Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 02 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #11

Cerita bersambung

Widi melangkah cepat kebelakang sambil mengomel, membiarkan pintu digedor ber kali-kali.

"Jadi Mirna keparat itu telah melaporkan aku ke polisi? Bocah eddan, tak tau membalas budi!! Awas kalau ketemu pasti aku remas-remas tubuhmu sampai lumatt!!" geramnya sambil membuka pintu belakang, lalu mengendap-endap melangkah kearah depan. Keinginannya hanya lari, karena mengira Mirna melaporkannya pada polisi.

Petugas kepolisian itu merasa kesal karena pintu kemudian ditutup tiba-tiba. Ada rasa curiga bahwa si pemilik rumah telah menyembunyikan seseorang yang dicarinya. Ia mendobrak pintu itu sehingga terbuka lebar, lalu masuk kedalam. Dan kesempatan itu dipergunakan Widi untuk kabur dari rumahnya.

Polisi itu masuk kedalam rumah dan tak menemukan siapa-siapa, tapi melihat pintu belakang terbuka, lalu ia memburu kearah sana, namun Widi sudah nggak kelihatan batang hidungnya

Widi sudah sampai dijalanan kampung depan rumahnya. Ia melihat mobil polisi berhenti tak jauh dari sana, lalu ia membelok kearah jalan kecil didepannya, setengah berlari menuju ke jalan besar, dan beruntung ada sebuah angkot lewat begitu dia keluar.

Petugas yang dihubungi temannya mencoba mengejar tapi tak berhasil.
***

Sore itu Mirna mengikuti Galang untuk menjemput isterinya. Ia tak berani ber kata-kata, karena debar jantungya lebih cepat berpacu. Musuh besar yang sangat dibenci ibunya ada disampingnya, menyetir mobil dengan tenangnya.
Wajahnya yang setengah tua tampak masih kelihatan tampan dan gagah. Itu yang dulu membuat ibunya ter gila-gila, lalu melakukan hal yang memalukan, lalu terusir dari perusahaan pak Haris, dan ter lunta-lunta sampai sekarang, sambil membawa dendam yang tak pernah padam.

Mirna berjanji dalam hati untuk menyadarkan ibunya, atau ibu angkatnya, atau ibu tirinya, entahlah, itu juga ingin ditanyakannya padanya nanti sesampai dirumah.

"Mengapa diam saja?" tanya Galang
"Oh..mm.. saaya .. merepotkan... nggak enak rasanya.." jawab Mirna sambil menunduk.
"Tidak, saya melakukan apa yang diperintahkan atasan saya."
"Ya..., terimakasih...bapak."
"Mau menceritakan tentang diri kamu?"
"Saya... sedang mencari keterangan tentang masa lalu ibu saya. Maksud saya.. ibu tiri saya.. eh.. ibu angkat saya.."

Galang yang merasa heran mendengar jawaban Mirna menoleh sesa'at kearah Mirna. Dilihatnya gadis itu tetap menunduk, ada kesedihan yang sejak tadi dilihatnya pada mata itu.

"Nama saya Mirna.."
"Ya, kan aku sudah tau..."
"Ibu saya bernama Widi..."

Galang terkejut. Ia menoleh lagi kearah Mirna. Tak ada mirip-miripnya gadis itu dengan Widi yang pernah dikenalnya puluhan tahun lalu.

"Ibu..angkat.. atau ibu tiri... apa maksudnya?"
"Saya ternyata bukan anak kandungnya."
"Oh...lalu.."
"Sebagai anak yang dibesarkannya saya tidak tau apa-apa tentang masa lalu ibu Widi."
"Apakah penting mengetahui masa lalunya?"
"Sangat.."
"Oh...."

Mirna tak akan menceriterakan tentang dendam ibunya. Tapi kalau nanti pak Haris yang mengatakannya, bagaimana? Mirna bimbang, antara tetap diam dan berterus terang.

Lalu pembicaraan itu terhenti karena mereka sudah tiba di bandara, menunggu Putri yang pulang sore itu dari Solo.
***

Putri menerima Mirna dengan sangat baik, dan kesan baik diantara suami isteri itu tertanam dalam-dalam dihati Mirna, yang kemudian memaksanya untuk sungguh-sungguh melupakan semua perintah ibunya untuk melampiaskan dendamnya. Ia yakin bahwa ibunya tidak pantas memikulkan deritanya dengan membentuk dendam yang berkepanjangan. sementara kesalahan bukan ada dipihak Galang. Bahkan Putri yang ketika itu pastinya terluka, tidak tampak membenci ibunya. Mirna sungguh kagum,

"Bagaimana keadaan mbak Widi sekarang?" tanya Putri ketika mereka sedang duduk santai diruang tengah dirumah itu.
"Ibu Widi... sekarang menjadi wanita cacat.."
"Cacat bagaimana ?"
"Mukanya rusak karena disiram air keras oleh suaminya."
"Yaa.. Tuhan..." Putri menutup mulutnya. Dilihatnya wajah Mirna ber kaca-kaca.

Galang yang mendengarkan sambil menonton televisi juga terkejut.

"Mengapa?" tanya Galang.
"Saya tidak tau, saya masih kecil waktu itu."

Lalu Mirna menceritakan kejadian yang dilihatnya waktu itu, sampai kemudian Widi membesarkannya dan menyekolahkannya sampai jadi sarjana.

"Baik benar mbak Widi... kasihan aku mendengar nasibnya seperti itu ya mas."

Mirna menggeleng gelengkan kepalanya, air matanya berlinang. Putri memandangnya dan merasa iba. Dia berfikir, Mirna sedih memikirkan nasib ibunya.

"Sabar ya nak,. pasti nanti akan ada jalan terbaik untuk kamu."
"Saya hanya ingin tau siapa saya ini sebenarnya, karena ibu Widi tidak mungkin punya anak setekah rahimnya diangkat."
"Ya, aku pernah mendengar dari Retno tentang hal itu, tapi kemudian hubungan diantara mereka terputus selama puluhan tahun."
"Nanti dulu, siang tadi ketika kamu datang kekantor dan bilang dari Medan, apakah kamu mencari sepupu ibumu? Bukankah Retno itu sepupu ibumu?" tanya Galang.
"Ya, memang saya dari sana. Mencari tau tentang ibu Widi dari tante Retno, tapi dia menyuruh saya menemui pak Haris, semula saya kira masih terhitung kakek saya. Ternyata bukan, karena saya bukan anak ibu Widi."
"Apa kamu sudah tau semuanya tentang ibu Widi mu itu?"
"Pak Haris menceritakan semuanya."
"Semuanya?" tanya Galang penuh selidik. Ia teringat tentang kebusukan Widi yang ingin menghancurkannya.
"Ya, semuanya," jawab Mirna tapi tanpa berani memandang wajah Galang.

Galang mengerti bahwa Mirna sudah tau semuanya.

"Lalu setelah tau tentang ibu kamu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Saya... .." Mirna ingin mengatakan bahwa akan menghalangi ibunya membalas dendam, tapi ia kemudian ingat bahwa Galang dan isterinya tak tau tentang dendam itu.

"Saya .... ingin tau siapa diri saya sebenarnya," itulah jawaban yang kemudian dikatakannya.

Ternyata sampai kemudian si empunya rumah menyuruhnya istirahat dan tidur, Mirna tak menceritakan tentang dendam ibunya. Ia bahkan tidak mengatakan bahwa telah bekerja di perusahaan Adiluhung milik Adhitama.

Tapi ketika keesokan harinya ia akan berangkat ke airport, ia mengatakan bahwa sesungguhnya bekerja di perusahaan milik Adhitama itu, dan itu membuat Galang dan Putri terkejut.

"Ya ampun, mengapa tidak bilang dari kemarin?" seru Putri.
"Nggak apa-apa bu, saya sudah bilang kalau cuti .. baru masuk besok pagi."
"Ini sekretarisnya Adhit to mas, kita nggak tau karena dia nggak bilang."
"Ya sudah, nanti telephone Adhit saja bahwa sekretarisnya sudah bertolak kembali dari Jakarta."
***

Namun ketika tiba dirumah, Mirna terkejut mendapati rumahnya tidak terkunci, dan rusak, lalu ketika masuk ia sama sekali tak menemukan ibunya. Mirna merasa sangat khawatir melihat pintu rumah seakan telah dibuka paksa.

"Ibu... ibu..." dan Mirna merasa khawatir karena benar-benar ibunya tak ada.
"Ya Tuhan, apakah ada orang jahat masuk kerumah ini? Untuk apa memasuki rumah butut yang pastinya tak memiliki sesuatupun yang berharga?" bisik Mirna .. sambil terus memasuki setiap ruang yang ada dirumah itu.

Lalu ia mencoba menelpon ibunya. Ber hari-hari ponselnya mati, lalu ketika dibuka ada banyak panggilan masuk. Dari ibunya, dan dua kali dari Adhitama. Mirna memutar nomor ibunya, namun tak ada jawaban, ponsel ibunya juga mati.  Mirna kemudian memberanikan diri menelpon Adhitama.

"Hallo.. Mirna?" suara Adhitama dari seberang sana, yang kalau saja Mirna tidak sedang gelisah, pasti suara itu sangat menggetarkan hatinya.
"Pak Adhit..."
"Kamu sudah pulang? Ibuku baru saja menelpon bahwa kamu menginap dirumah kami di Jakarta."
"Oh, iya, ma'af pak."
"Banyak hal yang aku bingung tentang kamu. Istirahatlah dulu besok kita bicara lagi, karena sa'at ini kami sedang ada diluar.. ada berita yang kamu harus tau, tapi tidak sekarang, besok saja."
"Saya sedang mencari ibu saya sa'at ini, karena ketika saya pulang, ibu tidak ada, dan ..."

Tiba-tiba suara Mirna terhenti, seseorang menyambar ponsel Mirna lalu dimatikan. Mirna terkejut, didepannya ibunya sedang berdiri, menatap padanya dengan mata menyala.

"Ibu, ya ampun... aku bingung mencari ibu.."
"Bedebah !! Setan alas kamu!! Jangan pura-pura baik kepada ibumu, yang membesarkan kamu, yang menjadikan kamu orang... dasar anak haram.. anak orang jalanan..!! Kamu kira kamu bisa mencelakai aku??"
"Apa maksud ibu ?" tanya Mirna dengan perasaan ngeri melihat tatapan mata ibunya. Ia urung merangkul ibunya setelah selama hampir tiga hari ditinggalkannya.

"Apa maksud aku? Kamu kira aku tidak tau bahwa kamu mau mencelakai aku? Setan alas!!"

Tiba-tiba saja Widi menubruk Mirna, mencakar wajahnya dan menjambak rambutnya. Mirna menjerit lalu terpelanting kelantai.

==========

"Anak setan kamu!! Bedebah! Aku akan membunuhmu !!" teriak Wdi seperti kesetanan. Mirna bangkit, dan beringsut menjauh dari ibunya, wajahnya terasa perih dan berdarah, rambutnya acak-acakan. Lalu Mirna berdiri perlahan..

"Ibu.. mengapa...."
"Setan alas!!" dan kembali Widi menyerang Mirna. Kali ini Widi berhasil menyambar sabuah sapu yang dipukulkannya kearah Mirna ber kali-kali, Mirna menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tak mampu mengelak. Satu-satunya jalan adalah lari keluar, jauh-jauh dari rumah itu.
Widi terus memukulinya, Mirna mundur sambil mencari celah agar bisa kabur, lalu disambarnya sebuah kursi, dibantingkannya kedepan sehingga mengenai kaki ibunya. Widi menjerit keras, dan memegangi kakinya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Widi untuk bangkit dan berlari keluar. Berlari se kuat-kuatnya.

"Setan alas! !! Aku akan buat kamu mampus Mirna !! Mampus kamu nanti !!"

Mirna terus berlari kearah jalan.Teriakan dan umpatan ibunya terdengar semakin jauh, karena Mirna sudah sampai kejalan besar. Darah mengucur dari wajahnya dan kemudian diusapnya dengan ujung bajunya.
Beberapa orang yang berpapasan melihat kearahnya, tapi tak seorangpun bertanya. Kebanyakan orang tak suka terlibat dengan persoalan orang lain, apalagi persoalan yang sampai membuat wajah ber darah-darah.

Mirna mencari tempat teduh. Ia tak membawa apapun, tas dan semua isinya tertinggal dirumah. Kalau dia naik angkot, harus dibayar dengan apa.
Lalu Widi terduduk disebuah akar pohon besar yang ada ditepi jalan itu. Wajahnya menunduk, karena tak ingin orang-orang melihat kearahnya. Perih terasa semakin menyengat ketika luka diwajah itu basah oleh air mata.
Sebagian lengan bajunya memerah karena tak henti-hentinya dipakainya untuk mengusap darah dan air matanya.

Mirna bingung mau pergi kemana, ketika disadarinya tak sesenpun uang dibawanya. Ia juga tak punya siapa-siapa karena ibunya tak pernah mengajaknya bergaul dengan siapapun disekitarnya. Ada teman kuliahnya, tapi sungguh memalukan meminta tolong dengan keadaan seperti itu. Atau pak Adhit? Pak Adhit memang baik hati, tapi bu Ayud kurang ramah terhadapnya. Entah kenapa.

Panas yang terik, hati yang gundah, haus lapar yang mendera, membuat Mirna sangat lemas, tiba-tiba ia tak lagi kuat menahan tubuhnya lalu terguling dibawah pohon.
Ada beberapa orang memperhatikan, banyak tak perduli, tapi seorang pengendara sepeda motor tiba-tiba berhenti didekatnya. Ia turun dan langsung mendekati tibuh yang terkulai itu.

"mBak, " laki-laki muda itu menyentuh tubuhnya, membalikkan wajahnya, dan terkejut melihat luka-luka yang terbalut darah kering. Mirna tidak pingsan, tapi ia merasa lemas sekali.

"Kenapa?"tanya si laki-laki muda. Diam-diam ia seperti pernah melihat wajah itu, tapi lupa dimana.

Mirna hanya menggeleng lemah. Kemudian laki-laki muda itu menyetop taksi yang kebetulan lewat, dan memintanya membawa kerumah sakit terdekat. Ia mengangkat tubuh lemas itu dan mendudukkannya didalam taksi. Ia mengikutinya dari belakang ketika taksi itu melaju.
***

"Mas Raka kemana sih, aku sudah dirumah simbah, katanya mas Raka sudah otewe.. bohong ya.." suara nyarng nyeloteh itu suara Dinda yang menelpon kakaknya.
"Sebentar, jangan marah-marah dulu, ini aku lagi menolong seseorang.."
"Menolong bagaimana ?"
"Ada orang terluka dipinggir jalan, aku membawanya kerumah sakit."
"Mas kenal sama orang itu?"
"Enggak, tapi kayaknya pernah melihat, cuma lupa dimana, lagi pula banyak bercak darah diwajahnya, jadi nggak begitu jelas."
"Kasihan... masih lama nggak pulangnya?"
"Nggak tau, kamu tiduran aja dulu disitu, jangan ke mana-mana sebelum aku pulang ya."

Laki-laki muda yang baik hati itu memang Raka. Ia baru pulang mengajar dan kebetulan menemui Mirna yang luka parah. Hanya saja Raka belum ingat, dimana pernah bertemu gadis itu.
Raka masih menunggu Mirna diperiksa. Dilihatnya luka pada wajah sudah dibersihkan, dan selang infus sudah dipasang di tangannya.
Seorang perawat menghampirinya.

"Bapak suaminya?"
"Oh, bukan.. hanya teman, tapi saya akan menanggung biayanya." jawab Raka sambil tersenyum.  rupanya ia baru sadar bahwa sudah pantas punya isteri. Aduhai..
"Oh, ma'af, baiklah, dia belum bisa diajak bicara, dia hanya bilang namanya Mirna."

Raka membelalakkan matanya. Mirna... ya... mengapa jadi lupa? Dia kan sekretaris Adhitya. Raka meng angguk-angguk.

"Ya, terimakasih."
"Ini resep yang harus bapak ambil di apotik, tapi ibu Mirna harus opname mungkin sehari atau dua hari."
"Baiklah, ma'af.. nona Mirna, bukan ibu ya.." kata Raka membetulkan, sambil menerima resep lalu melangkah kearah instalasi farmasi.

Perawat itu mengangguk dan tersenyum. Mungkin juga terpesona oleh senyuman Raka, entahlah, bukankah Raka memang ganteng?
***

"Kenapa tiba-tiba telepone terputus mas?" tanya Ayud yang masih berada dirumah makan siang itu. Itu hari libur, dan Dinda berpamit untuk menjenguk neneknya, katanya mau ketemu Raka juga.
"Nggak tau, tiba-tiba saja ditutup, seperti ada yang memutuskannya."
"Lalu apa kata ibu tentang Mirna, mengapa juga dia datang ke rumah kita di Jakarta?"
"Ibu nggak mengatakannya dengan jelas, tapi Mirna menginap disana atas permintaan pak Haris, karena nggak bisa pulang sore itu, baru pagi tadi."
"Aneh ya?"
"Aku telepone balik, nggak ada suara, ponselnya mati."
"Aku jadi berfikir, berarti Mirna itu ada hubungannya dengan pak Haris ya."
"Pastinya begitu, tapi bapak sama ibu juga belum tau secara rinci. Kata ibu, bapak sama ibu sudah pernah mengenal ibunya Mirna."
"O...begitu."

Ponsel Adhit tiba-tiba berdering, dari Raka.

"Raka? Lagi dimana? Ayo kemari, kami lagi makan siang nih," sapa Adhit.
"Mas, sekretaris mas Adhit namanya Mirna bukan?"
"Ya, kan kamu pernah ketemu dia waktu ke kantorku."
"Iya, tadinya aku lupa. Mas tau tidak, aku menemukannya dipinggir jalan dalam keadaan setengah pingsan, mukanya penuh luka."
"Apa?"
"Kebetulan aku melihatnya pas dia terjatuh, lalu aku berhenti dan menolongnya. Sekarang aku bawa dia ke rumah sakit."
"Memangnya kenapa dia?"
"Belum bisa cerita. Tampaknya parah."
"Dirumah sakit mana ?"
"Dekat rumah simbah, aku masih disana."
"Oh, aku tau, baiklah, aku akan kesana."

Adhit menutup teleponenya.

"Ada apa mas?"
"Raka menemukan Mirna pingsan dipinggir jalan, wajahnya penuh luka."
"Kenapa?"
"Belum bisa cerita, sekarang dia ada dirumah sakit, Raka masih disana."
***

"Kamu itu kenapa ta nduk, keluar masuk kamar kayak orang bingung." tanya bu Marsih ketika melihat Dinda gelisah.
"Itu lho mbah, nungguin mas Raka, katanya sebentar kok lama banget," keluh Dinda.
"Tadi kamu cerita katanya lagi nolongin orang kecelakaan."
"Iya sih, tapi kok lama banget, katanya mau ngajak Dinda jalan-jalan."
"Ya ditunggu dulu, sabar, kalau belum bisa datang ya pastinya ada sesuatu."

Dina kembali memutar nomor Raka.

"Hallo... Dinda, kan mas Raka suruh kamu tidur dulu."
"Hiih, capek mas dari tadi udah tiduran, memangnya mas Raka masih dimana?"
"Kan mas Raka bilang dirumah sakit, deket dari rumah simbah kok. Sabar dulu .. nduk."
"O, disitu, kalau begitu Dinda mau nyusul aja."
"Lhaaah, ngapain, mas Raka juga sudah mau pulang, nungguin dia sadar dulu."
"Nggak papa, masih di UGD ya?"

Dan tanpa menunggu jawaban kakaknya Dinda langsung saja pamit pada neneknya untuk menyusul.

"Rumah sakit mana nduk?"
"Disitu, dekat mbah, Dinda mau jalan kaki saja."

Dinda berlari kekamar, hanya mengganti baju sebentar, kemudian berlari keluar.
***

Ketika memasuki rumah sakit dan menuju ruang UGD, tak dilihatnya kakaknya, malah dia melihat Ayud sedang duduk menunggu.

"Lho, kok ada disini?" tanya Dinda heran.
"Kamu juga, kenapa bisa datang kemari?" tanya Ayud sambil menjewer kuping Dinda pelan.
"Aku nungguin mas Raka kelamaan, katanya ada disini, ya udah aku jalan kaki saja kesini. Ada apa sebenarnya?"
"Sebentar, itu mas Adhit sama mas Raka mu lagi bicara sama Mirna."
"Mirna ?"
"Iya, yang ditolong oleh Raka itu ternyata Mirna."
"Bagaimana kejadiannya? "
"Nggak tau aku, aku sama mas Adhit baru saja datang lalu mereka menemui Mirna yang katanya baru saja bisa diajak bicara."
"Ya ampuun."
"Duduk saja disini, nggak usak me longok-longok kedalam, " kata Ayud sambil menarik tangan Dinda.

Tak lama setelah itu dilihatnya Mirna sudah didorong dengan brankar, keluar dari ruang UGD. Tampaknya akan dipindahkan ke zal.

Adhit dan Raka menghampiri Ayud yang sudah duduk menunggu.

"Kok Dinda juga menyusul kesini?"
"Kesel menunggu dirumah, pengin tau apa yang terjadi."
"Ya sudah, lebih baik Dinda dan Ayud menunggu dirumah simbah saja, aku sama Raka mau ke rumah Mirna."
"Kenapa dia?" tanya Ayud.
"Disiksa oleh ibunya," jawab Adhit sambil menarik tangan Raka untuk diajaknya pergi.
"Mas mau kemana ? Bagaimana dengan dia?" tanya Ayud.
"Dia sudah dipindahkan ke kamar, biar lebih tenang, aku sama Raka mau kerumah Mirna untuk menemui ibunya."
"Oh, ya sudah, ayo kita ke rumah simbah saja." ajak Dinda sambil menarik tangan Ayud.
***

Ketika sampai dirumah Mirna, dilihatnya pintu rumah itu terbuka lebar. Adhit dan Raka turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu. Tak didengarnya suara apapun, lalu mereka melangkah masuk dengan hati-hati, siapa tau ibunya Mirna masih mengamuk. Tapi sampai berjalan kedalam, tak ada siapapun disana. Ada kursi berantakan, dan bercak-bercak darah yang sudah mengering dilantai.

"Permisi..." teriak Raka.
"Permisi...." Adhit juga berteriak teriak. Tapi tak ada jawaban. Raka melongok kebawah tempat tidur, dibalik pintu, barangkali yang empunya rumah sedang bersembunyi, tak tak tampak ada seorangpun disana.

"Apa yang harus kita lakukan?"
"Melapor pada polisi."

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER