Cerita bersambung
Mirna masih membayangkan tante Retno yang belum pernah dikenalnya, tapi yang anaknya pernah bertamu dikantor bos nya.
Ganteng juga anaknya tante Retno, pikir Mirna. Berarti dia masih saudaraan dengan aku.
Apakah aku harus memperkenalkan diriku seandainya nanti bertemu? Atau ia harus mendiamkannya saja toh tidak pernah saling kenal.. ? Tapi Mirna merahasiakan pertemuan itu, juga merahasiakan tentang tante Retno yang ternyata sahabat keluarga Adhitama terhadap ibunya.
Mirna tidak tahu harus berbuat apa tapi siapa tahu akan berguna pada suatu sa'at nanti.
***
Ketika turun dari pesawat, Dinda tak usah bingung karena Ayud sudah menjemputnya. Kedua gadis itu ber rangkulan erat sekali.
"Dinda, kamu bertambah besar dan semakiin cantik...." seru Ayud sambil memegangi kepala Dinda.
"mBak Ayud juga semakiin cantik..."
"Oh ya... senang mendapat pujian dari gadis Medan."
"Sebentar, aku harus menelpon ibu dulu bahwa aku sudah sampai dan sudah dijemput oleh mbak Ayud."
"Okey, mana kopormu biar aku yang menariknya."
"Hallo ibu.."
"Dinda, sudah sampai Solo?" suara Retno dari seberang.
"Sudah ibu, ini sudah sama mbak Ayud."
"Bagus, sampaikan salam ibu dan bapak pada Adhit dan Ayud, juga sungkem untuk simbahmu dan bu Broto ya?"
"Ya pastinya bu, tapi Dinda ini langsung kerumah bu Broto ya, kerumah simbah besok pagi saja, kan ini sudah sore."
"Baiklah, beritahu kakakmu Raka kalau kamu sudah sampai ya."
"Iya beres bu, mas Raka masih mengajar sampai jam 4 ini, pasti nanti nyamperin Dinda deh."
"Iya, tapi ada baiknya kamu juga mengabari dia."
"Ya ibu, siap."
"Hati-hati ya nduk.."
"Ya ibu... nanti Dinda telephone lagi. Apa ibu mau bicara sama mbak Ayud?"
"Boleh, mana anakku cantik yang satunya?"
"mBak, ini ibu mau bicara,"
Ayud menyerahkan ponselnya kepada Ayud.
"Hallo tante..apa kabar?"
"Ayud, kami baik-baik saja, terimakasih sudah repot menjemput Dinda."
"Nggak apa-apa tante, Dinda kan adiknya Ayud."
"Mana Adhit ?"
"Mas Adhit nggak bisa jemput tante, tadi ada meeting sampai sore."
"Oh ya, nitip salam ya. Tante nitip adikmu ya Yud, kalau dia nakal jewer saja."
Ayud tertawa.
"Iya tante, pasti nanti Ayud jewer kalau dia nakal."
"Baiklah nak, hati-hati ya..."
"Sungkem buat tante dan om Raharjo ya.."
"Oke, nanti disampaikan. Sungkem juga buat eyang kamu ya."
"Ya tante."
"Ya sudah, nanti tante telepone lagi."
***
Ketika memasuki rumah, dilihatnya Adhit dan Raka sudah ada disana. Suasana jadi ramai karena ternyata Dinda juga ceriwis seperti Ayud.
"Mas Adhit, lama nggak ketemu, sekarang tambah ganteng lho."
"Oh ya, kamu juga tambah cantik lho Din. Cantik banget," puji Adhit yang tak pernah melepaskan pandangannya pada Dinda. Entah mengapa gadis kecil itu sangat menarik menurutnya.
"Hei, mas.. jangan lama-lama memandangi Dinda, nanti mas bisa jatuh cinta lho," seloroh Ayud sambil menarik Dinda menuju kamar.
"Iih, mbak Ayud, aku kan masih kecil..." sahut Dinda yang masih saja menoleh kearah Adhit.
"Hei.. kamu juga.. katanya masih kecil, kok sudah tau orang ganteng juga.." tegur Ayud.
Lalu Dinda tertawa senang.
Mereka memasuki sebuah kamar yang sudah ditata rapi. Ada dua tempat tidur disana, Dan Ayud meletakkan koper Dinda didepan sebuah almari.
"Nanti kamu tidur disana, aku disini. Itu almari kamu, pakaian kamu boleh kamu tata nanti kalau sudah istirahat,"
Dinda merebahkan dirinya diranjang yang ditunjuk Ayud.
"Hm, harumnya, aku jadi ngantuk..," kata Dinda sambil memeluk sebuah guling dan memejamkan matanya.
"Heii.. kamu nggak ingin mandi dulu? "
"Sebentar, aku pengin merem.. lima menit saja.."
"Okey, merem saja dulu, aku siapkan handuk yang bersih buat kamu," kata Ayud sambil membuka almari kecil tempat menyimpan hnduk bersih.
"mBak...."
"Ada apa? Katanya pengin merem..."
"Merem tapi kan nggak tidur."
"Iya, ada apa?"
"Mas Adhit itu apa sudah punya pacar?"
"Lhah... matanya merem tapi pikirannya kearah orang ganteng ya kamu?" sahut Ayud sambil melemparkan handuk kearah Dinda.
"Bukan, cuma nanya aja, apa nggak boleh?"
"Serius nanya nya?"
"Ya serius lah..."
"Mas Adhit itu nggak pernah tertarik sama cewek. Disekelilingnya cewek cantik-cantik.. nggak ada yang bisa buat dia jatuh cinta. Sudah sejak jaman kuliah dulu lho."
"Masa..?"
"Ya udah kalau nggak percaya nanya aja sendiri nanti."
"Nanti aku akan tanya..."
"Sudah mandi aja dulu, aku suruh yu Supi buat minuman buat kamu."
***
"mBah, Dinda sudah sampai Solo ," kata Raka pada bu Marsih begitu memasuki rumah embahnya.
"Oh ya, lha mana.. kok nggak kamu ajak kemari?"
"Dia ada dirumah bu Broto, eyangnya mas Adhit.Besok dia pasti kemari. Sesungguhnya mbah, Dinda disuruh tinggal disana menemani Ayud."
"Lho... dia itu keluarga kaya raya lho, priyayi terpandang," kata bu Marsih sedikit kecewa.
Ia ingat keluarga Broto dulu menolak Teguh gara-gara perbedaan status derajat dan kekayaan.
Ia tak mengira anak-anaknya bisa bersahabat. Ia juga sudah mendengar dari Teguh bahwa Putri sudah menjadi isteri sahabat Teguh. Dan Adhit serta Ayud adalah anak-anaknya Putri.
Tapi sesungguhnya masih ada was-was dihati bu Marsih, kalau-kalau cucunya akan mendapat hinaan serupa apabila berdekatan dengan mereka.
"Benar mbah, keluarga priyayi terpandang, dan kaya raya. Tapi mereka sangat baik bu, Raka sudah sering main kesana."
Bu Marsih jadi ingat, dulu yang kelihatan nyinyir itu pak Broto, tapi ia juga mendengar kalau pak Broto sudah meninggal.
"Jadi bu Broto itu sangat baik ?"
"Sangat baik mbah, ber kali-kali Raka disuruh tinggal disana, tapi kan Raka lebih suka menemani simbah disini."
"Lha iya, kamu itu kan penggantinya bapakmu yang sekarang jauh. Dulu simbah mau diajak kesana, tapi simbah nggak mau, lebih enak dirumah sendiri, biar jelek juga."
"Ini bagus mbah, Raka senang tinggal disini."
"Syukurlah le. Ya sudah sekarang mandi sama, wong sudah malam begini baru pulang. Simbah siapkan makan malam ya."
***
Siang itu Adhitama tampak sedang menunggu. Sudah sejak tadi Ayud bilang akan menjempiut Dinda untuk diajaknya makan siang bersama.
Mirna menangkap kegelisahan bis nya, yang sejak tadi selalu memandangi pintu masuk kantornya. Pasti ada yang ditunggu, tapi dia tak mengatakan apapun pada Mirna.
Mirna selesai mengumpulkan berkas lalu dimasukkannya kedalam map, kemudian ia berdiri kearah meja Adhitama.
"Mohon dikoreksi dan ditandatangani pak." kata Mirna.
"Ya, letakkan dulu disitu, aku mau keluar makan siang."
"Baik."
Dan Mirna kembali ke tempat duduknya sambil membatin. Ternyata akan makan siang yang tampaknya bersama seseorang.
Hm, siapakah seseorang itu? Perempuankah? Atau Raka yang katanya anaknya tante Retno? Tapi tampaknya seseorang yang sangat istimewa.
Mirna melirik kearah Adhit, yang masih saja memandangi kearah pintu masuk. Sampai-sampai surat yang sudah diselesaikannya tak segera diperiksa, apalagi ditanda tangani.
Mirna jadi penasaran, siapa gerangan yang ditunggu Adhitama sampai tampak gelisah seperti itu. Kemudian Mirna pura-pura menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya.
Ketika tiba-tiba pintu diketuk dari luar, lalu terbukalah pintu itu, seorang gadis cantik muncul bersama Ayud.
Mirna menatapnya kagum. Gadis yang sangat cantik. Jadi dia yang membuat pak Adhit gelisah menunggu sejak tadi? Hm, diam-diam ada rasa nyeri dihati Mirna, apakah aku cemburu?
Dan begitu Dinda masuk, Adhit langsung berdiri dengan wajah berseri, kemudian berpamit pada Mirna.
"Kami mau keluar dulu Mirna, kalau ada sesuatu bisa dibicarakan lagi nanti setelah aku kembali."
"Baik pak," jawab Mirna sambil menatap Adhitama yang kemudian dengan mesra merangkul pinggang gadis itu, sedang Ayud mengikuti dari belakang, tanpa menoleh sedikitpun kepada Mirna.
Mirna menatap kearah pintu sampai pintu itu tertutup kembali dan meninggalkan luka yang tampaknya ber darah-darah.
Ada apa aku ini? Apakah aku jatuh cinta pada pak Adhit? Tidaaak, jangan sampai aku jatuh cinta. Tapi bukankah cinta datang tanpa permisi?
Diam-diam Mirna merogoh kedalam tasnya, dan mengambil botol berisi serbuk putih yang sejak beberapa hari lalu kembali berada disana. Mirna mengamati botol kecil itu, dan menyesal karena lupa bertanya pada ibunya, apa sebenarnya isi botol itu.
==========
Mirna mengangat ponselnya, ingin menelpon ibunya, tapi kemudian diurungkannya. Jam segini ibunya pasti masih sibuk bekerja. Mungkin lagi mencuci, atau memasak, atau menyetelika pakaian.
Mirna menghela nafas sedih, ibunya masih saja bekerja keras, padahal dia sudah melarangnya.
Mirna tak melakukan apa-apa sampai jam istirahat tiba. Ia merasa lapar, tapi enggan beranjak dari tempat duduknya.
Bayangan gadis belia yang cantik tadi terbayang kembali di pelupuk matanya.
Baru sekali ia melihatnya, dan selama dia bekerja juga baru sekali ini ia datang menemui pak bosnya yang ganteng.
Dan pak Bosnya menyambut dengan hangat.. juga mesra.. Ah, rasa cemburu kembali menggelitik perasaannya. Ada apa aku ini... pikir Mirna..
Sementara Adhitama sendiri sepertinya tak pernah menaruh perhatian lebih pada dirinya. Apakah aku kurang cantik? Mirna mengeluarkan kotak bedak dari dalam tasnya, ada kaca disitu, dan ia memandangi wajahnya dengan seksama.
Aku cantik tuh, pikirnya. Mataku bagus, hidungku mancung, bibirku.. apakah bibirku kurang mempesona? Mirna meraih lipstik, lalu memoleskannya lagi sedikit kebobornya.
Hm.. rupanya ini belum cukup untuk menarik hati Adhitama.
Tapi kemudian Mirna teringat kembali pesan ibunya. JANGAN SE KALI-KALI KAMU JATUH CINTA
Mirna menghela nafas. Bagaimana menahan perasaan cinta? Laki-laki seganteng dia, pasti akan banyak yang jatuh hati menerima senyumannya, pandangan matanya yang teduh.
Ketika telephone berdering, Mirna bangkit dan menuju kearah pesawat telephone dimeja Adhitama.
"Halllo, dengan PT Adiluhung disini..."
"Hallo, saya mau bicara dengan pak Adhitama, bisa?"
"Ma'af pak, pak Adhit baru saja keluar, mungkin untuk makan siang. Tadi bersama bu Ayud dan satu lagi tamunya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Oh, ya sudah, ponselnya nggak aktif, makanya saya menelpon kemari."
"Oh, iya, ma'af, ini saya bicara dengan siapa ya?"
"Saya pak Galang, bapaknya Adhit."
Mirna menahan debar jantungnya. Galang, bukankah orang yang sangat dibenci ibunya? Ini suara orangnya.
Gemetar tangan Mirna yang sedang memegangi gagang pesawat itu.
"Hallo..."
"Oh.. hallo, ma'af pak, saya tidak tau kalau..."
"Nggak apa-apa, ini siapa?"
"Saya Mirna pak, sekretarisnya pak Adhit."
"Oh, baiklah Mirna, nanti kalau pak Adhit sudah datang, sampaikan bahwa bapaknya menelpon."
"Baik pak."
"Terimakasih Mirna, selamat siang."
"Selamat siang bapak."
Mirna meletakkan gagang telephone itu dengan perasaan yang tak menentu. Ia kembali ke mejanya, duduk bersandar untuk menenangkan hatinya.
Suara musuh besar ibunya. Suara yang berat, bagus, santun dan begitu ramah. Sejahat apakah dia? Pikir Mirna.
Ia menyesal belum bertanya kepada ibunya tentang hal apa yang membuat laki-laki bernama Galang itu sampai membuat ibunya hidup sengsara.
Harusnya ibunya mengatakannya, tapi mengapa tidak? Ia harus bertanya, dan kalau ibunya tak juga mau menjawabnya, ia akan mencari tau dengan caranya. Tapi cara yang bagaimana?
***
Dirumah makan itu Dinda tak henti-hentinya bercerita.
Bibirnya yang tipis dan selalu ternganga membuat Adhitama tak mampu ber kata-kata.
Ia sungguh merasa tertarik pada gadis kecil itu. Aneh, selama ini ia tak pernah merasakan hal yang seperti dirasakannya siang ini.
"Mas Adhit kok memandangi aku terus sih.. aku jelek ya .. atau sebel karena aku banyak ngomongnya?"
"O, nggak, suka melihat kamu cerewet."
Dinda tertawa senang, dan tawa itu lagi-lagi membuat Adhit terpana.
Apa yang terjadi pada diriku, pikirnya.
"Aku kan sudah bilang, lama-lama mas Adhit bisa jatuh cinta sama kamu," celetuk Ayud lalu meneguk minumannya.
"Haaa.. masa mas Adhit bisa jatuh cinta sama anak kecil?" pekik Dinda sedikit keras, membuat Ayud segera mencubit lengannya.
"Aduh, mbak Ayud, sakit tau?" katanya sambil mengelus lengannya yang sakit.
"Kamu itu ya, kalau bicara jangan keras-keras, tuh semua orang menoleh kearah sini, apalagi lagi ngomongin cinta."
"Iya ya, habisnya aku kan anak Medan."
"Nggak apa-apa, biarin saja dia berteriak," kata Galang sambil menyuapkan sendok terakhirnya.
"Tuh, dibolehin sama mas Adhit. Tapi lama-lama, kalau aku memandangi mas Adhit itu ya, kayak mirip sama bapakku lho."
"Iya lah, mas Adhit itu lagi terpesona sama kamu, jadi apapun yang kamu lakukan, dia pasti seneng-seneng aja. Eh, apa kamu bilang? Mirip sama om Raharjo ya? Iya juga sih, sama-sama ganteng kan?"
Dinda tersenyum memandangi Adhitama. Pandangan mereka beradu, tapi Dinda kemudian mengalihkan padangannya kearah lain.
Aku kok kayaknya suka sama masku yang ganteng ini.. gila bener, ini cinta monyet 'kali. Bisik batinnya.
"Oh ya, nanti aku mau langung kerumah simbah, nggak usah dianterin, aku sudah tau jalannya kok."
"Ya nggak boleh gadis cantik jalan sendiri, nanti kalau kamu diculik bagaimana?" kata Adhit menggoda.
Dinda tertawa keras, dan lagi-lagi Ayud mencubit lengannya.
"Auuw... iih.. mbak Ayud..." kata Dinda sambil merengut di buat-buat. Tapi menurut Adhit, merengutpun dia cantik lho.
Ayud terkekeh senang.
"Rasain, kalau kamu masih suka berteriak ditempat umum, aku cubit sampai lengan kamu gosong."
"Iih... jahatnya...." ujar Dinda masih dengan merengut.
"Yud, habis ini kita antar Dinda kerumah simbahnya."
"Siyap bos, aku juga belum pernah ketemu simbahnya Dinda."
"Iya, waktu kesana kan aku diantar mas Raka. Jadi aku nanti diantar ya?"
"Iya, diantar sampai kerumah simbah, nanti sore sepulang kantor kami jemput kamu." kata Adhit.
***
Ternyata dugaan bu Marsih tentang keluarganya Putri meleset.
Kedua anaknya sangat baik dan tidak tampak membedakan perbedaan status diantara mereka.
Dua orang ganteng dan cantik itu bersikap se olah-olah mereka adalah keluarganya juga. Bu Marsih sangat bersyukur.
Ia memandangi Ayud seperti melihat Putri ketika datang pertama kali kerumahnya, dan menangis dikursi yang sekarang diduduki anaknya.
Bu Marsih tersenyum sendiri, ternyata jodoh itu tidak bisa ditentukan oleh pemilihnya, tapi hanya Tuhan yang menentukannya.
Dan anak-anak dari mereka yang semula saling mencintai, berbaur seperti layaknya saudara.
Itu adalah cinta-cinta kasih yang tulus. Dan kedamaian terasa dihati ibu tua itu, melihat mereka tampak sangat bahagia.
"mBah, nanti sore kami akan menjemput Dinda, sekarang biarlah dia disini dahulu," kata Adhit kepada bu Marsih.
"Iya cah bagus, terimakasih karena menerima Dinda seperti saudara sendiri. Ia hanya cucu seorang pedagang makanan."
"Mengapa simbah berkata seperti itu? Saya juga pedagang lho mbah, cuma berbeda bentuknya. Saya salut simbah yang sudah setengah tua masih giat bekerja, bersemangat dan tampak segar."
"Iya nak, tapi namanya orang seperti simbah ini kan pasti berbeda dengan....."
"Tdak, simbahnya Raka dan Dinda juga simbahnya Adhitama dan Ayud.."
Bu Marsih merangkul keduanya dengan berlinangan air mata. Pernahkah terpikir oleh bu Marsih bahwa Adhitama juga darah dagingnya?
Rupanya ikatan yang tak tampak itu seperti menalikan benang merah yang walaupun tipis tapi mengikat masing masing hati mereka.
Seperti perasaan Adhit pada Dinda.. taukah dia bahwa mereka adalah sedarah daging? Sayangnya mereka mengartikan perasaan cinta itu seperti layaknya cinta seseorang kepada lawan jenisnya. Aduhai..
"Simbah, sekarang kami mau pulang dulu karena masih harus kembali ke kantor. Nanti sore kami akan menjemput Dinda ya mbah?" Kaya Ayud ketika merangkul bu Marsih.
"Iya nak, hati-hati dijalan, dan terimakasih telah menjaga cucu simbah dengan sangat baik."
"Ya pasti lah mbah, walau Dinda itu sedikit nakal, tapi kami sangat menyayangi dia, jadi simbah nggak usah khawatir. Ya mbah?"
"Terimakasih banyak ya nak, hati-hati dijalan."
Dan ketika pulang itu Adhit sempat mengerling kearah Dinda dengan tatapan mata sedikit nakal. Dinda memeletkan lidahnya, lalu tersenyum sangat manis.
***
"Mas, aku pikir-pikir nas Adit itu aneh ya?" kata Ayud dalam perjalanan kembali ke kantor.
"Aneh bagaimana?"
"Itu, sikap mas Adit sama Dinda, bari ketemu belum sebulan saja kayaknya gimanaaa... gitu."
"Gimana itu apa? Dan belum sebulan bagaimana, kan kita sudah sejak kecil ber sama-sama?"
"Itu benar, waktu kecil berteman biasa, setelah Dinda remaja, mas Adhit memandangnya seperti lain. Apa mas Adhit kali ini benar-benar jatuh cinta?"
Adhit terdiam. Ia sungguh belum sepenuhnya bisa memahami perasaannya.
Bahwa Dina itu cantik. Ya.. Bahwa Dinda itu menarik.. Iya.. dan senyumannya selalu membuatnya ber debar-debar. Itu benar.
Apakah itu cinta? Adhitama tak mengerti. Tapi ia belum pernah merasakan hal seperti ini. Sumpah.
"Kok diam? Itu benar ya?"
"Nggak tau aku.."
"Masa perasaan sendiri nggak tau ?"
"Aku memang belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya."
"Mas, dengar ya, yang namanya jatuh cinta itu boleh-boleh saja, tapi mas harus ingat, Dinda itu masih remaja, yang namanya remaja itu ya belum tentu perasaannya yang sekarang.. akan abadi sampai entah kapan.. Kalau mas benar-benar cinta dan dia masih cinta monyet, mas sendiri nanti yang sakit."
Adhitama terdiam. Rupanya ia masih harus mencari kebenaran dari perasaannya.
"Sebaiknya biarkan dulu Dinda kuliah, menyelesaikan kuliahnya, nah.. kalau tahan.. tungguin.. tapi jangan biarkan perasaan itu sampai dalam. Biasa saja.. seperti hubungan kakak dan adik, gitu lho mas.."
"Hm.. kok kali ini kamu kayak nenek-nenek?"
"Iih... mana ada nenek-nenek secantik aku.." Ayud cemberut.
Adhitama tertawa. Kata-kata Ayud ada benarnya.
"Lalu bagaimana kamu dengan Raka?"
"Apanya yang bagaimana? Kita itu aneh.. mas Adhit tertarik sama Dinda, trus aku di hubung-hubungkan sama Raka."
"Aku melihat Raka itu suka sama kamu."
"Aku kan sudah bilang, aku lebih tua dari Raka."
"Apa itu halangan..?"
"Mas suka, kalau aku pacaran sama Raka?"
"Dia itu kan baik, pintar.. ganteng.. haa.. itu penting lho.."
"Nggak tau aku... sudah diamlah, kita sudah sampai di kantor."
***
Begitu memasuki kantornya, Mirna melapor bahwa tadi ada telephone dari bapknya. Adhit buru-buru memegang telephone dan menelpon ayahnya.
"Hallo, bapak tadi menelpon?"
"Iya, kamu lagi makan siang, ponsel kamu mati kan?"
"Iya, takut mengganggu makan siang Adhit pak. Apa ada yang penting?"
"Bagaimana perusahaan kamu?"
"Baik pak, lumayan. Kan bapak yang ajarin."
"Itu eyangmu kakung yang ngajarin, Bapak ini kan orang biasa saja, bukan pemilik perusahaan."
"Bapak sukanya merendah deh. Oh ya, tadi Adhit, sama Ayud, makan bareng Dinda."
"Oh, Dinda ada disini? Jadi kuliah disini?"
"Iya pak, nggak nyangka, Dinda itu sekarang cantik banget."
"Oh ya? Memang cantik lah, bapaknya ganteng ibunya cantik."
"Tadi tuh pak, Dinda bilang bahwa aku mirip sama om Raharjo, hahaa... bapakku sama om Raharjo kan sahabatan, sama-sama ganteng... ya kan?"
Tapi Galang terdiam. Kata-kata yang dianggapnya gurauan itu terasa menusuk hatinya.
"Pak, apakah salah kalau aku jatuh cinta sama Dinda?" kata Adhit tiba-tiba, tapi itu membuat Galang tertusuk lebih dalam. Ini menghawatirkan.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel