Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 29 Juli 2021

Dalam Bening Matamu #7

Cerita bersambung

Ayud terkejut.

"Baiklah bu, nanti Ayud telepone lagi ya, sungkem buat bapak." Kata Ayud kemudian menutup ponselnya.
"Apa kamu bilang Din? Mas Adhit ada di Medan?"
"Iya, barusan Dinda menelpon ibu, Dinda mau ke tempat simbah, ibu mau mesen apa, malah ibu bilang bahwa mas Adhit ada disana."
"Ngapain dia ke Medan?"
"Nggak tau, kata ibu mampir, gitu."

"Kamu nggak ngomong sama mas Adhit?"
"Nggak, kata ibu lagi ngomong-ngomong sama bapak,"
"Ya ampun, ada apa ini? Mengapa tiba-tiba mas Adhit bisa sampai Medan?" keluh Ayud.
"O, Dinda tau, mau ngelamar Dinda 'kali?" kata Dinda sambil memeletkan lidahnya.
"Kamu itu, pengin buru-buru kawin ya?"
"Eh, nggak.. aku kan cuma bercanda. Oh ya mbak., nanti aku tidur dirumah simbah ya?"
"Lho, kok tidur disana sih, aku sendirian dong."
"Ini ulang tahun simbah, Dinda mau buat kejutan, makanya Dinda tadi  menelpon ibu, enaknya simbah mau dibelikan apa.. gitu."
"Oo, ulang tahun simbah ya, ya udah, aku mau nitip deh."
"Nitip apa?"
"Ini, tolong belikan apa saja yang simbah suka, nih.. uangnya," kata Ayud sambil mengulurkan sejumlah uang.
"Banyak bener, dibeliin apa nih?"
"Terserah kamu deh, pokoknya yang kira-kira simbah senang."
"Hm.. jadi mikir deh, tadi... ibu pesen supaya Dinda beli baju warga ijo lumut, terus...Dinda mau belikan mukena saja buat simbah, mbak Ayud apa?"
"Terserah kamu saja, pokoknya yang bagus."
"Bagaimana kalau... panci presto mbak.. pancinya simbah sudah butut tuh.. tapi ini uangnya cukup nggak ya?"
"Ya udah, nih.. aku tambahin, kalau masih kurang juga kamu pinjemin ya, punya uang nggak?"
"Punya dong..beres pokoknya.."
"Lha kamu mau belanja macam-macam gitu sendirian?"
"Ya enggak lah, mas Raka mau kesini nyamperin Dinda. barusan Dinda telephone dia. udah nyampe didepan tuh dia."
"O, diam-diam janjian sama Raka ya."
"Iya, emangnya nggak boleh?"
 "O... gitu ya, hm.. bagus kalau begitu, so'alnya ini lagi ada urusan,jadi aku nggak bisa ikut, sebentar lagi aku mau ngomong sama mas Adhit."

Ketukan pintu terdengar, dan Raka masuk sambil tersenyum. Iih.... Ayud agak berdebar nih, mengapa sih senyum Raka kali ini terasa lain. Kalau benar kata mas Adhit bahwa.... aduh.. Ayud tak berani melanjutkan lamunannya karena Raka sudah ada dihadapannya.

"Selamat siang, ibu direktur.." sapa Raka .
"Iya nih, direktur sementara, habis direkturnya yang asli kabur.."
"Lhoh, kabur kemana?"
"Tau tuh, katanya ke Medan, kata Dinda mau ngelamar Dinda .."

Raka tertawa, lalu tangannya mengacak acak rambut Dinda.

"Iiih, mas Raka gimana sih, rambut Dinda jadi acak-acakan nih," kata Dinda sambil mengelus elus rambutnya.
"Ya sudah, kalian mau belanja kan? Nanti kesorean.."
"Ngusir nih?" kata Raka sambil cemberut.
"Bukan, katanya mau belanja tuh, tuan puteri sudah bawa uang banyak."
"Uang banyak apa, paling nanti minta ke aku.."

Dinda tertawa sambil mencubit lengan kakaknya.

"Kok buka rahasia sih.." sungutnya.
"Iya.. tanpa Raka bilang juga aku sudah tau kok, dari mana kamu dapat duit kalau tidak minta sama kakak."

Dinda pun tertawa keras.

"Ssst... kebiasaan deh."
"Ayo mas, kita pergi..."
"Pamit dulu ya Yud, kangen sebetulnya sama kamu, lama nggak ketemu." Kata Raka sebelum membalikkan badannya.
"Eeeh, baru seminggu sudah bilang lama.." sambut Ayud sambil tersenyum manis.

Ketika kedua tamu itu pergi, Mirna jadi berfikir, Jadi Dinda itu adiknya Raka? Masih saudaraku dong. Tapi gimana caranya menyapa, nanti ketahuan aku ini siapa.. anaknya siapa..  pikir Mirna. Tapi diam-diam Mirna mencari jalan agar bisa mengorek masa lalu ibunya yang katanya menyakitkan. Barangkali dari Raka atau Dinda. Tapi Mirna merasa bahwa hal itu tidak akan dikatakannya dulu pada ibunya.
***

"Mas tau nggak, Adhit sa'at ini ada di Medan," kata Putri dengan cemas begitu Galang sampai dirumah.
"Medan? Kerumah Raharjo?"
"Iya, kerumah siapa lagi, orang yang dia kenal disana juga cuma Raharjo."
"Ngapain dia kesana?"
"Aku khawatir mas, jangan-jangan Adhit membicarakan tentang perasaannya pada mereka."
"Mungkin juga, aduh.. mereka tak akan menolak karena nggak tau siapa sebenarnya Adhitama. Aku akan menelpon dia."
"Iya mas, lebih baik begitu."

Tapi rupanya Adhitama mematikan ponselnya. Mungkin khawatir akan banyak pertanyaan dari Ayud dan juga ayah ibunya. Bahkan Adhit juga tidak tau betapa Ayud menelponnya ber kali-kali.

"Ponselnya mati .." keluh Galang

Telepon Raharjo saja, atau Retno," kata Putri masih dengan wajah cemas.
Dan kali itu panggilannya terjawab.

"Hallo mas, pasti mau ngomong sama Adhit kan?"
"Iya Jo, mana dia, nggak ngomong-ngomong tau=tau sampai dirumah kamu."
"Sekarang dia tidur, tuh, kamarnya dikunci."
"Dia bilang apa sama kamu Jo?"
"Nggak bilang apa-apa mas, dia hanya mencari peluang barangkali bisa membuka cabang di Medan."
"O, gitu? Repot amat.. kok aku nggak setuju ya, nanti dia terbebani dengan bisnisnya, jadi nggak cepat-cepat cari isteri dia."
"Apa dia ngomong soal seseorang yang dia suka?"
"O, mas Galang rupanya juga pengin cepet-cepet dapat menantu nih?"
"Dia ngomong ?"
"Nggak, ngomong so'al pacar? Menurut aku dia itu belum tertarik sama perempuan. Nanti akan aku ingatkan kalau dia bangun. Soalnya besok pagi-pagi katanya mau ke Jakarta."
"Oh, ya sudah, kirain curhat sama kamu tentang seseorang yang diaa suka."

Raharjo tertawa.

"Ya pasti nanti curhatnya sama bapak ibunya dong, masa sama aku."
"Baiklah kalau begitu, nanti begitu bangun suruh dia menelpon aku ya Jo."
"Oke mas, jangan khawatir nanti akan aku ingatkan."

Galang bernafas lega.

"Gimana mas?"
"Dia nggak ngomong tentang Dinda sama Raharjo. Katanya melihat barangkali ada peluang kalau dia mau buka cabang di sana."
"Di Medan? Jangan diijinkan mas, itu pasti akal-akalan dia supaya dekat dengan keluarganya Dinda."
"Besok dia mau kemari, kebetulan hari Sabtu, aku kan ada dirumah dari pagi.
***

"Jengkel aku, dari tadi menghubungi mas Adhit nggak bisa. Ponselnya dimatikan," keluh Ayud.
"Kalau begitu mungkin pertemuan dengan klien itu bisa kita tunda sampai Senin saja bu," Mirna mencoba memberi saran.
"Ya, itu satu-satunya jalan. Kamu hubungi saja mereka supaya har Senen mengontak kita lagi, karena belum tentu juga mas Adhit sudah pulang.
"Baik bu."

Ayud tiba-tiba merasa bahwa Mirna tidak seburuk yang dia kira. Memang diluar dia sering bercanda dengan pegawai cowok.
Cowok mana sih yang nggak suka nggangguin gadis cantik? Cuma nggak sukanya Ayud, Mirna selalu meladeni candaan mereka yang kadang terdengar sangat norak.
Ah, persetan dengan semua itu, yang penting dia bisa bekerja dengan baik. Dan satu yang dia ingin, jangan sampai kakaknya jatuh cinta pada Mirna.

"Sudah saya hubungi bu, mereka akan mengontak kemari hari Senin."
"Bagus. Aku akan mencoba menghubungi mas Adhit lagi."

Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Galang.

"Hallo bapak, kangen ya sama Ayud?"
"Ya kangen lah, nggak ada yang cerewet dan bikin heboh rumah bapak."

Ayud tertawa senang.

"Ternyata kakakmu ada di Medan?"
"Iya tuh, ada masalah, dia janjian sama orang malah kabur. Lupa apa gimana. Dan Ayud menghubungi seharian nggak berhasil. Ponselnya dimatiin."
"Sebenarnya ada urusan apa dia ke Medan?"
"Nggak tau pak, tadinya pamit ke Jakarta, tau-tau bisa sampai Medan.Tadi Dinda bercanda, katanya mas Adhit mau ngelamar dia," kata Ayud sambil tertawa.
"Hush !!Nggak boleh itu."
"Apanya yang nggak boleh?"
"Apa kamu melihat bawa Dinda dan kakak kamu saling suka?"
"Ooh, bapak ada-ada saja, Dinda kan masih kecil pak, mereka hanya bercanda saja kok."
"Kamu yakin?"
"Ya yakin lah pak."
"Satu lagi, apakah kakakmu pernah  bilang bahwa mau membuka cabang di Medan?"
"Ah, enggak pak, memangnya mas Adhit bilang begitu?"
"Nggak, belum ngomong apa-apa sama bapak, tapi kata om Raharjo besok dia mau ke Jakarta dulu."
"Oh, syukurlah, nitip mesan sama bapak, bahwa hari Minggu sudah harus pulang, karena hari Senin ada yang nungguin."
"Siapa ?"
"Rekanan baru pak, pusing aku mikir mas Adhit tuh."
"Ya sudah, besok bapak bicara sama dia."
"Ibu mana?"
"Nanti saja biar ibumu telephone, kalau kamu sudah dirumah, sekarang pasti mengganggu pekerjaan kamu."
"Baiklah bapak. "

Ayud benar-benar tak mengerti, ada apa dengan Adhitama.
***

"Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana Adhit? Kamu mau buka cabang bisnis kamu disana? Itu bohong kan?" kata Galang ketika Adhit sudah sampai dihadapannya.

Adhit hanya menunduk. Putri duduk disampingnya dan mengelus elus pundaknya dengan kasih sayang. Kangen juga rupanya karena sudah lama tak berjumpa.

"Bapak, selama ini Adhit belum pernah merasakan bagaimana jatuh cinta kepada seorangpun gadis. Menurut Adhit, semua itu hanya teman, sahabat, tak lebih. Tapi ketika melihat Dinda, tiba-tiba ada perasaan lain."
"Kamu kan sudah kenal Dinda sejak dia masih kanak-kanak?"
"Benar pak, tapi waktu datang beberapa bulan ini, Adit merasakan hal yang lain."
"Lain bagaimana?"
"Pokoknya lain, Adhit suka sama dia, entah apakah itu cinta, Adhit sungguh bodoh dalam hal ini."
"Apa kalian sudah saling menyatakan cinta?"
"Belum... Adhit hanya bingung dengan perasaan aneh itu."
"Dengar Adhit, bapak sama ibu melarang kamu berhubungan dengan Dinda."
"Memangnya kenapa pak? Dinda itu cantik, bapak ibunya sahabat keluarga kita.. apa kurangnya dia. Dan Adhit juga bukan mau mengambilnya isteri sekarang ini, kan dia masih ingin kuliah."
"Nanti kamu keburu tua."
"Adhit, dengar kata bapak, jangan tenggelam dalam perasaan itu. Kamu harus cepaat menikah, tapi dengan gadis sebaya kamu." kata Putri menimpali.
"Ma'af bu, Adhit hanya mau menikah dengan Dinda."

==========

Putri terkejut, rangkulan  pada bahu anaknya terlepas seketika, dipandanginya wajah Adhit dengan linangan air mata. Adhitama terkejut, mengapa ibunya harus menangis? Hanya karena pilihannya yang tidak disetujuinya? Haruskah ibu menitikkan air mata? Begitu buruk kah Dinda dimata kedua orang tuanya? Seburuk apa? Gadis cantik manis, lincah, pintar, manja menawan, aduh.. kenapa? Bisik batin Adhit.

"Mengapa ibu menangis?" Kata Adhit lirih, sambil mengusap air mata ibunya.

Putri tak menjawab, air matanya terus bercucuran, lalu Adhit mengambil tissue yang ada diatas meja kemudian dipergunakan untuk mengusap air mata yang terus membasah dipipi ibunya.

"Mengapa ibu ?"

Putri hanya meng geleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya pucat.
Galang tak mampu mengucapkan kata-kata, telaga bening mulai mengambang dimatanya. Ia pun menarik selembar tissue untuk mengusapnya.

Adhit benar-benar tak mengerti. Seperti Galang dan Putri yang juga tak mengerti harus berkata apa. Rahasia yang terpendam selama puluhan tahun dihati keduanya, haruskah dibuka sa'at itu juga? Ya Tuhan, Galang tak sampai hati membuka aib isterinya. Dulu mereka berjanji akan tetap menyimpan rahasia itu, tapi bagaimana kalau kemudian ada kejadian seperti ini?

"Mengapa bapak? Mengapa ibu? Begitu buruk kah pilihan Adhit?"

Galang menggeleng.

"Tidak buruk nak, hanya tidak tepat. Bapak mohon, carilah gadis lain, jangan membuat susah ibumu dan bapakmu ini."

Sebuah pilihan, membuat susah?  Pikir Adhit tak mengerti. Gadis itu tak ada cacat celanya.

"Suatu hari nanti kamu akan mengerti. Untuk sa'at ini, jangan dulu memikirkan Dinda. Biarkan dia kuliah sampai selesai," kata Galang kemudian.
"Setelah itu, bapak akan ijinkan?"
"Tidak, tetap tidak..."
"Mengapa pak, katakan mengapa?"
"Kalian tidak sepadan, usia terlalu jauh, dan dia masih kanak-kanak." tandas kata Galang, sehingga Adhit tak berani lagi menjawabnya.
"Nanti ibu akan ikut pulang ke Solo bersama kamu," kata Galang sambil memandangi isterinya, dan tanpa mengucap sepatah katapun Putri segera mengerti. Ia harus bicara dengan ibunya. Hanya bu Broto yang mengetahui rahasia itu selain mereka berdua.

"Benar kata bapakmu, ibu akan ikut bersama kamu nanti."
***

Ayud dan Dinda menatap Adhitama dengan heran, melihat kedatangan Putri dan Adhitama bersamaan di malam itu. Mereka juga melihat wajah muram Adhit, walau Adhit berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.

"Ini dia, direktur yang menghilang tiba-tiba. Hm.. kalau mas tidak membawa ibu datang kemari, pasti Ayud sudah marahi mas habis-habisan." kata Ayud sambil cemberut.
"Urusannya selesai?"
"Selesai sebagian, tapi mas melupakan janji dengan pak Petrus."
"Oh ..iya.."
"Enak saja oh iya..  "
"Besok aku selesaikan semuanya, sekarang aku akan beristirahat." kata Adhit sambil langsung masuk kekamarnya. Diliriknya Dinda yang terus menatapnya tanpa ber kata-kata. Hatinya teriris mengingat kata-kata kedua orang tuanya pagi tadi.
"Kenapa dia?" Kata bu Broto sambil memeluk Putri.
"Lagi kecapean bu. Ayud, kamu tidak memeluk ibu?" tegur Putri sambil mengembangkan tangannya. Putri menghambur kearah ibunya dan mereka berpelukan erat sekali.
"Ayud kangen sama ibu, sebenarnya kami akan ke Jakarta ber sama-sama, tapi mas Adhit tiba-tiba pergi lebih dulu."
"Nanti kalau ada waktu luang, pergilah ke Jakarta, bapak juga kangen sama kamu."
"Iya bu.."
"Hallo, ini Dinda bukan?" seru Putri yang juga segera mencium Dinda.

Ditatapnya wajah cantik itu. Putri merasa bahwa sepantasnyalah kalau Adhit menyukai gadis ini. Tapi Dinda masih tampak polos, apa dia juga menyukai Adhit? Semoga tidak terjadi, bisik batin Putri.

"Dinda juga kangen sama tante," kata Dinda sambil tersenyum. Tampak lesung pipit dikedua pipinya, menambah manis wajahnya.
"Sayang, sudah lama kita nggak bertemu ya, tau-tau kamu sudah dewasa."
"Tante masih seperti dulu lho, cantik...." puji Dinda.

Putri menowel pipi Dinda.

"Ayo Dinda, kita bantu yu Supi menyiapkan makan malam untuk mereka," ajat Ayud sambil menggandeng Dinda kebelakang.

Putri duduk disamping ibunya, tak tahan ia kemudian memeluk ibunya sambil menangis.

"Ada apa nduk? Ibu sudah menduga, pasti sesuatu sedang terjadi." kata bu Broto sambil memeluk anaknya.
"Ibu, Putri ingin b icara, bolehkah kita bicara di kamar ibu saja?"
"Tentu saja boleh, ayo kekamarku, tampaknya kamu nggak ingin anak-anak mendengar ini semua bukan?"

Putri mengangguk, sambil mengikuti langkah ibunya kedalam kamar. Putri mengunci pintu kamar itu, lalu duduk disebuah sofa yang ada dikamar itu, berhadapan dengan ibunya.

"Ada apa?"
"Bu, ibu kan tau siapa Adhit sebenarnya?"
"Maksudmu...."
"Dia itu kan anaknya Teguh, ibu tau bukan?"
"Ya, tapi kan itu sudah berlalu, apa suamimu mengungkitnya lagi?"
"Bukan bu, Adhit bilang pada ayahnya kalau dia suka sama Dinda.."
"Ya Tuhan... ya Tuhan..." bisik bu Broto sambil menyedakapkan kedua tangan didada.
"Sejak dulu, kalau ada apa-apa, Adhit selalu berterus terang kepada bapaknya. So'al pelajaran, so'al teman-temannya, so'al beberapa gadis yang berusaha mendekati dia, semua diceritakan sama bapaknya. Kemarin.. pas bapaknya menelpon dia, dia bilang suka sama Dinda, kami jadi bingung bu."
"Iya ibu tau... Adhit sangat dekat dengan bapaknya."
"Itulah bu.. tadi pagi pas dia datang.. bilang kalau nggak sama Dinda nggak mau menikah."
"Tapi mereka sepertinya tidak pernah memperlihatkan itu."
"Benar, Dinda juga belum tentu suka, tapi kalau dibiarkan, lalu cinta dihati Adhit itu berkembang, bisa hancur semuanya bu."
"Jadi Adhit baru bilang suka.."
"Adhit itu aneh, sejak dulu belum pernah tertarik kepada seorangpun gadis, begitu tertarik dia langsung seperti orang bingung. Ia bilang mau ke Jakarta, tapi diam-diam dia ke Medan, dan disana dia itu mau ngapain.. juga nggak tau, dia sendiri bingung pada sikapnya."
"Jadi dia ke Medan karena itu?"
"Pasti maksudnya mau bilang sama Raharjo kalau dia suka sama anaknya, tapi dia ragu-ragu mengucapkannya, atau mungkin juga nggak berani... lalu dia hanya bilang mampir saja. Orang bingung itu kan?"
"Orang gemblung.."
"Mas Galang takut, kalau hal itu tidak dicegah dari sekarang, nanti keterusan, lalu bagaimana kita harus bersikap bu?"
"Padahal Raharjo sendiri kan tidak tau bahwa Adhit itu darah dagingnya?"
"Yang tau hanya ibu, Putri dan mas Galang."

Bu Broto tampak menghela nafas panjang. Memang ini baru awal perasaan Adhit, tapi sangat perlu mencegahnya. Mereka sedang berfikir mencari jalan keluar yang terbaik.

"Adhit selalu bertanya, mengapa dilarang, apa buruknya Dinda? Memang tidak buruk, cantik sempurna, tapi mereka sedarah... ya Tuhan, itu dosa Putri.. mengapa masih menyiksa perasaan Putri sampai sekarang? Bagaimana Putri menebusnya bu?" isak Putri.
"Nduk, sudah.. nggak usah menangis, nanti kita pikirkan apa yang harus kita lakukan, dan jangan menyesali yang sudah berlalu. Kalian sudah hidup tenteram dan bahagia. Kalau kali ini ada sesuatu yang membuat luka itu teriris kembali, anggaplah sebagai godaan. Dan kamu harus yakin bahwa kamu tidak sendiri, karena ibu, juga suamimu, pasti akan mendukungmu."

Ketukan dipintu mengejutkan mereka. Putri mengusap air matanya.

"Jangan sampai anak-anak tau kalau kamu sedang bersedih, ya?"

Putri mengangguk.

"Eyang, makan malam sudah siaap," teriak Ayud dari luar kamar.
"Yaa.. ya.. sebentar.." jawab bu Broto.
***

Seminggu sudah Putri berada dirumah bu Broto, jalan keluar belum juga mereka temukan.  Dan Adhit tak pernah lagi bertanya pada ibunya tentang alasan pelarangan itu. Tapi sikapnya pada Dinda sedikit berubah. Ia hanya sering mencuri pandang tapi sedikit sekali mengajaknya bercanda. Tapi bukan berarti Adhit ingin melupakan Dinda.
Adhit sedang menunggu reaksi Dinda apabila sadar bahwa dia menyukainya. Jadi kalau Dinda menyambut uluran cintanya.. barangkali Adhit akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.

Dikantornya Adhit juga sedang sibuk mengurusi perusahaannya. Ada pertemuan yang harus didatanginya tapi diluar kota.

"Mengapa dia minta aku menemuinya di Sarangan?" tnya Adit pada Mirna.
"Mereka bilang sendiri sama bapak, saya tidak tau alasannya pak, mungkin karena mereka datang dari luar Jawa, dan ingin berbincang ditempat yang sejuk."
"Tapi pak Sarno sedang sakit, katanya gula darahnya naik tinggi dan harus beristirahat."
"Ya pak.."

Adhit mengangkat interkom yang tersambung keruang Ayud.

"Apa kamu bisa ikut Minggu depan ini?"
"Ke Sarangan? Nggak mas, badanku lagi nggak enak, tapi nggak tau kalau nanti sudah baikan.. entahlah. Mas ajak saja Mirna. Kan dia lebih tau tentang apa yang akan dibicarakan nanti."
"Memang aku sama Mirna, tapi masa cuma berdua, pak Sarno lagi sakiaikt."
"Nggak apa-apa mas, sekali-sekali, asal mas jangan sampai mencari kesempatan dalam kesempitan," canda Ayud.
"Amit-amit deh, jangan gila kamu." kata Adhit kesal sambil menutup interkom nya.

Mirna ber debar-debar, dia akan ikut bersama Adhit ke luar kota, mungkin menginap.. aduhai.. apa yang harus diperbuatnya nanti, Mirna gemetar membayangkannya.
Ia meraba kedalam tasnya, dan botol berisi serbuk putih itu masih ada ditempatnya. Apa sebenarnya isi botol ini? Ia selalu lupa menanyakannya pada ibunya, karena kalau bertemu pasti sudah malam. Hampir terlonjak dia ketika tiba-tiba Adhit memanggilnya.

"Mirna, minggu depan kamu ikut menemui tamu kita di Sarangan."
***

"Ibu, besok hari Senin Mirna harus ke Sarangan, mungkin menginap." kata Mirna ketika malam itu ibunya pulang.
"Sama siapa? Sopir setengah tua itu?"
"Tidak bu, sama pak Adhit, karena pak Sarno sedang sakit, dan tampaknya bu Ayud tidak bisa ikut."
"Haa.. ibu bagus, kesempatkan kita untuk melampiaskan dendam itu."
"Ibu..."
"Kamu kan tidak lupa pada janji kamu bahwa akan membela ibumu ini? Akan membantu membalaskan dendam itu?"

Mirna terdiam. Yang dibayangkan adalah kemesraan karena bisa berduaan sama bos ganteng yang dipujanya, ibunya mengingatkan lagi akan dendam itu.

"Mengapa diam?"
"Apa yang harus Mirna lakukan ?"
"Taburkan serbuk putih itu sebelum berangkat kedalam minuman bosmu itu."
"Sebenarnya serbuk itu untuk apa bu?"
"Kamu tidak usah banyak bertanya, lakukan saja apa kata ibumu. Dan selesai."

Lalu perempuan bercadar itu terkekeh senang, seperti telah berhasil mencapai apa yang diinginkannya.Merinding bulu kuduk Mirna mendengar tawa itu.

"Apa ini akan membunuhnya?" tanya Mirna miris.
"Kalau ya kenapa? Memang itu yang aku inginkan, tapi dengan caraku. Sudah diam dan lakukan apa perintah ibu."

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER