Mirna menundukkan wajahnya dan menekuni pekerjaannya begitu Adhit masuk keruangannya. Adhit memandangnya sekilas, lalu melihat ponsel Mirna tergeletak dimeja disamping laptopnya.
"Kalau masih ingin menelpon, mengapa tiba-tiba dihentikan?" tegur Adhit karena tadi sempat melihat Mirna meletakkan ponsel dengan gugup begitu dia masuk.
"Nggak pak, dari ibu, menanyakan apakah saya sudah makan atau belum," jawab Mirna pelan.
"Ibumu sangat perhatian pada anak gadisnya."
"Ibu hanya hidup bersama saya pak. Sejak saya masih kecil. Dia sangat menderita," kata Mirna pelan, dan terdengar pilu.
"Tapi ibumu beruntung memiliki anak sebaik kamu."
Mirna tersenyum, ia mengangkat wajahnya, memandangi Adhit dengan rasa terimakasih. Adhit melihat kilatan mata yang belum dimengerti artinya.
Mirna tiba-tiba terbatuk-batuk. Ia menghentikan pekerjaannhya, lalu merogoh kedalam tas yang ada di almari mejanya, seperti mencari sesuatu. Adhit yang melihatnya segera menunjuk kearah almari obat yang ada disudut ruangan.
"Ada obat gosok disitu, kamu mencari obat gosok kan?"
Mirna mengangguk, kemudian berdiri mengambil obat gosok kearah yang ditunjuk Adhit. Diambilnya obat itu lalu kembali duduk. Ia membuka sedikit kerah bajunya, barangkali lupa ada Adhitama disana, atau memang sengaja, ia menggosokkannya dengan santai dengan tangan agak masuk kedalam dadanya. Adhit tak menatapnya, ia sibuk membalik balikkan map yang tergeletak dimejanya. Mirna menghela nafas, melirik sekilas kearah priya ganteng yang sedang menunduk dan tak mengacuhkannya. Ada rasa kecewa yang dirasakannya. Namun ia kemudian menyadari bahwa laki-laki yang diam-diam dikaguminya itu memang tak mudah dibuatnya tertarik pada dirinya.
"Hm, apakah ayahnya dulu juga melukai ibuku dengan kebekuan hatinya?" bisik batin Mirna yang kemudian mengembalikan obat gosok itu ketempatnya semula.
Terbayang kembali sa'at ia masih berumur 5 tahunan, ayahnya sepulang dari kerja tiba-tiba menempelang ibunya sehingga ibunya terpelanting ke lantai.
"Siapa laki-laki itu? Yang mengajakmu makan dirumah makan mewah?"
"Bukan siapa-siapa, dia teman aku," pekik ibunya sambil menangis.
"Tapi dia juga membawamu ke hotel !!" hardik ayahnya sambil menampar lagi wajah yang masih terkulai dilantai.
Ibunya menjerit.
"Bohong !!"
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kamu keluar bergandengan tangan dari hotel itu!!"
"Tidaak !!"
"Jangan menyangkal! Perempuan tak tau malu kamu, perempuan murahan! Kecantikanmu kau pergunakan untuk menggoda banyak lelaki yang mengenal kamu!!"
Tiba-tiba ayahnya mengambil sebuah botol yang tadi diletakkannya dimeja, membuka tutupnya dan disiramkannya ke wajah ibunya. Mirna menangis keras melihat ibunya ber guling-guling kesakitan, lalu melihat ayahnya pergi dan tak pernah kembali lagi kerumah itu.
Menitik air mata Mirna yang kemudian diusapnya dengan tissue yang ada dihadapannya. Beruntung Adhit tak memperhatikannya.
Ibunya yang buruk muka selalu memakai penutup muka kalau mau pergi ke mana-mana. Ia bekerja keras menyekolahkan dirinya hingga menjadi sarjana.
Kemudian ia mendapatkan tugas yang maha berat dari ibunya. Melampiaskan dendamnya.
Ia tak mengerti mengapa dendam itu dijatuhkannya bukan pada orang yang telah membuatnya cacat, tapi kepada seseorang yang dia tidak mengenalnya.
"Aku ter lunta-lunta, dibuang oleh keluargaku karena dia, karena dia !! Lalu laki-laki brengsek yang bilang mencintaiku telah berlaku kejam kepadaku. Dia.. bukan ayahmu awal mula petaka ini, jangan sampai aku mati membawa dendamku," tegas waktu itu pesan ibundanya.
Sekali lagi ia mengusap setitik bening yang mengambang dimatanya. Ada rasa ingin berontak, tapi derita ibunya kembali membayang dipelupuk matanya.
"Tapi bagaimana kalau aku tiba-tiba jatuh cinta padanya?" tanya Mirna pada ibunya pada suatu malam.
"Tidak! Jangan sekali-sekali kamu jatuh cinta pada lelaki. Kamu boleh menggodanya, membuat mereka jatuh bangun karena kecantikan kamu, tapi jangan pernah kamu jatuh cinta. Seperti ibu ini, tak pernah memiliki cinta, kecuali dirimu," kata ibunya sambil menatapnya tajam.
Mirna menghela nafas dalam-dalam, ia melirik kearah Adhit yang masih sibuk dengan pekerjaannya, dan ada debaran aneh memenuhi dadanya. Alangkah ganteng laki-laki ini, alangkah mempesona setiap tutur kata dan senyumannya. Ia terkejut ketika tiba-tiba Adhit mengangkat kepalanya dan menatapnya. Adhit merasa Mirna sudah lama menatapnya.
"Ada apa? " tanya Adhit
Mirna terkejut, buru-buru ditundukkannya wajahnya.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Sebetulnya, saya.. sedikit pusing," jawabnya sekenanya.
"Kamu mau minum obat? Ada obat pusing disana," kata Adhit sambil menunjuk kearah almari obat itu lagi.
"Tidak, bolehkah.. saya.. saya.. minta ijin untuk.. pulang .. sekarang?" tanyanya terbata.
"Oh, tentu .. kalau kamu memang sakit, bisa pulang sendiri?"
Mirna berdebar, apakah Adhit akan mau mengantarkannya pulang?
"Kalau tidak bisa biar Sarno mengantar kamu pulang, akan aku panggil dia."
Mirna kecewa. Kalau hanya diantar sopir, lebih baik pulang sendiri, bisik batinnya.
"Tidak, saya bisa pulang sendiri."
***
"Mas, mengapa sesiang ini sekretaris mas sudah pulang?" tanya Ayud ketika menjelang pulang memasuki ruang kerja kakaknya.
"Dia sakit, katanya kepalanya pusing?"
"Tapi aku melihat dia bercanda sama anak-anak yang didepan itu, nggak kelihatan sakit deh."
"Ah, kamu itu.. memang sih kalau nggak suka sama orang tuh semua-semua jadi nggak bagus," tegur Adhit sambil membenahi map-map dimejanya.
"Itu benar, masa sih aku meng ada-ada."
"Ayo, bantuin aku mengemasi barang-barang ini, kita harus cepat pulang, nanti ada janji jalan-jalan sama Raka kan?"
"Mengapa bukan sekretaris mas tadi yang mas suruh ngeberesin semua ini?" sungut Ayud.
"Kamu itu... sudah lah, lakukan saja, ini perintah atasan, tau!"
Ayud mencibir, dan Adhit memandangi dengan tersenyum menang. Ayud yang sedikit bandel tak pernah membantah apa kata kakaknya. Ia gadis manis yang amat penurut. Tapi ketika dia tidak menyukai seseorang, susah mengendapkannya.
"Aku tadi sudah menelpon Dinda."
"Oh ya, kamu rayu dia agar mau kuliah disini?"
"Ya, tapi dia bilang sedang merayu ibunya."
"Ngangenin anak itu ya."
"Hei, dia masih kecil tau, jangan sampai mas mengganggunya."
"Enak saja, memangnya aku tukang mengganggu gadis-gadis?"
"Biasa lah, laki-laki kalau merasa ganteng lalu di mana-mana tebar pesona."
"O, jadi kamu mengakui kalau kakak kamu ini ganteng?"
"Eit.. nggak jadi," lalu keduanya terkekeh senang.
"Udah terlanjur tuh, sorry ya.... "
"Aku panggil pak Sarno dulu, supaya siapkan mobilnya."
***
Hari itu hari Minggu, ketika Adhit pergi bersama Raka, Ayud memilih berbelanja bersama neneknya disebuah supermarket. Banyak belanjaan mereka, dan karena kelelahan Ayud mengajak neneknya minum di sebuah rumah makan.
"Eyang, bolehkah nanti Dinda tinggal disini ?"
"Dinda siapa?"
"Dinda teman bermain Ayud waktu di Jakarta,"
"Dia mau bekerja disini ?"
"Bukan, dia baru saja lulus SMA, kalau diperbolehkan sama orang tuanya, dia ingin kuliah disini. Boleh ya yang?"
"Boleh saja, rumah kita kan besar, seneng kalau bisa tinggal rame-rame."
"Semoga saja jadi.."
"Kamu tuh ingin punya teman main ya?"
"Dia itu cantik, baik, pintar lho yang.. Dinda suka punya adik seperti dia."
"Sayangnya dulu kamu nggak punya adik lagi ya?"
"Ya nggak apa-apa eyang, bisa cari adik yang lain. Habis kalau sama mas Adhit bertengkar melulu. Mas Adhit suka deh nggangguin Ayud."
Bu Brroto tertawa sambil menepuk pipi Ayud pelan.
"Itu karena kakakmu itu sayang sama kamu. Ayu sekarang kita pulang, masih mau makan juga kamu?"
"Nggak, kan yu Supi sudah masak enak buat kita, kalau kita makan disini nanti masakan yu Supi nggak laku deh."
"Iya, kamu benar."
Ketika keluar dari rumah makan itu, Ayud mendahului mengambil mobil di parkiran, sedangkan neneknya disuruhnya menunggu di lobi.
Bu Broto duduk disebuah bangku yang ada disana, lalu tiba-tiba dilihatnya seorang perempuan sedang duduk sambil menoleh kesana kemari, lalu membuka bungkusan belanjaan yang ada disampingnya, sambil duduk diatas tangga . Perempuan itu tampak bingung, ia yang tadinya duduk kemudian berdiri sambil meraba-raba saku baju panjangnya. Tampaknya ada yang dicarinya tapi tidak ketemu.
Karena kasihan bu Broto mendekatinya, karena tangga itu letaknya tak jauh dari bangku dimana dia duduk.roto yang kemudian terkejut melihat perempuan itu memakai cadar yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Hanya sepasang matanya yang menyorot tajam tampak tergenangi butiran bening.
"Jangan menangis, ada apa?"
"Dompet saya hilang," kata perempuan itu sambil mengusap air mata. Bu Broto mengamatinya dengan iba. Perempuan itu berpakaian lusuh, tampaknya habis membeli sesuatu disekitar tempat itu, tapi kemudian menyadari bahwa dompetnya hilang.
"Isinya banyak?" tanya bu Broto.
"Uang belanja dari majikan saya, sekarangpun saya nggak bisa pulang karena nggak punya ongkos.
"Rumahnya jauh?"
"Kampung Nusukan,"
"Kok belanjanya jauh sekali sampai disini?"
"Saya bekerja didaerah sini, karena hari Minggu saya boleh pulang setengah hari."
Sementara itu mobil yang dibawa Ayud telah sampai didepan lobi, lalu dibunyikannya klakson agar neneknya memasuki mobil. Ayud melangkah turun untuk membukakan pintu bagi neneknya. Mata perempuan bercadar itu berkilat menatapnya.
Bu Broto membuka dompetnya, lalu memberikan selembar uang ratusan ribu kepada perempuan itu.
"Sekedar buat ongkos pulang ya bu," kata bu Broto sambil berlalu, lalu memasuki mobilnya. Tapi ketika melihat sorot kedua mata perempuan itu, ada rasa merinding yang meremangi bulu kuduknya.
Perempuan itu menerimanya, dan memasukkannya kedalam saku bajunya, lalu berdiri dan melangkah pergi, tapi ia sempat mencatat nomor mobil itu.
Bu Broto memasuki mobil cucunya yang kemudian berjalan keluar dari arena parkir.
"Siapa tuh yang?"
"Orang, hampir menangis kehilangan dompetnya."
"Aku kasih dia uang untuk ongkos pulang."
"Rumahnya jauh?"
"Nusukan atau mana, katanya.."
"Mengapa belanja sejauh itu?"
"Dia bekerja disebuah rumah didekat situ, itu tadi mau pulang dan mampir belanja. Tapi dompetnya hilang."
"Perempuan bercadar, Ayud jadi ingat sesuatu..," gumam Ayud.
==========
"Apa yang kamu pikirkan Yud?" tanya bu Broto ketika melihat Ayud seperti memikirkan sesuatu.
"Enggak eyang, Ayud jadi teringat sekretarisnya mas Adhit. Si Mirna, itu ibunya juga ke mana-mana memakai cadar. Tapi itu karena mukanya cacat."
"Oh ya? Nggak tau eyang, apakah perempuan itu memakai cadar karena cacat atau karena memang suka memakai cadar."
"Iya, kan nggak kelihatan wajahnya ."
"Tapi matanya itu...."
"Matanya kenapa yang?"
"Nggak tau kenapa, ketika menatap, sorot matanya kok seperti.. aduh, nggak tau kenapa tiba-tiba eyang jadi merinding melihatnya."
"Wah.. sayang tadi Ayud nggak sempat melihatnya."
"Memangnya ibunya Mirna itu cacat kenapa?"
"Kata mas Adhit disiram air keras sama suaminya."
"Wadhuuh, ada suami sekejam itu? Jadi teringat eyang kakungmu, dia itu galak, selalu mau menang sendiri, tapi sama eyangmu ini sayang banget lho. Jadi kangen.." kata bu Broto sendu.
"Eyang nih, sudah.. kan eyang sendiri bilang bahwa eyang kakung sudah ada di surga sana. Aamiin."
"Aamiin.."
Ketika mobil Ayud memasuki pekarangan rumah, dilihatnya Adhit dan Raka sudah ada disana.
Raka segera berlari mendekat begitu melihat Ayud mengangkat barang belanjaan yang banyak, ia menyalami bu Broto dan mencium tangannya, lalu membantu mengangkat belanjaan kedalam.
"Terimakasih nak," kata bu Broto senang.
Ayud langsung kebelakang mencari yu Supi.
"Yuuu... masakan sudah matang?"
"Sudah jeng, segera saya tata dimeja ya."
"Baik yu, sekalian ada tamunya mas Adhit ya."
"Baik jeng."
***
Mirna menunggu didepan rumah sambil berpangku tangan. Ini hari Minggu, tapi ibunya nekat berangkat kerja. Katanya hanya setengah hari, sambil mau belanja setelah mengambil uang gaji bulanannya. Tapi sudah lewat tengah hari ibunya belum nampak juga.
Ia memandangi sekeliling rumah, mendongak keatas langit-langit rumah, dan batinnya mengeluh. Rumah sederhana yang mereka tinggali bertahun-tahun lalu belum nampak perubahan apapun. Ada beberapa genting pecah, plafon yang bolong keropos karena tua, dan cat yang kusam dan tampak lumut di sana -sini.
Mirna melangkah kearah jalan.. lalu menebarkan lagi pandangannya kearah rumah. Ia melihat pintu masuk yang juga sudah tua, dan bolong disamping serta bawahnya. Mirna merasa bahwa hidupnya sengsara selama ber-tahun-tahun. Ia kesal pada ayahnya yang kejam, yang kemudian meninggalkan ibunya dalam keadaan terluka bakar diseluruh wajahnya, dan membuat hidup mereka benar-benar sengsara.
Yang membuat dia heran, ibunya tak pernah merasa dendam pada ayahnya. Dendam itu justru terus membakarnya terhadap seseorang yang dia belum pernah melihatnya, yang kemudian dirinya lah yang mendapat tugas untuk membalaskannya.
Mirna menghela nafas panjang. Terbayang olehnya wajah Adhitya yang tampan, santun dan sangat baik terhadap dirinya. Lalu ia merasa dadanya berdebar. HANCURKAN DIA SAMPAI LUMAT MENJADI DEBU !!
Aduhai.... orang sabaik dia, setampan batara Kamajaya dalam pewayangan, begitulah dulu kalau ibunya mendongeng tentang wayang. Yang terbaik dan tertampan adalah batara Kamajaya, berpasangan dengan Dewi Kamaratih, bidadari paling cantik di kahyangan.
Jauh didalam lubuk hatinya Mirna berontak. Ia tak bisa mengerti mengapa ibunya bersikap seperti itu. Apakah karena ia merasa jatuh hati pada atasannya yang tampan itu? Mirna akan menanyakan se jelas-jelasnya tentang dendam itu.
Tiba-tiba dilihatnya langkah-langkah gontai memasuki gang yang menuju kearahnya. Itu ibunya. Mirna berjalan menjemputnya, lalu meraih sebuah tas belanjaan yang dibawanya.
"Ibu belanja apa saja?"
"Banyak, kebutuhan untuk beberapa hari, mumpung ibu ada uang. Tapi sial.. dompet ibu hilang."
Mirna menatap ibunya iba. Dompet hilang?
"Ada banyak uang didalamnya bu?"
"Aku menerima gajiku limaratus ribu rupiah, lalu aku belanja, kira-kira seratusan limapuluh ribu. Sisanya didalam dompet, hilang," Omelnya sambil melangkah tersaruk saruk.
"Ya ampun bu, bagaimana bisa hilang? Jatuh, atau dicopet orang?"
"Nggak tau aku, begitu aku duduk sambil menungu angkutan lewat, dompet itu sudah nggak ada."
"Jadi ibu pulang berjalan kaki?"
"Nggak, ada orang memberi aku uang seratus ribu, untuk ongkos. Ini sisanya," katanya sambil menunjukkan segenggam uang kembalian dari tukang angkot.
"Oh, baik benar orang itu.. beruntung ada orang baik sehingga ibu tak harus pulang sambil berjalan kaki.
"Ya, sebenarnya aku tidak suka.."
"Apa maksud ibu?"
"Orang itu, keluarga musuh besarku."
"Ibu..."
"Sudah jangan banyak bertanya, aku letih dan lapar."
"Iya, masih ada makanan sisa pagi dan sudah Mirna angetin," kata Mirna sambil menggandeng ibunya masuk kedalam rumah.
***
Malam itu sambil berbaring disamping Mirna, Widi perempuan cacat itu masih saja mengeluh.
"Uang itu lumayan banyak, aku bekerja sebulan baru mendapatkannya, bagaimana bisa hilang begitu saja," keluhnya.
"Sudahlah bu, yang sudah hilang tidak usah disesali. Sebentar lagi Mirna akan menerima gaji, nanti Mirna berikan semuanya pada ibu," hibur Mirna.
"Hmh...," Widi mendengus kesal.
"Nanti ibu tidak usah bekerja lagi, Mirna kira itu cukup untuk kita berdua."
"Ibu tidak suka berdiam diri saja dirumah."
"Kalau begitu bekerjanya jangan jauh-jauh dari rumah, didekat dekat sini saja."
"Mana mau orang-orang sekitar memperkerjakan aku? Mereka sudah tau aku ini seperti apa, wajahku ini menakutkan bagi semua orang. Itu sebabnya aku berkerja ditempat yang agak jauh, mereka tidak memaksa aku membuka cadarku, yang penting aku bekerja dengan baik dan tidak mengecewakan mereka."
"Ibu pasti letih."
"Tidaak, berpuluh tahun aku bekerja dan tidak pernah merasa letih."
"Bu, bolehkah Mirna bertanya lagi?"
"Bertanya apa lagi? Besok aku dan kamu harus berangkat bekerja pagi-pagi, jadi cepatlah tidur."
"Sedikit saja.."
"Apa itu?"
"Ibu, sesungguhnya Mirna tidak bisa mengerjakan sesuatu yang tidak sepenuhnya Mirna mengerti. Maksud Mirna, ibu menyuruh Mirna menghancurkan sesuatu yang Mirna tidak tau mengapa.."
"Mirna, kamu sudah pernah mendengar ibu berkata bahwa laki-laki itu penyebab semuanya? Penyebab ibumu ini terbuang dari keluarga, hidup terlunta dan menjadi perempuan hina?"
Mirna merinding, karena keras sekali suara ibunya ketika mengetakan itu.
"Tapi, dia itu sangat baik.. sangat..."
"Hentikan Mirna, baiklah, dengar baik-baik ibu akan katakan semuanya."
'Ketika itu, karena dia, aku terusir dari keluargaku. Om Haris yang adik kandung ibuku, mengusirku seperti anjing dari perusahaan besarnya. Karena dia, karena ulah dia !! Aku tak berani pulang ke Semarang, aku melanjutkan hidup di Jakarta dengan sisa uang yang masih ada, dan bekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya karena tak ada satupun dari pekerjaan itu yang bisa membuatku tenang. Wajah tampan yang dengan penuh kebencian menatapku, selalu terbayang dalam ingatanku. Dan aku simpan dendam itu, yang kemudian memuncak ketika dia dan isterinya kemudian mengandung anak keduanya, dan mendapatkan kedudukan penting diperusahaan itu. Ada pesta hiruk pikuk ketika sepupuku Retno akhirnya juga menikah dan bahagia, sedangkan aku menatap dari kejauhan dengan linangan air mata darah.
Aku melangkah dengan gontai malam itu, Pulang ke rumah kontrakanku dengan hati semakin hancur.
Setahun dua tahun aku bertahan, kemudian aku memutuskan untuk pulang ke Semarang.
Malam itu ketika sedang menunggu kereta yang akan membawaku pulang, aku didekati seorang laki-laki gagah.'
"Anda mau ke Semarang?" tanyanya
"Ya," jawabku
"Kebetulan, Semarang nya dimana?"
'Aku tak mau mengatakan alamatku yang sesungguhnya karena sesunguhnya aku tidak percaya pada laki-laki itu.'
"Aku sedang mencari alamatnya," jawabku sekenanya.
"Didaerah mana ya? Siapa tau kita bisa bareng nanti."
"Nanti sesampai di Semarang aku baru mau menelpon dia," jawabku.
'Dan celakanya, laki-laki itu ternyata memiliki tempat duduk yang berseberangan denganku. Disepanjang perjalanan ia mentraktirku makan dan minum yang tak sempat aku tolak. Sesungguhnya karena aku memang lapar.
Tapi sebelum sampai di Semarang aku merasa kepalaku sangat pusing, aku tidak sadar ketika dia memapahku turun dan membawaku entah kemana. Ketika kemudian dia membaringkan aku disebuah tempat tidur, aku merasa sangat menginginkannya. Aku seperti orang kehausan yang mengharapkan setetes air, aku lupa segalanya dan menuruti semua keinginannya.
Pagi hari ketika sadar aku sudah berada didalam sebuah kamar, yang ternyata adalah kamar hotel. Aku merasa tubuhku sakit semua, aku melihat ceceran darah dialas tidurku, dan aku menyadari bahwa aku nyaris tanpa pakaian. Tubuhku berselimut dan laki-laki itu sedang duduk ditepi pembaringan sambil merokok.
Aku berteriak marah.'
"Ssst... jangan berteriak, tak akan ada gunanya."
"Jahanam kamu, bedebah ! Kamu memperkosa aku!!"
"Tidaaaak, kamu melayani aku dengan suka rela, sungguh kamu menikmatinya.." katanya santai.
'Aku menangis keras, tapi dengan lembut dia memelukku.'
"Jangan menangis, semuanya sudah terjadi. Percayalah aku akan bertanggung jawab."
'Aku seperti kehilangan pegangan. Kalau aku pulang, aku harus pulang pada siapa? Dalam keadaan seperti ini?
Dan beruntung dia memang benar-benar mengambil aku sebegai isterinya, lalu aku melahirkan kamu. Dia yang seorang buruh bangunan berpindah pindah pekerjaan, dimana ada proyek yang membutuhkannya kesitulah kami pindah, sehingga sampai kekota ini.
Tapi aku tak pernah mencintai dia.'
Widi menghela nafas sejenak, disampingnya Mirna mendengarkan dengan air mata bercucuran dan jiwa penuh luka.
'Lalu terjadilah peristiwa itu, ayahmu menyiram aku dengan air keras dan aku menjadi seperti ini. Bukan sepenuhnya salah ayahmu, aku yang membuatnya marah.'
Widi tak pernah menceriterakan bahwa kemarahan suaminya adalah karena dia berkencan dengan laki-laki yang bisa memberinya uang banyak. Itu sebabnya ia tak sepenuhnya menyalahkan suaminya.
'Laki-laki bernama Galang itulah yang membuat hidupku terlunta-lunta, sengsara, hina dan penuh nestapa. Aku harus membalasnya, melalui kamu Mirna !!'
Mirna terpaku diam, dan ibunya memejamkan matanya, tenggelam dalam lautan dendam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel