Cerita bersambung
Hari masih sekitar pukul delapan malam. Mirna masih tergolek diranjang, didalam kamar yang lebih terlihat bersih dan rapi.
Entah berapa uang yang dihabiskan ibunya untuk menyulap kamar pengapnya menjadi lebih bercahaya.
Ia memang memberikan separuh uang gajinya untuk ibunya, selebihnya disimpannya sendiri untuk kebutuhannya.
Mungkin dari uang itu ibunya membuat kamarnya tampak lebih nyaman. Tapi mengapa bukan dimulai dari depan, misalnya plafon diatas teras yang bolong bolong, pintu yang juga bolong..
Tiba-tiba terdengar pintu depan dibuka. Mirna tak mendengar suara ketukan, pasti ibunya yang pulang.
Katanya lembur dirumah majikannya, mengapa pulang sangat cepat? Mirna memejamkan matanya, supaya ibunya mengira di sudah tidur sehingga tak banyak omelan yang didengarnya.
Mirna mendengar pintu kamarnya dibuka perlahan. Mirna masih memejamkan matanya.
Ia mencoba men duga-duga, apa yang akan dikatakan ibunya nanti.
'Dimana kamu letakkan botol berisi serbuk putih itu? Matiiiii... aku... botol itu raib entah kemana..'
Tapi Mirna terkejut ketika terdengar suara berdehem, suara laki-laki.
Ketika ia membuka matanya, dilihatnya pak Sarno berdiri di tengah-tengah pintu.. Mirna terbelalak. Cepat-cepat ia bangkit dan duduk ditepi pembaringan, memandang pak Sarno dengan tatapan aneh.
"mBak Mirna, sudah.. tiduran saja.. " kata pak Sarno.
"Ada apa pak Sarno?" tanya Mirna heran.
"Mbak Mirna sakit kan? Tadi bu Ayud menelpon saya, menyuruh saya menjemput mbak Mirna dan mengantarkan kerumah sakit."
"Apa?"
Mirna kebingungan, tapi dengan cepat ia menangkap terjadinya peristiwa itu. Ini Pasti ulah ibunya.
Mirna turun dari tempat tidur. Pak Sarno juga kebingungan.
Mirna memberi isyarat untuk berbicara diluar.
"Silahkan duduk dulu pak.."
Pak Sarno mundur sampai keluar dari pintu, lalu mengikuti Mirna duduk.
"Bagaimana mbak?" tanya pak Sarno kebingungan.
"Itu pak... ibu saya itu.. kalau saya sakit sedikit saja lalu kebingungan. Tadi saya cuma sedikit sakit perut, dan sudah sembuh kok. Pasti ibu menelpon pak Adhit karena bingung," kata Mirna sekenanya.
"Ough... ya ampuun, saya pikir sakit keras dan harus dibawa kerumah sakit. Kalau begitu saya permisi mbak."
"Sebentar pak, ini sudah ada teh siap dimeja, silahkan minum dulu pak..." kata Mirna sambil menuangkan teh dari porong kedalam cawan.
"Aduh mbak, kok repot jadinya, nggak usah lah.."
"Jangan menolak pak, wong sudah ada, siap dan tinggal minum, silahkan pak.."
Pak Sarno sudah memegang cawan itu dan siap diminumnya, tapi kemudian ia teringat sesuatu.
"Sebentar mbak, apa ini teh manis?"
"Iya pak, manis.."
"Aduh ma'af mbak, kalau ada saya minta air putih saja, saya nggak minum yang manis-manis, saya menderita gula darah mbak," kat pak Sarno sambil meletakkan kembali cawan itu.
"Saya ambilkan air putih pak," Mirna bangkit, mengambil segelas air putih yang diberikannya pada pak Sarno.
Begitu meneguk segelas air putihnya, pak Sarno langsung berdiri, untuk berpamitan.
"Ma'af ya pak, sudah merepotkan."
"Nggak apa-apa mbak, syokurlah kalau ternyata mbak Mirna nggak sakit."
***
Adhitama masih berada dirumah makan itu bersama Raka dan Ayud, ketika pak Sarno menelpon Ayud.
"Hallo, bagaimana pak? Sudah dirumah sakit? Rumah sakit mana? Dia pingsan? Atau mau bunuh diri?" nerocos kata Ayud ketika pak Sarno baru mengucapkan hallo.
Adhitama mendelik menatap adiknya mendengar kata-kata bunuh diri. Ayud hanya memeletkan lidahnya.
"Ternyata dia nggak sakit kok bu." suara pak Sarno dari seberang.
"Apa? Tapi mengapa ibunya bilang bahwa dia sakit?"
"Menurut mbak Mirna, dia tadi hanya sakit perut biasa, tapi ibunya yang sedang bepergian merasa khawatir, lalu menelpon kemari."
"Jadi hanya sakit perut biasa dan membuat kita hampir saja kehilangan sa'at santai seperti ini? Dan pak Sarno yang lagi istirahat juga jadi repot kan?" kata Ayud kesal.
"Ibunya sedang pergi jauh, tampaknya sangat khawatir akan anaknya."
"Hm, ya sudah pak Sarno, ma'af jadi merepotkan ya pak," kata Ayud dengan suara rendah. Lalu menutup pembicaraan itu.
"Kasihan pak Sarno, sudah susah-susah datang kesana, orangnya nggak apa-apa," omel Ayud yang masih merasa kesal.
"Ibunya sangat protect pada anak gadisnya," gumam Adhit.
"Itu keterlaluan. Menurut saya mereka itu manja. Mas Adhit itu terlalu perhatian sama dia. Tadinya mungkin diharapkan bosnya yang akan datang sendiri nyamperin Mirna kerumah."
"Eii.. halloooo... kenapa marahnya panjang banget, ya sudahlah.. alhamdulillah nggak terjadi apa-apa, gitu kan?" kata Raka mencoba menenangkan Ayud.
"Aku nggak akan komentar, bisa panjang nanti omelannya kalau aku komentar," kata Adhit sambil melirik kearah adiknya.
Ayud mencibir, Raka menatapnya dan menahan degup jantungnya.
Dulu, gadis kecil yang galak ini suka mengganggunya, dan membuatnya marah, tapi sekarang, galaknya rupanya belum ilang, cuma... wajahnya mengapa sekarang jadi cantik sekali?
Beberapa kali bertemu akhir-akhir ini, ia tak sempat memperhatikan wajah tirus dengan hidung mancung dan bibir tipis itu, tapi malam ini, diantara remang cahaya dirumah makan yang memang dibuat begitu redup, wajah itu tampak bercahaya dan berpendar.
Mata galak itu tampak seperti bintang, membuat jantungnya berdetak lebih keras.
Aduhai, apa yang terjadi? Ayud itu lebih tua setahun atau lebih darinya, mengapa Raka merasa bahwa ia jatuh cinta? Ini gila, mana mungkin si galak itu suka sama aku.
"Heiiii... mengapa menatap aku seperti itu?" tiba-tiba Ayud menepuk tangan Raka yang terletak diatas meja, membuatnya terkejut.
"Aku ? " Raka sangat gugup.
"Jangan bilang kamu jatuh cinta sama aku ya?"
"Apa?"
Dan Ayud tertawa terkekeh, merasa berhasil mengganggu Raka.
Raka meneguk minumannya yang memang tinggal seteguk.
"Raka ini memang cocognya sama kamu," sela Adit sambil tersenyum.
"Apa? Dia itu lebih muda dari aku, bisa kualat kalau dia jatuh cinta sama aku," kata Ayud seenaknya.
Raka terperangah. Aduh, bisa kualat? Benarkah?
"Kamu itu biar lebih tua tapi sifatmu masih seperti anak kecil, jadi nggak pantas kamu bilang lebih tua dari dia. Justru kalian cocog, satunya galak, cerewet, satunya baik, santun, pendiam, eh.. ada lagi.. ganteng dan mempesona," kata Adhit panjang lebar.
Raka ter batuk-batuk karena minumnya tinggal seteguk. Ia melambai kearah pelayan agar dibuatkan lagi segelas lemon tea.
"Pelan-pelan Raka, itu cuma candaan mas Adhit, jangan dimasukkan ke hati ya?" kata Ayud enteng, padahal Raka kelimpungan setengah mati.
***
Mirna masih termenung di kursi rotan tua, dimana dia tadi menemui pak Sarno. Ia heran pada ibunya, dan kemudian sedikit menemukan jawab atas kejadian itu.
Ibunya pergi, lalu bilang pada pak Adhit bahwa anaknya sakit keras, supaya Adhit datang kemari, masuk kekamar yang sudah dibuatnya rapi, agar.... ya Tuhan, apakah ibunya mengira bos Adhitama itu begitu gampang memasuki kamar tidur seorang gadis?
Lalu melakukan hal yang tak senonoh? Ibunya pasti salah besar, dan kalau dia tau rencana itu sebelumnya pasti ia akan menentangnya.
Hm.. lama-lama aku kesal sama ibu, bisik batin Mirna.
Untung bukan pak Adhit yang datang, dan kayaknya nggak mungkin pak bos yang begitu berwibawa mendatangi rumah anak buahnya dengan alasan yang tak masuk akal.
Tapi diam-diam Mirna berharap, bahagia barangkali rasanya kalau pak Adhit yang datang.
Hm, senyuman itu, tatapan mata teduh itu, mengapa sangat mengganggunya? Padahal kata ibunya JANGAN SAMPAI KAMU JATUH CINTA... hm.. bisakah mengatur datangnya cinta?
Dia datang dan pergi semau dia. Tapi beranikah dia menentang ibunya?
Sebesar pakah luka dihati ibunya terhadap ayahnya Adhitama ? Tidak, orang sebaik dia, mana mungkin berbuat jahat. Janagn-jangan ibunya yang jahat.
Tapi sejahat apapun, dia adalah ibunya, bisakah dia mengecewakannya?
Malam telah larut, mengapa ibunya belum datang juga? Mirna membuka pintu, dan keluar, dilihatnya hanya kegelapan yang tampak.
Ternyata lampu teras juga padam, tak sempat ibunya membelinya.
Mirna kembali masuk kerumah, lalu mencoba menelpon ibunya.
Lama kelamaan Mirna merasa khawatir juga ketika sampai larut belum juga sampai dirumah. Tapi rupanya ibunya mematikan ponselnya.
Mirna menghela nafas, lalu kembali duduk dikursi. Ia ingin tidur, tapi pasti tak bisa tidur karena pikirannya tertuju pada ibunya yang belum pulang juga.
Ia menyandaarkan kepalanya, lalu mencoba memejamkan mata. Tiba-tiba ia merasa haus. Tapi sebelum berdiri ia ingat ada cawan berisi minuman yang tadi belum sempat diminum pak Sarno.
==========
Mirna sudah sangat mengantuk, tapi kegelisahan karena ibunya belum pulang juga, menyebabkan ia tak bisa memejamkan mata.
Sekarang ia sangat haus, setelah itu biarlah kalau dia harus tertidur dikursi.
Ia hampir meneguk teh dalam cawan yang sudah dipegangnya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
Buru-buru Mirna meletakkan kembali cawan itu, lalu meraih ponselnya, semoga dari ibunya. Dan memang dari ibunya.
Ia hanya mengangkat dan tak mengucapkan apapun, karena sesungguhnya ia kesal pada ibunya.
"Mirna !! Apa kamu belum selesai?" kata ibunya hampir berteriak dari seberang sana.
"Ya bu.. mengapa ibu belum pulang juga?"
"Aku sudah ada didepan rumah, tak ada siapa-siapa disitu bukan?"
"Mirna sendiri bu," jawabnya lelah.
Tiba-tiba saja pintu sudah terbuka, dan ibunya muncul dan langsung duduk dihadapan Mirna.
"Bagaimana ?" tanya ibunya.
"Apanya bu?"
"Tadi ada tamu kan? Kamu senaang? Tapi awas, jangan sampai kamu jatuh cinta."
"Ibu bicara apa? Mirna tidak mengerti. Sekaang Mirna mau tidur bu, malam sudah larut.
Mirna meraih kembali cawan yang tadi belum sempat dihirup isinya, dan siap diminumnya sebelum berangkat tidur. Ia segn meladeni omongan ibunya, yang tidak dimengertinya.
"Heeiiii...stopppp.." teriak ibunya dengan suara seraknya.
Cawan itu terhenti didepan mulutnya, lalu Widi merebutnya sehingga beberapa tetes tumpah dipangkuan Mirna.
"Ibu apa-apaan sih?"
"Ibu bukan minuman buat kamu, tapi buat Adhitama. Kenapa kamu mau meminumnya juga?"
"Adhitama siapa?" tanya Mirna yang sesungguhnya sudah bisa menangkap keinginan ibunya.
"Bukankah dia tadi kemari? Lalu kamu suguhkan minuman ini?"
"Tidak ada Adhitama datang kemari, adanya adalah pak Sarno, sopirnya."
Widi melotot. Mata yang hampir tak memiliki pelupuk itu seperti hampir terlepas dari wadahnya. Mirna memandangnya dan merasa bergidik ngerti.
"Jadi yang datang kemari adalah sopirnya? Lalu kamu menyuguhkan minuman itu, lalu apa yang dia lakukan padamu hahh? " kata Widi masih dengan teriakan serak.
"Sebenarnya apa yang ingin ibu lakukan? Mirna tidak mengerti. Ibu mengatakan pada pak Adhit bahwa Mirna sakit? Supaya pak Adhit datang kemari? Ya enggaklah bu, dia itu bis besar, mana mungkin mau meladeni karyawan yang seperti Mirna."
"Mirna !! Ibu tanya sama kamu, apa yang dilakukan sopir itu disini??"
"Dia langsung masuk kekamar ketika Mirna masih tiduran, sampai-sampai Mirna terkejut."
"Lalu apa dia memperkosa kamu?"kata sang ibu masih dengan teriakan, ia membayagkan lelaki setengah tua itu menggagahi anaknya, mengotori ranjang dan kamar barunya...aduhai..
"Mengapa ibu mengira pak Sarno memperkosa Mirna? Dia datang karena disuruh majikannya. Majikannya menyuruh sopirnya datang kemari karena ibu bilang aku sakit keras dan harus dibawa kerumah sakit. Iya kan?"
"Dia minum air teh daalam porong itu?"
"Tadi Mirna suguhkan..."
"Apaaa?"
"Tapi dia menolak karena tidak minum minuman manis, gula darahnya tinggi, jadi Mirna kasih air putih."
Widi tampak menghela nafas lega.
"Sesungguhnya apa yang ada didalam cawan itu? Mirna ingn minum karena harus, tapi ibu melarangnya. Racun?"
"Itu obat perangsang !!" kata ibunya sambil berdiri, lalu mengambil porong dan cangkir itu untuk dibawa kebelakang. Ia membuangnya lalu mencucinya bersih.
Mirna tercengang ditempat duduknya. Obat perangsang?
Jadi ibunya mengira Adhit datang, lalu meminum teh itu, lalu ia akan mencumbui dirinya, melampiaskan hasratnya karena pengaruh minuman itu?
Ya Tuhan... lalu apa lagi.. lalu apa lagi...
Pertanyaan itu terus membebani pikirannya sampai ia tertidur lelap, dengan menyimpan rasa kesal pada ibunya.
***
Pagi harinya ketiks Mirna siap untuk berangkat bekerja, didengarnya suara aneh dari arah dapur. Apakah itu suara tangisan?
Mirna melangkah kearah datangnya suara, dilihatnya ibunya sedang menutupi mukanya dengan kedua belah tangannya, sambil menangis.
Mirna tertegun, selama ini tak pernah ia melihat ibunya menangis.
Ibunya terlalu kuat dan selalu melakukan pekerjaan dengan semangat. Sekarang menangis?
Perlahan Mirna mendekat, dipegangnya pundak ibunya yang terguncang karena tangisan.
Ada rasa perih mendengar tangisan itu.
Begitu sakitkah rasa hati ibunya sehingga sampai meneteskan air mata?
"Ibu.." bisiknya pelan.
"Ibu memang bodoh, ibu membuat kamu kesal, ya sudahlah, biarlah derita ini ibu saja yang menanggungnya."
"Mengapa ibu berkata seperti itu?"
"Kamu kesal bukan sama ibu? Kamu marah karena ibu memintamu menuruti semua permintaan ibu?"
"Ibu, tenanglah, ayo bicara dengan baik, Mirna tidaak kesal sama ibu."
"Bohong ! Ibu menangkap nada bicaramu, kamu kesal sama ibu."
"Ibu..."
"Nanti ibu mau pergi saja, disini ibu hanya membebani perasaan kamu, sudah pergilah bekerja, toh kamu sudah bisa mencukupi semua kebutuhan kamu sendiri, tidak lagi membutuhkan ibu, sudah cukup apa yang ibu lakukan, membesarkan kamu,sampai sekarang kamu bisa mendapatkan penghasilan. Itu cukup. Ibu mau pergi saja."
Mirna terkejut.
"Ibu mau pergi?"
"Pergi, toh kamu sudah tidak membutuhkan ibu lagi.. sudah bisa melakukan apapun tanpa ibu. Ya sudah, sana pergilah, tapi kalau pulang nanti jangan lagi mencari ibu."
Mirna berjongkok dihadapan ibunya. Betapapun kesal hatinya kepada ibunya, mana mungkin ia tega membiarkan ibunya pergi?
Ia bisa saja hidup sendiri, tapi ibunya yang cacat, yang mungkin juga tak ada orang yang suka berdekatan dengan dirinya, bagaimana kalau terjadi apa-apa? Menetes air mata Mirna.
"Jangan pergi bu, jangan meninggalkan Mirna."
"Kamu sudah tidak butuh ibu lagi."
"Tidak, Mirna butuh ibu, Mirna tak bisa hidup tanpa ibu."
"Tidak, ibu terlalu banyak permintaan dan kamu tak bisa memenuhinya. Kamu menentang ibu, jadi biarlah ibu menanggung semuanya sendiri, dan melakukan semua keinginan ibu tanpa kamu."
"Jangan begitu bu, tenangkan hati ibu, baiklah, nanti kalau Mirna pulang kita bicara lagi. Tapi jangan pergi ya bu."
"Kalau kamu mau membantu ibu, ibu tak akan pergi. Dalam sisa hidup ibu ini, hanya satu keinginan ibu, menghancurkan Galang dengan menyiksa anaknya. Biar tau tau bagaimana rasanya sakit."
"Baiklah.. nanti kita bicara lagi ya bu."
"Kamu bersedia berkorban untuk ibu?"
"Baiklah, akan Mirna lakukan semua perintah ibu." jawab Mirna sambil menangis.
***
Hari-hari berlalu, sebulan, dua bulan, belum ada lagi perintah ibunya bagi Mirna.
Mirna berharap dendam itu akan luntur perlahan dengan berjalannya waktu.
Mirna sudah berhasil memperbaiki rumah sedikit demi sedikit, dan membuatkan kamar tersendiri bagi ibunya bersebelahan dengan kamarnya, yang semula dijadikannya gudang.
Mirna berharap ibunya merasa nyaman setelah melihat rumahnya lebih bersih dan rapi.
Tapi sebelum berangkat kerja dipagi itu, Mirna terkejut ketika ibunya memberikan botol berisi erbuk putih yang dulu hilang dari dalam tasnya.
"Ibu... ini... apa lagi?"
"Bukankah ittu yang pernah ibu berikan dulu, lalu terjatuh dari dalam tasmu dan ibu menemukannya. Herannya ibu mengapa kamu tidak tampak mencari atau merasa kehilangan."
"Ma'af bu, Mirna lupa.."
"Hm..."
"Ma'af bu, ini Mirna bawa lagi?"
"Bawa aja, barangkali suatu sa'at kamu harus melakukannya."
Dhegg... dada Mirna serasa seperti dipukul palu. Melakukan apakah?
Ya Tuhan, mulai lagi nih.. batin Mirna sambil berlalu.
"Apa kamu tak suka?" teriak ibunya dari belakangnya, karena ia terus melangkah kejalan mencari ojek on line.
"Apa bu?"
"Kalau kamu tak suka, kembalikan saja pada ibu."
"Nggak bu, hanya Mirna belum tau benda itu digunakan untuk apa, nanti sepulang kerja kita bicara lagi ya bu?"
Widi hanya mengangguk pelan. Ia tau Mirna tak akan lagi berani membantahnya karena ia mengancam akan pergi meninggalkannya.
***
"Mirna, nanti kamu bawa berkas2 yang kemarin kamu kerjakan, kamu ikut aku untuk persentasi dengan klien setelah jam makan siang nanti", kata Adhit dipagi itu.
"Baik pak, akan saya siapkan."
"Aku akan keluar sebentar, nanti ketika aku kembali semuanya harus sudah siap."
"Baik."
"Oh ya, tadi kunci mobil pak Sarno terbawa oleh aku, tolong kasihkan nanti kalau dia kemari ya," kata Adhit sambil mengambil kunci mobil dari sakunya, dan ternyata kunci itu tersangkut pada dompetnya.
Adhit menariknya, dan tanpa sengaj dua lembar poto terjatuh dari sana.
"Eh, ya ampuun.."
Adhit berusaha mengambil barang-barangnya yang terserak, tapi Mirna sudah lebih dulu berjongkok mengambilnya.
Wajah mereka hampir beradu, Mirna gemetaran karenanya.
Hm, harum yang sangtat maskulin, dan tangan yang sudah meraih selembar poto itupun terpegang oleh Adit.
Ya Tuhan, ini kebetulan yang indah, tapi sedikit menyakitkan karen Adhit tampak sama sekali tak perduli.
Ia meminta begitu saja selembar poto yang sudah dibawanya, tapi Mirna terkejut.
Ada sepasang laki laki tampan dan perempuan cantik terpampang di foto itu. Kok mirip pak Adhit ya?
"Ini... foto sahabat ayah ibuku yang tinggal di Medan, om Raharjo, tante Retno isterinya," kata Adhit ketika dilihatnya Mirna memperhatikan foto itu.
"Oh... ma'af," kata Mirna pelan.
"Oh ya, anaknya om Raharjo itu pernah kemari, itu.. Raka.. yang kamu menyuguhinya minuman juga. Ingat kan?"
"Oh.. iya pak, Mirna ingat."
Ketika Adhitama sudah menghilag dibalik pintu, Mirna masih terbayang foto itu.
Ia pernah melihat foto perempuan itu di album kecil milik ibunya.
Siapa tadi namanya? Retno bukan? Ia pernah mendengar nama itu dari ibunya.
Dan Raka, laki-laki ganteng tamu bos nya itu anaknya?
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel