"Kamu nih ya, setelah bisa jalan ke mana-mana .. terus ngeluyur sendiri.. " tegur Ayud ketika makan siang bersama.
"Kok ngeluyur sih mbak, aku tuh beli buku, tuh.. ada bukunya, trus aku mampir ke kantor. Pengin makan bareng mas Adhit, habis mas Adhit sekarang sombong." jawab Dinda sambil mengunyah makanannya.
"Bukan sombong, kan tadi mas Adhit dudah bilang alasannya."
"Iya, aku tau."
"Tadi Mirna bilang mau ijin beberapa hari."
"Oh ya, kenapa dia?"
"Katanya ada acara keluarga."
"Oh.., kalau ada yang perlu diselesaikan suruh selesaikan saja dulu. Kapan mau mulai ijinnya?"
"Katanya besok."
"Mendadak amat.."
"Mungkin acaranya juga mendadak."
"mBak Mirna itu cantik kan?"
"Iya lah, sekretaris harus cantik," kata Adhit sambil tersenyum.
"Kalau aku cantik nggak?"
"Kamu, ya cantik lah... kamu kan adiknya mbak Ayud," kata Ayud menimpali.
"Kalau begitu besok aku mau melamar jadi sekretarisnya mas Adhit saja," kata Dinda seenaknya.
"Hm... nggak bakalan kerja malah pacaran...," gerutu Ayud.
"Kok bisa? Aku kan masih kecil mbak."
"Masak kamu akan kecil terus, besok kalau kamu sudah selesai kulian berarti kamu sudah tua.."
"Haaa... tua ya, brarti mbak Ayud sudah tua dong."
"Tua tapi cantik," jawab Ayud sambil memegangi kedua pipinya dengan genit.
"Iya.. iya.. yakin kalau mbak Ayud itu cantik, kan kakaknya juga ganteng."
"Hm, kecil-kecil ngomongnya orang ganteng melulu nih.."
"Aku tuh sukanya berterus terang, bukankah mas Adhit memang ganteng?"
"Apa kamu suka sama mas Adhit?" tanya Adhit tiba-tiba.
"Ya suka dong, kan mas Adhit baik .."
Adhit tersenyum, selama ini belum pernah ditemukan tanda-tanda bahwa Dinda suka pada dirinya, apalagi cinta. Suka karena dia ganteng, bukan berarti cinta kan? Adhit jadi melamun sendiri. Dipandanginya halaman rumah makan yang tampak teduh karena beberapa pohon rindang dan tanaman bunga-bunga tersebar disana. Barangkali hatinya akan seteduh suasana sa'at itu apabila telah ditemukannya cinta yang dicarinya.
***
Putri menunggu diteras, karena Dinda belum juga pulang. Bu Broto yang menemani duduk disiang itu juga tampak menunggu dengan gelisah.
"Mungkin kerumah neneknya."
"Dia sudah hafal jalan-jalan di Solo ya bu?"
"Iya, sudah sering belanja sendiri atau beli buku-buku yang diperlukannya. Kadang-kadang mampir kerumah neneknya juga."
"O, mungkin juga, Putri mau menelpon kok nggak enak,"
"Kemarin suamimu bilang apa? Pasti dia ingin kamu segera pulang ke Jakarta."
"Iya bu, sudah setengah bulan lebih Putr disini, dan sebetulnya nggak tau apa yang bisa Putri temukan disini."
"Menurut ibu, Dinda itu masih sangat muda, mungkin Adhit hanya diasayanginya sebagai kakak."
"Iya bu, Putri tau, tapi kan sikap Adhit itu beda. Orang dia sudah berterus terang kalau suka, bahkan cinta."
Bu Broto tampak mengeluh.
"Menurut ibu, mereka harus dijauhkan. Jangan hidupserumah seperti ini."
"Apa ibu akan mengusirnya?"
"Nanti pasti akan ada cara .. ibu akan menemukannya, kamu tenang saja, dan sebaiknya segera kembali ke Jakarta. Bukan ibu mengusir, tapi tidak baik meninggalkan suami terlalu lama."
"Baiklah, besok Putri pulang saja ke Jakarta, semoga ibu menemukan jalan terbaik untuk cucu ibu."
"Assalamu'alaikum..."
Putri dan bu Broto menoleh, Dinda sudah berdiri ditangga teras dengan wajah berseri.
"Dinda dari mana saja, nih.. eyang sama tante sudah khawatir. Kerumah simbah ya?"
"Bukan tante, sehabis beli buku, Dinda mampir ke kantornya mas Adhit."
Putri dan bu Broto berpandangan. Bagaimanapun mereka dihalangi, kalau ingin bertemu pasti mudah untuk bertemu.
"Ngapain kekantornya Adhit?"
"Minta ditraktir makan," jawab Dinda sambil mencium tangan Putri dan bu Broto.
"Tadi makan berdua?" tanya Putri was-was.
"Nggak tante, sama mbak Ayud juga, terus Dinda pulang sendiri deh."
"Oh, ya sudah... " Putri menghela nafas lega, sementara Dinda langsung ngeloyor kedalam rumah.
"Anak itu sangat polos, Putri justru menghawatirkan Adhit."
"Nanti pasti ada jalan terbaik nduk, ibu akan memikirkannya."
***
"Ibu, besok Mirna tidak pulang kira-kira 3 hari."
"Kemana?"
"Ada tugas bu, keluar kota."
"Haa... sama bosmu itu?"
"Mirna sendiri bu."
"Mengapa sendiri dan tidak bersama bis kamu?"
"Tugasnya begitu, dan Mirna bisa menyelesaikan sendiri, jadi tidak harus bersama pak Adhit."
Widi tampak menghela nafas kecewa. Entah bagaimana caranya ia akan menunggu sa'at baik untuk membalaskan dendamnya, baiklah kalau belum sekarang.
"Kemana tugasnya?"
"Ke Jogya, lalu Semarang."
"Kamu sendirian?"
"Ya, naik pesawat bu, ibu nggak usah khawatir ya."
"Ibu benci keadaan ini. Kamu tau, kalau dendamku terbalas, aku matipun tak akan penasaran. Tapi selama belum terbalas, aku akan terus mengejarnya. Kalau kamu tak mau membantu, aku akan melakukannya sendiri."
"Ibu bersabarlah dulu ya bu, nanti kalau Mirna sudah pulang kita akan bicara lagi."
***
Dendam itu membingungkan Mirna, seperti kebingungannya ketika sore itu sudah berada di Medan, dan men cari-cari alamat yang dikatakan Dinda. Sebuah jalan, nomornya keliru nggak ya.. lalu Mirna memanggil taksi. Pasti ia bisa mencarikan alamat itu.
Ketika ia turun dari taksi yang ditumpanginya, ia memasuki sebuah pekarangan yang asri, rimbun dengan pohon-pohon dan tanaman bunga. Ia mengamati sekeliling pekarangan yang sepi, lalu berdiri didepan teras.
Pintu rumah itu tertutup, ada empat buah kursi antik diteas itu, yang dimejanya terdapat sebuah vas bunga berisi mawar yang masih segar.
Benarkah ini rumah tantenya yang bernama Retno? Pasti ia seorang yang menyukai keindahan melihat cantiknya teras depan yang terpampang didepannya. Oh, ada kolam ikan kecil yang berhiaskan ikan-ikan cantik, dan terdengar gemercik air dari pancuran yang tak henti-hentinya mengalir.
Mirna menaiki tangga teras itu, lalu melihat bel rumah tertempel disebuah saka. Ia memencetnya perlahan dengan hati berdebar. Ada rasa kebat kebit, kalau salah bagaimana, lalu akan mencari kemana.
Mirna mendengar langkah mendekat, dan pintu rumah itu terbuka. Seorang wanita yang tidak lagi muda, tapi cantik, menyembul dari pintu itu. Mirna mengingat ingat, benarkah dia sepupu ibunya yang bernama Retno? Di album yang dilihatnya, Retno masih gadis belia, yang rambutnya dikepang dua. Wanita ini seperti bukan yang pernah dilihatnya. Tapi ia memandangi Mirna dengan wajah penuh tanda tanya.
"Selamat siang," sapa Mirna sambil mengangguk.
"Selamat siang, anda mencari siapa ya?" sapa wanita cantik itu.
"Apakah.. apakah benar.. disini rumah.. ibu.. Retno?" tanya Mirn sedikit ragu.
"Anda darimana ?"
"Dari Solo."
"Oh, Solo ? Silahkan duduk, saya Retno, apakah kita pernah bertemu ?" tanya wanita yang memang adalah Retno, sambil mempersilahkan Mirna duduk.
"Terimakasih, nama saya Mirna," Mirna mengulurkan tangannya.
"Kita pernah bertemu?"
Mirna menggeleng pelan.
"Bagaimana anda mengenal saya, dan alamat rumah saya?"
"Ada sesuatu yang membuat saya harus menemui tante. Ini penting buat saya."
"Oh ya? Apakah itu?"
"Tante mengenal Widi?"
Retno terkejut, dia mengamati wajah tamu yang duduk didepannya dengan seksama.
"Widi... Semarang ya?"
Mirna mengangguk.
"Oh, dia sepupu saya, tapi sudah puluhan tahun kami tak pernah bertemu, entah bagaimana kabarnya dia." kata Retno, sambil matanya menerawang jauh.
"Saya anaknya .."
Retno kembali menatap gadis dihadapannya lekat-lekat. Benarkah dia anak sepupunya? Retno tak menemukan kesamaan atau kemiripan sedikitpun pada wajah Mirna dengan Widi sepupunya.
"Kamu anaknya mbak Widi? Tapi... aku mendengar beberapa puluh tahun silam, bahwa mbak Widi tidak akan punya anak karena rahimnya telah diangkat."
Mirna tertegun. Sejenak ia tak mampu berkata-kata.
==========
Mirna tak mampu ber kata-kata. Ibunya tak mungkin punya anak karena rahimnya pernah diangkat? Itu tak ada dalam cerita ibunya. Lalu Mirna anak siapa? Wajah Mirna pucat tiba-tiba. Retno yang melihatnya merasa kasihan.
"Sebentar, ma'af ya nak, bukan maksud ibu tak percaya, tapi benar, saya pernah mendengar itu. Jadi.. mungkin nak Mirna ini anak angkat, atau bagaimana. Sekali lagi ma'af.. saya spontan mengatakan itu, mm.. ma'af ya," kata Retno yang ber kali-kali minta ma'af karena merasa keceplosan bicara dan takut menyinggung Mirna yang tampak pucat mendengar bicaranya.
"Nak, jangan tersinggung, saya minta ma'af ya.. tapi.. mbak Widi itu saudara saya, jadi saya sedikit banyak mengetahui tentang dia. Memang puluhan tahun kami tidak bertemu karena se-akan-akan dia menghilang.. Tunggu sebentar, saya ambilkan minum dulu," kata Retno yang kemudian berdiri meninggalkan Mirna termenung sendiri.
Mirna mengangguk angguk, walau masih dengan wajah pucat. Jadi dia bukan anak ibunya? Kemudian dia jadi teringat, ketika ia harus memasukkan racun kedalam minuman Adhit, lalu dia kan juga ada bersama Adhit waktu itu seandainya tak ada halangan sebelum dia berangkat ke kantor.. lalu obat itu hilang bersama tas nya karena dicopet orang. Dan kalau benar-benar Adhit kemudian limbung karena pengaruh racun, dan terjadi kecelakaan, bukahkah dia ada bersama Adhit?
Oh ya, ia ingat ibunya juga berkata ketika dia kembali dan sebelum diketahui bahwa rencananya gagal. Ibunya mengirim sms supaya dia melompat keluar begitu ada tanda-tanda akan terjadi kecelakaan? Begitu mudahkah? Ibunya seperti tidak begitu perhatian pada keselamatannya, saran yang dikatakannya belum tentu bisa dilakukan dan pasti dia ikut celaka. Begitu tega.. jadi karena dia bukan darah dagingnya?
Retno keluar membawa nampan berisi minuman dingin dan sepiring makanan kecil.
"Nak, silahkan diminum dulu," Kata Retno iba, apalagi ketika melihat ada genangan telaga kecil di mata tamunya.
"Terimakasih tante," kata Mirna sambil meneguk minumannya.
"Maukah nak Mirna mema'afkan saya?"
"Tidak, tante tidak bersalah.. sungguh..saya justru berterimakasih karena tante mau mengatakan keadaan yang sebenarnya," kata Mirna sambil mengusap air matanya.
"Lalu.. kalau boleh tau, bagaimana nak Mirna bisa menemui saya disini, apakah nak Mirna tau kalau saya ini sepupunya ibu..mm.. ya... ibu mbak Mirna?"
"Ceriteranya panjang," Mirna menghela nafas.
"Baiklah, tenangkan dulu, sambil itu.. makanannya dimakan dulu... nanti kalau sudah tenang, boleh mulai bercerita."
Mirna meneguk lagi minumannya.
"Ini dimakan dulu nak, ayolah.. mungkin di Solo kamu juga sering makan makanan ini, ini Bika Ambon.. yang asalnya memang dari sini."
"Oh, iya tante." Mirn merasa tak enak menolak, walau sebenarnya tak ingin makan apapun. Diambilnya sepotong, digigit dan dikunyahnya pelan.
" Di Solo banyak ya? Tapi tante suka sekali makanan ini," kata Retno sambil menemaninya makan makanan yang disuguhkan.
Tergesa Mirna menghabiskn makanannya, seakan ingin segera menceriterakan maksud kedatangannya. Setelah meneguk lagi minumannya, Mirna menyandarkan tubuhnya untuk mencoba santai.
"Siap untuk cerita?"
"Saya justru ingin tau bagaimana masa lalu ibu saya.."
"Dia nggak pernah cerita?"
"Sepenggal, setelah saya sadar menjadi anaknya, saya tau, tapi tidak sebelumnya."
"Oh.. sepenggal dari mana? Bisakah ceritakan?"
Mirna menghela nafas lagi.
"Saya dibesarkan oleh ibu Widi, entah saya anak siapa, tapi menurutnya saya adalah anaknya. Dia bekerja keras menyekolahkan saya hingga saya menjadi sarjana, dan sekarang sudah bekerja."
"Oh, itu hebat, berarti mbak Widi menyayangi nak Mirna seperti darah dagingnya sendiri, saya ikut senang. Dia menikah?" tukas Retno.
"Menikah, lalu lahirlah saya, kata ibu. Tapi ketika saya berumur lima tahunan, terjadilah tragedi itu."
"Tragedi?"
"Malapetaka.."
"Oh, malapetaka apa?"
Lalu Mirna bercerita tentang kemarahan ayahnya yang kemudian menyiram wajah ibunya dengan air keras. Retno menjerit perlahan sambil menutup mulutnya.
"Wajah ibu rusak, sampai sekarang wajahnya cacat menakutkan, dan ke mana-mana selalu memakai cadar."
"Ya Tuhan.. mbak Widi.... kenapa tidak pernah mengabari aku?" bisik Retno trenyuh.
"Tapi dia tidak mau melaporkan kejahatan bapak itu, dan membiarkan bapak pergi sampai sekarang. Ibu menyekolahkan saya dengan segara upaya."
"Ibumu hebat nak.."
"Tidaaak.."
"Apa maksudmu tidak?"
"Ibu membesarkan saya, yang baru saja saya sadari bahwa saya akan dipergunakannya untuk alat membalas dendam," kata Mirna pilu, lalu kembali air matanya menitik.
"Membalas dendam untuk apa, dan kepada siapa?"
"Apakah tante mengenal seorang lelaki bernama Galang?" Retno terkejut. Widi menceritakan masalah Galang juga pada Mirna? Mirna sih sudah tau kalau Galang ayahnya pak bosnya yang ganteng, tapi cerita Mirna belum akan sampai kesana. Ia sedang mencari tau sebenarnya hubungan ibunya dengan Galang itu bagaimana.
"Ibumu bercerita tentang Galang juga?"
"Tidak semua, hanya ujungnya.."
"Ujungnya bagaimana?"
"Ibu menaruh dendam kepada laki-laki bernama Galang karena dianggap telah menyengsarakan hidupnya."
Retno menyedakapkan kedua tangannya didada.
"Tapi ibu tidak mau mengatakan awal kebencian itu darimana. Itulah sebabnya saya mencari tau."
"Tunggu.. tunggu.. tapi darimana kamu kemudian tau tentang aku...mm.. ma'af.. aku bilang aku saja supaya lebih akrab ya, karena kalau memang kamu anak angkat mbak Widi maka kamu juga boleh aku anggap sebagai keponakanku kan? Jadi... bagaimana kamu kemudian menuju kemari, ibumu juga tidak tau bahwa aku tinggal disini sekarang."
"Sebenarnya saya bekerja di perusahaan pak Adhitama," kata Mirna mulai berterus terang.
Ratna terbelalak memandang Mirna.
"Kamu? Di perusahaan Adiluhung?"
"Ibu yang menyuruh saya melamar pekerjaan disana, karena ibu tau pak Adhit itu anaknya pak Galang. Dan kebetulan saya diterima, tapi kepergian saya kemari diluar sepengetahuan pak Adhit, saya hanya bilang pamit karena ada keperluan keluarga."
Retno mengangguk-angguk..
"Ber kali-kali ibu memaksa saya untuk mencelakai pak Adhit, tapi mungkin Tuhan melindunginya, upaya itu selalu gagal."
"Ya Tuhan..."
"Saya bertanya pada ibu, apa yang dilakukan pak Galang sehingga ibu membencinya, tapi ibu selalu marah-marah dan tak mau menjawabnya."
Lalu Mirna bercerita tentang kedatangan Raka, lalu Dinda, yang kemudian kakak adik, dan ternyata mereka adalah anaknya Retno, menurut Adhit yang kebetulan waktu itu foto dari dompetnya terjatuh dan diambilkan oleh Mirna, lalu Adhit mengatakan bahwa mereka sahabat ayah ibunya yang Mirna mengenalnya sebagai Retno, dari album lama dirumahnya. Adhit juga yang mengatakan bahwa mereka adalah ayah ibunya Raka
"Mm.. lalu kamu bertanya pada Raka dan Dinda tentang alamat rumah ini? Kamu menceritakan juga tentang ibumu?"
"Tidak pada Raka, tapi pada Dinda yang waktu itu sedang menunggu kedatangan pak Adhit. Saya tidak menceritakan apapun, saya hanya memancing mancing dimana alamatnya yang di Medan. Saya juga tidak mengatakan bahwa saya mengenal tante yang ternyata sepupu ibu saya."
Retno mengangguk-angguk. Ia mencoba memahami perasaan hati Mirna yang dianggap anak oleh Widi sepupunya.
"Tante, bisakah tante mengatakan, bagaimana hubungan ibu dengan pak Galang? Saya harus melakukan sesuatu yang tidak jelas penyebabnya, bagaimana kalau itu kesalahan ibu?"
Retno tentu saja tau, tapi ia tak ingin mengatakan kejadian buruk yang menimpa Widi karena ulahnya sendiri. Diam-diam ia memuji Mirna yang ingin mengetahui penyebab kebencian itu.
"Mirna, sebaiknya kamu istirahat dulu, dan menginaplah disini. Nanti aku akan bicara dengan ayahnya anak-anak tentang semua ini. Percayalah bahwa kamu akan menemukan apa yang kamu cari."
Mirna mengangguk mengiyakan.
"Kalau begitu, bisakah tante mengatakan kapan rahim ibu diangkat sehingga tak bisa melahirkan seorang anakpun?"
"Oh, itu belum lama setelah ibumu pergi dari Jakarta, ia mengalami kecelakaan berat di Semarang, yang kemudian rahimnya rusak atau apa, dan harus diangkat. Waktu itu kedua orang tuanya masih ada. Tapi setelah paman dan bibiku itu meninggal, mbak Widi pergi entah kemana. Mungkin kemudian bertemu dengan ayahmu, yang seorang duda satu anak, lalu menikah.. entahlah aku tidak tau, beritanya begitu simpang siur, karena kontak dengan ibumu juga terputus."
Mirna sedih, jadi dia itu anak siapa, anak ayahnya yang pergi entah kemana atau anak yang dipungut dari mana..
***
Tapi ketika Raharjo pulang, dia melarang Retno untuk menceritakan perihal hubungan Widi dan Galang ketika itu.
"Jangan bu, jangan katakan bahwa kamu tau tentang hubungan mas Galang dan mbak Widi. Itu memalukan, pasti Mirna juga akan sangat malu."
"Tapi dia ingin mengetahuinya pak, dengar Mirna disuruh mencelakai Adhit, tapi Mirna ingin tau penyebab kebencian ibunya sama Adhit. Mirna tampaknya anak baik, ia tak mau mencelakai orang yang mungkin tidak bersalah."
"Kalau begitu laporkan saja pada polisi, itu ancaman pembunuhan," kata Raharjo geram.
"Jangan dulun ta pak, Mirna juga belum melakukannya, jadi belum ada bukti, masa harus lapor pada polisi."
"Harusnya Mirna mengatakan pada Adhit tentang ancaman itu."
"Dengar mas, Mirna itu, taunya anaknya mbak Widi. Ia harus patuh pada perintah ibunya. Tapi ia penasaran dan ingin tau menyebab adanya dendam itu. Jadi dalam hal ini Adhit juga tidak tau apa-apa. Kepergian Mirna kesini juga diluar pengetahuan Adhit, katanya dia hanya pamit karena urusan keluarga."
"Menurut aku tetap tidak boleh kamu yang mengatakannya."
"Jadi siapa? Mas Galang?"
"Bukan, om Haris."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel