Cerita bersambung
"Tunggu mas.. lapor polisi ? Bagaimana dengan Mirna?" Tukas Raka dalam perjalanan pulang dari rumah Mirna.
"Sudah jelas ini penganiayaan, bahkan percobaan pembunuhan." Kata Adhit
"Tapi Mirna belum bicara jelas apa penyebabnya. Dia baru bilang disiksa oleh ibunya, sebaiknya kita bicara dulu sama Mirna, karena bagaimanapun ia adalah ibunya."
"Seorang ibu yang tega menyiksa anaknya? Benarkah dia seorang ibu?"
"Ya, pasti ada penyebabnya."
"Aku bingung tentang Mirna. Kemarin dia dipanggil polisi, mestinya besok aku baru akan mengatakannya ketika di kantor."
"Dipanggil polisi kenapa?"
"Beberapa hari yang lalu tas nya dijambret orang dijalan. Kemarin polisi mengatakan, didalam tas itu ada sesuatu, entah apa.. yang ketika diminum maka orang itu meninggal."
"Itu barangnya Mirna?"
"Aku belum sempat bicara sama dia. Entah sesuatu itu milik dia atau milik orang lain yang kebetulan dimasukkan kedalam tas itu."
"Begini saja, kita tunggu sampai Mirna tenang, lalu kita tanya dia tentang semuanya."
"Baiklah kalau begitu, kita tunggu sampai besok saja."
Tapi ketika kembali ke rumah sakit, dilihatnya Mirna masih pulas. Mungkin pengaruh obat, lalu mereka meninggalkannya.
***
Ketika nyamperin Ayud, ternyata Ayud dan Dinda juga sedang tidur dikamar Raka.
"Heiii... ada gadis tidur dikamar perjaka nih?" teriak Adhit yang kemudian membuat keduanya terbangun.
Ayud tersipu melihat Raka juga berdiri didepan pintu.
"Ma'af ya, kamar tidur kamu jadi acak-acakan," kata Ayud sambil membenahi rambutnya, lalu melangkah menuju pintu.
"Dinda yang ngajakin, habis kalian lama sekali," sahut Dinda sambil masih terbaring ditempat tidur.
"Hei.. bangun, ayo buatin kami minum," tegur Raka.
Mereka keluar dari kamar dan duduk diruang tamu, sedangkan Dinda membuat minuman buat mereka.
Tiba-tiba Ayud berteriak karena melihat bekas darah dibaju Raka.
"Lihat, baju kamu terkena darah ."
Raka melihat kearah baju didadanya.
"Oh, iya... "
"Hm.. habis menggendong gadis pingsan ..?"
"Iya, aku kekamar mandi dulu dan ganti baju ya," Raka berdiri lalu melangkah kebelakang.
"Kok ada nada cemburu waktu kamu mengatakan itu?" celetuk Adhit mengejutkan Ayud.
"Apa mas? Cemburu ? Ah... tidaaaak..." sahut Ayud sambil cemberut, membuat Adhit tertawa geli.
"Bagaimana tadi? Ketemu ibunya Mirna?"
"Nggak ada, rumah terbuka, dalamnya acak-acakan, seperti habis ada orang mengamuk disana. Tapi rumah itu kosong. Nggak tau ibunya pergi kemana."
"Lalu mas tinggalkan rumah itu begitu saja?"
"Ya iyalah, masa aku harus menunggu disana. Belum tentu juga dia akan pulang. Lagian aku belum tau sepenuhnya apa yang terjadi."
"Keluarga macam apa sebenarnya mereka? Bisa main kasar semaunya."
"Tadi dia belum bisa diajak bicara banyak. Besok aku mau menanyai dia lagi."
"Dan ada panggilan polisi tentang orang yang meninggal itu, mas sudah katakan?"
"Belum, kayaknya dia masih stress.."
"Harus ada keterangan di kantor polisi tentang keadaannya."
"Besok aku akan menjelaskan kesana."
"Gara-gara dia kita jadi repot."
"Jangan begitu Ayud, kamu harus menghilangkan rasa tidak sukamu yang tidak beralasan itu sama dia."
"Minuman datang..." tiba-tiba Dinda berteriak sambil membawa nampan berisi minuman dingin.
"Terimakasih cantik.." kata Adhit sambil melirik kearah Dinda, yang dilirik hanya memeletkan lidahnya, membuat Adhit semakin gemas melihatnya.
Raka yang sudah berganti pakaian bersih juga lagsung bergabung disana..
"Kok sepi, simbah belum pulang dari warung?" tanya Adhit.
"Hari ini libur, kayak kantoran. Tapi sekarang lagi tidur. Dinda, jangan keras-keras ngomongnya, nanti simbah terbangun." Kata Raka.
"Nggak, aku pelan ngomongnya kok."
"Tapi kalian mau pergi kan, aku sama Ayud mau pulang aja."
"Eit, jangan, kita cuma mau jalan-jalan, itu, si centhil minta dibeliin sesuatu, ikut aja yuk," ajak Raka.
Dan mau tak mau keempat remaja itupun sepakat untuk jalan bersama.
***
Belum lama Galang duduk dikursi kerjanya, didengarnya dering telephone. Rupanya pak Haris sudah datang juga dan memanggilnya.
Galang bergegas melangkah keruangan pak Haris, yang rupanya sudah menunggu diruangannya.
"Selamat pagi pak," sapa Galang.
"Pagi Galang, silahkan duduk."
"Terimakasih."
"Anak itu sudah pulang?"
"Kemarin pagi pak, penerbangan pertama."
"Syukurlah. Kamu tau siapa dia?"
"Dia anaknya..mm.. anaknya Widi?"
"Dia entah anak angkat atau anak tiri, aku nggak tau, Mirna sendiri juga baru tau kalau dia bukan anak kandungnya Widi."
"Ya, itu benar."
"Kasihan anak itu. Cerita apa saja sama kamu?"
"Nggak banyak pak. Saya juga nggak mau terlalu mendesak. Dia cuma bilang ingin tau masa lalu ibunya, lalu sudah didapatnya dari bapak. Dia juga bilang bahwa sebelumnya sudah ketemu Retno dan Raharjo di Medan."
"Dan ternyata dia sekretaris anakmu kan?"
"Benar pak, ngomongnya tentang itu juga ketika dia mau berangkat ke airport. Jadi saya sama Putri juga agak kaget,"
"Lalu apa lagi?"
"Nggak ada lagi pak, saya juga sungkan untuk mendesak karena merasa bukan urusan saya."
"Kalau kamu tau semuanya, pasti kamu nggak akan bilang begitu, karena itu juga urusan kamu."
Galang menatap pak Haris, tak mengerti.
"Mengapa tiba-tiba seorang anak ingin tau tentang masa lalu ibunya, dengan melakukan hal yang tidak mudah, harus menyeberang dari pulau ke pulau, lalu terus mengejarnya.. apa kamu tidak memikirkannya? Dan dari penyelidikan itu dia mengetahui bahwa dia bukan anak kandung Widi karena Widi tak mungkin punya anak? Kamu pernah mendengar cerita itu kan?"
Galang mengangguk angguk, menunggu apa lagi yang akan dikatakan pak Haris.
"Dia dipaksa ibunya untuk membalas dendam."
"Dendam? "
"Dendam itu ditujukannya pada kamu."
Galang terkejut bukan alang kepalang.
"Widi memendam dendam karena menurutnya kamulah yang menyebabkan dia terbuang dari perusahaan ini, dari keluarganya sehingga hidup ter lunta-lunta. Bahkan sekarang dia cacat dan selalu memakai cadar ke mana-mana."
"Ya Tuhan.."
"Harusnya penderitaan itu dipergunakannya untuk menyesali diri, tapi tidak. Justru dia ingin menghancurkan kamu, melalui Mirna."
"Melalui Mirna?"
"Itulah sebabnya dia bekerja diperusahaan anakmu. Widi memerintahkan Mirna untuk membunuh anakmu."
Galang terhenyak di tempat duduknya.
"Tapi kamu jangan khawatir. Mirna justru datang kemari karena ingin tau duduk perso'alannya. Dia tak akan melakukan perintah ibunya setelah aku membuka kedok Widi selama disini. Dia pulang dengan janji akan menyadarkan ibunya agar menghapus dendam itu dan justru bertobat."
Galang menghela nafas lega. Ia memang tak menemukan niyat jahat dimata Mirna. Dan ia berharap semoga Mirna benar-benar menyadari kesalahan ibunya dan tak melampiaskannya pada anaknya.
"Sungguh kamu tak usah merasa khawatir Galang, dan percayalah bahwa kebenaran adalah mulia. "
***
Diruangannya Galang segera menelpon Adhitama. Bagaimanapun ia harus berpesan kepada Adhit bahwa ia harus ber hati-hati terhadap sekretarisnya.
"Hallo bapak," suara Adhitama dari seberang ketika Galang menelponnya.
"Apa Mirna sudah masuk kantor?"
"Belum pak, ada peristiwa buruk terjadi."
"Peristiwa buruk apa?" tanya Galang khawatir. Bayangan Mirna berusaha membunuh anaknya segera terlintas dibenaknya.
Lalu Adhitama menceriterakan peristiwa dimana Mirna dihajar ibunya sampai terluka parah dan sekarang dirawat dirumah sakit, sedangkan ibunya kabur entah kemana.
"Oh, ya ampuun... Adhit, bapak ingin mengingatkan ke kamu sama adikmu Ayud," kata Galang setelah berkurang rasa cemasnya.
"Iya, mengingatkan bagaimana pak?"
"Ini ada hubungannya dengan kedatangan Mirna ke Jakarta. Ibunya Mirna menaruh dendam sama bapak, lalu ia menyuruh Mirna untuk mencelakai kamu, atau mungkin juga Ayud."
"Dendam sama bapak? Bapak kenal ibunya Mirna?"
"Ya, kenal, namanya Widi dulu bekerja sekantor dengan bapak. Banyak peristiwa terjadi sehingga dia harus keluar dari sana. Entah bagaimana kelanjutannya kemudian dia menjadi cacat dan punya anak Mirna, tapi sebenarnya Mirna bukan anaknya. Entah anak siapa Mirna sendiri nggak tau."
"Jadi bagaimana Adhit harus bersikap sama dia pak? Dia saya pecat saja dari perusahaan?"
"Bukan begitu, justru Mirna itu ke Jakarta ingin tau tentang masa lalu ibunya, setelah tau bahwa ibunya yang bersalah, dia berjanji akan menyadarkan ibunya. Tapi mungkin ibunya justru marah lalu menghajar Mirna.. sehingga dia harus dirawat?"
"Belum tau semuanya pak, siang ini harusnya juga dipanggil ke kantor polisi."
"Kenapa?"
Dan Adhit juga mengatakan tentang tas Mirna yang dijambret lalu ada sesuatu didalam tas itu yang kemudian diminum oleh seseorang kemudian meninggal.
"Ya Tuhan, mungkin benar, Mirna menaruh racun atas perintah ibunya, untuk mencelakai kamu Adhit. Tapi kemudian tas itu ditemukan seseorang yang kemudian meminum racun itu."
"Ohh, begitu kah? Ya ampun bapak, Adhit jadi bingung. Sekarang Adhit mau ke rumah sakit dulu barangkali Mirna sudah bisa diajak bicara, barangkali semua itu ada rentetan peristiwa tentang dendam itu."
"Baiklah Adhit, sekali lagi bapak ingatkan agar kamu dan Ayud ber hati-hati."
***
Siang itu Mirna sudah sedikit lebih tenang. Ia ingat seseorang yang menolongnya, dia adalah Raka, yang sesungguhnya keponakan misan ibunya. Tapi Mirna sadar dia bukan apa-apanya karena dia kan bukan anak ibunya. Ia juga merasa lebih tenang karena Adhit pasti juga akan mengurusnya selama dia dirumah sakit.
Mirna masih saja memikirkan ibunya, dan tidak mengerti mengapa tiba-tiba ibunya mengamuk membabi buta. Ia hanya menceritakan sekilas peristiwa itu pada Adhit dan Raka, karena memang dia tidak tau apa sebabnya ibunya mengamuk. Ia ingin bertemu ibunya dan menanyakan apa sebabnya, dan kalau mungkin akan mengingatkan agar ibunya menghentikan kebenciannya pada Galang.
Seseorang meng endap-endap memasuki ruangan dimana Mirna terbaring. Kemudin mengunci pintunya. Seseorang dengan cadar dimukanya. Tak ada yang mencurigakan karena banyak orang bercadar di mana-mana.
Tapi bayangan bercadar itu kemudian mendekat kearah mana Mirna sedang terbaring. Mirna hampir menjerit melihat sinar mata dibalik cadar itu menyala bagai menyemburkan api. Mirna tau itu ibunya, entah darimana ibunya tau bahwa Mirna dirawat disitu. Sungguh Mirna hampir menjerit melihat pandangan kebencian memancar dari sorot mata kemerahan itu, ketika tiba-tiba ibunya mendekap mulutnya.
==========
Mirna meronta, tapi salah satu tangan Widi menekan tubuhnya. Widi hanya bisa membelalakkan matanya dengan penuh rasa takut.
"Kamu pikir bisa mengalahkan aku ? Hahh?" Desis itu terdengar seperti derit pintu besi karatan yang bertahun tahun tak pernah terbuka. Mirna mencoba menunjuk nunjuk kearah mulutnya yang tertutup oleh tangan kasar itu, ia bermaksud ingin bicara.
"Mmmh... mmh... mmmmmmmh..."
"Awas kalau sampai kamu berteriak !!" ancam Widi yang kemudian melepaskan tangannya.
"Ibbu.. apa ssall..lahkuu??
"Kamu masih bertanya apa salahmu? Lihat, apa yang aku bawa ini."
Tiba-tiba Widi mengeluarkan sebuah bungkusan serbuk putih dari dalam saku bajunya. Ia menuangkan serbuk itu kedalam gelas berisi minuman yang ada di meja didekat Mirna berbaring. Mirna melihatnya tak mengerti.
"Ini akan mengakhiri semuanya. Dengar, anak setan, kamu bukan darah dagingku, kamu anak laki-laki yang telah merusak wajahku, aku besarkan kamu karena aku ingin menjadikanmu alat untuk membalas dendam, pada musuhku.. orang yang aku benci, sekalipus pada laki-laki busuk yang telah membuat wajahku seperti ini, Harusnya kamu mampus bersama Adhitama kalau saja kamu bisa melaksanakan perintahku. Jadi dendamku pada dua-duanya terlampiaskan. Tapi kamu justru akan mencelakai aku," desis Widi sambil membuka cadar yang semula menutupi wajahnya. Mirna sudah sering melihat wajah itu, tapi siang hari itu ia melihatnya dengan rasa ngeri, seakan baru melihat setan. Atau iblis, entahlah, karena Mirna belum pernah melihatnya.
"Ib..bu... " rintihnya, hampir menangis..
"Bodoh!! Aku bukan ibumu !! Sekarang minumlah ini..." kata Widi lagi sambil mengambil gelas yang telah dibubuhi serbuk putih, lalu mendekatkannya ke mulut Mirna.
"Jangan bu.. app..paa ini.. mmm.. ibuuu..."
"Karena kamu gagal melaksanakan perintahku, bahkan kamu ingin mencelakai aku, maka kamu harus mati lebih dulu, dendamku pada Galang akan aku lakukan sendiri pembalasannya. Ini.. pembalasanku pada laki-laki busuk yang aku pendam selama puluhan tahun. "
"Ibbu... aku tidak mencelakai ibu..."
"Bohong!! Kamu melaporkan aku pada polisi sehingga polisi memburu aku...!!"
"Tidak bu... aku tidaaaakkk.."
"Mangap kamu!! Minum ini !!"
"Tt..tiddak.. mmmmh... jangan bu..."
"Mangaaapp..!!
Tiba-tiba Widi menindih tubuh Mirna, lalu tangannya membuka mulutnya, dan menuangkan cairan itu kedalamnya. Mirna gelagapan, beberapa cairan terteguk kedalam perutnya, walau sebagian tumpah membasahi baju dan alas tidurnya.
"Aaaghhhh... aaaughhh...."
Mirna ber-guling-guling, lalu jatuh ke lantai. Widi mengenakan kembali cadarnya, lalu berjalan kearah pintu, dan membukanya. Ia keluar seakan tak pernah terjadi sesuatu.
Tiba-tiba ia melihat Adhitama mendekati kamar Mirna. Widi yang sudah lama menyelidiki keadaan anak-anak musuhnya tentu saja mengenalinya. Ia ingin lari tapi diurungkannya. Ia tak boleh membuat orang curiga.
Adhitama melihat perempuan bercadar itu, dan yakin bahwa dia adalah ibunya Mirna.
"Ibunya Mirna ya?" sapanya sambil berhenti melangkah.
"Ya.. tolonglah, lihat Mirna, aku mau menemui dokternya, dia kesakitan," katanya sambil berjalan cepat kearah depan, meninggalkan Adhitama yang kebingungan. Ia mempercepat langkahnya kekamar Mirna, membuka pintunya dan terkejut melihat Mirna terkapar dilantai, sedangkan tiang penyangga infus tergeletak begitu saja.
"Toloong... susteeer... dokteeer..." teriak Adhitama.
Beberapa suster berhamburan mendekat, dan seseorang memanggil dokter. Tak lama kemudian Mirna yang tak sadar dilarikan ke ruang perawatan darurat.
Adhitama kemudian berusaha mengejar keluar untuk menemui Widi tapi tak berhasil menemukannya. Widi lenyap ditelan bumi. Ia kemudian melaporkannya pada polisi.
***
Adhitama masih menunggu. Polisi segera memeriksa ruang dimana terjadi penganiayaan itu, dan juga mengambil sisa minuman yang tercecer dilantai, juga serbuk yang berhamburan disekitar meja. Polisi juga bertanya pada Adhitama tentang peristiwa itu, namun ia tak bisa mengatakan banyak hal. Ia hanya mengatakan bertemu dengan ibunya Mirna yang kemudian menghilang. Polisi segera melakukan pencarian terhadap wanita bercadar yang telah memaksa meminumkan racun kapada Mirna. Memang, menurut pemeriksaan, Mirna telah menelan cairan beracun, dan beruntung dokter segera bisa menanganinya.
Ayud yang mendengar peristiwa itu segera menyusul ke rumah sakit, menemui Adhitama yang sedang duduk termangu.
"Bagaimana mas ?"
"Pusing aku..."
"Bagaimana dia bisa tau bahwa Mirna dirawat disini ?"
"Entahlah, mungkin dia mengikutinya ketika Raka membawanya ke rumah sakit, atau entah bagaimana, tampaknya dia memang asli seorang penjahat. Bisa memburu korbannya dan dengan mudah mencelakainya."
"Menurut bapak.. yang menelpon mas tadi...mas Adhit atau aku harus ber hati-hati bukan? Jangan-jangan setelah berusaha membunuh anaknya lalu dia mengancam kita."
"Mungkin, tapi polisi sedang memburu wanita itu. Mudah-mudahan segera bisa tertangkap."
"Aku takut mas, kita nggak usah pergi ke mana-mana dulu ya."
"Benar Yud, sepertinya memang sekarang perempuan itu sedang mencari kesempatan untuk mencelakai kita."
Dering ponsel Adhit berbunyi, ternyata dari Galang.
"Hallo, bapak," jawab Adhit.
"Kamu lagi dimana ?"
"Dirumah sakit pak, Widi berusaha membunuh Mirna dengan racun."
"Ya Tuhan, Bagaimana dia bisa tau rumah sakit dimana Mirna dirawat?"
"Adhit juga nggak tau pak, tampaknya memang dia terus me mata-matainya."
"Seperti apa kata bapak, kamu dan adikmu Ayud harus ber-hati-hati."
"Ya pak, ini Ayud juga ada disini, dia tampak ketakutan sekali.?
"Mana dia, biar bapak bicara."
"Hallo bapak, Ayud takut sekali," kata Ayud setelah menerima telphone dari kakaknya.
"Kamu nggak usah takut, teruslah berdo'a memohon keselamatan bagi kita semua."
"Tadi Ayud menelpon ibu. Kata ibu, perempuan bernama Widi itu ter gila-gila pada bapak sampai melakukab hal-hal yang tidak pantas."
"Sudahlah, itu jangan dibahas lagi, orang bisa saja membenci kita dengan berbagai alasan."
"Bapak ganteng sih.. makanya Widi ter gila-gila."
"Hush, kamu itu.. kalau bapak nggak ganteng ibumu mana mau sama bapak?" canda Galang dari seberang sana.
"Iya bapak benar.." kata Ayud sambil tersenyum.
"Ya sudah, tetaplah ber hati-hati dan jangan jauh dari kakakmu ya."
"Baik bapak, Ayud pengin ke Jakarta, kangen sama bapak sama ibu."
"Bapak sama ibu juga kangen sama kalian. Mungkin malah bapak sama ibu yang mau ke Solo."
"Ahaaa... benarkah ?" teriak Ayud gembira.
"Mudah-mudahan bisa segera. Ya sudah, bapak mau melanjutkan pekerjaan dulu, sekali lagi hati-hati ya nak."
Ketika pembicaraan itu berhenti, Ayud belum juga merasa tenang.
"Apa kamu bilang, tadi kamu menelpon ibu?"
"Iya, Ayud bertanya pada ibu, mengapa Widi membenci bapak, kata ibu karena Widi ter gila-gila sama bapak."
"Oh, baru tau aku,"
Pembicaraan itu berhenti ketik seorang perawat keluar dari ruang ICU. Adhit berdiri menyambutnya karena perawat itu seperti sedang mencari seseorang.
"Keluarganya ibu Mirna?"
"Ya, bagaimana keadaannya?"
"Racun itu sudah dibersihkan dari tubuhnya. Dia sudah sadar, apakah bapak ingin menemuinya?"
"Ya, kalau boleh."
"Silahkan tapi hanya sebentar ya pak."
Adhitama melambaikan tangannya kearah Ayud, mengajaknya masuk kedalam.
Ayud yang melihat keadaan Mirna, tak urung merasa iba. Wajah yang masih penuh baret-baret luka itu masih tampak pucat. Selang infus masih tertsambung di tangan kirinya. Tapi ia tersenyum ketika melihat Adhitama dan Ayud mendekat.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Adhit.
"Lebih baik, hanya merasa lemas."
"Dokter sudah merawat kamu, nanti kamu akan segera pulih."
"Terimakasih, pak Adhit, bu Ayud, saya sudah menyusahkan bapak dan ibu," bisik Mirna lirih, air mata tampak mengambang dipelupuknya.
"Jangan pikirkan apa-apa dulu. Bisakah kamu cerita,mengapa ibumu ingin membunuh kamu?"
"Ternyata saya bukan anaknya, saya anak bapak saya yang telah menyiramkan air keras ke wajah ibu Widi."
"Oh...ya?"
"Baru saja dia mengatakannya, dia ingin membunuh pak Adhit dan juga saya, untuk melampiaskan dendamnya, kepada pak Galang, dan juga kepada bapak saya. Dia membesarkan saya hanya untuk membalas dendam, yang akhirnya saya juga akan dicelakainya."
Mirna terisak. Ayud yang merasa iba menepuk-nepuk tangannya untuk menenangkannya.
"Kamu tau Mirna, ketika kamu cuti, polisi mencari kamu."
"Polisi?"
"Seseorang yang menjambret tas kamu, menemukan serbuk putih didalam tas itu yang kemudian diminumnya, mungkin dikiranya sebangsa narkotika atau apa. Lalu orang itu meninggal."
"Oh, tidak... " Mirna menangis lagi.
"Mirna, tenanglah, kamu tak usah khawatir kalau kamu tak bersalah."
"Serbuk putih didalam botol itu, serbuk yang diberikan ibu agar saya mencampurkannya kedalam minuman pak Adhit."
Adhitama dan Ayud terkejut.
"Saya mohon ijin tiga hari karena ingin tau mengapa ibu dendam kepada pak Galang. Saya harus tau penyebabnya, dan kalau ibu Widi yang salah, saya harus menentangnya."
***
Dinda sedang menunggu Raka yang sedang mengambil kendaraan di tempat parkir. Mereka baru saja berbelanja barang-barang kebutuhan Dinda, dan juga titipan dari neneknya.
Setelah dari belanja Dinda minta agar Raka mengantarkannya pulang ke rumah Bu Broto lagi.
"Huuh, mas Raka lama bener sih, mana panasnya bukan main disini."
Tiba-tiba dilihatnya toko didekat dia berdiri itu juga menjual es krim kesukaannya. Dinda berjalan kearah toko itu.
"Hm, sedap.. pasti mas Raka juga suka, oh iya .. aku juga harus beli untuk mbak Ayud. Kalau begitu ambil kotak besar saja ah..." gumam Dinda sambil mendekat kearah penjual.
Ketika Dinda menjinjing tas berisi beberapa macam es krim itu, disudut tangga ditoko itu dilihatnya seorang perempuan memakai caping besar, didepannya ada kaleng berisi koin hasil dari pemberian orang-orang yang mengasihaninya.
Dinda yang merasa kasihan segera mendekati perempuan itu, dan mengambil selembar uang lima ribuan.
Ketika itulah Raka sudah ada didepan toko itu dan berteriak.
"Cepat Dinda, mas Adhit baru saja menelpon."
"Oh ya mas, sebentar, Dinda juga beli es krim untuk mbak Ayud kok." kata Dinda sambil mengulurkan uang lima ribuan itu kepada perempuan bercaping itu.
Perempuan itu mendongakkan kepalanya begitu mendengar dua nama disebut. Itu nama-nama yang dikenalnya. Perempuan itu juga sempat mengamati wajah Dinda, yang kemudian dicatatnya dalam benaknya.
"Mas Adhit menelpon kenapa?"
"Dia ada dirumah sakit, kita kesana dulu, mungkin Ayud menunggu kamu untuk diajaknya pulang bersama."
Kedua remaja itu berlalu sambil berboncengan, sementara perempuan itu terus mengawasinya. Tapi Raka sempat melihat, perempuan itu memakai cadar diwajahnya.
Bersambung #13
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel