Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 23 Juli 2021

Dalam Bening Matamu #1

Cerita bersambung
Karya : Tien Kumalasari

Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusahaan ketika sebuah ketukan pintu terdengar, dan Ayudya masuk serta langsung duduk didepannya.

"Udah beres mas, masih tersisa tiga orang yang harus mas Adhit sendiri mewawancarainya. Cantik-cantik, pintar, tapi yang namanya Mirna aku sebenarnya kurang suka," kaya Ayudya sambil meletakkan beberapa map lamaran diatas meja.
"Mana Mirna?" tanya Adhitama sambil mem buka-buka map yang disodorkan adiknya.

Mereka kakak beradik yang memegang sebuah perusahaan besar milik mendiang kakeknya. Tumbuh dalam lingkungan keluarga yang saling mengasihi dan kemudian berhasil menjadikan keduanya orang-orang yang pintar dan bermartabat.
Ketika lulus dari pendidikan sarjana, mereka langsung belajar menguasai perusahaan yang diwariskan oleh kakeknya. Adhitama yang cerdas tak lama kemudian berhasil memajukan perusahaan itu, dengan dibantu oleh Ayudya, adiknya yang usianya hanya terpaut kira-kira dua setengah tahunan dari padanya.

"Mana dia?" tanya Adhitama lagi.
"Itu, yang terakhir."
"Ini cantik, prestasi pendidikannya bagus, mengapa kamu tidak suka?" kata Adhit sambil memandangi foto yang terpambang disurat lamaran itu lekat-lekat.
"Matanya agak genit, gitu.."
"Ahaa.. yang bekerja kan buka matanya Yud..." kata Adhit sambil tertawa. Bagaimanapun wajah itu memang sangat menarik baginya.
"Ya pasti akan ada pengaruhnya donk, nanti mas nggak konsentrasi sama pekerjaan hanya memandangi wajah sekretaris mas yang matanya genit itu," sungut Ayudya.
"Kamu itu, kalau  bekerja jangan atas dasar like and dislike donk. Tapi aku suka ini, kapan kamu suruh dia menemui aku."
"Tuh, kan..." Ayudya cemberut, tapi kakaknya hanya menangggapinya sambil tertawa.
***

"Eyang, aku sudah pulang..." teriak Ayudya sambil masuk kedalam rumah.
"Oh, sayang, mana kakak kamu?" tanya bu Broto sang nenek, sambil memeluk cucunya dan menciumi kedua pipinya. Hal yang selalu dilakukannya setiap cucu-cucunya pulang.

Bu Broto senang, karena sepeninggal suaminya ia ditemani kedua cucunya yang semula tinggal di Jakarta, dan sekarang mengurusi perusahaan kakeknya  di Solo.

"Mana dia ?" ulang sang nenek.
"Itu yang, masih memarkir mobilnya. Eyang masak apa hari ini?" tanya Ayudya sambil nyelonong ke meja makan dan membuka tudung sajinya.
"Hm... aku lapar lagi yang..." pekik Ayudya gembira begitu melihat ayam goreng disana, kemudian dicomotnya sebuah paha.
"Eeiit.. cuci tanganmu dulu dong Yud, kebiasaan deh, pulang-pulang langsung nyomot makanan."

Ayudya memeletkan lidahnya, kemudian meletakkan paha yang sudah digigitnya sebagian disebuah piring.kemudian lari kekamarnya.
Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Eyang," Adhitama yang masuk kerumah belakangan juga langsung memeluk neneknya.
"Kok tumben jam segini sudah pada pulang," tegur bu Broto.
"Ini kan sudah sore yang, jam setengah lima lho," seru Adhit sambil melangkah kebelakang.
"Oh, iya... " keluh bu Broto sambil menepuk jidatnya.
"Udara panas sekali akhir-akhir ini," gumam bu Broto sambil mencari yu Supi dibelakang.

Yu Supi adalah pembantu keluarga Broto setelah pak Broto meninggal. Ia rajin dan pintar memasak.
"Supi, minuman untuk anak-anak sudah disiapkan?"
"Sudah bu, ini mau saya bawa keruang tengah," sahut yu Supi yang sudah membawa nampan berisi tiga cawan teh hangat.
"Ya sudah, taruh saja dulu, sama srabinya Pi, nanti ditanyakan lagi oleh momonganmu yang satu itu. Pagi tadi sudah pesan wanti-wanti."
"Ya bu, sudah saya siapkan, biar saya ambil dulu."
"Ya, anak itu sejak masih didalam perut ibunya, sukanya srabi bukan main. Sampai dewasa begitu, kalau ada yang mau keluar pasti bilang... nitip srabi ya.... Hm.. ," guman bu Broto sambil duduk menunggu cucu-cucunya berganti pakaian. Biasanya mereka duduk-duduk dulu sebentar, minum teh hangat, baru kemudian mandi.

"Waduuh... ada srabi lagi?" celetuk Adhit begitu duduk menghadapi teh hangatnya dimeja ruang tengah itu.
"Adikmu tuh, kalau mau ambil saja, kalau nggak mau kan masih ada makanan lainnya. Itu ada kroket sama risoles, enak lho."
"Iya yang, beres, nanti Adhit sikat semuanya,"jawab Adhit sambil mencomot sepotong kroket.
"Bagaimana pekerjaan dikantor?"
"Baik yang, Adhit baru mau memperluas lahan kantor, dengan membeli pekarangan penduduk yang ada dibelakang kantor."
"Memangnya mau dijual?"
"Kalau boleh Adhit mau beli pekarangan itu, baru ditanyakan boleh tidaknya, so'alnya gudang yang ada itu kayaknya kurang besar."
"Eyang senang kalian bisa meneruskan usaha itu dengan lebih baik le. Kalau eyang kakungmu masih ada pasti bangga memiliki cucu-cucu seperti kalian."
"Adhit juga masih harus banyak belajar yang. Keberhasilan Adhit ini kan juga tidak lepas dari bantuan para stafnya eyang dulu," kata Adhit merendah.
"Tapi Dhit, kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri lho, kamu itu sudah pantas punya isteri, sudah ada yang cocog belum?"

Adhit tertawa keras, sambil mencomot lagi sepotong kroket.

"Kok tertawa? Sudah ada belum?"
"Sudah yang, itu.. calon sekretaris baru," kata Ayudhya yang tiba-tiba sudah duduk disamping neneknya.

Adhitama memelototi adiknya.

"Jangan percaya omongan dia eyang, suka ngaco dia tuh," sungut Adhit.
Ayudya hanya tertawa sambil mengambil sepotong srabi kesukaannya.
"Memangnya kamu sudah dapat sekretaris baru?" tanya bu Broto.
"Belum eyang, baru nyari."
"Hampir dapat yang, cantik, tapi genit."
"Yudya ! Pekik Adhit sambil melempar potongan tissue kearah adiknya. Ayudya menjerit kecil dan membalasnya, dan mereka saling lempar sambil tertawa tawa.

Bu Broto tersenyum menyaksikan keakraban kedua cucunya. Matanya berlinang karena haru. Teringat waktu mereka akan dilahirkan, banyak peristiwa yang mengharu biru kehidupan anak gadisnya ketika itu.
Pertikaian penuh gelak tawa itu berhenti ketika ponsel bu Broto berdering.

"Sst.. diam, nih dari ibumu," kata bu Broto yang kemudian menjawab telephone itu.
"Hallo nduk, " sapa bu Broto. "Iya, lagi santai nih sama anak-anakmu. Tuh, lagi berantem sambil lempar-lemparan tissue, ramainya bukan main."
"Ibuuuu..." teriak Ayudya keras, supaya didengar oleh ibunya.
"Ibuuuuu.. ini bu... anak perempuan ibu nakal.."
"Kamu yang nakal to mas."
"Kamu usil."
"Kamu!!"
"Kamu!!"
"Aduuh.. itu lho nduk.. anakmu, berisik banget... iya.. iya.. nggak apa-apa, ibu senang, rumah ini jadi ramai kalau mereka ada. Betul nduk, baik kok.. oh.. mau ke Solo? Belum? Ya sudah, tungguin kalau suami kamu punya waktu luang.. ya nduk.. ati-ati ya... iya.. ibu sehat kok.. kamu juga ya. Nggak usah kirim apa-apa, disini sudah ada semuanya. Ya nduk, salam buat suamimu .."
"Aah, jadi kangen sama ibu, besok kalau liburan aku mau ke Jakarta ya yang," kata Ayudya yang sudah lelah berantem dengan kakaknya, lalu bersandar ke bahu neneknya.
"Nanti sama aku, kalau sendirian nanti kamu ilang."

Dan Ayudya merengut lagi, tapi disambut senyum mengejek dari kakaknya yang kemudian lari kebelakang.

"Aku mandi dulu ya eyang."
***

Gadis bernama Mirna itu sudah menghadap didepan Adhitama. Adhitama menatapnya tajam. Dia cantik, ah, mana mata genit yang dikatakan Ayudya, nggak ada kok, pikirnya. Biasa saja, bahkan gadis itu menundukkan kepala ketika Adhit menatapnya.

"Nama kamu Mirna Astuti?"
"Ya pak," jawab Mirna pelan.
"Coba ceriterakan tentang diri kamu."
"Apa?"
"Cerita saja, kamu siapa, bagaimana kamu bisa sampai ketempat ini.. atau apa saja, aku mau mendengar semuanya."
"Saya, anak tunggal dari seorang janda. Ibu saya ditinggalkan oleh ayah saya ketika mengalami kecelakaan yang menyebabkan dia cacat seumur hidup."
"Kecelakaan apa?"
"Wajahnya tersiram air keras ketika bertengkar dengan ayah saya."
Mata Adhitama membesar. Ada orang sekejam itu sama isterinya?

"Ayahmu menyiramnya?"
Mirna mengangguk, matanya ber kaca-kaca.
"Dulu ibu saya sangat cantik, dan ayah seorang pencemburu. Ketika itu saya masih klas 2 SMP. Kemudian ayah pergi ketika melihat wajah ibu tidak bisa pulih seperti sedia kala."
"Tidak melaporkannya ke polisi?"
"Ibu tidak mau. Lalu ibu bekerja apa saja supaya bisa membesarkan dan menyekolahkan saya sampai lulus sarjana."

Ada rasa iba menyelinap dihati Adhit mendengar kisah itu. Lingkungan keluarganya yang penuh kasih sayang, jauh dari pertengkaran dan ketegangan. Mendengar kisah itu, runtuhlah belas kasihan dihatinya.

"Kamu pernah bekerja dimana ?"
"Menjadi pelayan toko, untuk meringankan beban ibu."
"Darimana kamu tau bahwa disini membutuhkan sekretaris?"
"Ada iklan yang ibu baca, kemudian mengatakannya pada saya."
***

Sudah seminggu Mirna bekerja sebagai sekretaris Adhitama. Pekerjaannya bagus, sopan. Ah, mana mata genit itu? Adhit selalu men cari-cari dimata Mirna seperti yang dikatakan Ayud, tapi tak juga ketemu.
Gadis itu cantik, santun, tekun, tak ada kurangnya. Tapi ia menolak kalau Ayud mengatakan bahwa dia suka pada sekretarisnya. Tidak, Adhitama priya ganteng dan sukses yang tak mudah jatuh cinta. Gadis cantik banyak ditemuinya, tapi belum satu pun nyanthol dihatinya.

Ia sedang memeriksa beberapa berkas ketika tiba-tiba dibacanya sebuah pesan WA.

"MAS ADHIT, APA KABAR?"

Tak ada nama di pesan itu, tak ada photo profil yang tampak. Siapa dia?

==========

Adhit tak ingin membalas pesan itu, karena nggak jelas itu dari siapa. Diletakkannya kembali ponselnya, lalu ia melanjutkan kesibukannya.

Tiba-tiba pesan WA itu terdengar lagi. Adhit membukanya, dan kembali ada kata-kata yang menyapanya tapi tak jelas siapa pengirimnya.

"MAS ADHIT, APA KABAR?"

Adhit menghela nafas, diputarnya nomer tilpun WA itu.

"Hallo mas.." suara seorang laki-laki, Adhit meng ingat-ingat.
"Mm.. siapa ya?"
"Waduh, lupa bener nih sama aku mas?"
"Lupa tuh, mm.. lupa-lupa ingat deh.."
"Aku dari Medan.."
"Medan?"
"Medan.. mas horas !!
"Horas juga," lalu Adhit terbahak,:" Kamu Raka?"

Lalu suara dari seberang juga terbahak lama sekali.
"Kamu itu Raka, pakai berteka teki segala. Mana nomormu nggak ada namanya.. Lagi dimana nih?"
"Di Solo.."
"Di Solo ?"
"Dimana Solo nya?"
"Ya dirumah simbahku lah, di daerah Tumenggungan."
"Ayo main kesini, ada acara apa orang Medan pulang ke Solo?"
"Kangen sama kamu lah mas."
"Kangen sama aku, apa sama Ayud?" canda Adhit.
"Mas Adhit gitu, kangen dua-duanya deh. Ini lagi sibuk ya mas? Nanti aja aku main kerumah. Nggak enak rasanya jam kerja begitu nggangguin orang."
"Nggak apa-apa kok, ayo datang ke kantorku saja, nanti aku traktir makan di cafe dekat kantor, ada Ayud juga lho."
"Tapi aku belum pernah tau alamat kantor mas Adhit."
"Aku kirim ke WA kamu deh, nggak jauh kayaknya dari rumah simbahmu."
"Oke mas"

Begitu telephone ditutup Adhit ter senyum-senyum sendiri. Mirna yang sedari tadi sibuk mengetik memandangi dengan heran. Tapi ketika Adhit juga menatap kearahnya, ditundukkannya kepalanya dengan sungkan.
Diam-diam Adhit heran, mengapa adiknya bilang bahwa Mirna itu genit? Kayaknya nggak pernah gadis itu memperlihatkan kegenitannya. Kelewat santun malah. Ah, entahlah, nanti akan aku marahi dia, batin Adhit karena kesal mendengar penilaian yang salah atas sekretaris barunya.

Adhitama sudah menutup map-map yang tadi diperiksanya, ketika seorang costumer servis masuk setelah mengetuk pintu.

"Ada tamu bernama bapak Raka mau menemui bapak."
"Persilahkan dia masuk."

CS itu mengangguk lalu keluar dan mempersilahkan tamunya masuk.

Raka adalah sahabat kecilnya bersama Ayud. Ayah ibunya Raka juga sahabat ayah ibunya Adhit dan Ayud. Mereka adalah Teguh Raharjo dan Retno. Beberapa tahun yang lalu Raharjo dipercaya oleh pak Haris untuk memegang anak cabang perusahaannya yang ada di Medan. Raka anak sulung Teguh, dan ada lagi adiknya bernama Dinda. Tapi Raka dan Dinda terpaut agak jauh. Ketika Raka sudah menyelesaikan kuliahnya, Dinda baru lulus SMA.

"Hai, sobat !" pekik Adhit ambil berdiri, lalu memeluk hangat sahabatnya.
"Silahkan duduk dulu," Adhit menarik Raka agar duduk di sofa yang ada diruangan itu, agak jauh dari meja kerjanya.
"Terimakasih,"
"Mirna, tolong ambilkan minuman di kulkas ya," perintah Adhit kepada Mirna.

Mirna mengangguk, lalu mengambil dua botol minuman ringan yang kemudian diletakkannya diatas meja didepan sofa itu.
Mirna melirik sedikit kearah tamu atasannya, lalu menundukkan muka.

"Sekretarismu mas ?"
"Ya, sudah.. matanya jangan melotot kearah sana saja, aku panggil Ayud ya." Adhit berdiri, menekan interkom kearah ruangan adiknya.
"Apa mas?"
"Kesini sebentar, ada tamu untuk kamu."
"Siapa?"
"Sudah, datang aja , jangan banyak bertanya."

Interkom ditutup dan Adhit kembali menemui Raka.

"Apa kabar Dinda?"
"Baik, dia sudah lulus SMA, mau kuliah di Jawa katanya."
"Bagus, disini saja, nanti tinggal dirumahku, kan ada Ayud yang bisa menemani dia."
"Entahlah mas, kayaknya ibu juga berat melepas anak perempuannya."

Ketika terdengar ketukan dipuntu, lalu tiba-tiba Ayud masuk,terbelalak matanya melihat siapa yang datang.

"Kamu? Raka?" teriaknya riang kemudian menyalaminya dengan hangat.
"Semakin cantik kamu Yud.." puji Raka.
"Iya lah, aku kan putri Solo," jawab Ayud sambil tersenyum.
"Benar.. putri Solo memang cantik-cantik."
"Tante Retno juga putri Solo kan, makanya cantik." jawab Ayud untuk menyembunyikan rona merah diwajahnya karena mendapat pujian.
"Iya, ibu sama bapak titip salam buat Adhit dan Ayud."
"Terimakasih, besok kalau pulang nitip salam kembali ya. Oh ya, apa kabar Dinda?"
"Dia baik, sudah lulus SMA lho,"
"Oh ya, mau kuliah dimana? Di Solo saja, nanti tinggalnya sama aku, seneng aku ada teman perempuannya, habis kalau sama mas Adhit berantem terus."
"Aku juga menyarankan begitu. Mau ambil apa dia?"
"Belum tau, mash bingung dia."
***

Pembicaraan itu dilanjutkan disebuah rumah makan ketika Adhit mengajak makan siang bersama.

"Sebenarnya aku mendapat panggilan wawancara disebuah universitas swasta disini," kata Raka.
"Oh ya, Universitas mana , kamu mau jadi dosen?"
"Ini..." Raka mengeluarkan sebuah surat panggilan wawancara kepada Adhit.
"Oh, ini bagus. hallo bapak dosen, seneng ngedengarnya. Tinggal dirumahku yuk, maksudnya dirumah eyangku," ajak Adhit.
"Wah, nenekku sudah wanti-wanti kalau nanti diterima harus menemani dia di Tumenggungan.Kalau nenek dari ibu kan sudah nggak ada semua."
"Iya sih, kabarnya dulu om Raharjo mau mengajaknya ke Medan tapi nggak mau."
"Iya, simbah masih menekuni dunianya, masak memasak untuk orang banyak."
"Kita harus menghormatinya Ka, selama masih kuat, biarkan saja menjalani apa yang disukainya. Syukur-syukur kamu bisa tinggal bersamanya dan menjaganya."
"Semoga saja."
"Nanti sarankan Dinda agar kuliah di Solo juga Ka," sambung Ayud yang sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraan raka dan kakaknya.
"Pengin dia, ini lagi ngrayu ibuku supaya mengijinkan."
"Aku minta nomor kontaknya dong, supaya bisa nyambung sama dia."

Raka menuliskan nomor adiknya dan dikirimkannya pada Ayud.

"Mas, sekretarismu cantik juga ya," tiba-tiba Raka teringat sekretaris cantik yang tadi meliriknya, walau hanya sebentar.
"Oh, iya, namanya Mirna, mau kenalan lebih jauh?"
"Huh..!!" tiba-tiba Ayud mencibir.
"Ayud, aku pengin nanya nih, mengapa kamu mengira bahwa Mirna itu genit? Jangan suka men jelek-jelekkan orang gitu dong." tegur Adhit.
"Aku itu kan mewawancarainya awal, aku sudah tau karakter dia."
"Kamu bilang genit? Tapi menurutku dia itu sangat santun. Memandang kearah aku pun dia tidak berani langsung."
"Aku melihat dia ketika sebelum diwawancara, bercanda dengan karyawan-karyawan pria, dan sikapnya genit lho. Entahlah, aku nggak suka aja, ada yang aneh, aku heran ketika mas Adhit memilih dia. Padahal ada dua pilihan lainnya yang juga bagus."
"Kamu tuh... nggak gitu lho, dia baik kok."
"Jangan sampai mas Adhit tergoda sama dia ya." sungut Ayud.
Raka tertawa.
"Memang dia cantik, tapi kan nggak semua yang cantik itu menarik."
"Kamu juga jangan sampai tergoda,"
"O, kalau ini namanya cemburu.." goda Adht.
"Eeeh, enak aja... siapa cemburu? Raka itu satu tahun dibawah saya, masih anak-anak dia."
"Apakah itu halangan?" kata Adhit. Tampaknya Adhit ingin sekali menjodohkan Raka dengan adiknya. Tapi keduanya hanya ter tawa-tawa menanggapi.
***

Seusai jam makan siang Mirna sudah kembali ada diruangan kerjanya. Dilihatnya Adhitama belum kembali duduk dimejanya. Pasti masih sibuk menjamu tamunya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari ibunya.

"Hallo ibu... iya, sudah makan dan sudah kembali diruang kerja... ibu sudah makan? Baiklah ibu, ya.. pak Adhit baik, dan gantheng sekali..(Mirna tertawa genit) tapi aku masih takut mendekati.. oh.. ya? Aku belum pernah melihatnya.... yaa..  ada adiknya.. Ayudya, tapi tampaknya ia kurang suka sama Mirna, nggak tau kenapa.. nggak.. ibu jangan khawatir, Mirna bisa membawa diri.. dan pasti itu bu.. percayalah ibu nggak akan kecewa... belum bu.. belum ada yang bisa Mirna lakukan.. semua demi ibu. Tapi bagaimana kalau Mirna jatuh cinta sama pak Adhit? (tertawa lagi)... iya bu.. nggak.. jangan khawatir.. ibu nggak akan kecewa. Baiklah bu, kelihatannya mas Adhit sudah datang."

Mirna menutup ponselnya ketika Adhitama memasuki ruangan, sendiri.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER