Cerita bersambung
Mirna mengikuti sampai ke rumah sakit. Wajah lelaki setengah tua itu seperti pernah dikenalnya. Laki-laki tinggi besar dan gagah, siapa dia... siapa dia.. siapa dia... dimana pernah melihat wajahnya... Mirna terus ber-tanya-tanya.
Ketika lelaki itu dimasukkan ke ruang UGD, Mirna menunggu diluar, dengan pertanyaan masih memenuhi benaknya.
Beruntung si penabrak yang masih muda itu mau bertanggung jawab, ia membayarkan sejumlah uang untuk perawatan korban, dan memberikan KTP nya pada Mirna. Ada nomor telephone ditempelkan di KTP itu.
"Kalau ada apa-apa, hubungi saya," katanya sebelum pergi.
Mirna hanya mengangguk, tapi ia belum beranjak dari tempat duduknya.
Seorang perawat mendekat, Mirna menunggu dengan ber debar-debar, jangan-jangan lelaki setengah tua itu meninggal.
"mBak... keluarganya?"
"Mm.. eh.. buk..kan.. kenapa?" jawab Mirna bingung.
"Dia belum sadar, tapi dia kehilangan banyak darah. Kalau bisa segera saja mbak carikan."
"Apa golongan darahnya?"
"AB..."
"Oh, golongan darah saya juga AB, ambillah untuk menyelamatkannya, kata Mirna mantap..
"Baiklah, mari ikut saya."
Mirna mengikuti perawat itu, yang setelah memeriksa golongan darahnya kemudian Mirna siap diambil darahnya untuk laki-laki itu.
Ada dua kantung darah diambil dari tubuh Mirna. Mirna merasa pusing. Mungkin karena dia baru sembuh dari sakit. Perawat mempersilahkan Mirna untuk tetap berbring, lalu memberikan obat untuknya.
***
Seorang lelaki masuk dengan ter gesa-gesa, mendekati perawat jaga.
"Selamat sore mbak, apa ada pasien bernama Kadir?"
"Kadir? Alamatnya pak? Kapan dia masuk ?"
"Dia korban kecelakaan, baru saja."
"Oh, ya.. belum bisa bicara, jadi belum dicatat namanya. Ada seorang gadis membawanya kemari, tadi bersama orang yang menabraknya."
"Oh, bagaimana keadaannya?"
"Tadi kehabisan banyak darah, tapi gadis itu telah mendonorkannya."
"Oh, dimana dia."
"Masih diruangan itu pak, mungkin masih sedikit pusing."
"Boleh saya menemuinya?"
"Silahkan pak,"
Laki-laki itu kemudian memasuki ruangan dimana tadi Mirna diambil darahnya. Dilihatnya seorang gadis cantik terbaring sambil memejamkan matanya.
Tapi ketika mendengar langkah mendekat, Mirna membuka matanya.
"mBak, apakah mbak yang membawa teman saya kemari setelah kecelakaan itu?"
"Iya pak, saya kebetulan melihatnya. Barusan saya mendonorkan darah karena dia membutuhkan banyak darah."
"Terimakasih banyak mbak telah menyelamatkan jiwanya."
"Sama-sama pak. Oh ya, ini KTP dan no tilpun orang yang menabraknya. Dia juga sudah menitipkan uang di kasir untuk beaya perawatannya. Kalau ada apa-apa bapak bisa menghubungi melalui no tilpun ini. Untunglah dia baik dan bertanggung jawab. Dia bilang akan menanggung semua beaya perawatannya."
"Oh, baiklah, terimakasih mbak."
Mirna merasa lebih baik, ia kemudian bangun, sambil memijit-mijit kepalanya.
"Pusing ya mbak?"
"Nggak pak, sudah lebih baik, saya mau pulang, karena sudah ada bapak yang kerabatnya."
"Oh ya, bolehkah tau siapa nama mbak?"
"Sudah didata tadi, tapi baiklah, saya Mirna pak."
"Oh, terimakasih mbak Mirna, saya Supri."
***
Mirna sampai dirumah kost yang baru hari ini mau ditempatinya. Barang-barangnya masih terserak dilantai. Memang nggak banyak, hanya beberapa baju, peralatan makan dan mandi yang kemudian ditatanya sekenanya.
Kepalanya masih terasa pusing. Lalu ia merasa bahwa lebih baik ia berbaring dulu beberapa sa'at lamanya.
Ketika kemudian Ayud menelponnya, Mirna masih tergolek ditempat tidur. Ada obat dan vitamin yang tadi diberikan fihak rumah sakit untuk diminumnya, tapi masih tergeletak dimeja.
"Hallo bu Ayud..." sapa Mirna setelah membuka ponselnya.
"Mirna, kamu tadi kemana? Aku menyusul ke tempat kost kamu, tapi katanya kamu belum sampai. Aku menelponmu beberapa kali lho."
"Oh ya, ma'af bu, Mirna baru saja pulang dari rumah sakit."
"Kamu sakit?" tanya Ayud tekejut.
"Bukan bu, saya baru saja mendonorkan darah untuk pasien kecelakaan."
"Kamu? Bukankah kamu baru saja sembuh dari sakit? Mengapa berani mendonorkan darah?"
"Nggak apa-apa bu, saya kasihan. Ada seorang laki-laki setengah tua yang tertabrak mobil didepan rumah kost ini, ketika saya baru masuk ke pekarangan."
"Ya ampuun Mirna, kamu kenal dia?"
"Enggak bu, tapi Mirna kasihan melihatnya. Tadi ketika saya pulang dari rumah sakit, sudah ada kerabatnya yang datang kok."
"Lalu bagaimana penabrak itu?"
"Dia bertanggung jawab, bersedia membayar semua beaya pengobatannya."
"Syukurlah.. sekarang kamu lagi ngapain?"
"Tadi merasa pusing bu, jadi belum beres-beres. Sekarang sudah mendingan."
"Mau dibantuin? Ada yang pengin ngajak jalan-jalan nih, Mau aku ajak kesini aja kalau kamu nggak keberatan."
"Nggak bu,hanya beberapa baju, nanti malah merepotkan."
"Ya sudah kalau begitu. Kamu istirahat saja dulu kalau masih pusing."
"Ya bu, terimakasih banyak."
***
Ternyata akhirnya Dinda pergi bertiga. Bukan bersama Adhit, tapi Raka. Entah bagaimana, Dinda nggak bilang-bilang dulu sama Ayud bahwa dia juga megajak Raka.
"Lho, kalau sudah ada kakak kamu ya sudah, pergi berdua saja nggak apa-apa kan?"
"mBak Ayud kok gitu, Dinda tuh penginnya jalan sama mbak Ayud, tapi yang nanti besedia bayar kalau Dinda pengin apa-apa kan mas Raka."
"KalauAyud nggak mau pergi juga sama aku, ya sudah aku pulang saja," kata Raka pura-pura ngambeg.
"Ee... bukan begitu, mm.. baiklah, kita pergi bertiga."
"Mas Adhit mana?"
"Lagi males tuh, tiduran dikamar dari tadi."
"Hm, pekerja keras sih..." guman Raka.
"Raka, kamu yang bawa mobilnya ya, "
"Siap... mana kuncinya, biar aku yang keluarin."
"Aku duduk dibelakang ya, mbak Ayud menemani mas Raka didepan." seru Dinda sambil menarik tangan Ayud.
***
Ternyata sore itu mereka ingin membeli ponsel untuk Dinda. Dinda boleh memilih yang dia suka karena itu kan uang dari ibu.
Dinda mencibir ketika mengetahui bahwa itu kiriman uang dari ibunya.
"Hm, kirain uang mas Raka.."
"Aku nggak minta kok, ibu sendiri yang kasih." sahut Raka.
"Iya, makanya nggak apa-apa kan sedikit mahal, kalau uang mas Raka aku minta yang murahan juga nggak apa-apa."
"Benar Dinda, kan mas Raka lagi mau nabung nih.."
"Nabung buat apa mas?"
"Buat cari jodoh lah, jawab Raka sambil melirik Ayud.."
Yang dilirik bukannya tak tau, tapi ia mengalihkan pandangannya kearah lain. Mengapa juga Raka pakai melirik kearahku? Pikir Ayud. Tapi tak urung ada getar yang terasa aneh didadanya. Mengapa tiba-tiba begini?
"Sekarang aku sudah dapat ponsel, ayuk makan..." ajak Dinda dengan wajah berseri.
"Ayuk, Ayud nggak keberatan kan?"
Ayud yang biasanya tak kalah cerewet dari Dinda sore itu merasa amat canggung. Ia hanya mengangguk meng iyakan. Lalu mereka makan disebuah rumah makan terdekat atas pilihan Ayud.
Namun ketika mereka sudah duduk dibangku lalu memesan makanan, Dinda tiba-tiba berdiri.
"Sebentar ya, aku mau kesitu."
"Kemana ?"
"Aku butuh membeli sesuatu, kalian disini saja, nanti capek, karena aku kalau memilih barang lama sekali, mungkin harus ber-putar putar,"kata Dinda sambil melangkah pergi.
Raka dan Ayud berpandangan, tapi membiarkan Dinda berlalu.
"Kok dari tadi diam sih?" kata Raka ketika menunggu pesanan.
"Lha aku harus ngomong apa, semua omongan sudah diborong oleh Dinda."
Raka tertawa. Memang Dinda kelewat cerewet, dari tadi ada saja yang dibicarakan.
"Iya, cerewet dan ceroboh anak itu. Kemarin ibu juga bilang, sebenarnya berat melepas Dinda, khawatir merepotkan semua orang.bahwa katanya
"Nggak, Dinda menyenangkan kok. Aku suka punya adik dia."
"Kalau kamu suka punya adik dia, harus menikah sama kakaknya dong," kata Raka tiba-tiba, tapi kemudian kata-kata itu disesalinya. Dilihatnya Ayud tersenyum simpul, lalu memandang ka erah lain.
"Eh, ma'af.. ma'af.. jangan marah ya?' kata Raka yang tiba-tiba menyesali ke lancangannya.
"Nggak apa-apa.. aku tau kamu suka bercanda..." jawab Ayud sambil menahan debaran jantungnya.
"Kalau aku bukan bercanda?"
"Apa maksudnya?"
Pelayan datang menghidangkan minuman. Ayud segera mengambilnya dan menghirupnya perlahan. Ia ingat kata-kata Adhit, bahwa Raka menyukai dirinya. Dan selalu dijawabnya bahwa dirinya lebih tua dari Raka..
"Ma'af ya..." ulang Raka yang mengikuti Ayud menghirup minuman pesanannya.
"Dari tadi minta ma'af melulu.."
"Aku takut kamu marah.."
"Karena...?"
"Karena bicaraku yang ngelantur itu tadi, jadi aku minta ma'af."
"Jadi kamu itu tadi ngelantur? Bukan bicara serius?" lalu Ayud juga menyesal mengatakannya, se akan-akan dia menantang Raka untuk bicara terus terang. Adduuh.. bagaimana ini.
"Ayud, kalau ini tidak berkenan, ma'afkanlah aku. Tapi aku serius." kata Raka yang merasa sudah kepalang tanggung, dan siap apapun resikonya.
Tapi Ayud tidak menjawab. Ia lebih suka menenangkan hatinya dengan meneguk habis semua minuman yang ada di gelasnya.
==========
Raka sedikit berdebar. Senyuman Ayud tak mudah dimengertinya. Mungkin merendahkan dirinya, mungkin karena merasa lebih tua, mungkin disana dirinya tak pantas.. Lalu dipesannya lagi segelas lemon tea.
"Haus sekali ya?" tanya Ayud tiba-tiba.
"Udara sangat panas, jadi harus minum banyak," jawab Raka sekenanya. Padahal ia merasa harus minum untuk mendinginkan perasaannya.
"Kalau begitu aku juga," seru Ayud kepada pelayan yang membawakan pesanan makanan mereka.
"Hm... rupanya kehausan juga,"celetuk Raka sambil menatap wajah Ayud, yang sa'at itu juga sedng menatapnya. Sepasang mata bertemu dan menciptakan getar yang tak mereka mengerti sebelumnya. Ayud menoleh kearah depan, pura-pura mencari sesuatu. Ia bingung, mengapa kali ini ada perasaan lain dihatinya, apakah itu cinta? Selalu dibantahnya perasaan aneh itu, dengan keyakinan bahwa ia lebih tua. Tapi ternyata cinta tak memandang usia. Ia heran, betapa mudah sebuah cinta mendobrak keangkuhan yang selama ini disandangnya. Sungguh, ia merasa cantik, pintar, dan berhasil dalam berkarya membantu kakaknya, yang mengandalikan sebuah perusahaan besar warisan kakeknya. Laki-laki mana yang berani melamarnya? Tapi laki-laki dihadapannya, walau dengan sedikit ragu berani mengutarakan cinta, walau secara tidak langsung. Dan itu membuat hatinya berdebar tak menentu.
"Lagi memandangi apa sih?" tanya Raka yang kemudian ikut menatap kearah pintu masuk.
"Dinda lama sekali, cari apa dia?"
"Disebelah kan supermarket, biarin saja, apa maunya," jawab Raka sambil meraih piring yang berisi makanan pesanannya.
"Hm.. baunya menusuk selera, sudah lama aku nggak malan selat Solo. Ayo makan? Biar saja pesanan Dinda menjadi dingin. Minumannya juga sudah mencair."
"Aku susul dia?"
"Nggak usah, lebih baik kamu menjawab pertanyaanku. Sambil makan."
"Apa?"
"Pertanyaanku... eh.. pernyataanku... bagaimana menurutmu? Apakah kamu menganggap aku lancang? Terlalu berani? " tanya Raka sambil menyendok makanannya, mengunyahnya melan, sambil menatap Ayud yang juga sedang memotong daging diatas piringnya.
"Tidak,"
"Apa yang tidak?"
"Kamu tidak lancang.."
"Mmmm.. lalu...?"
"Lalu apa...," Ayud tampak menikmati beefsteak yang dipesannya.. membuat Raka semakin gemes melihatnya..
"Jadi bagaimana? Jangan tanya bagaimana apanya," kata Raka yang sudah tau apa nanti kata Ayud selanjutnya.
Ayud tersenyum, menurut Raka itu adalah senyum paling manis yang pernah dilihatnya. Dilumatnya sepotong daging dari saladnya seperti sedang melumat bibir Ayud, dan itu membuatnya berdebar lebih kencang.
"Raka...jangan banyak bertanya lagi, habiskan makanmu, dan telephone adikmu."
"Baiklah.. berarti kamu menolak aku, tapi susah mengucapkannya, oke, aku sudah siap menerimanya. Ayahku pernah bilang, kalau kamu berani melamar perempuan, harus siap seandainya ditolak, jangan pernah merasa patah hati. entahlah.. mungkin patah hati itu sakit, tapi aku siap kok."
Ayud masih memotong lagi sepotong daging diatas piringnya, tapi ia tersenyum, dan senyum itu memberikan harapan bagi Raka. Kalau dia menolah, pasti wajahnya tidak semanis itu. Tapi bukankah Ayud memang manis? Baik dia sedang tersenyum atau sedang merengut.
"Kamu akan tau jawabanku, dari sikapku. Seorang dosen harus bisa membaca isi hati mahasiswanya, apa dia menyukai behan kuliah yang kamu berikan atau tidak."
"Ya Tuhan, kamu kan bukan mahasiswaku?" keluh Raka lalu meneguk minumanku.
"Sama dalam membaca pikiran."
"Baiklah, akan aku simpulkan sendiri, kamu menerimaku bukan? Kamu juga cinta sama aku bukan? Kalah salah bilang salah, kalau benar tersenyumlah dan pandang mataku." kata Raka kesal merasa dipermainkan.
Tiba-tiba dilhatnya senyum itu, tanpa menjawab, dan mata mereka beradu, dalam sejuta rasa yang tak terucapkan.
"Heiii.. kalian sudah selesai?"
Teriakan itu mengejutkan mereka berdua dan membuyarkan perasaan yang sedang mengharu biru.
"Iih... Dinda, kebiasaan deh, selalu teriak-teriak begitu," gerutu Ayud sambil memelototi Dinda, yang kemudian hanya tersenyum lalu duduk seenaknya diantara mereka.
"Hmh.. esku sudah mencair nih," keluhnya sambil meneguk minumannya.
"Salah sendiri, lama bener perginya.."
"Kan mas Raka yang nyuruh ?" jawab Dinda seenaknya lalu menrik piring yang berisi pesanannya.
"Apa?" Raka mendelik, dan Dinda tertawa senang.
"O.. aku tau.. kalian sekongkol ya?" sela Ayud yang tiba-tiba mengerti sesuatu.
"Sekongkol apa?" tanya Raka pura-pura tak tau.
"Iya, jujur saja lah mas, kan tadi mas Raka yang nyuruh aku pergi agak lama, supaya mas Raka bisa leluasa menyatakan isi hatinya.." jawab Dinda seenaknya, lalu menyendok makanannya.
"Dindaaaaaa," Raka protes sambil masih mendelikkearah adiknya."
"O, jadi gitu ya ?" Ayud mengangguk angguk.. tapi tak ada raut muka kesal diwajahnya.
"Bagaimana hasilnya ? Pasti oke kan?" tanya Dinda sambil terus mengunyah makanannya.
Raka merasa kesal karena Dinda membuka rahasianya, tapi ia lega karena dilihatnya Ayud melanjutkan makanannya, justru sambil ter senyum-senyum
***
Adhit terkejut karena tiba-tiba Dinda nyelonong masuk kedalam kamarnya, ketika dia sedang melihat sebuah acara di televisi.
"Mas..."
"Hei, lupa ketuk pintu ya?" tegur Adhit sambil tersenyum. Selalu ada rasa suka setiap berdekatan dengan Dinda, yang selalu ditahannya karena teringat tangis ibunya, tangis yang tak pernah dimengerti apa artinya.
"Iya.. ma'aaaf.."
"Ada apa sih, kok kelihatan gembira begitu?"
"Hari ini.. mas Raka sama mbak Ayud sudah jadian."
"Jadian apaan?"
"Iih, mas Adhit, masa nggak tau maksudnya jadian sih.. gini lho,," jawab Dinda sambil menautkan kedua ujung jari telunjuknya.
"Benar?"
"Benar dong.. masa aku bohong sih? Cocog kan mas keduanya, aku seneng banget lho.. mas Adhit seneng nggak?"
"Seneng lah.."
Tiba-tiba bu Broto nyelonong masuk, ada rasa was-was ketika melihat Dinda masuk kekamar Adhit, tapi pintunya nggak tertutup kok, jadi harusnya bu Broto nggak usah khawatir.. tapi namanya orang tua, sudah punya rasa curiga, jadi semuanya jadi serba membuatnya khawatir.
"Dinda, ternyata kamu ada disini, eyang nyari ke mana-mana," kata bu Broto sambil menarik tangan Dinda.
"Ada apa eyang?"
"Mau eyang suruh ngicipin masakan eyang, ada kolak pisang tuh," katanya sambil terus menarik tangan Dinda.
"Aduh yang, pasti masakan eyang itu enak... " suara Dinda semakin menjauh. Dan Adhit merasa, bu Broto sedang menghawatirkannya. Pasti ibunya sudah bilang tentang perasaannya ke Dinda, dan seperti ibunya pasti neneknya juga akan menghalanginya.
"Hm.. ada apa ini.." keluh Adhit sambil kenbali menatap acara di televisi, tapi sudah tak lagi dirasakannya. Ia mematikan televisi, lalu berbarin g ditempat tidur, memeluk guling dan memejamkan matanya.
***
Siang itu, sa'at istirahat tiba, Sukir memerlukan menjenguk atasannya, Kadir yang masih terbaring di kamar rumah sakit itu. Kepalanya berbalut perban, dan ada bercak darah masih kelihatan disana..Tapi Supri lega Kadir sudah siuman.
"Bagaimana keadaanmu bos?" selalu Sukir memanggil bos kepada Kadir karena dia memang mandornya.
"Baik, gara-gara aku ingin menemui gadis itu," keluh Kadir pelan.
"Gadis apa? Bos sedang ter gila-gila sama seorang gadis?" tanya Sukir sambil tertawa.
"Bukan ter gila-gila, tapi aku merasa pernah melihat dia, tapi entah dimana.. mm.. dia mirip isteri pertamaku."
"Oh, gitu... lalu karena ter gesa-gesa jadi nggak tau ada mobil melintas yang kemudian menabrak ya bos?"
"Siapa yang membawaku kemari? Kamu Kir?"
"Aku kan belum keluar dari gudang, ketika keluar terus mendengar kalau bos kecelakaan, nggak tau dibawa kemana, ternyata kemari dan sudah mendapat pertolongan."
"Oh, siapa yang membawaku?"
"Seorang gadis bos, dia juga mendonorkan darahnya untuk bos, yang kebetulan darahnya cocog sama bos. Syukurlah."
"Alhamdulillah, siapa gadis itu Kir?"
"Namanya Mirna.."
Kadir terkejut mendengar nama itu. Mirna bukankah nama anaknya? Mirna yang ditnggalkannya bersama Widi? Atau gadis cantik yang dilihatnya selama beberapa hari ini adalah Mirna? Diakah yang membawaku kemari dan mendonorkan darah untuk aku? Beribu pertanyaan memenuhi Benar Kadir, membuatnya pusing. Sukir memijit mijit kepala Kadir.
"Aduuh.. itu luka ku Kir," keluh Kadir karena Sukir memijit persis ditempat lukanya.
"Oh, ma'af, habisnya bos me mijit-mijit kepala bos sendiri, aku kira pusing."
"Dimana alamat gadis itu?"
"Di bagian administrasi ada, nanti aku tanyakan persisnya."
Bersambung #15
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel