Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 01 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #10

Cerita bersambung

"Ke om Haris pak?" tanya Retno tertegun. Pasti berat bagi seorang gadis kalau harus kesana kemari, mana jauh lagi.
"Hanya beliau yang nanti bisa memberikan keterangan yang dibutuhkan Mirna," kata Raharjo mantap.
"Kasihan ya.."
"Herannya aku, mbak Widi tak pernah berhenti menggangu mas Galang."
"Sementara wajahnya sudah cacat lho mas, kalau menurut Mirna, mbak Widi sudah bukan lagi perempuan cantik yang memikat. Wajahnya rusak, pasti mengerikan."
"Lalu Mirna itu anak siapa?"

"Ya nggak tau mas, mbak Widi mengakuinya sebagai anaknya, sementara Mirna sendiri merasa jadi anaknya karena sejak dia kecil mbak Widi yang mengasuhnya. Mungkin anak bawaan suaminya, atau entahlah. Mungkin Mirna sendiri juga sedang menanggung beban yang lebih berat karena pasti ingin tau siapa sebenarnya orang tuanya."
"Kasihan...."
"Iya pak.."
"Apa besok aku antar saja dia ke Jakarta? Tapi di kantor lagi banyak urusan tuh.. kalau dia mau menunggu satu dua hari ya nggak apa-apa."
"Bapak bilang saja nanti sama dia."

Namun ketika Raharjo menawarkan untuk mengantar, Mirna menolaknya. Mungkin merasa tidak enak karena merepotkan.

"Terimakasih pak, tapi nggak apa-apa, saya mohon alamatnya pak Haris saja, nanti saya akan mencarinya sendiri."
"Kasihan kamu nak.. mencari alamat di Jakarta kan tidak mudah... kenapa nggak mau menunggu sampai suamiku bisa mengantar saja."
"Jangan tante, pasti nanti ada jalan, apalagi saya cuma minta ijin 3 hari dari kantor.. terimakasih sudah sangat dibantu. Semoga setelah ini Mirna bisa memilih jalan mana yang terbaik buat ibu."
"Benar nak, kalau bisa hentikan keinginan yang tidak pada tempatnya itu, karena kalau terjadi malapetaka lagi, ibumu atau kamu juga akan terkena getahnya."
"Saya mengerti tante.."
"Baiklah, saya tuliskan alamat perusahaan pak Haris, kamu bisa menemuinya di kantornya kalau sampai disana siang. Nanti akan aku pesankan pesawat terpagi."
"Terimakasih banyak pak, saya bukan siapa-siapa, tapi telah merepotkan keluarga ini," kata Mirna lirih, diikuti perasaan yang teramat pedih. Hidupnya seperti sebuah teka teki, dan ia seakan sedang melayang di awang sana, tanpa pegangan.

"Aku harus kuat, dan bisa mengurai semua ini," bisiknya pilu. Sementra Raharjo dan Retno menatapnya dengan rasa iba.
Berpuluh tahun silam, sebuah kejadian pahit bagi Widi, tidak membuatnya menemukan jalan terang, justru sebaliknya membawa bawa orang lain terlibat dalam dendamnya.
***

Siang itu Galang baru saja keluar dari ruangan pak Haris untuk membicarakan sesuatu yang penting. Sebelum masuk keruangannya sendiri, ia berpapasan dengan seorang gadis, yang ia belum pernah melihatnya. Gadis itu menganggukkan kepalanya yang dibalas dengan anggukan kepala juga oleh Galang. Gadis itu berhenti seakan ingin mengatakan sesuatu.

"Pak..." sapanya
"Ya mbak...mbak mencari siapa?"
"Saya mau ketemu bapak Haris, oleh satpam disuruh menunggu disitu," kata gadis itu yang adalah Mirna, sambil menunjuk kearah serangkaian kursi tamu didekat mereka.
"Oh, baiklah, silahkan menunggu dulu, rupanya mereka sedang melaporkan kedatangan mbak pada pak Haris. Sudah janjian ?"
"Belum.."
"Oh, mbak dari mana ?"
"Solo pak tapi saya baru saja dari Medan..."
"Oh, Medan ? Anak buahnya pak Raharjo?"
"Bukan pak, saya bukan pegawai di perusahaan yang di Medan, saya dari Solo."
"Oh.. baiklah, kalau begitu silahkan menunggu. Kalau pak Haris siap menerima pasti mbak akan diberi tau."
"Baik pak, terimakasih."

Mirna duduk, sementara Galang melangkah menuju ke ruangannya.. Tapi tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkan Mirna.

"Pak Galang, ada telehone untuk pak Galang, apakah akan diterima?"
"Oh ya.. baiklah," jawab Galang sambil bergegas masuk keruangannya, sementara Mirna terpana.
Dia bernama Galang? Ayahnya Adhitama? Begitu tampan dan baik. Laki-laki itulah yang dibenci ibunya, dan akan dihancurkannya hidupnya. pikir Mirna dengan perasaan tak menentu. Ia merasa seakan tenggelam dalam suasana yang sangat menyakitkan.
Melihat musuh ibunya, dan sebentar lagi akan mendengar sebuah cerita perihal hubungan ibunya dengan laki-laki ganteng itu. Mirna mengambil selembar tissue dari dalam tas nya dan mengusap setitik air mata yang tak bisa ditahannya.

"mBak, ditunggu pak Haris diruangannya," kata satpam yang tadi menerimanya.
"Oh, terimakasih, disana ruangannya?"
"Itu, diujung, dekat kolam."

Mirna berdiri, mengangguk dan melangkah kearah yang ditunjuk satpam itu. Hatinya berdebar. Ia berhenti didepan kolam, mengamati sekeliling. Mengamati ikan-ikan yang berenang dengan riang di kolam itu.
Diam-diam dia berfikir, alangkah nikmatnya menjadi ikan, berenang kesana kemari tanpa beban..
Mirna menghela nafas, lalu melanjutkan langkahnya. Disebuah pintu ia membaca sebuah tulisan. Ir. Haris Aksa..

Dengan gemetar dia mengetuk pintu, lalu sebuah suara berat didengarnya samar.

"Masuk."

Mirna membuka pintu, dan melihat seorang laki-laki tua yang masih tampak perlente, duduk disebuah kursi, didepan meja yang lumayan besar.
Laki-laki berkaca mata itu memandangi Mirna tajam, seperti meng ingat-ingat, apakah pernah bertemu tamunya.

"Selamat siang," sapa Mirna sambil membungkuk.
"Siang, anda mau ketemu saya?"
"Bapak Haris..."
"Oh, silahkan duduk," kata pak Haris sambil tersenyum.
"Terimakasih, bapak," jawab Mirna sambil duduk.
"Ya, saya Haris. Anda siapa?"
"Nama saya Mina, saya dari Solo pak."
"Solo? Pak Haris mengangkat alisnya tinggi-tinggi."
"Saudaranya Galang? Putri? Raharjo? Retno?"

Mirna menggeleng.

"Pernah mengenal nama saya dari mana?"
"Pak Raharjo dari Medan yang menyarankan saya datang kemari."
"Oo.. tapi anda bukan saudaranya?"
"Buk...bukan," kata Mirna karena teringat bahwa dia bukan benar-benar anaknya Widi, jadi bukan kerabat Raharjo ataupun Retno, apalagi pak Haris, laki-laki tua yang ada dihadapannya ini, yang semestinya dipanggilnya kakek.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Mirna menata duduknya agar lebih nyaman. Gemetar bibirnya ketika ingin memulai sebuah percakapan tentang ibunya atau ibu angkatnya, entahlah.

"Saya.. anaknya..mm..  ibu Widi..."

Pak Haris mengangkat wajahnya. Nama itu tentu saja dikenalnya, sangat dikenalnya karena masih terhitung keponakannya.

"Kamu anaknya Widi? Widiati... Semarang? Mana mungkin Widi punya anak, dia sudah tidak punya rahim lagi puluhan tahun lalu."
"Ya, saya baru tau itu dari tante Retno."
"Jadi kamu sudah ketemu Retno, dan juga Raharjo?"

Mirna mengangguk. Ia menatap wajah laki-laki tua dihadapannya, berwibawa tapi tampak bersahaja. Dia juga menerimanya tanpa ada keangkuhan seorang pemilik perusahaan besar. Ia merasa menjadi tamunya yang dihargai seperti tamu-tamu lainnya.

"Mereka menyarankan saya untuk ketemu bapak."
"Oh.. ada apa sebenarnya?"

Lalu dengan berlinangan air mata Mirna menceritakan semuanya, semua yang ibunya pernah katakan, semua keinginan ibunya untuk membalas dendam, tapi kemudian ia ingin tau asal muasal tumbuhnya dendam itu. Mirna baru saja tau bahwa dia bukan anak Widi ketika bertemu Retno.

Pak Haris mengangguk-angguk.

"Widi itu memalukan, buruk, busuk, nista, itulah sebabnya aku mengusirnya dari perusahaan ini."

Mirna terhenyak di kursinya. Mulai meraba-raba apa yang akan dikatakan lelaki tua yang berwibawa ini.
***

Siang itu telephone di ruang kantor Adhitama berdering. Adhit mengangkatnya, dn mendengar suara serak yang penah dikenalnya.

"Hallo selamat siang, ini ibunya Mirna?"
"Siang, bagus kalau anda mengenal suara saya."
"Ada perlu apa bu? Apa Mirna sakit lagi?"
"Bagaimana anda ini, saya justru mau bertanya, kemana anda suruh Mirna bertugas..." suara Widi sedikit kesal. Tapi Adhitama heran, karena tidak merasa menugaskan Mirna kemanapun.
"Ibu, Mirna minta ijin selama 3 hari sejak kemarin, Katanya ada urusan keluarga, bukan karena mendapat tugas dari kantor."
"Apa? Jadi anak itu berbohong sama aku?" kata Widi dengan nada marah. Adhit merinding mendengar kata-kata setengah berteriak dan itu terdengar seram.
"Ma'af bu...." Adhitama masih ingin bicara, tapi Widi sudah menutup telephone nya.
"Ada apa ini," keluh Adhit.. Ia seperti menemukan sebuah misteri pada kehidupan sekretarisnya. Mengapa ia berbohong pada ibunya dan mengatakan mendapat tugas dari perusahaan? Pergi kemana dia?

Baru saja Adhit meletakkan gagang telephone itu, CS yang diluar mengatakan bahwa ada tamu polisi ingin mencari Mirna.

"Polisi ?" Adhitama terkejut.

==========

Adhitama menemui tamunya dengan penuh tanda tanya.

"Apakah ada seorang karyawan disini bernama Mirna Rianti?" tanya polisi itu setelah Adhitama mempersilahkannya duduk.
"Ya, tapi sa'at ini dia sedang cuti. Mungkin lusa baru dia bekerja kembali. Ada apa ya?"
"Seseorang menemukan sebuah tas, ada kartu pegawai diperusahaan ini atas nama Mirna Rianti."
"Oh ya, beberapa hari yang lalu tas nya dirampas orang, dan sudah lapor ke polisi bukan?"
"Saya tidak tau, ada panggilan untuk nona Mirna untuk dimintai keterangan di kantor polisi."
"Oh, tentang pencopetan itu?"
"Ada sesuatu didalam tas yang ditemukan, sebuah obat, yang kemudian diminum oleh seseorang, lalu orang itu meninggal."

Adhitama terkejut.

"Apa sesuatu itu milik Mirna?"
"Entahlah, sebaiknya saudari Mirna datang kekantor untuk menjelaskan."
"Tapi dia sedang tidak ada. Mungkin keluar kota."
"Boleh tau dimana alamatnya?"
"Saya harus mencarinya di daftar kepegawaian, tapi saya kira bapak tidak bisa menemukan dia dirumahnya, karena dia sedang pergi."
"Ada nomor yang bisa dihubungi?"
"Ada, tapi sejak kemarin tidak aktif. Tapi akan saya berikan."

Adhitama memberikan nomor ponsel itu, Juga alamat rumah Mirna setelah memintanya pada Ayud. Sampai kemudian petugas kepolisian itu pergi, Adhitama terus ber tanya-tanya tentang apa yang dikatakan polisi itu.
Ditemukan sesuatu di tas Mirna lalu seseorang meninggal? Apa itu?  Lalu Adhitama mencoba menghubungi lagi nomor Mirna, tetap tidak tersambung karena Mirna mematikan ponselnya sejak dia minta ijin untuk cuti.
***

"Ada apa dengan sekretarismu mas ?" tanya Ayud ketika mereka sedang makan siang bersama.
"Aku juga lagi mikir..."
"Sejak awal aku kurang suka, ternyata ada apa-apanya.. mencurigakan dia itu kan?"
"Lho, katamu dulu karena matanya genit.. sekarang mencurigakan .."
"Awalnya nggak suka nglihat matanya, dan ternyata ada sesuatu tersembunyi dibalik mata itu kan?"
"Apa itu?"
"Entah mas, urusan dengan polisi, sampai ada yang meninggal.. waduh, itu kan kasus berat.."
"Ah, belum tentu Mirna terlibat, kan tas nya dicopet orang,"
"Iya sih..."
"Semoga saja tidak terlibat suatu kejahatan apapun. Kasihan aku melihat anak itu."
"Lho.. dari kasihan lama-lama bisa jadi suka lho mas.."
"Ayuddd...." kata Adhit sambil memelototi adiknya, yang kemudian seperti biasa, hanya memeletkan lidahnya.

Hari itu Adhitama dan Ayud pulang agak siang karena ibnya akan kembali ke Jakarta.
Sebelum boarding ibunya sempat berpesan kembali pada Adhit, yang membuat Adhit sedih.

"Adhit, selalu ingat pesan ibu ya, jangan lanjutkan, jangan membuat ibu sama bapak sedih," bisik Putri ditelinga Adhit ketika ia memeluknya erat-erat.
"Ibu...," keluh Adhit.
"Ingat baik-baik, kalau kamu memang sayang sama bapak dan ibu."

Lalu Putri berlalu, membiarkan Adhit termenung tak mengerti.

"Ada apa mas ?" tanya Ayud ketika melihat seperti ada pesan khusus dari ibunya untuk Adhit.
"Nggak ada apa-apa, biasa lah pesan seorang ibu," jawab Adhit sambil melangkah keluar diikuti adiknya.
"O, ibu minta mas Adhit segera cari isteri, barangkali?"
"Semacam itu lah.."
"Mau aku carikan? Teman kuliah Ayud itu cantik-cantik.. dan..."
"Nggak.. nggak... nggak.. "
"Lho.. kalau nggak bisa cari sendiri ya harus dicarikan donk."
"Sudah, jangan cerewet, urus saja diri kamu. Aku ini laki2, jadi perjaka tua juga nggak memalukan, tapi kamu perempuan, sudah sa'atnya punya suami. Jadi pikirkan saja itu."
"Yaaa... mas Adhit kok jadi balik menyerang aku sih.."
"Karena kamu sudah mendapatkan yang pas, menurut aku."
"Raka lagi kan?"
"Dia itu baik, dan percayalah bahwa dia itu suka sama kamu."
"Kan aku sudah bilang ber kali-kali bahwa aku lebh tua?"
"Apa salahnya lebih tua kamu daripada dia. Kamu itu lebih tua tapi cara berfikir kamu kadang masih seperti anak-anak, sedangkan Raka lebih muda tapi dia bersikap lebih dewasa."
"Hm... "
"Kok..hmm..?"
"Sudah ayo kita pulang dulu, malah ngomongin jodoh disini."
***

Mirna terpaku ditempat duduknya, segala yang ingin diketahuinya, dibuka lebar-lebar oleh pak Haris, tak ada satupun yang ditutupinya. Sesekali Mirna mengusap air matanya yang menitik turun.

"Itulah semuanya tentang Widi, aku telah mengatakan semuanya karena kamu harus mengetahuinya kalau memang kamu itu anaknya atau anak angkatnya. Bukankah ibumu tak mau mengatakannya terus terang? Katakan nanti pada ibumu, bahwa ia harus menghentikan rasa dendam atau tidak sukanya pada aku, pada Galang atau siapapun juga yang dibencinya, dan minta agar dia memohon ampun kepada Tuhan atas semua dosa-dosanya."

Mirna meng angguk-angguk. Ia merasa benci pada ibunya, ia merasa bahwa ibunya telah membohonginya, menganggapnya anaknya tapi tak perduli pada keselamatannya. Ia sudah merasakannya. Ia sudah mantap akan apa yang harus dilakukannya. Ia harus menentang keinginan ibunya. Bahkan ia harus memaksa ibunya untuk mengatakan, siapa sebenarnya orang tuanya.

"Kamu jangan sedih Mirna, kamu harus jadi penyelamat bagi ibumu. Itu perbuatan mulia." kata pak Haris yang merasa iba ketika melihat wajah Mirna pucat dan tampak tersiksa.
"Ya pak, terimakasih banyak, saya mohon diri," kata Mirna sambil bersiap untuk pergi.
"Tunggu, kamu mau pulang ke Solo sekarang? Ini sudah terlalu sore, besok hari libur dan kamu akan susah mendapatkan tiket pesawat. Jadi kamu harus menginap disini dan besok pagi baru bisa pulang."

Mirna ragu-ragu. Menginap disini?

"Tt..tappi..."
"Sebentar..." kata pak Haris sambil memencet interkom yang ada dihadapannya.
"Galang, kemari sebentar," perintah pak Haris.

Mirna berdebar, mengapa pak Haris memanggil Galang? Mirna menundukkan muka sambil mempermainkan jemarinya, sampai ketika Galang sudah masuk dan berdiri didepan pak Haris.

"Galang, aku minta tolong sama kamu."
"Ya pak."
"Gadis ini, akan pulang ke Solo, tapi sudah nggak mungkin sekarang mendapatkan tiketnya. Jadi, aku minta, biarlah semalam ini ia menginap dirumahmu. Kamu tidak keberatan?"

Galang ingin betanya tentang Mirna, tapi pak Harus lebih dulu mengatakannya.

"Nanti kamu boleh bertanya siapa dia sebenarnya, tapi jangan khawatir, dia akan bersikap baik. Kamu akan mengerti semuanya."

Galang mengangguk, dan mengatakan bersedia walau belum mengerti apa dan siapa sebenarnya gadis itu.

"Baiklah, tapi sepulang kantor saya harus menjemput isteri saya pak, jadi gadis ini akan saya bawa juga ke airport sebelum pulang."
"Oh iya aku lupa, kamu pernah bilang bahwa isterimu ada di Solo karena kangen sama ibu dan anak-anakmu. Jadi dia pulang sore ini? Baguslah. Nggak apa-apa kan Mirna, menjemput isteri pak Galang dulu? "

Mirna hanya mengangguk, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

"Dan tolong uruskan tiketnya untuk dia pulang besok pagi."
***

"Eyang, tante Putri sudah pulang hari ini?" tanya Dinda ketika kembali dari rumah neneknya dan tak menemukan Putri dirumah itu.
"Iya Din, kan sebelum kamu berangkat kerumah simbah, tante Putri sudah pamit sama Dinda."
"Iya sih.. Mas Adhit sama mbak Ayud mengantar ya?"
"Iya, mungkin sebentar lagi mereka pulang."
"Dinda sebenarnya pengin ikut nganter sih, tapi tadi pergi sama simbah sampai sore."
"Nggak apa-apa, sudah bagus simbah sekarang sering ada yang nganter-nganter kalau mau ke mana-mana kan?"
"Oh ya Dinda, besok kalau kamu sudah kuliah, kalau tinggal disini apa nggak ke jauhan?"
"Maksud eyang?"
"Eyang tuh mikir, kalau kampusnya jauh, kamu bisa capek dong, apa nggak lebih baik cari kost saja ditempat yang lebih dekat kampus?"
"Iya sih eyang, tapi coba nanti Dinda pikirkan lagi. Soalnya kan mbak Ayud penginnya Dinda disini terus."
"Dinda itu seperti anak kecil, dia tidak memikirkan orang lain yang nantinya pasti capek.. atau bagaimana. Kan dia tidak bisa mengantarkan kamu kalau harus kuliah tiap hari? Eyang hanya kasihan saja."

Dinda mengangguk. Tapi dalam hati Dinda merasa bahwa bu Broto lebih suka kalau Dinda tidak tinggal dirumah itu. Apakah aku menyusahkan? Jadi nggak enak benarkah kasihan kalau aku kecapean, atau memang ingin aku pergi dari sini? Pikir Dinda yang kemudian langsung masuk kedalam kamarnya.
***

"Kemana anak setan itu pergi? Mengapa membohongi aku?"gerutu Widi sambil berjalan dari rumah majikannya sore itu, ketika keluar dari angkot dan memasuki gang kecil kearah rumahnya.
Widi sangat kesal juga karena ber kali-kali menghubungi ponsel Mirna tapi tak pernah bisa nyambung.

"Dasar anak setan !! Bagaimana mungkin kamu bisa membohongi orang yang sudah mengasuhmu dan menjadikanmu orang hahh?" mengomel panjang pendek Widi, tak perduli orang yang berpapasan dengannya kemudian memandangnya dengan aneh.

"Tapi Adhitama bilang kamu ijin tiga hari, berarti besok lusa sudah harus berada dirumah, awas kamu ya, bisa aku hajar habis-habisan kalau ternyata kamu menyusahkan aku," omel Widi sambil membuka pagar drumahnya.

Ia terus melangkah, dan dengan kasar membuka pintu rumah yang lengang. Ia kemudian menutupnya lagi, dengan suara keras. Lalu meletakkan belanjaan yang tadi sempat dibelinya sebelum menaiki angkot menuju kampungnya.

Dituangnya  air putih disebuah gelas, lalu dilemparkannya cadar yang semula dipakainya begitu saja. Ia duduk dikursi dan menenggak habis minuman itu.
Ia kemudian berdiri untuk mandi ketika didengarnya sebuah ketukan.

"Hahhh... siapa itu? Apa Mirna telah pulang?

Widi mengambil kembali cadarnya dan mengenakannya, kemudian berjalan kearah pintu. Widi tertegun dipintu, ketika melihat seorang polisi berdiri dihadapannya. Berdebar debar ketika polisi itu memandannya curiga. Widi merasa ada bahaya mengancam. Entah mengapa ia ingin melarikan diri dari sana. Ia mundur beberapa langkah dan menutupkan kembali pintunya lalu menguncinya.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER