Cerita bersambung
Tiba-tiba Raka menghentikan sepeda motornya, membuat Dinda heran.
"Ada apa mas? Gembos?"
"Sst.. diam aku mau tilpun mas Adhit dulu.."
"Hallo Ka, " suara Adhit dari seberang.
"Mas, datang kemari deh, buruan. Nggak pake lama."
"Ada apa?"
"Aku seperti melihat perempuan bercadar, yang gerak geriknya mencurigakan, jangan-jangan itu ibunya Mirna."
"Oh ya, kamu dimana ?"
"Pasar Pon mas... eh.. Ngapeman... aku agak ke selatannya supermarket yang di peempatan itu. Cepet mas."
Adhit sudah menutup telephonenya, sepertinya ia juga buru-buru mendatangi tempat yang ditunjuk Raka. Tak lupa ia menghubungi kantor polisi, siapa tau itu diperlukan nanti.
"Ada apa sih mas?" tanya Dinda yang kemudian turun dari boncengan.
"Sebentar, kamu diam saja disini... tunggu dibawah pohon itu ya.."
"Lho mas, mau kemana? Hiih, aku ikut saja ah.."
"Sebentar, aku harus mengawasi seseorang..."
"Huh.. kaya ditektif ajaa..." sungut Dinda yang kemudian duduk disebuah bangku, mungkin milik pemilik warung pinggir jalan yang ketika itu belum buka atau memang tidak buka
Tak lama setelah Dinda duduk itu tiba-tiba seseorang mendekat dan duduk disebelahnya, tapi tidak menghadap kejalan, jadi duduk mereka berdampingan tapi muka bisa saling berhadapan. Dinda terkejut, itu seperti perempuan bercaping yang tadi diberinya uang. Wajahnya tertutup cadar.
"Kok duduk disini ?"
"Iya bu, nungguin kakak.."
"Lha kakaknya kemana ?"
"Tau tuh.. katanya mau mengawasi seseorang." jawab Dinda polos.
Perempuan itu terkekeh...
Dinda menoleh kearahnya, tak tau mengapa perempuan itu terkekeh. Dinda ingin berdiri dan mencoba menyusul Raka yang tadi kembali kearah supermarket. Sesungguhnya ia agak ngeri mendengar tawa perempuan disampingnya. Tapi tiba2 perempuan itu menarik lengannya.
"Tunggu nak, maukah menolongku ?"
"Oh, menolong bagaimana bu?"
"Sesungguhnya kakiku ini sakit sekali untuk dibuat berjalan. Maukah menuntun aku sampai ke gang didepan itu, nanti ada saudaraku yang rumahnya disitu, nggak jauh kok. Maukah nak?" perempuan itu menghiba. Dinda tak sampai hati menolaknya, jalan yang ditunjuk itu hanya kira-kira sepuluhan meter dari tempatnya duduk, dan kasihan juga kalau ada perempuan yang kesakitan ketika berjalan. Dinda mengangguk, lalu membantu perempuan itu berdiri, dan menuntunnya kearah gang yang tadi ditunjukkannya.
Dinda tak melihat ketika perempuan itu datang, sehingga dia tak tau, bagaimana dia bisa duduk disampingnya tadi.
"Naah, dijalan itu ya nak, belok sedikit.." kata perempuan itu sambil tetap mencengkeram lengan Dinda erat-erat. Dinda menahannya sedikit nyeri di lengan itu karena mengira perempuan itu berpegangan erat-erat karena takut terjatuh.
Keduanya sudah berbelok ke jalan kecil. Dinda menoleh kebelakang, berharap kakaknya melihatnya sedang mengantarkan perempuan bercadar itu. Namun Dinda tak melihat apa yang dicarinya.
"Dimana bu?" tanya Dinda yang mulai merasa ada yang tak beres.
"Sebentar, didepan itu, tolonglah nak, si orang tua ini... "
Beberapa langkah lagi, ada belokan ke arah kiri, Dinda menoleh lagi ke belakang, sekarang ia benar-benar cemas, ia merogoh tasnya dan mengambil ponsel. Diputarnya nomor Raka, namun belum sampai dijawab, perempuan itu merebutnya.
"Bu... itu ponsel saya..," teriak Dinda.
Tiba-tiba perempuan itu melepaskan pegangannya dan berjalan cepat meninggalkan Dinda, berbelok kearah kiri.. Dinda mengejarnya, karena ponsel itu dibawanya, namun perempuan itu tak kelihatan lagi. Ada banyak gang-gang kecil dijalan itu, dan Dinda tak mampu menemukannya. Dan sayangnya tak ada orang disekitar jalan itu, ada tukang becak melintas, tapi mana mungkin ia bisa menolongnya? Dinda memilih berbalik lagi kejalan besar, lalu berjalan ketempat dimana tadi Raka meninggalkannya. Dilihatnya Raka dan Adhit ada disana.Ada beberapa polisi juga? Dinda berlari mendekat, lalu menubruk kakaknya sambil menangis.
"Kamu ini kemana saja? Dan ada apa?" tanya Raka sambil menepuk nepuk punggung adiknya.
"Ponselku... ponselku.. dibawa lari.."
"Siapa?"
"Perempuan bercadar yang tadi aku beri uang..."
Raka dan Adhit terkejut. Mereka sedang mencari perempuan itu, dan Dinda mengatakan bahwa ponselnya dibawa lari?
Dengan terbata ia menceritakan pertemuannya lagi dengan perempuan bercadar itu, yang pada awalnya menipun dengan pura-pura kakinya sakit, lalu kemudian dilarikannya ponselnya.
"Kemana dia?"
"Masuk ke gang itu, tapi banyak belokan disana, aku mengejarnya tapi dia menghilang."
"Bodoh aku ini.." keluh Raka.
"Susah menangkap seorang perempuan seperti itu," kata Adhit yang kemudian mengikuti beberapa polisi yang kemudian menaiki mobilnya dan membawanya masuk kedalam gang kecil itu.
"Seharusnya aku tadi terus mengawasinya, tapi aku mengira dia masih minta-minta disitu."
"Ada apa sebenarnya mas? Siapa dia?"
"Dia itu penjahat, ibunya Mirna yang telah menyiksa Mirna."
"Apa" Dinda memang tak pernah dberitau tentang ibunya Mirna itu seperti apa, jadi dia juga sama sekali tak mencurigai perempuan yang telah mengecohnya.
"Nggak tau bagaimana, tampaknya dia sadar bahwa sedang ada yang memburunya, lalu dia mempergunakanmu sebagai tameng seandainya benar-benar terkejar. Tapi bagaimana dia tau bahwa kamu ada hubungannya dengan para pemburunya? Tak mengerti aku. Beruntung kamu selamat." kata Raka sambil memeluk adiknya.
***
Ternyata Widi menghilang, ia tak pernah kembali ke rumahnya karena tau bahwa rumah itu selalu diawasi oleh polisi.
Sementara itu Mirna sudah dinyatakan sehat dan boleh pulang. Tapi pulang kemana? Kalau kerumah, pasti ibunya akan datang dan berusaha membunuhnya lagi.
"Lebih baik kamu mengontrak rumah atau kost saja ditempat yang dekat dengan kantor," saran Ayud yang sudah bisa bersikap ramah pada Mirna.
"Ya bu, nanti saya akan cari, karena saya juga nggak berani lagi kembali kerumah itu."
"Aku sudah mendapat informasi tentang rumah kost itu, besok dari kantor polisi kita langsung kesana. Hari ini kamu boleh tinggal dirumah saya," lata Ayud.
"Terimakasih banyak bu."
"Kalau kamu mau mengambil barang-barang kamu, biar polisi mengawalmu, karena mereka juga masih ada disekitar sana, menunggu barangkali ibumu kembali kerumah," kata Adhit.
"Baiklah pak."
"Tapi kamu tetap harus hati-hati karena kalau ibumu tau kamu masih hidup pasti kamu tetap akan dikejarnya."
Mirna sedih sekali. Ia merasa tak punya siapa-siapa lagi. Ia sudah mendengar dari Widi bahwa bapaknya adalah laki-laki yang menyiram wajah ibunya dengan air keras. Mirna ingin mencarinya, tapi kemana? Rupanya ayahnya juga telah kabur jauh setelah melakukan kekejaman terhadap isterinya.
"Jangan sedih, semuanya sudah lewat, semoga ibumu segera tertangkap sehingga tak akan ada lagi ancaman buat kamu."
Mirna mengangguk, tapi kesedihannya bukan cuma karena nyawanya terancam, kesedihannya adalah karena kesendirian yang kemudian sangat menyesak dadanya.
Tiba-tiba ia berfikir, apakah tidak lebih baik kalau kemarin itu dia mati saja setelah diracun ibunya? Kalau dia mati, tak akan ada lagi beban yang menghimpitnya sekarang ini.
"Jangan lupa, besok penuhi panggilan dari kepolisian, katakan saja semuanya, jangan ada yang kamu tutup-tutupi walau itu perbuatan ibumu sekalipun," kata Adhitama lagi.
"Besok aku akan menemani kamu Mirna karena mas Adhit sedang ada urusan penting besok pagi," sambung Ayud.
"Terimakasih banyak bu Ayud, kalau itu tidak merepotkan, tapi sesungguhnya saya sendiri juga tak apa-apa."
"Jangan sendirian, harus ada teman di sa'at-sa'at seperti ini. Biarkan Ayud menemani kamu," sambung Adhit.
Mirna senang, karena Ayud bersikap sangat baik sekarang ini. Ada sedikit kesedihan yang terobati karena kebaikan orang-orang disekelilingnya.
***
Pemeriksaan atas Mirna berjalan agak lama, karena Mirna menceritakan semua yang dilakukan ibunya, juga tentang serbuk yang ada didalam tasnya. Dan beruntungnya Mirna, karena serbuk yang membunuh orang itu sama seperti serbuk yang ditemukan polisi diruang rumah sakit ketika Mirna dipaksa meminum racun.
Mirna dan Ayud keluar dari kantor polisi ketika lewat tengah hari. Mereka mampir disebuah warung makan.
Mirna sedikit tenang karena ia luput dari tuduhan menyimpan serbuk pembunuh itu.
"Sekarang kamu harus lebih merasa tenang, walau nanti masih akan ada pemeriksaan lanjutan, atau sampai ke sidang pengadilanpun, kamu tak perlu takut, karena sebelumnya kamu telah menceritakan perihal ibumu kepada banyak orang, terutama kepada pak Haris. Kalau terjadi sesuatu pasti pak Haris tak akan keberatan menjadi saksi." kata Ayud di sela-sela makan siangnya.
"Terimakasih banyak bu Ayud," jawab Mirna pelan.
"Apakah masih ada yang kamu fikirkan?"
"Saya sekarang seorang diri, saya ingin mencari bapak saya."
Ayud bisa merasakan kesedihan Mirna, ia memandanginya dengan iba.
"Kamu tidak sendiri, karena kami akan selalu membantu kamu. Tapi kalau kamu ingin mencari bapak kamu, kemana akan mencarinya?"
"Entahlah, bapak saya dulu seorang mandor bangunan."
"Masih tinggal di Solo kah?"
"Nggak tau bu, bapak lari setelah menyiram air keras ke wajah ibu Widi. Mungkin takut dilaporkannya ke polisi. Sampai sekarang entah berada dimana dia.Tapi sungguh saya berharap bisa ketemu, agar saya merasa masih punya keluarga."
"Kamu benar, saya akan berdo'a untuk kamu."
"Terimakasih ibu."
"Rumah kost itu sudah aku temukan, aku sudah bicara sama pemiliknya. Kalau ke kantor kamu cukup berjalan kaki."
"Oh, benarkah?"
"Sehabis makan kita sekalian kesana, supaya kamu bisa melihatnya dan langsung bisa tinggal disana. Tempatnya enak, nyaman."
"Terimakasih bu Ayud."
Selesai makan siang mereka menuju ke rumah kost yang kata Ayud tak jauh dari kantor. Dan itu benar, mereka berhenti didepan sebuah rumah yang bersih dan rapi.
Ketika masuk, dilihatnya sebuah taman yang asri, dan didepannya tampak berderet deret kamar yang disetiap kamar ada sebuah ruang depan yang mungkin bisa dipergunakan untuk menerima tamu.
Mirna diketemukan dengan pemilik rumah kost itu. Lalu dipersilahkan masuk kesebuah kamar paling depan yang kebetulan baru kosong seminggu ini.
Sebuah kamar yang nyaman, ada sebuah ranjang, ada almari pakaian, rak tempat menyimpan barang-barang dan kamar mandi didalam.
"Pasti mahal ya bu," bisik Ayud ketika berada berdua saja dengan Ayud.
"Jangan khawatir, akan ada vasilitas dari perusahaan untuk tempat kost kamu, nanti aku bicara sama pak Adhit."
"Jadi...?"
"Jadi segera usung barang-barang kamu, biar pak Sarno membantu kamu."
Mirna sangat terharu atas kebaikan itu. Ketika ia menaiki mobil lalu hanya kira-kira duaratus meter lagi adalah kantor tempat dia bekerja, Mirna merasa bahwa tak akan capai berjalan setiap hari kesana.
Namun keduanya tak menyadari, sibalik sebuah pohon besar, sepasang mata sedang mengawasi mereka, sejak keluar dari rumah kost itu.
========== <???> ada yang lompat?
Sepasang mata itu kemudian tampak meredup. Ada genangan telaga di pelupuk matanya. Seorang laki-laki tinggi besar yang sudah setengah tua, bersandar lelah dibatang pohon yang tumbuh dipinggir jalan itu. Celananya komprang, kaos yang dipakainya berwarna kumal dan kusam.
"Mirip sekali... aneh.. mengapa bisa mirip sekali?" bisiknya pelan.
"Hei... bos! Lagi ngapain berdiri disitu?" sebuah teguran mengejutkan laki-laki itu.
"Oh.. semprul kamu Sukir, hampir copot jantungku," kata pak bos sambil mengusap matanya dengan ujung kaos kumalnya.
Orang yang dipanggil Sukir terbahak, tapi kemudian merasa heran, benarkah pak bosnya menangis?
"Bos menangis ?"
"Eddan, masa aku menangis? Tuh, debu jalanan masuk ke mataku tadi," jawabnya sambil berjalan kearah sebuah bangunan yang belum jadi, diikuti oleh laki-laki bernama Sukir itu. Mereka sedang mengerjakan pekerjaan membangun sebuah gedung bertingkat. Jam makan siang telah selesai, dan mereka bersama teman-temannya kembali bekerja.
Pak bos yang sudah setengah tua itu memberi perintah tentang apa yang harus mereka kerjakan. Dia memang mandor bangunan itu. Karena pengalamannya yang sudah matang, dia dipercaya untuk mengawasi semua pekerja oleh pemborongnya.
Tapi hari itu, si bos yang sesungguhnya bernama Kadir tampak tak bersemangat. Tadi setelah makan siang di warung, dia melihat dua orang gadis keluar dari rumah didepan bangunan itu, lalu menaiki sebuah mobil. Tapi salah satu dari gadis itu mirip sekali dengan isterinya. Dulu Kadir punya isteri cantik, dan dikaruniai seorang bayi perempuan yang mungil. Namun karena Kadir hanya buruh bangunan, yang tentu saja membuat kehidupan mereka hanya pas-pasan saja, sang isteri yng bosan hidup miskin kemudian lari dengan seorang juragan kaya, meninggalkan bayi kecilnya tanpa belas.
Ketika itu ia bertemu Widi yang bekerja disebuah toko, lalu mereka saling suka dan menikah. Kadir ingat, sebelum mengambilnya menjadi isteri, Widi mengatakan bahwa ia tak akan mempunyai anak karena rahimnya sudah diangkat karena sebuah kecelakaan. Kadir tak perduli, karena dia sudah mempunyai bayi kecil yang cantik bernama Mirna.
Widi merawat Mirna dengan baik dan menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Tapi sama dengan isterinya terdahulu, Widi suka melayani laki-laki berduit untuk membuat hidupnya senang. Ketika pada suatu hari ia memergokinya, kemarahannya memuncak, lalu disiramnya wajah Widi dengan sebotol air keras, kemudian dia melarikan diri.
"Bos, tuh dicari pak Hasan," teriak salah seorang anak buahnya membuyarkan lamunan Kadir.
"Oh, baiklah," jawab Kadir yang segera berlari kearah depan, dimana atasannya sedang menunggu.
***
Siang itu Kadir mendapat tugas untuk memeriksa barang pesanan disebuah toko bahan bangunan. Ketika keluar dari sana, dilihatnya sebuah mobil berhenti diseberang jalan, dan kembali Kadir melihat gadis itu. Ia dibantu sopir yang mengantarnya, mengusung barang-barang yang dibawanya masuk kepekarangan.
Kadir me longok-longok.. ingin melihat dengan jelas apa yang dilakukan gadis itu.
"Kadir, apa yang kamu lakukan?" tegur pak Hasan yang sudah menunggu di mobil.
"Oh.. eh... ma'af pak," jawab Kadir gugup sambil melompat kedalam colt terbuka yang sudah menunggunya.
"Kamu itu tadi lagi ngelihat apa, ingat Dir, kamu sudah tua, masih saja suka mengincar gadis2?" canda pak Hasan ketika mobil itu sudah berjalan.
"Bukan pak, saya merasa pernah melihat gadis itu, tapi lupa dimana..." jawab Kadir polos. Wajah gadis itu masih terbayang dipelupuk matanya.
"Didepan itu kan rumah kost Dir, pasti banyak gadis-gadis."
"Oh, rumah kost ya ?"
"Iya, dulu sekali, aku juga yang membangun rumah itu. Waktu itu kamu belum ikut aku, kalau nggak salah masih diluar kota."
"Benar pak, saya baru dua tahun kembali ke kota ini."
"Oh, dulu pernah tinggal di Solo juga?"
"Ya, tapi saya asli Semarang pak."
"Terus dapat isteri orang Solo, begitu?"
Kadir tidak menjawab, ia menghela nafas panjang, ada kenangan pahit yang tiba-tiba melintas, membuatnya sedih.
"Dimana isteri kamu sekarang? Katanya kamu itu duda.."
"Nggak tau pak, sudah puluhan tahun berpisah, mungkin sudah meninggal."
"lho, apa ketika kalian berpisah .. dia sakit-sakitan?"
"Bukan begitu... entahlah pak.."
"Punya anak ?"
Kadir mengangguk pelan. Ia teringat gadis itu, mungkinkah dia anaknya? Menjadi apa dia, ke mana-mana naik mobil bagus? Mungkin bukan, hanya wajahnya saja mirip isterinya. Bukankah didunia ini banyak orang memiliki wajah yang mirip padahal bukan apa-apanya?
Pak Hasan tidak melanjutkan pertanyaannya, karena melihat Kadir tiba-tiba menjadi sedih.
"Ya sudahlah, nggak usah bicara hal-hal yang membuat sedih ya Dir? Nah, kita hampir sampai. Aku ingin kamu memilih barang-barangnya, jangan yang kwalitas rendahan, seringkali kalau hanya pesan lewat telephone, mutu barangnya tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dan satu lagi, minggu depan kamu aku pindahkan di proyek baru yang letaknya di Gilingan ya Dir?"
"Baik pak, terserah bapak saja."
Namun diam-diam Kadir kecewa, pasti ia akan jarang melihat gadis itu lagi. Sungguh ia ingin tau, siapa dia sebenarnya, mengapa mirip sekali dengan bekas isterinya. Ia menyesal dulu meninggalkan anaknya bersama Widi. Apakah Widi merawatnya dengan baik setelah dia pergi?
***
Widi terkejut ketika ponsel yang dibawanya berdering. Haa.. ini bukan ponselnya, tapi ponsel gadis itu, pikirnya. Ia melihat siapa yang menelpon, ada tulisan ibu. Tapi Widi terkejut melihat foto profil yang nampak. Ia merasa tidak asing lagi. Itu wajah sepupunya.Retno... Apakah gadis itu anaknya Retno? Untunglah aku tidak mencelakainya, Retno selalu baik sama aku. Pikir Widi. Ia ingin mengangkatnya, tapi diurungkannya. Nanti bisa ketahuan apa yang sudah dia lakukan.
Dimatikannya telephone itu, lalu dikeluarkannya simcard yang ada didalamnya. Selesai. Aku bisa menjual ponsel ini sa'at memerlukan uang, pikir Widi, yang kemudian kembali ketempat majikannya untuk bekerja.
Beruntung ia tak pernah mengatakan walau kepada Mirna sekalipun, dimana dia bekerja, sehingga tempat itu bisa menjadi persembunyian yang aman bagi dirinya.
Sesungguhnya ia ingin pergi kerumah sakit dimana dulu Mirna dirawat, untuk mengetahui apakah Mirna masih hidup ataukah sudah mati oleh racun yang diminumkannya. Tapi ia masih takut mengambah rumah sakit itu. Pasti polisi sedang mengawasinya juga. Jadi lebih baik ia bersembunyi dulu beberapa sa'at lamanya ditempat majikannya yang menerimanya dengan baik karena dia rajin.
Namun ketika ia akan menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah colt terbuka nyaris menabraknya, sehingga dia jatuh tersungkur. Beruntung colt itu tidak berjalan terlalu kencang.
Kadir yang duduk disamping kemudi segera melompat turun, dan membangunkan perempuan bercadar yang jatuh tepat didepan mobilnya.
"Ma'af bu, ibu tidak apa-apa?" tanya Kadir sambil membantu perempuan itu bangun.
"Goblog!! Kalian hampir membunuh aku !!" terdengar suara serak perempuan yang ternyata Widi.
"Ma'af bu, ibu menyeberang tanpa menoleh, untung mobil kami tidak terlalu kencang jalannya. Ibu terluka?" tanya Kadir setelah perempuan itu berdiri. Ada rasa ngeri melihat sorot mata dibalik cadar itu.
Tapi Widi mengenali Kadir. Ia ingin mengumpat dan membuka cadarnya agar laki-laki itu melihat hasil perbuatannya, tapi diurungkannya. Ia tak bisa ber lama-lama berada dijalan seramai itu, karena sadar polisi sedang memburunya.
Dengan mengibaskan tangannya Widi kemudian berlalu ketepi jalan dan melangkah cepat kemudian menghilang dibalik tikungan.
Kadir naik kembali kemobil yang kemudian dijalankannya lagi oleh Hasan.
"Dia menyeberang tiba2 sih, apakah dia terluka?" tanya Hasan.
"Tidak, dia hanya terjatuh dan tidak luka, masih bisa berjalan cepat ."
"Syukurlah.."
***
"Raka..." suara Retno dari seberang ketika menelpon Raka.
"Ya ibu, Raka baru saja selesai mengajar. Ada apa bu?"
"Ibu baru saja menelpon adikmu, tapi kok nggak diangkat, setelah itu ponsel malah dimatikan. Ada apa le?"
"Bu, ponsel Dinda hilang kemarin, "
"Oh, ya Tuhan, bagaimana bisa hilang? Teledor adikmu itu."
"Ya bu, dirampas orang. Ini sudah me rengek-rengek minta dibelikan baru bu."
"Ya sudah, nanti ibu kirimin saja uangnya, kasihan kamu direwelin adikmu terus."
"Nggak apa-apa bu.."
"Nanti bilang berapa harganya, ibu transfer ke rekening kamu hari ini."
"Baiklah kalau dipaksa juga... Terimakasih ibu.." jawab Raka sambil tertawa.
"Bagaimana kabar Mirna?"
"Ah, ibu juga perhatian sama Mirna rupanya."
"Kakek Haris sudah menceritakan semuanya. Kata om Galang dia diracun ibunya?"
"Ya bu, sudah pulang dari rumah sakit. Kabarnya Ayud mencarikan rumah kost didekat kantor."
"Syukurlah, kasihan dia, dia nggak tau siapa orang tuanya."
"Menurut mas Galang dia anak tirinya, sa'at ini sedang mencari dimana ayahnya itu."
"Semoga bisa segera ketemu. Ya sudah le, bilang sama Dinda, harus hati-hati ya.. sebenarnya ibu nggak tega adikmu ada disini, soalnya dia itu kan ceroboh, dan masih seperti anak kecil.. ya ampun.. ibu khawatir dia menyusahkan Ayud dan Adhit."
"Nggak apa-apa bu, mereka baik sama Dinda kok, ibu jangan khawatir ya."
***
Sore itu Mirna berjalan dari kantornya kearah rumah kost barunya. Barang-barang yang harus dibawanya sudah diusungnya kedalam kamar.
Sepulang dari kantor ia baru akan menatanya nanti. Ia harus berterimakasih kepada Adhit dan Ayud yang telah membantunya. Ia berharap ia akan nyaman ditempat kost itu, dan aman dari gangguan ibu tirinya.
Ia sekarang tau bahwa Widi adalah ibu tirinya. Apakah ibu tirinya itu tau kalau dia selamat? Apakah mengira dia sudah tewas karena dipaksa menenggak racun beberapa hari yang lalu? Entahlah, ia hanya berdo'a demi keselamatannya, seperti dianjurkan Adhit dan Ayud.
Namun ketika ia akan memasuki halaman rumah kost itu, didengarnya sebuah rem mobil berderit kencang, lalu jeritan beberapa orang. Mirna merasa ngeri, ia melihat seorang laki-laki terkapar disana, dengan tubuh bersimbah darah. Mirna ingin lari, tapi entah mengapa ia merasa iba. Ia mendekat dan meminta si penabrak membawanya kerumah sakit.
Bersambung #14
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel