Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 30 Juli 2021

Dalam Bening Matamu #8

Cerita bersambung

Mirna tak bisa memejamkan mata dimalam terakhir, dimana keesokan harinya ia harus mengikuti Adhitama ke Sarangan. Ibunya sangat yakin sakit hati dan dendamnya akan terbalas.
Membunuhnya? Tidak.. Mirna mana mungkin bisa melakukannya? Bos ganteng itu bukan hanya menarik hatinya, tapi juga sangat baik padanya, bagaimana dia bisa membunuhnya? Tapi kalau dia tidak melakukannya, pasti ibunya akan marah, dan mengancam akan pergi dari rumah.

Menjelang subuh, dia baru bisa memejamkan matanya. Ia terkejut ketika ibunya membangunkannya.

"Ini sudah jam lima lebih, bukankah kamu harus siap-siap?" kata ibunya sambil menepuk nepuk lengannya. Mirna membuka matanya dengan berat, ia sadar akan apa yang akan terjadi hari ini. Meracuni pak bos yang menawan hatinya, aduhai...

"Heiii... kamu mau bangun tidak?" hardik ibunya, yang kemudian membuatnya terbangun dengan malas.
"Katamu akan ke kantor pagi-pagi.."

Mirna berdiri, menyambar handuk di gantungan, lalu melangkah ke kamar mandi.
Widi ter tawa-tawa sendirian, ketika membuat teh hangat untuk anaknya dan dirinya sendiri.

"Hari ini... hahaaaa... hari ini.... tak kusangka akan semudah ini Galang... kamu akan kehilangan orang yang kamu sayangi.. seperti ketika aku kehilangan dirimu.. kehilangan harga diriku.. kehilangan kedudukan dan mata pencaharianku... kehilangan keluargaku... Hahaaa... akan kamu rasakan Galang....alangkah sakit rasanya kehilangan... " dan Widi terkekeh aneh... dan terkekeh terus ketika membawa nampan berini dua gelas minuman,,, lalu terdengar suara gedubragg.... krompyaaaang......

"Aaauuuwww.."  jerit Widi yang terdengar oleh Widi dari dalam kamarnya, yang kemudian ia berlari masih dengan tubuh terbalut handuk.
"Ibuuu... ada apa ini?"
"Auuwww... ini.. aku menabrak bangku disudut itu...  haduuuww... " rintihnya sambil berusaha bangun.. Bajunya basah.. oleh tumpahan 2 gelas minuman, sedangkan pecahan gelas berserakan kemana mana..

"Ibu... awas bu... kaki ibu nanti kena pacahan kaca... sudah.. diam saja disitu bu... biar Mirna bersihkan dulu pecahan gelasnya.. ibu diam disitu ya..."

Mirna mengencangkan ikatan handuknya yang melilit ditubuhnya, lalu berlari kearah kamar, mengambil daster lalu mengenakannya. Ia melangkah kearah dapur, mengambil sapu danserokan  untuk mengumpulkan pecahan kaca..
Widi masih merintih sambil bersandar ke pintu, tak bergerak, lagi pula tumitnya terlanjur berdarah, pasti sekeping kaca telah melukainya.
Widi membersihkan semuanya, lalu membantu ibunya untuk berdiri.

"Pelan-pelan bu, lihat.. kaki ibu juga berdarah...
"Sudah, jangan hiraukan ini, ibu bisa mengobatinya sendiri, segera bersiap untuk berangkat ke kantor," kata Widi sambil melangkah tertatih kedalam kamarnya, meninggalkan bercak-bercak darah pada lantai yang dilaluinya.

Mirna mengambil tissue untuk membersihkannya.
Ia melihat jam beker diatas meja, sudah jam tujuh lebih.. ia harus cepat berangkat, pak Adhit sudah berpesan bahwa dia harus sampai di kantor sebelum jam delapan.
Ia berganti pakaian lalu dandan, kemudian menyambar tas tangannya, memakai sepatu sambil sambil berteriak pamit pada ibunya.

"Ibu... Mirna berangkat duluuu..."
"Jangan lupa pesan ibu..." teriak ibunya sambil keluar dari kamarnya sambil ber jinjit-jinjit..

Mirna tak mengacuhkannya. Ia sudah tiba diluar dan lupa memanggil ojek online, terpaksa dipesannya ojek ketika ia sudah ada dijalan, sambil berjalan pula.

Dijalan itu sudah ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang, kebanyakan dari mereka bergegas pergi ke kantor.
Ojek yang dipanggilnya belum tampak datang. Ketika tiba-tiba didengarnya motor mendekat, Mirna menoleh, tapi yang datang adalah dua anak muda berboncengan, yang tanpa diduga menyambar tas tangan yang tergantung dilengannya. Ponselnya terlempar, Mirna terpelanting dipinggir jalan.

"Copeeeeet.... " teriak Mirna. Tapi pencopet itu terlalu gesit. Ia menyelinap diantara lalu lalang kendaraan dan menghilang ditikungan kecil yang kebetulan ada disana. Beberapa orang berusaha mengejarnya, namung yang namanya pencopet pasti lebih gesit dari pengejarnya.

"Copeeeet.... " teriaknya sambil menangis. Ia memungut ponselnya yang terlempar. Rusakkah ?

Seorang laki-laki mendekati.

"mBak.. lukakah?"
"Ngga apa-apa mas, hanya... tas saya..."
"Mari saya antar lapor ke polisi  saja mbak..."

Mirna kebingungan, kalau lapur terlalu lama, sementara ia ter gesa-gesa.. lagi pula bisakah tasnya ketemu? Ketika bingung itulah ojek yang dipesan baru nyampe.

"mBak Mirna?"
"Ya mas, kok lama banget baru nyampe," tegur Mirna.
"Jadi gimana mbak, mau lapor tidak?"
"Nanti saja mas, saya mau buru-buru ke kantor .. terimakasih ya mas..."kata Mirna yang segera naik keatas bocengan ojek yang dipesan.

Sambil berjalan Mirna mencoba menelpon kantor, tapi ponselnya mati. Pasti rusak karena kebanting tadi.
***

"Mengapa jam delapan lebih dia belum datang juga?" keluh Ayud sambil melihat ke arah jam tangannya.
"Iya, biasanya dia nggak pernah terlambat. Barusan aku menelponnya tapi ponselnya mati."
"Coba ke ibunya.."
"Mana aku tau nomor ibunya?"
"Kan pernah menelpon mas waktu katanya Mirna sakit."
"Uda terbuang semuanya."
"Ya udah, kalau begitu biar sama aku saja."
"Nah, gitu dong.. dari kemarin-kemarin aku bilang apa...Ya sudah siapkan semuanya."

Akhirnya Adhitama berangkat bersama Ayud. Ketika mobil Adhit keluar, ojek yang ditumpangi Mirna baru berhenti didepan gerbang kantor.  Begitu masuk satpam yang berjaga didepan menegurnya.

"Tumben kesiangan mbak.."
"Iya, tasku dicopet mas.." jawab Mirna sambil terus berjalan.
"Pak Adhit sama bu Ayud baru saja keluar.," kata satpam itu tadi.

Mirna berhenti melangkah, menoleh kearah satpam yang memberi tau.

"Oh, sudah berangkat?"
"Baru saja, begitu mereka keluar, mbak baru datang."
"Oh..." Mirna bergegas masuk kekantor, menuju ruangannya. Ponselnya tak bisa dipergunakan sehingga ia tak bisa mengabari Adhit ketika kecopetan. Ia langsung menuju kemejanya dan menelpon Adhit dari telephone kantor.

"Tolong Yud, telephone dari kantor."
"Hallo..." Ayud menjawab telephone itu.
"Hallo bu Ayud, saya Mirna," jawab Mirna takut-takut.
"Kamu kemana saja? Ini jam  berapa?"
"Ma'af bu, begitu keluar dari rumah, dijalan besar saya kecopetan."
"Kecopetan? Mengapa nggak langsung telephone ke kantor?"
"Ma'af bu, ponsel saya terlempar dan mati... saya langsung ke kantor.
"Sudah lapor polisi ? Apa saja isinya?"
"Uang sedikit, KTP, dan...." tiba-tiba Mirna teringat botol berisi bubuk putih itu. Aduh, bagaimana kalau  pencopet itu mengira sebangsa narkotik.. lalu...
"Lapor saja ke polisi... buruan, setelahnya kamu di kantor saja. Pak Adhit sudah sama aku."
"Baik bu."

Ayud mengembalikan ponsel Adhit.

"Mirna kecopetan,"
"Kasihan, berapa uang yang hilang?"
"Nggak bilang, tapi ada KTP, dan mungkin ATM atau surat-surat apa, entahlah, Ayud sudah menyuruh dia lapor ke polisi."
"Ya sudahlah, memang lagi berhalangan, mau bagaimana lagi."
***

Sore itu Widi sudah dirumah, karena memang dia tidak masuk bekerja, dia sudah pamit pada majikanuya dan bilang kalau kena halangan, sehingga kakinya ter pincang-pincang.
Ia memasak enak hari itu, karena tadi sempat berbelanja di tukang sayur keliling. Ada ayam dimasak rendang, sayur bening.. kerupuk udang.. ada tahu.. Hm.. ini luar biasa. Widi belum pernah masak sebanyak itu. Bahkan jarang sekali memasak, paling beli nasi bungkus diluar, karena kan dia dan Mirna jarang ada dirumah waktu siang. Tapi hari itu Widi sedang bergembira. Ia membayangkan anak musuhnya sudah terjungkal ke jurang dan mampus.
Dan Mirna..? Ia sudah mengirim SMS tadi, bahwa kalau terjadi sesuatu dijalan ia harus segera melompat keluar kalau ingin selamat. Lalu ia menelponnya setelah selesai memasak, tapi ponsel Mirna kan mati?

Sekarang ia menata semua masakannya dimeja, dan berharap Mirna segera mengabarkan terjadinya sebuah bencana, Adhit yang menyetir merasa pusing, lalu kendaraannya oleng .. dan terjungkal ke jurang.. karena diperkirakan obat yang diberikan Mirna akan bereaksi ketika mereka tiba disekitar jalanan yang kiri kanannya adalah jurang.
Mirna bukan orang bodoh, ia pernah meracuni galang, dan kini giliran anaknya, dengan racun yang sudah pasti mematikan. Widi terbahak bahak seperti orang kesetanan... Tawa itu masih terdengar ketika Mirna masuk kedalam rumah.

"Haa... bukankah kamu membawa berita baik?" sambut Widi sambil mengembangkan tangannya.
"Ibu.. aku tidak jadi ikut..."
"Apa? Jadi kamu belum juga berhasil menyenangkan hati ibumu?" mata menakutkan itu bertambah tampak menakutkan, karena Widi tak pernah memakai cadar sa'at dirumah. Mirna bergidik memandangnya.
"Ma'af bu, aku kecopetan ketika masih dijalan sana."
"Apaaa?" teriakan itu seperti lolongan iblis yang menguak dari langit sana.

Widi mengamuk, ia menarik alas meja dimana ia menata makanannya, lalu makanan itu berhamburan ke mana-mana.

==========

Mirna gemetar ketakutan. Ia seperti melihat iblis sedang mengamuk. Wajah yang memang sudah tampak menakutkan itu bertambah seram dengan mata yang seakan menyorotkan api. Mirna bersimpuh dilantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Air matanya bercucuran. Ia sedih memikirkan ibunya. Ia sedih menanggung beban dendam yang ditimpakan dipundaknya. Ia juga sedih melihat ibunya seperti orang tidak waras mendengar kegagalannya. Atau memang ibunya tidak waraskah ? Ya Tuhan... ya Tuhan... jerit batin Mirna.
Widi mengobrak abrik kursi makan tua yang keempatnya sudah doyong kekiri dan kekanan. Semuanya bergelimpangan.

"Hentikan ibu.... hentikaaaan..," jerit Mirna.
"Kamu tidak becus, kamu tidak bersungguh-sungguh membantu aku.. kamu jatuh cinta sama bedebah itu, tak perduli pada ibumu !!" teriak Widi lebih keras..
"Ibu, itu kecelakaan... bukan kehendak Mirna bu.. tolong tenangkan hati ibu ya....tenang bu.. masih ada kesempatan lain.."
"Dasar bodoh !! "
"Ibu... jangan membuat Mirna sedih bu... sungguh Mirna akan bantu ibu... percayalah ibu.. " kata Mirna sambil menangis.

Widi meninggalkan ruang makan yang berantakan itu, tanpa mengucap sepatah katapun, dan Mirna sambil bercucuran air mata membereskan barang-barang yang berantakan karena ulah ibunya.

Malam telah larut, tapi Mirna belum juga masuk kedalam kamarnya. Ibunya masuk duduk tak bergerak disebuah kursi didepan kamarnya. Mirna merasa sangat letih, tapi ia harus berbicara sesuatu dengan ibunya.Perlahan ia mendekatinya, dan duduk didepannya.

"Ibu...," masih ada isak ketika Mirna memanggil ibunya.
"Kala boleh tau, sesungguhnya apa yang terjadi antara ibu dan laki-laki bernama Galang itu, sehingga ibu sangat membencinya?" lanjutnya hati-hati, sambil mengusap air matanya.

Ibunya masih terdiam.

"Tak maukah ibu mengatakannya?"
"Mana bisa aku menceriterakan semuanya sama kamu? Itu terlalu menyakitkan. Jangan bertanya lagi karena keinginanku hanya membalasnya."
"Ibu..."
"Jadi kalau ibu nggak mau bercerita, kamu juga nggak mau membantu?"
"Bukan begitu bu, tentu Mirna mau membantu.."
"Harus ada cara lain, sedang aku pikirkan, tapi jangan ber tanya-tanya lagi." kata Widi yang kemudian berdiri lalu masuk kedalam kamarnya.

Mirna menghela nafas panjang. Ia hampir tak percaya bahwa laki-laki bernama Galang itu sebegitu jahatnya.
Mendengar cara dia berbicara, dan menyaksikan betapa baik dan santunnya Adhitama anaknya.. sama sekali tak menunjukkan bahwa mereka orang jahat. Jangan-jangan itu semua karena kesalahan ibunya.
Pemikiran itu membuat Mirna ingin mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Tapi bagaimana caranya .. Mirna belum menemukan jalannya.
***

Putri masih ada di Solo, ia ingin mengamati bagaimana sesungguhnya hubungan antara Adhitama anaknya dan juga Dinda, tapi ia melihat Adhitama seperti membatasi pertemuan dengan Dinda, dan Dinda masih seperti anak kecil yang ingin bermanja kepada kakaknya. Tapi rasa khawatir tetap menghantui pikiran Putri. Apakah sebaiknya ia dan Galang berterus terang saja ?

"Tante...." Putri menoleh, dilihatnya Dinda bersiap hendak pergi.
"Mau kemana Dinda?"
"Dinda mau ke tko buku, mencari bahan-bahan panduan untuk mengikuti UMPTN."
"Mau tante antar?"
"Enggak tante, Dinda bisa sendiri, sudah sering kesana sama mbak Ayud."
"Baiklah, sudah pamit sama eyang?"
"Sudah.."
"Hati-hati ya nak.."
"Baik tante."

Sampai kemudian Dinda tak lagi tampak, Putri masih berfikir, bahwa gadis itu sangat baik dan seandainya dia bukan anaknya Teguh, pasti dengan suka cita Putri mengambilnya menjadi menantu. Putri tiba-tiba merasa sedih, teringat noda dan duka yang dilaluinya sehingga lahirlah Adhitama.

"Salahku.. ini semua salahku," bisiknya sedih.
"Putri..." panggil bu Broto
"Oh, ya bu..."
"Ada telephone dari suamimu. Telephone rumah."

Putri berdiri dan berjalan kearah pesawat telephone.
***

Siang itu Mirna datang terlambat karena mengurus surat-surat yang hilang bersama tas kecilnya. Terutama memblokir ATM nya yang walau tak banyak tapi menurutnya itu sangat dibutuhkannya. Ketika masuk kedalam ruangannya, Adhitama sedang mau pergi keluar.

"Ma'af saya tadi ke bank mengurus ATM saya, harus melapor ke polisi juga pak", katanya kepada Adhit.
"Ya, kan aku yang nyuruh kamu mengurus semuanya. Sekarang aku mau keluar dulu."
"Baik pak."

Mirna duduk dikursi kerjanya dengan lesu. Banyak hal yang harus dipikirkannya., Sungguh ia merasa terbebani dengan dendam ibunya.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, lalu seseorang masuk kedalam. Mirna mengenalnya, gadis cantk yang dulu datang lalu pergi makan bersama Adhitama, ohya.. dia adiknya Raka, berarti masih kerabatnya. Tiba-tiba juga tersersit sebuah pikiran dibenak Mirna.

"Hallo selamat siang, mas Adhit mana ?"
"Pak Adhit sedang keluar mbak," jawab Mirna sambil tersenyum.
"Yaah, lama nggak ya?"
"Kurang tau tuh, silahkan kalau mau menunggu."

Dinda langsung duduk di sofa tempat Adhit menerima tamunya. Ia membawa sebuah tas yang berisi buku-buku, yang kemudian diletakkannya begitu saja dimeja.

"Dari belanja mbak,?"
"Beli buku-buku panduan untuk UMPTN  tadi.. terus mampir kesini mau ketemu mas Adhit."

O, benar-benar masih belia, baru mau masuk universitas, pikir Mirna.Tiba-tiba rasa cemburu yang semula mengusik hatinya menjadi berkurang.

"Oh, sayang pak Adhit sedang keluar. Boleh kenalan mbak, nama saya Mirna," kata Mirna setelah berdiri mendekati Dinda, sambil mengulurkan tangannya.
"Oh iya, saya Dinda, Adinda," sambut Dinda ramah. Kemudian mereka duduk berhadapan.
"Lama nggak ya mas Adhit?"
"Tadi nggak bilang mau kemana tuh. Ma'af, dik Dinda adiknya mas Raka ya?" Mirna mengubah panggilannya dari mbak ke adik karena tau bahwa Dinda masih jauh lebih muda.
"Ya, kok tau..?"
"Pernah dengar saja, mas Raka kan juga sudah beberapa kali datang kemari."
"Oh, iya.. kan mereka sahabatan sejak kecil."
"Dik Dinda tinggal di Jakarta?" pancing Mirna, padahal dia sudah tau kalau Dinda dari Medan.
"Bukan, saya dari Medan. Dulu pernah tinggal di Jakarta, tapi bapakku kemudian dipindahkan pekerjaannya ke Medan oleh pak Haris."

Mirna seperti pernah mendengar nama itu, kalau tidak salah ibunya pernah bilang kalau dulu bekerja diperusahaan omnya yang bernama Haris. Mirna mulai memutar otaknya, bagaimana caranya mengurai masa lalu ibunya. Tapi ia pura-pura tak tau apa-apa.

"Pak Haris itu nama pimpinan perusahaan ya dik?"
"Iya, tapi sebenarnya dia itu masih saudara, saya memanggilnya kakek Haris, sedangkan ibu memanggilnya om Haris."

Tuh kan, benar perkiraanku. Pikir Mirna lagi.

"Oh, begitu. Saya kayaknya punya teman yang tinggal di Medan, tapi nggak tau dimana. Kalau alamat rumah dik Dinda dimana ?" pancing Mirna lagi. Lalu Dinda menyebutkan alamatnya yang dicatat dalam hati oleh Mirna.
"Mas Adhit lama ya? Biar saya telephone saja. Ah, nanti kalau pakai ponsel pasti dia nggak mau mengangkat, boleh pinjam telephone mbak?"
"Boleh, silahkan."

Dinda memutar nomor ponsel Adhit.

"Hallo, Mirna, ada apa?" tanya Adhit dari seberang.
"Aku bukan Mirna, aku Dinda mas," jawab Dinda
"Kamu?Ngapain kamu di kantor mas Adhit?"
"Aku habis putar-putar nyari buku, trus mampir kemari, nyari mbak Ayud juga lagi nggak ada."
"Ya sudah pulang saja sana, nanti dimarahin eyang lho pergi lama-lama."
"Lho mas Adhit kok ngusir aku, nggak mau.. aku nungguin mas Adhit disini."
"Dinda..."
"Aku mau ngomong sama mas Adhit."
"Ngomong apa?"
"Pokoknya penting. Nggak mau pulang kalau belum ketemu mas Adhit."
"Ya sudah, tungguin sebentar."

Dinda menutup telepone dan merasa lega, kemudian kembali duduk di sofa.

"Mau minum dik.." Mirna menawarkan minuman.
"Biar nanti saya ambil sendiri saja."

Mirna kembali ke mejanya, mencatat alamat Dinda yang tadi disebutkan. Ia memutar lagi otaknya, bagaimana ia bisa menemui ibunya Dinda yang sebenarnya masih sepupu ibunya. Pasti ia tau banyak tentang ibunya.

Ketika Adhit datang, Mirna berpamit keluar ruangan karena sa'atnya istirahat dan makan siang. Adhit heran melihat Dinda menunggunya.
Ada debaran yang selalu dirasakannya setiap menatap wajah cantik nan polos itu.. dan selalu ditahannya setiap kali teringat tangis ibunya yang sampai sekarang belum dimengerti artinya.

"Ada apa kamu ini? Hm, dari beli buku-buku ya?"
"Iya, trus mampir kemari, aku mau ngomong sama mas Adhit."
"Ngomong apa sih ?"
"Menurut Dinda, sikap mas Adhit sekarang lain. Ada apa?"
"Lain bagaimana ?" tanya Adhit yang menatap Dinda dengan debaran hati yang sama.
"Pokoknya lain, nggak ramah kayak biasanya, nggak pernah ngajak ngobrol seperti biasanya. Apa karena ada tante Putri?" nerocos Dinda tanpa sungkan.
"Lhoh, kok Dinda mengira begitu, akhir-akhir ini mas Adhit lagi sangat sibuk, banyak kerjaan, dan lagi Dinda harus belajar untuk menghadapi ujian masuk universitas, kalau keseringan ngobrol sama jalan-jalan nanti kamu nggak bisa belajar dong."
"Bener, karena itu?"
"Bener," kata Adhit yang kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain. Mata bening yang mengerjap kerjap itu seperti mata pedang yang menyilaukan matanya.
"Ya sudah kalau begitu, Dinda mau pulang."
"Eit, nggak mau makan dulu?"
"Mau ngajakin makan Dinda?"
"Iya kalau mau, tapi samperin mbak Ayud diruangannya ya."
"Okey... " Dan Dinda keluar ruangan itu dengan gembira.

Adhit menghela nafas. Alangkah susah menghapus bayangan mata bening itu dari ingatannya.
Sebelum Adhit keluar ruangan untuk menyusul Dinda, Mirna sudah masuk setelah selesai makan siang.

"Ma'af pak , saya mau bicara sebentar."
"Oh ya, ada apa, saya mau makan sama Dinda dulu."
"Sebentar saja, besok saya mau ijin untuk tidak mauk kerja selama tiga hari."

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER