Cerita bersambung
Galang benar-benar kaget. Pernyataan Adhitama sungguh tak diduganya, membuatnya tak mampu ber kata-kata.
Sementara itu Mirna yang berada tak jauh dari sana merasa hatinya bagai di cabik-cabik. Pernyataan cinta Adhitya terdengar oleh telinganya, bagai sebuah palu godam dilabuhkan kedadanya. Namun telinganya terus menyimak.
"Bapaak.. bapak masih disitu?"
"Oh, apa le.. iya.. bapak mendengarnya.."
"Bagaimana menurut bapak?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Bapak setuju bukan seandainya Adhit dan Dinda saling mencintai?"
"Tidak le...jangan.." kata Galang seperti perintih.
"Kenapa bapak?"
"Dinda itu terlalu muda untuk kamu, lebih baik carilah gadis lain saja, jangan Dinda ya ngger."
Adhitama terdiam, suara bapaknya seperti suara rintihan. Sungguh itu membuat batin Adhit teriris. Semuanya belum benar-benar terjadi, baru terbawa perasaan, mengapa bapak sudah menentang keras? Pikir Adhit. Ia baru merasa tertarik, baru merasa ada perasaan aneh yang belum pernah dirasakannya sebelumnya, dan Dinda juga belum tentu menyukai dirinya, tapi bapaknya seperti tidak suka.
"Kamu dengar le, jangan lanjutkan, dia bukan untuk kamu,"lanjut Galang dari seberang sana.
"Bapak...."
"Dengar dan jangan lanjutkan, anggap saja dia adik kamu."
Lalu Galang memutuskan pembicaraan itu. Membiarkan Adhitama tercenung dimejanya, masih memegangi gagng tilpun itu sampai terdengar suarang berdenging dan membuat sakit telinganya, barulah Adhit meletakkannya.
Mirna menangkap wajah ganteng itu kemudian tampak murung. Ada apa ya? Apakah bapaknya kurang suka? Gadis itu kan cantik, menawan. Tapi Mirna diam-diam bersyukur. Hmm bagaimana kalau Adhit nekat? Jaman sekarang banyak anak yang tidak patuh kepada orang tuanya dalam hal perjodohan.
Aduhai... Mirna berperang melawan batinnya sendiri. Ia juga suka pada Adhitama, tapi ibunya melarang dirinya jatuh cinta. Tugasnya adalah membuatnya sengsara.
"Mirna!"
Mirna terkejut, suara itu terdengar sangat keras, dan seperti memendam sesuatu yang membuatnya tidak suka.
Mirna mengangkat wajahnya, lalu dilihatnya Adhitama menunjuk kearah sebuah map yang tadi diserahkannya.
"Teliti kembali sebelum diserahkan ke saya."
Mirna berdiri dan berjalan kearah meja majikannya. Ia tau pak bos ganteng itu belum membuka map itu, mengapa dikembalikannya padanya?
"Ini pak?"
"Iya.. teliti lagi baru diserahkan ke saya."
Suara itu terdengar tandas, berbeda dari biasanya. Mirna merasa bahwa pak bos sedang kesal. Ia tak menjawab apapun, diambilnya map itu lalu berjalan kembali ke mejanya, sementara Adhitama segera berdiri dan keluar dari ruangannya.
"Ya ampun pak bos ganteng, mengapa harus kecewa, kan ada saya?" bisik batin Mirna.
***
Hari masih siang tapi Galang sudah kembali dari kantornya. Putri yang masih membantu simbok menyiapkan masakan didapur terkejut melihat suaminya pulang dengan wajah kusut.
"Mas, kok sudah pulang?"
"Memangnya kenapa kalau aku pulang agak siangan?"
Putri terkejut mendengar jawaban suaminya. Diambilnya minuman dingin dari dalam kulkas dan dituangkannya kedalam gelas, lalu dengan sebuah nampan kecil dihidangkannya minuman itu dimeja, dimana suaminya duduk disofa sambil menyandarkan kepalanya.
"Ini mas, diminum dulu.."
Galang menegakkan tubuhnya, meraih minuman yang dihidangkan isterinya, diteguknya habis, membuat Putri geleng-geleng kepala.
"Ada apa suamiku hari ini?" tanya Putri sambil mengelus tangannya.
"Pusing aku.."
"Kalau begitu ganti baju dan tiduran dulu, aku ambilkan obat ya."
"Nggak, bukan sembarang pusing ini.."
"So'al pekerjaan? Pak Haris marah?"
"Bukaaan...."
"Habis so'al apa dong.."
"Aku baru saja menelpon Adhit.."
"Oh, dia baik-baik saja kan?"
"Tidaak.."
"Apa maksudmu mas, Adhit sakit? Ayud ?" tanya Putri penuh khawatir..
"Bukaaan.."
"Habis apa dong mas.... iih, mas buat aku penasaran saja."
"Adhit bilang kalau dia jatuh cinta pada Dinda."
"Apaaa?"
"Itu yang dikatakannya, aku langsung menolaknya, melarangnya."
"Ya Tuhan...." keluh Putri yang kemudian berlinangan air mata.
Melihat isterinya menangis, Galang sangat menyesal. Berita itu menyakiti hati isterinya, menguakkan kisah lama yang sesungguhnya teramat pahit. Ia segera merengkuh isterinya dan dipeluknya erat kedadanya.
"Rahasia itu, hanya kita berdua yang tau kan mas?" isak Putri. Galang mengangguk.
"Ternyata derita itu masih berkelanjutan..."
"Putri, jangan sedih, aku kan sudah beejanji, bahwa apapun akan kita pikul ber sama-sama."
"Ini kan dosaku mas, kenapa mas harus ikut menanggungnya?"
"Aku ini suamimu, tentu saja aku harus ikut menanggungnya. Sudah, jangan sedih, kita harus mencari jalan untuk mencegahnya."
"Padahal Retno mengatakan bahwa Dinda akan kuliah di Solo, malah tinggal bersama Ayud dirumah ibu."
"Itulah susahnya. Kita juga tak bisa mengusirnya begitu saja."
"Kalau Dinda itu anak kita, mudah saja memindahkan dia agar kuliah di Jakarta saja misalnya, bukan di Solo, tapi kan dia anaknya Raharjo dan Retno."
"Lalu bagaimana ini, nggak ada yang bisa memecahkan persoalan ini kecuali kita berdua. Karena yang tau tentang rahasia ini hanya kita."
"Dan ibu yang di Solo."
"Oh ya, ibu.. apakah kita bisa minta tolong ibu?"
"Maksudnya mengusir Dinda?"
Putri menghela nafas, air mata masih menggenang dipelupuknya, dan Galang masih merangkulnya dengan kasih sayang.
Tapi jalan keluar yang diharapkannya belum juga ditemukan.
***
Malam itu Adhitama tampak murung. Ia belum juga keluar dari kamar, walau sa'at makan malam telah tiba, dan bu Broto mengharapkan semua cucunya makan ber sama-sama.
"Mas..." tiba-tiba Ayud menyeruak masuk.
"Kalau mau masuk ketuk pintu dulu dong.." gerutu Adhit yang masih berbaring tanpa mengangkat tubuhnya.
"Eh, tumben-tumbenan pintu nggak diketuk saja marah."
"Kamu tuh..." Adhit memiringkan tubuhnya ketika tiba-tiba Ayud ikut berbaring disampingnya.
"Ada apa mas? Sejak pulang dari kantor tadi, mas Adhit tampak murung."
"Nggak apa-apa, lagi nggak enak badan saja."
"Trus tadi nggak mau ikut jemput Dinda, mas suruh aku sendiri yang jemput. Ada apa? Mas marah sama Dinda?"
"Ya enggak lah, kenapa mas harus marah sama Dinda.."
"Jadi kenapa?"
"Nggak apa-apa.."
"Kalau begitu ayo bangun, eyang sudah menunggu di meja makan, bersama Dinda," kata Ayud sambil bangkit, lalu menarik tangan kakaknya.
"Iih.. manja amat... pakai harus dibangunin segala."
Adhitama bangkit, lalu melangkah mengikuti Ayud karena Ayud menarik lengannya tanpa mau melepaskannya.
"Ada apa ta le? Kamu sakit?" tanya bu Broto melihat Adhit tampak tak bersemangat."
"Engggak eyang, cuma agak capek.." jawab Adhit yang kemudian duduk dikursi yang sudah disediakannya."
"Mas Adhit nggak sakit?" tanya Dinda yang sudah mencomot sepotong tahu yang dikunyahnya dengan nikmat.
"Enggak.. capek banget nih."
"Ya sudah, ayo kita makan, Adhit.. makan yang banyak dan minum vitamin supaya nggak kecapean. Itu ada macam-macam vitamin, Ayud yang membelikan untuk eyang."
"Dikerokin aja mas.. aku bisa lho ngerokin.." sahut Dinda bersemangat.
"Hm.. kamu? Nanti mas Adhit malah sebentar-sebentar bilang sakit karena kesenangan.." kata Ayud sambil menyendok sayur kedalam piiringnya.
"Ayud itu paling bisa kalau mengejek kakaknya, tuh yang..." kata Adhit sambil melirik kearah Dinda. Ada debar aneh yang merayapi hatinya. Mengapa aku ini, sementara bapak saja melarang aku jatuh cinta sama dia. Tapi perasaan kok nggak bisa diajak kompromi ya. pikir Adhitama.
"Sudah, sedang makan nggak boleh bertengkar," sergah bu Broto sambil tersenyum.
Dinda mmengawasi Adhit yang tak bersemangat menyendok makanannya.
"Hei.. jangan kamu pandangi dia terus.. bisa jatuh cinta kamu nanti."
"Iih... mbak Ayud, ngomongnya itu terus...Dinda cuma kasihan sama mas Adhit, tampaknya lagi nggak bersemangat."
"Besok aku mau ke Jakarta," kata Adhit tiba-tiba.
"Apa ? Ke Jakarta ?"
"Aku kangen sama bapak."
"O, gitu, curang ya mas, mau pulang ke Jakarta nggak pas ada waktu luang, trus mas serahkan semua pekerjaan ke aku, begitu kan?"
"Ya iyalah... kamu kan sudah pintar."
"Mengapa tiba-tiba pengin pulang.." tanya bu Broto
"Nggak apa-apa, cuma sebentar saja kok yang."
"Ya sudah, hati-hati, besok jam berapa?"
"Pagi-pagi yang... sebentar lagi mau pesen tiketnya."
"Lho, eyang nggak bisa nitip makanan buat bapak ibumu dong."
"Nggak apa-apa eyang, nanti Adhit belikan di bandara saja."
"Aku boleh ikut?" kata Dinda seenaknya.
"Eiitt...enak aja, nggak bisa.. kamu boleh ikut ke Jakarta nanti, sama aku," sahut Iyud.
Dinda memeletkan lidahnya.
Dan malam itu juga Adhitama memang memesan tiket pesawat untuk pergi besok paginya. Tak seorangpun tau, Adhit memesan pesawat ke Medan, bukan Jakarta.
==========
Mirna sedikit merasa canggung, karena yang duduk dikursi Adhitama adalah Ayud. Gadis yang menurut Mirna sedikit angkuh itu sama sekali tak menyapanya ramah. Ia sibuk mem balik-balikkan surat yang sudah diletakkannya dimeja.
Berkas yang kemarin kata Adhitama harus ditelitinya kembali. Tapi kan memang nggak ada yang salah? Ia ingin menanyakan pada Ayud, kemana Adhitama, tapi diurungkannya.
"Ini sudah harus kemarin selesai, mengapa baru diserahkan sekarang?" tegur Ayud.
"Sebenarnya kemarin sudah selesai, tapi pak Adhit mengembalikannya ke saya, saya sudah menelitinya dan tampaknya nggak ada yang salah bu Sore harinya pak Adhit tidak kembali ke kantor, jadi baru sekarang saya letakkan dimeja."
Ayud merasa, memang tak ada yang salah pada berkas itu. Ia menutup kembali mapnya, setelah menandatanganinya. Memang Ayud berhak menandatangani seandainya kakaknya tidak ada. Ia kemudian mengangkat map itu lalu memanggil Mirna.
"Mirna, ini sudah.. "
Mirna berdiri dan mengambil berkas itu.
"Boleh kamu kirimkan sekarang."
"Baik bu."
Tiba-tiba ponsel Ayud berdering, Dinda menelpon rupanya.
"Hallo Din, ada apa?"
"mBak, ini aku lagi bantuin simbok memasak, tapi setahnya aku mau kerumah simbah ya?"
"Sendirian? Kamu nggak takut nyasar?"
"Ya enggak lah mbak, aku bisa naik ojek online atau taksi."
"Baiklah, terserah kamu, tapi setelah ini kamu harus siap-siap ikutan ujian masuk kamu ke universitas lho, nggak lama lagi tuh."
"Iya mbak, siap..."
Ayud menutup pembicaraan itu. Ia senang ikut memikirkan kelanjutan kuliah Dinda, ia memang menyayangi Dinda sejak mereka masih kanak-kanak.
***
Retno terkejut ketika siang itu tiba-tiba Adhitama muncul dihadapannya.
"Adhit ? Ya ampun Dhit, angin apa yang membawamu kemari?" Sambut Retno sambul memeluk Adhitama erat-erat.
"Kebetulan ada waktu, pengin mampir kemari tante. Ini oleh-oleh buat tante dan om Raharjo." kata Adhit sambil menyerahkan sekotak bingkisan berisi makanan khas Solo. Tadi sebelum ke bandara dia mampir beli oleh-oleh itu.
"Waduuh.. banyak banget oleh-olehnya, terimakasih banyak ya."
"Om Raharjo belum pulang?"
"Belum nak, nanti sorean baru pulang, tapi nanti tante mau menelpon saja, barangkali dia bisa pulang lebih awal.
"Biar saja tante, nanti mengganggu."
"Nggak, nggak apa-apa.. sebentar, tante ambilkan minum buat kamu."
Adhitama duduk menunggu di kursi tamu itu, tapi hatinya berdebar-debar. Ia tak tau harus mengatakan apa, dan ia juga seperti mimpi ketika tiba-tiba sudah menginjakkan kakinya dirumah itu.
Adhitama belum pernah jatuh cinta, belum pernah merasakan perasaan seperti yang ia rasakan kepada Dinda, dan ia sungguh kebingungan ketika belum-belum ayahnya sudah menentangnya. Sekarang ia datang kerumah orang tua Dinda, tapi ia bingung harus mengatakan apa.
"Aku benar-benar seperti gila," bisiknya lirih, sambil menyandarkan kepalanya di kursi itu. Ketika Retno datang dengan membawa segelas minuman dngin , Adhit baru menegakkan tubuhnya..
"Capek ya Dit?"
"Enggak tante. Sepi ya dirumah tante sendirian."
"Iya, cuma ada satu pembantu. Sebenarya tante masih ingin bekerja di kantor, tapi semenjak dipindahkan ke Medan om mu melarang tante bekerja. Ya sudah, jadi ibu rumah tangga saja. Ayo diminum dulu."
"Terimakasih tante," kata Adhit yang kemudian meneguk minumannya.
"Bagaimana kabar Dinda? Merepotkan bukan?"
"Oh, tidak tante, kami senang Dinda ada disana," kata Adhit sambil menahan debar jantungnya.
"Dia itu manja, dan nakal lho, kalau minta apa-apa .. kalau belum diturutin... teruus saja me rengek-rengek. Itu sebabnya tante sesungguhnya berat melepaskan dia, takut menyusahkan."
Adhit tersenyum, rengekan Dinda itu, sangat disukainya, dan membuatnya gemas.
"Tidak tante, tante jangan khawatir, Ayud sangat memanjakan Dinda kok."
"Tapi tante percaya, karena keluarga kami dan keluarga ayahmu sudah seperti audara, pasti kalian akan saling mengasihi."
"Oh, lebih dari itu tante," meluncur begitu saja kata-kata Adhit, yang kemudian membuatnya terkejut sendiri. Lebih dari itu, apa maksudnya? Ya ampun, jangan sampai tante Retno bisa menangkap artinya, kata batin Adhit.
"Ya, tante percaya, sebentar, tante akan menelpon om mu dulu, siapa tau dia bisa pulang lebih cepat." kata Retno sambil berdiri dan mengambil ponsel untuk menelpon suaminya.
Adhitama termenung sendiri.
Seperti mimpi rasanya ketika ia tiba-tiba sudah berada dirumah ini. Banyak yang ingin dikatakannya, tentang isi hatinya, tentang perasaannya pada Dinda, dan sesungguhnya ia berharap mendapat dukungan, bukan tentangan seperti sikap ayahnya, yang mungkin juga ibunya. Tapi rasanya ia tak akan mampu mengatakan apapun.
Barangkali sangat ter gesa-gesa mengakui perasaan cintanya, apalagi Dinda juga belum tentu bisa menerimanya. Kemudian ia menjadi menyesal mengapa tiba-tiba datang menemui orang tua Dinda.
Lamunan itu buyar ketika Retno sudah kembali duduk dihadapannya.
"Om mu akan segera pulang,"
"Oh, saya menyusahkan saja, padahal saya cuma mampir."
Lalu Adhit terkejut sendiri menyadari pernyataannya. Mampir? Mampir dari mana? Aduh.. sekarang Adit sibuk mencari alasan mengapa ia datang kerumah Raharjo.
"Sebentar ya, tante akan menyiapkan makan siang," kata Retno sambil berdiri.
"Jangan repot-repot tante."
"Nggak repot kok Dit, kan om mu juga mau pulang, nanti kita bisa makan sama-sama."
Adhit kembali menyandarkan kepalanya disandaran sofa itu. Ia kemudian menyadari kebodohannya, sifar grusa grusu yang membuatnya tanpa berfikir panjang lalu terbang ke Medan. Lalu dia bingung harus berkata apa, bingung harus mencari alasan apa.. aduuh.. bagaimana ini..
Adhitama memejamkan matanya, terbayang lagi wajah cantik dan manja itu, seperti me nari-nari didepan pelupuk matanya.
Adhit tersenyum. Dipeluknya bantalan kursi yang ada disampingnya, membayangkan Dinda berada dalam pelukannya. Aduhai...
Adhit terkejut ketika seseorang menepuk bahunya. Adit melemparkan bantal itu dan berdiri tiba-tiba ketika melihat Raharjo sudah ada dibelakangnya.
"Adhit?"
"Om.."
Keduanya berpelukan lama sekali. Ada desir kerinduan yang juga tak bisa dimengerti oleh keduanya. Ada jalinan benang tipis yang mengikat keduanya dalam satu raga dan rasa. Namun juga tak mereka sadari apa artinya.
"Om kangen sekali sama kamu. Berapa tahun kita nggak jumpa ya Dit?" Kata Raharjo yang kemudian duduk berhadapan di sofa itu.
"Lumayan lama om, waktu itu Dinda masih SMP, baru masuk SMP di sini." kata Adhit.
"Benar, sudah tiga tahunan ya Dit, kamu sudah dewasa dan bertambah ganteng seperti ayahmu," kata Raharjo.
"Lho, pak.. sudah pulang ternyata," pekik Retno yang baru keluar dari dapur sambil membawa sepiring makanan.
"Ibu gimana, tamunya dibiarkan mengantuk disini, sendirian.."
"Oh ya, ngantuk Dit? Itu pak, ibu lagi menyiapkan makan siang .. tuh sudh selesai, jadi kita bisa makan siang sama-sama."
"Wah, bagus nih, bapak juga sudah lapar. Ayo Dit, kita makan." ajak Raharjo sambil berdiri.
Mau tak mau Adhit juga langsung berdiri dan melangkah ke ruang makan mengikuti Retno dan suaminya.
Ketika Adhit berpamit untuk ke kamar mandi, Raharjo bertanya pada isterinya.
"Kenapa tiba-tiba Adhit datang kemari? Nggak ada apa-apa tentang anak kita kan?"
"Nggak pak, dia bilang cuma mampir kok."
"Oh, ya sudah, aku khawatir Dinda merepotkan disana."
"Nggak merepotkan om, Ayud senang sekali mendapat teman. Sa'at ini Dinda pastinya sedang mempersiapkan diri untuk ikut ujian masuk ke universitas." kata Adhit sambi duduk.
"Syukurlah, aku titipkan Dinda pada Ayud dan kamu ya."
"Ya om."
Ketika selesai makan itu Adhit masih juga ber debar-debar. Pasti Raharjo akan bertanya tentang keperluan kedatangannya ke Medan, dan Adhit tak akan mampu menjawabnya. Melamar Dinda? Nanti pasti dikiranya dirinya sudah gila. Masa tiba-tiba melamar. Lalu apa?
Ternyata aku ini bodoh. pikir Adhit.
"Sebenarnya kamu dari mana Dit, kok bisa mampir kemari," tanya Raharjo.
Tuh kan, Adhit sudah menduga pasti akan ada pertanyaan seperti itu. Adhit meraih gelas minum dan meneguknya.
"Mau membuka cabang dikota ini?" tiba-tiba pertanyaan Raharjo ini menerbitkan ide jawaban yang akan dikarangnya.
"Mm.. iya sebenarnya om, tapi.. belum tau saya, kayaknya ini terlalu jauh,"
"Terlalu jauh bagaimana? Besok aku antar kamu untuk ber putar-putar, barangkali ada peluang bisnis yang bagus buat kamu."
"Mm.. sebenarnya ingin om, tapi mungkin lain kali saja, saya hanya bisa meninggalkan kantor selama dua hari karena lusa akan ada tamu penting di perusahaan saya. Sementara saya juga harus ke Jakarta dulu besok pagi."
"Oh, begitu ya, baiklah, kapanpun kamu mau, om akan bantu."
"Terimakasih om." lalu Adhit bernafas lega karena menemukan jawaban yang bisa diucapkannya, padahal sama sekali tak terpikirkan olehnya membuka bisanis disana.
Tiba-tiba terdengar dering telephone dari ponsel milik Retno.
"Haa.. ini Dinda."
Aduh, Dinda menelpon? Adhitama ingin melarang Retno agar tak menceritakan keberadaannya di Medan, tapi rupanya sudah terlambat.
"Hallo Dinda, kebetulan, Adhit pas lagi disini lho."
"Apa bu? Mas Adhit dirumah?"
***
Siang itu Ayud juga menelpon ibunya.
"Hallo Ayud, apa kabar?"
"Baik ibu, bapak belum pulang?"
"Ya belum nak, kan biasanya sore baru pulang. Kamu lagi di kantor?"
"Iya nih, mana mas Adhit, Ayud ingin menanyakan sesuatu, ada masalah perusahaan yang harus mas Adhit yang menjawabnya."
Dan Putri tertegun. Adhit dimana ? Apakah Ayud salah menelpon orang? Tapi dia kan tadi dia memanggilny ibu?
"Bu, cepetan dong, mana mas Adhit?"
"Kamu itu mimpi kah? Bagaimana kamu mencari kakak kamu disini? Ini rumah Jakarta, aku ibumu lho Yud."
"Ibu, gimana sih, Ayud yang bingung sekarang, bukankah mas Adhit ada di Jakarta?"
"Nggak mbak, mas Adit ada di Medan." tiba-tiba Dinda sudah ada diruangan itu dan menyambar pembicaraan Ayud dan ibunya.
Bersambung #7
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel