Cerita bersambung
Pagi itu Adhitama melihat Mirna yang berbeda dari biasanya. Wajahnya sedikit pucat, mungkin karena semalam kurang tidur. Hatinya benar-benar gelisah. Ia mendengar semuanya tentang ibunya, kisah hidupnya sungguh membuatnya merinding, lalu tentang dendam yang harus terlapiaskan dan tak ingin dibawanya sampai mati.
"Kamu masih sakit?" tanya Adhit
"Oh, tidak.. saya baik-baik saja, jawab Mirna gugup. Ia kemudian mengeluarkan laptopnya, lalu mulai menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya.
"Kan kemarin kamu bilang pusing?"
"Sekarang sudah enggak.."
"Tapi wajah kamu pucat sekali."
"Oh, masa? Tapi sungguh saya tidak apa-apa."
"Baiklah, tapi kalau memang sakit jangan dipaksakan juga. Hari ini akan banyak pekerjaan buat kamu. Ada surat perjanjian kerja yang harus kamu selesaikan hari ini."
"Nggak apa-apa, akan saya kerjakan pak."
Adhitama mengangguk-angguk.Tapi demi dilihatnya wajah pucat itu, runtuhlah rasa iba nya. Adhit pasti terpengaruh oleh latar belakang keluarga Mirna yang sangat sengsara.
Seorang ibu yang cacat dan bekerja keras demi anaknya, alangkah mulia ibu itu. Seandainya Adhit tau ....
Tapi sebelum makan siang itu, ia melihat Mirna terkulai dimeja. Adhit sangat terkejut. Ia mendekati meja Mirna dan menyentuh lengannya. Mirna mengangkat kepalanya pelan.
"Ma'af pak, ma'af...." katanya lalu bermaksud melanjutkan pekerjaannya.
"Jangan, kamu beristirahat saja dulu, kalau mau berbaringlah di sofa sebentar, aku akan memanggil dokter."
"Tidak, jangan pak.. saya tidak apa-apa, biarlah saya berbaring saja disofa sebentar.." kata Mirna yang kemudian berdiri, dan berjalan kearah sofa.
Adhit menuntunnya.
Tubuh gadis itu bergetar. Lalu ia membiarkannya terbaring di sofa lanjang, memberinya bantal agar bisa berbaring lebih nyaman.
Mirna terkulai, matanya terpejam, Adhit membenarkan letak rok pendeknya yang sedikit tersingkap, ah.. dia kan tidak sengaja, lalu Adhit kembali ke mejanya. Ditekannya interkom diruang Ayud, yang masuk keruangannya tak lama kemudian.
"Ada apa mas? Heii... kenapa dia?" tiba-tiba kata Ayud sambil mendekat.
"Dia sakit."
"Tidur dia," pekik Ayud pelan.
"Dia sakit.." tolong antar dia ke dokter.."
"Aku? Nggaaak, biar CS saja mengantarya.. aku akan memanggil pak Sarno," kata Ayud yang kemudian memutar nomor telepone pak Sarno sopirnya, kemudian ia memanggil CS masuk kedalam untuk membantunya.
"Menurutku dia tidur pulas," kata Ayud lagi.
"Ayud.." Adhit memelototkan matanya kearah adiknya.
"Dia mendengkur, dengar, tidur nyenyak, dia tidak sakit, hanya mengantuk sekali."
Adhit juga mendengar dengkuran halus Mirna, ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu suruh Sarno mengantarnya pulang,"
"Nah, itu baru bagus, enak saja sa'at kerja dia mengantuk. Apa semalam dia ronda?" omel Ayud.
"Ayud !!" lagi-lagi Adhit memelototi adiknya.
Ayud memeletkan lidahnya, lalu begitu CS masuk segera disuruhnya membangunkan, karena pak Sarno sudah siap didepan pintu.
Mirna menggeliat, lalu tiba-tiba duduk begitu melihat siapa yang membangunkan, dan ada Ayud serta pak Sarno disitu.
"Ma'af... saya.."
"Kamu boleh pulang dan tidur seharian, biar pak Sarno mengantarmu."
"Ttap..pi.. saya..."
"Pulanglah, ini perintah."tegas kata Adhit yang tak mau lagi Mirna membantahnya.
Begitu Mirna pergi, Ayud memprotes kakaknya.
"Aku juga mengantuk, bolehkah aku pulang?" ejak Ayud.
"Ayud, kamu tidak tau, dia tidak sekedar mengantuk, mungkin semalaman tidak tidur, tapi ada yang membebani perasaannya. Biarkan dia istirahat dulu."
"Senang ya, ponya bos yang penuh pengertian dan serba tau tentang karyawannya," kata Ayud sambil melangkah keluar. Entah mengapa Ayud sangat tidak suka pada Mirna, dan Adhit tak bisa mengerti mengapa Ayud bersikap seperti itu.
Menurut Adhit, Mirna gadis yang pantas dikasihani.
Cerita tentang ibunya yang penuh derita sangat menyentuh hatinya. Jangan bilang jatuh cinta, tidaaak.. Adhit seorang yang tidak mudah jatuh cinta, tapi hatinya lembut, selembut salju.
Penuh belas kasihan dan kasih pada sesama. Berbeda dengan Ayud yang angin-anginan, dan sering melakukan hal sekehendak hatinya. Beruntung Ayud masih punya sungkan dan takut pada kakaknya, sehingga kenakalan yang dilakukannya sering bisa terkendalikan.
***
"Mengapa kamu sudah ada dirumah ketika aku baru saja pulang?"
"Tadi Mirna ketiduran di kantor, dan tampak seperti sakit, sehingga pak Adhitama menyuruh Mirna pulang. Ini Mirna juga baru bangun dari tidur."
"Diantar oleh bos kamu?"
"Tidak, sopirnya,"
"Mengapa kamu tidak minta supaya dia mengantarkan kamu?"
"Ya sungkan lah bu, kan dia sudah memerintahkan sopirnya buat mengantar."
"Kamu kurang pintar merayu laki-laki," omel ibunya.
"Ibu.... Mirna baru sebulan bekerja, belum berani berbuat yang aneh-aneh. Nanti kalau tiba-tiba malah Mirna dikeluarkan bagaimana?"
"Bodoh !! Itu jangan sampai terjadi. Dengar Mirna, cepat atau lambat kamu harus membuat dia jatuh cinta sama kamu. Lalu hancurkan dia !!"
"Ibu..."
"Mirna, mengapa kamu menatap ibu seperti itu?"
"Dia sangat baik..." kata Mirna lirih, sambil menghempaskan perasaan aneh yang tiba-tiba menyelinap dihatinya.
Wajah ganteng itu, tatapan yang menghipnotisnya selalu...
"Mirna, jangan bilang kalau kamu tertarik padanya. Awas kamu !!"
"Ya bu,"jawab Mirna pelan.
Ibunya melepas cadar yang dikenakannya, lalu melangkah kebelakang untuk mandi. Bagai teriris hati Mirna melihat wajah yang buruk dan pasti menakutkan bagi orang lain. Bibirnya hampir tak ada, menampakkan gigi yang beberapa biji sudah tanggal, hidung yang tak berbentuk , pipi yang penuh carut-carut, beruntung mata itu masih bisa melihat, walau tak lagi indah karena kelopak matanya tak lagi utuh.
Mirna menghela nafas sedih. Batinnya bertarung antara menuruti dendam ibunya atau hanyut dalam tatapan mata bapak bos yang menawan.
***
"Ibu, tadi mas Raka menelpon," kata Dinda kepada ibunya, ketika ibunya baru saja pulang dari belanja.
"Oh ya, dia bilang apa?"
"Dia nanti mau bilang sendiri sama ibu. Tapi itu karena dia diterima menjadi dosen disanaa."
"Syukurlah, dia itu seperti almarhum kakekmu yang juga seorang guru, semoga cita-cita kakek bisa dilanjutkan oleh cucunya."
"Aamiin, Dinda juga senang."
"Ayo bantuin menata barang-barang belanjaan ibu ini."
"Ibu.."
"Hm... "
"Bolehkah Dinda kuliah di Solo?"
"Lho, itu lagi, kamu tega ninggalin ibu sendiri?"
"Ibu kan sama bapak, masa sendiri."
"Kalau bapak di kantor kan ibu jadi sendiri."
"Tapi Dinda pengin kuliah disana, kan ada mas Raka juga."
"Ya nanti, kalau bapak pulang kamu bilang saja sama bapak."
"Nanti kalau di Solo, Dinda boleh kan tinggal dirumah mbak Ayud?"
"Lho, Ayud kan tinggal sama neneknya. Apa kamu nggak ingin tinggal sama simbah?"
"Mas Raka kan sudah tinggal disana, kalau dirumah mbak Ayud aku kan ada temannya."
"O, pasti mbak Ayudmu merayu kamu supaya dia punya teman kan?" kata ibunya sambil tersenyum.
Dinda tertawa.
"Nanti kalau bapak pulang, bilang saja sama bapak."
"Dinda sudah pernah bilang sama bapak, katanya tererah ibu, gitu .."
"Masa?"
"Iya..."
"Ya, nanti kita omong-omong lagi ya?"
"Horeeee..."
"Belum-belum sudah hore. Sebentar, ibu mau menelpun kakakmu dulu."
***
Tiga bulan lebih Mirna bekerja dikantor Adhit. Hari-hari yang dilaluinya terasa sangat menyiksa.
Disatu sisi ia jatuh hati pada bosnya, disisi lain ia harus menghancurkannya. Aduhai. Tapi Mirna juga merasa bahwa hati Adhit tak gampang ditundukkan.
Apakah dia sudah punya pacar? Batin Mirna penuh penasaran.
"Bagaimana?" tanya ibunya mengejutkannya dimalam ketika matanya hampir terpejam.
"Apanya bu?"
"Sudah tiga bulan lebih kamu bekerja, apa saja yang kamu lakukan? Kamu benar-benar bodoh, tak tau caranya merayu laki-laki."
"Dia itu sangat santun, nggak gampang tertarik sama wanita cantik."
"Masa?"2
Tiba-tiba ia teringat Galang yang dengan seribu satu macam cara sulit ditundukkannya. Geram hati Widi mengingatnya. Bagaimana mungkin ada laki=laki memiliki hati sekeras batu?
"Mirna..."
Mirna urung lagi memejamkan matanya. Ia ingin segera tidur dan mimpi bercumbu dengan atasannya. Ahaa.. apakah mimpi bisa diatur?
"Mirna ngantuk bu."
"Dengar, ibu punya sesuatu."
"Sesuatu apa bu?" Mirna menatap ibunya yang terbaring disisinya dengan tatapan nanar kelangit langit yang kusam.
"Obat, "
"Obat?"
"Kamu satu ruangan dengannya, sangat mudah memasukkan obat ini ke dalam minumznnya."
Mirna tertegun. Ibunya ingin membunuh Adhitama?
==========
Pagi itu diruang kerjanya Mirna lebih banyak termenung. Adhitama mengawasinya dan menangkap kesedihan nyang tersirat dmatanya.
"Kamu sakit?"
"Tidak pak... saya baik-baik saja.."
Lalu Mirna melanjutkan pekerjaannya. Ia mncoba mengibaskan perasaannya, tentang obat bubuk sebotol kecil yang diberikan ibunya.
Untuk apakah obat itu? Membunuh Adhitama? Tidak.. Mirna tak akan mampu melakukannya. Pandangannya yang teduh dan bersahabat, sama sekali tak menunjukkan bahwa ia laki-laki jahat. Ia benci ditempatkan pada situasi ini.
Seberapa besar yang dilakukan nayahnya Adhitama sehingga ibunya ingin membaasnya dengan kejam? Sebenarnya kesalahan yang bagaimana yang dilakukan Galang sampai ibunya bersikap seperti itu.
Ketika istirahat tiba, dilihatnya Adhitama berdiri dan bersiap untuk makan diluar.
"Mirna, mau makan siang bersama aku? Aku akan panggil bu Ayud dulu."
Wouw, undangan yang menyenangkan, tapi Mirna benci karena Adhitama akan mengajak adiknya. Bukankah adiknya tampak tak suka pada dirinya? Entah kenapa, Ayud tak pernah bersikap ramah padanya.
"Bagaimana?"
"Oh, terimakasih pak, tidak, saya akan makan di kantin saja nanti."
Dan Adhitama pun melangkah keluar. Mirna menyesal, mengapa bos ganteng itu tak mau memaksanya? Mirna mengambil air mineral yang terletak dimejanya, meneguknya beberapa teguk, tapi sesungguhnya ia memang lapar. Ia meraih tasnya untuk mengambil dompetnya, tapi tersentuh olehnya botol kecil itu.
Tak urung Mirna mangambilnya, lalu mengamatinya.
Apa sebenarnya serbuk putih itu? Bagaimana kalau ia mencicipinya terlebih dulu? Aduh.. mana mungkin, kalau itu racun mematikan, lalu ia mati... jangan dulu..
"Mana pak Adit?" tiba2 suara Ayud membelah lamunannya, ia mengangkat kepalanya.
"Sudah keluar bu," jawab Mirna sambil mengangguk.Ia meggenggam botol berisi serbuk putih itu erat-erat.
Ayud tanpa menjawab lalu membalikkan tubuhnya dan keluar.
Mirna menghela nafas.
"Apa salahku padanya?" bisiknya, lalu memasukkan botol serbuk putih itu kembali kedalam tas nya.
Mirna berdiri, mengambil dompetnya lalu keluar dari ruangnnya.
***
"Baru saja menelpon, sudah meninggalkan kantor. Gimana sih mas?" keluh Ayud setelah bertemu kakaknya yang ternyata menunggunya di mobil.
"Aku menelpon sambil berjalan ke parkiran, gitu aja kok ngedumel."
"Habisnya, aku tadi masuk keruangan mas, ternyata mas sudah keluar."
Mobil Adhitama meluncur keluar halaman kantor.
"Disana masih ada Mirna ?"
"Masih ada, lagi ngelamun atau lagi ngapain dia itu tadi."
"Akhir-akhir ini dia tampak nggak sehat."
"Sakit"
"Seperti ada beban yang menggayuti perasaannya."
"Mmm... perhatian bener mas sama dia," ejek Ayud.
"Bagaimana nggak perhatian, dia ada diruangan aku."
"Lama-lama bisa jatuh cinta mas sama dia."
"Ah, enak aja, nggak deh... bukan selera aku,"
"Masa? Kan dia cantik?"
"Cantik itu kan tidak selalu menarik?"
"Bagaimana kalau witing trisna jalaran saka kulina?"
Adhitama terbahak.
"Itu pasti meniru kata-kata simbok. Eh, diam-diam kangen aku sama simbok."
"Aku juga, kalau ada waktu kita harus pulang ke Jakarta, ibu juga bilang sudah kangen sama kita."
"Kita cari waktu yang baik, kalau semua pekerjaan bisa diselesaikan dalam minggu ini, kita pulang."
"Aku tau mengapa ibu bilang kangen sama kita, pasti ibu menyuruh mas Adhit segera mencari isteri. "
"Masa?" kata Galang sambil tertawa.
"Aku sudah mengira, pernah ibu nanya sama aku, apa kamasmu sudah punya pacar? Gitu lho mas."
"Terus.. kamu jawab apa.."
"Ya belum lah, aku bilang kalau mas Adhit itu penakut. Trus bapak bilang, harus dicarikan orang tua tuh bu."
"Huaaaaaa....nggak deh, masa jodoh dicarikan?"
"Habis, nggak bisa nyari sendiri. Awas ya, jangan Mirna."
"Aduuh, itu lagi Yud. Kamu tuh..."
Mobil itu berhenti disebuah rumah makan, lalu mereka turun.
Tiba-tiba Ayud melihat seorang wanita berjalan. Wanita bercadar yang dulu pernah diberi uang oleh bu Broto, neneknya.
"Hei.. ayo.. ngapain kamu melihat kesana terus?" tegur Adhit.
"Itu, ada perempuan bercadar. Seperti yang pernah dikasih uang sama eyang."
"Ya sudahlah, orang dia lewat, kamu mau ngapain."
"Pengin ngasih dia uang."
"Eh, jangan sembarangan, kalau dia bukan pe minta-minta bisa tersinggung lho."
"Kan dulu dikasih uang eyang dia mau."
"Itu kan karena dia habis kehilangan dompetnya."
Adhitama menarik Ayud masuk kedalam rumah makan itu, tapi ingatan Adhitama tiba-tiba melayang kearah Mirna. Jangan-jangan ibu ibunya Mirna.
***
Ketika Mirna sampai dirumah, dilihatnya dua orang laki-laki sedang keluar dari rumahnya. Mirna heran, laki-laki itu ada yang membawa alat untuk mengecat. Mereka mengangguk begitu Mirna datang.
"Habis ngapain pak?"
"Itu, disuruh mbetulin plafon kamar sama mengecat, tapi sudah selesai."
"Ouh.."
Mirna langsung masuk kerumah, dilihatnya ibnya sedang membersihkan lantai yang kotor.
"Bu, apa yang ibu lakukan?"
"Membuat kamar ini jauh lebih bagus, supaya nyaman diandang."
"Mana, biar Mirna aja yang menyapu dan mengepel bu," kata Mirna sambil meletakkan tasnya dimeja.
"Jangan, ganti saja sepreinya dengan yang bersih, tuh.. tekena kotoran dari atas."
"Mengapa ibu tiba-tiba membersihkan kamar, dan bukan pintu depan yang sudah bolong-bolong?"
"Pada suatu hari, aku berharap bosmu itu akan tidur disini."
"Apa" Mirna terkejut, ia memandangi ibunya, tapi ibunya sibuk mengepel lantai.
Apa ibu sudah gila? Pikirnya. Mengapa tiba-tiba dia mengira bahwa Adhitama akan tidur disitu?
"Heei.. cepat kerjakan, mengapa bengong?" hardik ibunya.
"Aku tidak mengerti bu.."
"Tidak mengerti ya sudah, yang penting kamu lakukan saja apa yang ibu perintahkan."
Mirna benar-benar tidak mengerti, Mirna menganggap ibunya gila, tapi dirinya juga merasa hampir gila menyaksikan ulah ibunya.
"Bu, sebenarnya bubuk putih itu untuk apa?" meluncur begitu saja pertanyaan Mirna.
"Kamu tidak mengerti juga?"
"Ibu ingin membunuhnya?"
"Ya, dengan caraku. Sudah jangan banyak bertanya. Turuti saja perintahku."
***
Hari-hari berlalu tanpa ada perintah-perintah ibunya, Mirna mendiamknnya. Ia bekerja seperti biasa dan mencoba melupakan semua perintah ibunya. Botol dengan bubuk putih itu masih ad didalam tasnya. Berangkat kerja, pulang kerja, masih saja ada disitu.
Tapi sore itu Mirna kehilangan botol kecil itu. Ia bingung, bagaimana kalau ibunya nanti bertanya. Ia men cari-cari.. apakah terjatuh dikasur atau didalam kamarnya, tapi tak ada. Karena ketakutan kalau ibunya marah, Mirna juga tak menanyakannya pada ibunya.
Sore itu Mirna sedang beristirahat dikamarnya, tiba-tiba dilihatnya ibunya menjenguk kedalam, dengan pakaian rapi.
"Ibu mau kemana?"
"Majikan ibu menyuruh ibu lembur sore ini, Katanya anak cucunya dari luar kota datang, cuciannya banyak."
"Apa nggak bisa besok pagi saja?"
"Kalau namanya lembur, itu pasti ada uang lebih, jangan bodoh!!" kata ibunya sambil berlalu.
"Bu..." Mirn bangkit dan keluar kamar, mengikuti ibunya sampai kedepan."
"Ibu buatkan minuman dipoci, kalau ada tamu tuangkan saja di cawan yang sudah ibu sediakan." kata ibunya sambil terus berlalu.
Mirna menghela nafas panjang. Semua yang ibunya katakan, tak satupun boleh dibantahnya. Tapi dia bingung, mau ada tamu siapa?
Tiba-tiba ibunya kembali lagi.
"Masuk kekamarmu dan tidur saja, "
"Apa bu?"
"Lakukan saja," kata ibunya berteriak, sambil menjauh.
Mirna bingung Entahlah, Mirna masuk kekamarnya, dan tiduran.. terbersit diangannya ingin membawa ibunya ke dokter Jiwa. Tapi apakah itu mudah?
***
Malam itu Adhitama dan Raka, sedang makan malam bersama, Ada Ayud disana.
"Aku senang, akhirnya Dinda akan ke Solo ," kata Ayud sambil menyendok makanannya.
"Benarkah?" tanya Raka..
"Iya, baru tadi siang dia menelpon, mungkin bulan depan dia mau kemari. Ibunya dan ayahnya juga kangen pulang ke Solo bukan?"
"Wah, hebat kamu, aku belum mendengar berita itu, kamau malah sudah bisa cerita."
"Jangan lupa, besok di sini Dinda harus tinggal bersama aku."
Adhitama dan Raka tertawa melihat ulah Ayud, rupanya ia ingin sekali punya teman perempuan dirumah.
Tiba-tiba telepone Adhit berdering.
"Kok nggak diangkat?" tanya Raka.
"Nomornya nggak kenal aku,"
"Angkat saja ta mas, siapa tau ada yang penting."
"Hallo," akhirnya Adhit mengangkatnya.
"Halloooww..." suara serak perempuan terdengar dari seberang.
"Ini siapa ya,"
"Ini pak Adhitama?"
"Iya benar, ibu siapa?"
"Saya sedang bepergian, anak saya sakit dirumah sendirian, tolonglah kerumah, "
"Ini siapa? Anak ibu siapa?"
"Saya ibunya Mirna,"
"Jadi Mirna sakit?"
"Dirumah, sendirian.. tolonglah pak, saya tidak bisa pulang cepat, saya ada diluar kota."
"Oh, baiklah bu, ibu jangan khawatir, kami pasti menolongnya."
Adhitama menutup ponselnya.
"Dari siapa? Mirna?"
"Ibunya Mirna lagi nggak dirumah, Mirna sakit, dia minta tolong agar aku kesana menolongnya."
"Wauw... mas mau kesana?"
"Bagaimana ya, dia sakit.."
"Suruh pak Sarno kerumahnya, bawa saja kerumah sakit."
"Iya mas, masa mas Adhit mau merawat sendiri orang sakit?"
"Ya sudah, telepone pak Sarno saja suruh kesana. Kasih tau alamatnya Yud." perintah Adhit.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel