareng ke Jakarta."
"Bagus kalau begitu, bisa datang sama-sama, ibu pasti senang."
***

Sabtu siang itu mereka sudah sampai di bandara Suta.. Karena bersama Janto, keluarga di Jakarta tak perlu menjemputnya.
Haris sangat senang, ia berlari kesana kemari, dan tentu saja mbak Mamiek juga ikut berlarian kesana kemari.
"Tari, kamu disini dulu, aku mau mengurus bagasi. Habis itu aku pesan taksi sekalian."
"Ya mas, aku disini, sambil mengawasi Haris tuh."
Tari geleng-geleng kepala melihat kegembiraan Haris. Ia mengawasi sambil tersenyum senyum. Tapi tiba-tiba..

"Tari..." suara panggilan itu mengejutkannya. Suaranya masih seperti dulu, lembut dan ..ya Tuhan.. Tari menahan debar jantungnya.
Nugroho sudah berdiri didepannya. Menatapnya tak berkedip. Ada rindu memercik disana, yang disambutnya dengan getaran yang sama. Sebuah percikan api menyadarkan Tari.
"Mas Nugroho,"
"Tari.."
Tari menyadari, ada cinta yang mengendap didasar hatinya, yang disimpannya demi keikhlasan cintanya kepada keluarga.
"Mas, kok disini?" akhirnya Tari bisa mengucapkan kata itu, setelah berhasil menguasai gejolak jantungnya.
"Aku sekarang ada di Jakarta. Tadi mengantarkan Asty pulang ke Magelang, karena ibu kangen sama cucu-cucunya."
"Mas tidak ikut?"
"Aku tak bisa meninggalkan bisnisku disini. Mungkin menyusul lain hari."
"Owh.."
"Kamu sama siapa? Ngapain disini?"
"Aku baru sampai, orang tua mas Janto juga kangen sama cucunya. Aku juga sama mas Janto, dia lagi mengurus bagasi.
"Ibuuu..." tiba-tiba Haris memeluk kaki ibunya."
"Haris, beri salam sama om Nug.."
Haris mengulurkan tangannya.
"Wow.. ini Haris, sudah besar, anak ganteng..  cium dulu dong.." Nugroho mengangkat Haris dan mencium pipinya dengan gemas.
"Tari.. mengapa ya, aku tak bisa melupakan kamu?"
"Mas, tidak melupakan itu bagus, kita sudah menjalani hidup kita masing-masing. Mari kita endapkan segala rasa yang barangkali dulu terasa indah, tapi sekarang kita harus memasukkannya kedalam album kenangan. Aku bahagia, dan aku harap mas Nugrohopun demikian."
"Iya Tari, " jawab Nugroho sendu.
"Aku sedang mengandung anak keduaku mas."
"Iya, aku tau, perutmu sudah tampak membuncit, dan itu membuat kamu bertambah cantik."
Tari mencoba tertawa, dan mencoba menganggap ucapan itu hanya sebuah gurauan.

"Baiklah, aku pergi dulu Tari, salam buat mas Janto."
Tari memandangi punggung laki-laki tegap itu, dan mencoba mengikis habis semua kenangan tentang dia, tentang cintanya, karena ia selalu memimpikan hidup tenteram, yang penuh wangi sorga, tanpa cela, tanpa noda.
"Ibu... "
Suara Haris mengejutkan lamunannya. Tari berjongkok dan mencium pipi anaknya, miliknya yang sangat berharga.
"Tari.. Haris rewel?"
"Tidak mas, sudah selesai?"
"Sudah."
"Tadi ada mas Nugroho.."
Janto menatap isterinya.
"Dia mengantarkan Asty yang mau pulang menengok mertuanya, tapi tergesa pergi karena ada urusan. Dia titip salam sama kamu." kata Tari yang tak mau menyembunyikan apapun dari suaminya.
"Oh, dia tinggal disini sekarang?"
"Katanya, tapi aku tidak bertanya dimana. Ayo mas.. sudah pesen taksi?"
"Sudah. Haris.. sini sama bapak.."
Janto menggendong anaknya, dan sebelah tangannya lagi merangkul isterinya.
mBak Mamiek yang menarik kopor dibelakang mereka menatapnya sambil tersenyum.
"Sebuah keluarga yang bahagia," gumamnya.

--- T A M A T ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER