Kadir merasa ia harus mendapatkan informasi tentang gadis itu. Apakah dia yang mirip isterinya, yang dilihatnya memasuki tempat kost itu? Dan Mirna itu, bukankah nama anaknya?
"Kir, maukah menolongku?"
"Ya pasti aku mau bos, bagaimana, aku harus melakukan apa?"
"Tolong tanyakan nama dan alamat gadis yang mendonorkan darah untuk aku itu ya."
"Kalau itu karena ingin mengucapkan terimakasih, bos nggak perlu ter buru-buru, aku sudah mengatakannya, yang penting bos harus sembuh dulu."
"Bukan cuma itu.."
"Ada apa sebenarnya bos?"
"Kir, aku kan pernah menceritakan kisah hidupku sama kamu, sehingga aku jadi pelarian, meninggalkan anak gadisku bersama perempuan murahan itu?"
"Ya.. ya, aku masih ingat.."
"Gadis itu, dan nama yang kamu sebutkan itu, seperti nama anakku."
"Oh, masa bos? Tapi nama kan bisa saja sama?"
"Beberapa hari sebelum terjadinya kecelakaan itu, aku melihat gadis itu, yang mirip sekali dengan isteriku yang pertama."
"Oh, lalu bisa mengira itu anak bos dari isteri bos yang pertama?"
"Bukan hanya itu, wajah bisa saja mirip. Begini Kir, sebelum terjadi kecelakaan itu, ketika keluar dari gedung yang sedang kita kerjakan itu, aku melihat lagi gadis itu, sedang berjalan, aku ingin menanyakan siapa dia, penasaran sekali aku, lalu aku menyeberang, dan kurang ber hati-hati sehingga aku tertabrak mobil."
"O, itu kejadiannya?"
"Aku berfikir tentang gadis itu, apakah dia yang membawaku kerumah sakit? Lalu aku mendengar kamu menyebutkan nama Mirna. Aku benar-benar ingin tau tentang gadis itu Kir, tolonglah cari informasi tentang nama dan alamatnya ya."
"Oh, baiklah bos, nanti sepulang dari sini aku mau bertanya kesana. Bos juga harus cepat sembuh ya.. pekerjaan menunggu. Pak Hasan hanya mau menyerahkan pekerjaan yang di Gilingan itu sama bos saja. Dia juga titip ini.. buat bos," kata Sukir sambil menyerahkan sebuah amplop berisi uang."
"Untuk apa ini Kir, kan semua biaya rumah sakit ini sudah ada yang mbayarin, aku nggak butuh uang Kir."
"Jangan begitu bos, mungkin bos ingin ini itu.. pokoknya terima saja, ini rasa simpati dari juragan kita, nggak boleh ditolak. Dia belum bisa menjenguk bos karena sa'at ini lagi pergi ke Jakarta."
"Baiklah kalau begitu. Sampaikan terimakasihku sama pak Hasan ya Kir."
***
Ayud merasa kesal karena sejak berangkat dari rumah sampai ke kantor kakaknya terus menggoda dia yang kabarnya sudah jadian sama Raka.
"Hm, si centhil itu pengin aku cubit bibirnya.. bisa-bisanya ngadu sama mas tentang masalah itu," sungut Ayud.
Adhitama tertawa.
"Itu bukan masalah, itu bagus, aku suka mendengarnya. Kapan sih seorang kakak merasa bahagia? Yaitu apabila adiknya sudah mendapatkan pendamping yang bisa membuatnya bahagia juga."
"Mas yakin, aku akan bahagia?"
"Aku yakin, dia itu baik, penuh tanggung jawab, dan ... dia ganteng kan?"
"Benarkah aku bisa mendampinginya, mengingat aku lebih tua dari dia?"
"Umur itu bukan masalah, kamu itu lebih tua tapi kadang cara berfikir kamu seperti anak-anak. Dan Raka itu lebih dewasa daripada kamu."
Ayud terdiam, bagaimanapun tak ada yang salah, dan apakah dia mencintainya juga? Sepertinya Ayud tak menolak
"Bagaimana dengan mas sendiri? Aku ini lebih muda, harusnya mas Adhit duluan yang mendapatkan jodoh.. bisa-bisa aku kualat."
Adhitama terbahak.
"Nggak ada, apa kualat itu. Kalau memang kamu lebih dulu mendapatkan jodoh, mengapa tidak, silahkan, aku kan laki-laki. Dan laki-laki itu, biar setengah tua masih pantas hidup membujang."
"Huh, dasar mas aja yang susah. Bagaimana dengan Dinda? O, mas mau menunggu Dinda?" ledek Ayud.
"Ah, sudahlah sedih aku kalau teringat itu. Aku kan pernah bilang kalau bapak sama ibu melarang aku menyukai Dinda?"
"Lhah, iya ya mas, jangan-jangan juga aku dilarang deket-deket sama Raka."
"Ya sudah, kamu bilang saja dulu sama bapak atau ibu, nggak tau juga aku alasan yang sebenarnya, padahal keluarganya kan baik sama keluarga kita, sahabatan sejak lama malah."
"Iih, ternyata jatuh cinta itu rumit ya, bukan hanya memikirkan diri kita sendiri, tapi juga harus memikirkan orang-orang dilingkungan kita."
***
Malam itu Galang menerima telephone dari Raharjo.
"Ada apa nih, tumben-tumbenan menelpone malam-malam," kata Galang menyambut telephone itu.
"Kangen sama mas Galang, tapi begini mas, sebenarnya kami mjau ke Jakarta sendiri untuk ketemu mas Galang berdua, tapi lebih baik aku bicara dulu tentang garis besarnya kedatangan kami nanti. "
"Wouw, serius nih tampaknya, ada apa? Masalah apa Jo?"
"Ini masalah anak-anak kita mas."
Galang tiba-tiba merasa cemas, jangan-jangan Adhit sudah bicara sama Raharjo mengenai perasaannya pada Dinda.
"Mas, anak-anak kita ternyata sudah pada besar ya mas, mau tak mau kita harus memikirkan masa depannya, jodoh yang baik untuk mereka... ya kan?"
Galang belum menjawabnya, debaran jantungnya masih terasa kencang.
Kalau ini pembicaraan tentang Adhit dan Dinda, apa yang harus dijawabnya? Raharjo sudah mengatakan tentang jodoh.
Lalu Galang memikirkan sebuah jawaban, yang belum juga ditemukannya.
"Mas, kemarin Raka bilang, bahwa dia jatuh cinta sama Ayudya."
Galang tiba-tiba menghempaskan nafasnya dalam-dalam, lega mendengarnya karena itu tentang Ayud dan Raka, dan itu tentu membuatnya gembira.
"Oh ya? Benar? Serius? Jadi kita mau besanan nih?"
"Kalau mas Galang tidak keberatan."
"Ya enggaklah, sejak ber tahun-tahun lalu kita adalah sahabat, dan aku gembira menyambut berita ini, ayolah, Ayud juga sudah cukup umur."
"Bagaimana dengan Adhitama?"
"Anak itu susah sekali, nggak apa-apa kalau dia harus belakangan Jo, dia kan laki-laki."
"Kalau begitu nanti aku bicara sama Retno, mungkin dalam waktu dekat kami akan melamar secara resmi, tapi ya itu mas, Raka kan baru memulai kariernya, mungkin belum bisa mencukupi seandainya dia buru-buru cari isteri."
"Itu bisa kita pikirkan nanti, semua orang berangkat dari nol. Kami ingat bagaimana aku, juga mungkin kamu Jo, dulu kita juga tak punya apa-apa, janganlah hidup itu mendongak keatas Jo, menunduklah kebawah, agar kita tidak takut melangkah."
"Senang mendengar mas Galang bicara begitu, nanti aku kabari Raka ya mas, kalau mas Galang sudah setuju."
"Aku tunggu kedatangan kamu Jo."
Galang menutup telephone dengan perasaan lega. Entah mengapa, alasan adanya hubungan Raka dan Ayud sedikit membuatnya terhibur, barangkali bisa dijadikan alasan penolakan perasaan Adhit kepada Dinda.
Namun Putri yang mendengar berita itu justru merasa khawatir.
"Mengapa kamu ragu-ragu, Putri?"
"Bagaimana kalau Galang protes"
"Protes bagaimana maksudmu?"
"Apa dia nggak akan marah, kalau Adhit suka sama Dinda ditolak, mengapa Raka dan Ayud diijinkan?"
"Itu kan alasan usia, pasti Adhit bisa menerimanya."
"Belum tentu mas, ah.. mas nggak tau aja, waktu di Solo itu sikap Adhit sama ibu dingin sekali lho, sepertinya dia nggak suka dia menolak hubungan dia sama Dinda, padahal menurut aku, Dinda itu benar-benar masih seperti kanak-kanak. Tapi Adhit kayaknya susah melepaskannya."
"Coba saja kita lihat nanti. Kita harus memikirkan satu demi satu dulu. Biarlah sekarang Ayud, setelah itu baru Adit. "
"Ibu bilang, nanti kalau Dinda sudah mulai kuliah, ibu akan menyarankan agar Dinda kost saja didekat kampus, supaya nggak capek, gitu saran ibu, dan kayaknya sudah disampaikan ke Dinda."
"Apa benar itu bisa menghalangi tidak akan terjadi apa-apa kalau Dinda sudah pindah rumah?"
"Namanya juga usaha mas, nggak tau nanti, aku mulai pusing kalau memikirkan itu. Teringat kembali kesalahanku.." kata Putri sedih.
"Sudahlah.. nggak mau aku kalau kamu jadi sedih begitu," kata Galang sambil memeluk isterinya. Dan sesungguhnya sikap Galang yang selalu melindungi inilah yang membuatnya semakin jatuh cinta.
***
Sore hari sepulang kerja, Sukir kembali mampir kerumah sakit. Ia sudah mendapatkan keterangan dari rumah sakit mengenai pendonor darah itu, dan bahkan sudah mencari ke alamat yang tercatat disana.
"Bos, aku sudah mendapatkan alamat gadis itu."
"Tunggu Kir, siapa nama gadis itu ? Benarkah Mirna?"
"Mirna Aryati.. ini alamatnya, aku catat lengkap, berikut Rt Rw dan nomor rumahnya."
"Kamu ketemu dia? Dia tinggal dirumah kost didepan gedung yang kita bangun itu kan?"
"Bukan, ini kampung Nusukan, jauh dari sini, dan bukan di tempat kost itu."
"Bukan? Tapi itu nama anakku. Bukan gadis itu rupanya?"
"Nggak tau aku bos, tapi dengar dulu. Rumah gadis itu, dijaga polisi."
"Apa?"
"Katanya pemilik rumah buron, dan sudah ber hari-hari jadi incaran polisi, jadi rumah itu kosong."
"Kosong ? Incaran polisi? "
"Eh.. bos mau ngapain, jangan begitu, tiduran saja dulu, biar cepat pulih." kata Sukir begitu melihat Kadir berusaha bangkit.
"Apa yang dilakukan gadis itu Kir?"
"Nggak jelas bos, katanya kasus penganiayaan dan pembunuhan."
"Ya Tuhan, apa yang dilakukannya? Dan itu sebabnya maka ia tinggal dirumah kost itu?"
"Entahlah bos, rumah kost yang mana .. gadisnya seperti apa, aku tidak tau kalau yang dirumah kost itu."
"Kir, aku ingin pulang saja."
"Lho bos, bagaimana ini, kepala masih di perban-perban kayak begitu kok ingin pulang, sabar lah bos, jangan terburu buru begitu."
"Kalau begitu aku mau minta tolong kamu lagi."
"Baiklah, aku harus melakukan apa lagi."
"Datanglah ke rumah kost itu, dan tanyakan, apakah ada yang bernama Mirna disana, terus nyatakan apa benar dia pendonor darah itu."
"Oh, begitu ya, baiklah bos, aku akan mencari tau tentang gadis bernama Mirna itu disana."
Namun sebelum Sukir pamit untuk kembali, tiba-tiba muncullah Mirna diruangan itu. Ia ingin melihat keadaan orang yang telah ditolongnya. Dan serta merta pandangan Kadir menjadi kabur, oleh air mata yang mengambang di pelupuknya.
Ia berada dekat sekali dengan seseorang, yang wajahnya mirip sekali dengan isteri pertamanya.
"Apakah namamu Mirna ?" bisik Kadir lirih..
==========
Mirna tercengang, semakin dekat ia melangkah kearah pembaringan Kadir, beberapa ingatan berkelebat.. benar ia merasa pernah mengenal lelaki ini, apalagi ketika mendengar suaranya, lalu menyebut namanya.
"Benarkah kamu Mirna?" serak suara Kadir ketika Mirna sudah berdiri disamping tempatnya berbaring.
"Bapak?" tiba-tiba ingatan itu menjadi jelas dikepalanya.
Wajah itu, wajah bapaknya yang pergi setelah peristiwa tragis itu.
"Apa kamu anakku ?"
"Bapak, ini Mirna... bapak?" tiba-tiba saja Mirna menubruk kedada Kadir dan menangis tersedu disana. Sukir yang menyaksikan adegan itu merasa terharu.
Jadi benar bahwa Kadir memang merasa bertemu dengan anaknya, dan Tuhan mengabulkan kerinduan yang tersimpan didada ayah dan anak itu.
Kerinduan akan memiliki keluarga, kerinduan akan kasih sayang seorang darah daging.
"Lama sekali, baru bisa bertemu denganmu nak, bapak sangat rindu. Kamu sudah dewasa, dan cantik seperti ibumu. Karena wajahmu yang mirip itulah aku kemudian berusaha menemuimu. Dan itu benar, kamu adalah anakku," bisik Kadir pelan ditelinga Mirna.
Mirna bangkit, mengusap air matanya yang bercucuran. Tak disangka laki-laki setengah tua yang ditolongnya, diselamatkannya nyawanya dengan tetesan darahnya, adalah ayah kandungnya.
"Oh ya, ini anak buahku, namanya Sukir.. " kata Kadir memperkenalkan temannya.
"Kami sudah berkenalan pak." jawab Mirna sambil tersenyum.
"Sukir telah membantuku mencarimu, kealamat yang tertulis setelah kamu mendonorkan darahmu, tapi rumah itu dijaga poliisi, apa kamu berurusan dengan polisi? Dengan siapa selama ini kamu tinggal? " ber tubi-tubi pertanyaan Kadir.
Sukir mengambil sebuah kursi, dan mempersilahkan Mirna duduk.
"Mirna bahkan tak tau, sebenarnya Mirna anak siapa, setelah mengetahui bahwa ibu Widi ternyata tak bisa melahirkan seorang anakpun setelah rahimnya diangkat."
"Ceritakanlah semuanya nak."
Dan Mirna pun menceritakan semuanya, sampai kemudian ibunya berusaha membunuhnya dan sekarang menjadi buron.
***
Adhit melihat wajah Mirna ber seri-seri pagi itu.
Ada sedikit rasa heran, karena biasanya Mirna hanya fokus kepada pekarjaannya dengan wajah yang selalu murung. Ia ingin bertanya tapi diurungkannya. Ia tak mau dianggap terlalu perhatian kepada sekretarisnya.
"Saya sudah bertemu bapak saya," tiba-tiba suara itu memberikan jawaban atas pertanyaann yang dipendamnya.
Adhit menatap wajah berseri itu dengan rasa ikut bergembira.
"Benarkah? Dimana, dan bagaimana caranya?"
"Beberapa hari yang lalu saya menolong seorang laki-laki setengah tua yang tertabrak mobil didepan rumah kost saya."
"Oh ya, Ayud sudah cerita, lalu kamu juga mendonorkan darah kamu bukan?"
"Ternyata dia bapak saya."
"Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku ikut senang mendengarnya. Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Sudah lebih baik, tapi masih pusing-pusing, dokter belum mengijinkannya pulang."
"Semoga segera membaik ya."
"Terimakasih pak," sahut Mirna.
Ada harapan untuk menemukan kehidupan yang baru, sebuah keluarga walau tanpa ibu, tapi ada tempat untuk bersandar ketika hati sedang gulana. Itu membuat Mirna sangat bersemangat.
Seperti ketika setiap sore sepulang kantor ia selalu menjenguk ayahnya ke rumah sakit, membawakan apa saja yang bapaknya inginkan, dan memberinya semangat agar segera pulih.
"Apa rencana bapak setelah sembuh nanti?"
"Belum tau nak, masih memikirkan kondisi bapak ini dulu,tapi yang jelas bapak akan tetap bekerja."
"Menurut Mirna, bapak nggak usah bekerja saja, biar Mirna yang bekerja."
Kadir tertawa, ia terharu karena anak gadisnya memperhatikannya.Tapi Kadis merasa masih kuat, mana mau ia duduk berpangku tangan dan membiarkan anak gadisnya menghidupinya?
"Bapak ini walau sudah setengah tua, tapi kan masih kuat bekerja nak, mana mungkin aku mau menjadi beban anakku? Tidak, nanti setelah sembuh bapak akan tetap bekerja, dan kamu jangan terlalu menghawatirkan bapak."
"Baiklah, kita lihat saja nanti.. yang penting bapak harus sehat dulu kan?"
***
Pagi hari ketika libur, Mirna pergi ke rumah pondokan ayahnya yang letaknya agak jauh dari rumah sakit tempat dia dirawat. Ia ingin melihat seperti apa, dan membenahi barang-barang yang mungkin tidak pantas dan harus dibersihkan.
Kadir hanya menyewa sebuah kamar tidur yang sangat sederhana.
Kamar mandi yang dipergunakan untuk ber enam dari orang-orang yang tinggal atau menyewa tempat itu. Tak ada ruangan lain kecuali sepetak kamar dengan alas tidur dari kasur busa tilis yang digelar di lantai. Ada almari usang yang tak berisi banyak barang-barang. Beberapa lembar pakaian yang kebanyakan lusuh, dan ada sebuah dompet berisi 4 lembaran puluhan ribu dan beberapa lembar dua ribuan. Ada juga sebuah meja, termos kecil diatasnya, gelas kosong dan sendok yang tidak terpakai.
Rupanya sebelum pergi Kadir telah mencuci semua peralatan makannya. Lalu kaca dan sisir yang dekil... ah.. seorang laki-laki sering tidak perduli pada kerapian dan kebersihan.
Tapi Mirna merapikan semuanya, baik almari dan semua yang ada disekitarnya. Ia ingin, kalau pulang nanti ayahnya akan merasa lebih nyaman. Ia juga ingin mengganti seprei kumal yang menutupi kasur tipis itu, tapi ia harus membelikannya lebih dulu karena tak ada persediaan sprei disitu,
"Pak, saya nanti akan bawa kunci kamarnya bapak ya, besok mau saya bawakan seprei yang bersih," kata Mirna kepada pak Sukir yang menemaninya.
"Ya, silahkan mbak, kalau perlu bantuan saya pasti siap."
"Ya pak, terimakasih banyak," kata Mirna sambil membersihkan kamar itu dari sebu-debu yang sudah menebal. Dan membuka lebar2 pintu kamarnya agar bau pengap dan penguk segera lenyap.
***
Mirna benar-benar merasa memiliki semangat untuk hidup. Ia lupakan semua masa lalunya yang pahit, yang kadang menyiksa dan terakhir benar-benar membuatnya tersiksa.
Sesa'at ia melupakan rasa kagumnya terhadap pria ganteng yang selalu duduk dihadapannya. Yang selalu tampak gagah dan berwibawa, yang memiliki senyum selangit manisnya. Ah, tidak lagi, ia sedang bersemangat karena menemukan ayah yang mengukir jiwa raganya.
Yang baru diketahuinya bahwa ia adalah darah dagingnya, justru dari umpatan ibu Widi nya sebelum menyiksanya. Ini anugerah, ini membuatnya benar-benar hidup..
***
Siang itu Adhit sengaja membiarkan Ayud makan siang hanya bersama Raka, yang nyamperin ketika selesai mengajar.
Ia akan makan diluar, dan tiba-tiba timbul niyatnya untuk mengajak Mirna. Apa salahnya sekali-sekali makan bersama sekretarisnya?
"Mirna .."
"Ya pak..?"
"Kamu mau menemani aku makan siang ?"
Mirna berdebar, ia merasa sedang bermimpi, ingin rasanya segera mengangguk se keras-kerasnya agar bos gantengnya tau bahwa ia sungguh mau makan bersamanya.
Tapi tiba-tiba diingatnya bahwa ia harus belanja seprei dan semua kebutuhan ayahnya yang harus disiapkannya.
"Mm, ma'af pak... siang ini saya ada keperluan," jawabnya pelan.
"Oh, gitu ya... baiklah, nggak apa-apa, aku mau makan dirumah saja."
"Ma'af pak.."
"Nggak apa-apa, so'alnya bu Ayud sudah keluar duluan dari tadi."
Lalu Adhit berdiri dan melangkah keluar.
Tiba-tiba saja ia ingin makan dirumah, supaya bertemu Dinda, dan bisa makan bersamanya.
Diam-diam Adhit ber debar-debar. Bagaimana caranya menghilangkan perasaan ini?
***
Dinda berlari kecil kearah depan ketika mendengar mobil memasuki halaman. Wajahnya berseri ketika melihat Adhit turun dari mobil. Ia segera berlari mendekat.
"Mana mbak Ayud?" tanyanya riang.
"Digondol kakakmu..." jawab Adhit sambil tersenyum, lalu berjalan masuk kerumah sambil merangkul bahu Dinda.
"Haa... senangnya. Karena itu lalu mas Adhit pulang? Mau makan dirumah? Eyang baru saja menata meja, kita bisa makan bersama, horeee.."
Celoteh Dinda selalu menggemaskan. Ingin rasanya menggigit bibir yang tak pernah berhenti mengoceh itu. Namun dari dalam bu Broto keluar sambil memandang kurang suka.
"Dinda, tadi katanya mau bantuin eyang menata meja, kok malah lari kedepan." tegurnya.
"Oh, iya eyang, habisnya mendengar mobil mas Adhit datang. Baiklah, biar Dinda melanjutkan menata mejanya," kata Dinda sambil berlari kebelakang.
Namung Adhit tau, neneknya kurang suka melihat keakraban itu.
Adhit menghela nafas panjang, lalu menuju kebelakang untuk mencuci tangannya.
"Tumben kamu pulang siang, nggak makan sama adikmu?" tegur bu Broto sambil mengikuti langkah cucunya.
"Ayud sudah makan bersama Raka," jawab Adhit singkat.
"Oh ya, kemarin ibumu menelpon, katanya Raka mau melamar Ayud, itu benar kan?"
"Mungkin yang.."dan Raka menghilang dibalik kamar mandi. Bu Broto tau bahwa Adhit kurang suka terhadap sikapnya terhadap Dinda, namun ia harus melakukannya. Hal yang salah tak bisa dilanjutkan. Rahasia harus tetap tersimpan rapi, demi menutupi aib, demi sebuah harga diri. Tapi bisakah? Bukankah se pandai-pandai menyimpan bangki pasti akan tercium juga bau busuknya?
***
Makan siang hari itu terasa sangat nikmat. Raka tak bosan-bosannya memandang wajah Ayud yang asyik mengunyah makanannya sambil sesekali melirik kepadanya. Sebentar lagi Ayud akan menjadi isterinya, itu kata ibunya yang telah mendengar kisah cintanya. Ia tentu sangat berbahagia.
Dalam waktu dekat Raharjo dan Retno akan ke Jakarta.
"Apakah kita harus ke Jakarta juga?" tanya Raka.
"Ke Jakarta, ngapain ?"
"Bapak sama ibu akan segera melamar kamu."
"Oh ya? Secepat itu?"
"Memangnya kenapa?"
"Sudah buru-buru pengin kawin ?"
"Bukan..."
"Apa?"
"Menikah lah..." lalu keduanya tertawa lucu.
"Aku mau ke Jakarta, ketika bapak dan ibu kesana nanti."
"Kapan ?"
"Belum tau, nanti pasti mereka mengabari. Kamu mau ikut kan?"
"Kita lihat saja nanti, kalau mas Adhit mengijinkan."
"Ya pasti mengijinkan lah, mas Adhit kan yang selalu mendorong dorong aku juga supaya cepat-cepat melamar kamu."
"O, jadi kalian sekongkol ya? Mas Adhit, kamu, Dinda..."
"Sekongkol untuk hal yang baik kan nggak ada salahnya."
"Hm...gitu ? Oh ya Raka, kamu tau nggak kalau sebenarnya mas Adhit suka sama Dinda?"
"Haa... sama si centil itu? Aneh mas Adhit, susah sekali jatuh cinta, taunya suka sama adikku?"
"Bagaimana menurut pendapat kamu?"
"Terserah saja, kalau yang mau menjalaninya suka, aku bisa apa? Aku senang kita tetap menjadi satu keluarga. Tapi Dinda kan masih sangat muda."
"Benar, dan Dinda itu suka juga sama mas Adhit, aku juga nggak tau. Tapi ketika mas Adhit bilang sama bapak, bapak melarangnya keras. Demikian juga ibu."
"Masa? Karena Dinda masih kecil menurut mereka?"
"Nggak tau. Mas Adhit sedih lho karena itu."
"Kalau mau menikah sekarang ya pasti belum boleh, kan Dinda masih harus kuliah, oh ya, besok kan pengumuman dia diterima atau tidak di universitas pilihannya itu."
"Mas Adhit sudah bilang tidak akan menikahi sekarang. Tapi baru bilang suka saja sudah ditentang."
"Mengapa aku diterima? Ah, diterima kah? Jangan-jangan tidak. Bagaimana kalau om Galang juga menolak aku? Aku tau sih, aku kan cuma..."
"Sst.. sudah jangan dilanjutin, bapak sama ibu nggak bilang menolak kok. Mereka sudah menelpon aku."
"Oh,syukurlah..."
***
"Besok mereka jadi datang kan mas?" tanya Putri di sore itu.
"Katanya begitu, dan katanya lagi Raka sama Ayud juga mau datang. Tapi belum tau, Adhit belum mengabari."
Dering telepone membuat percakapan mereka berheenti.
"Dari Raharjo,... hallo Jo..." sapa Galang ramah.
"Besok kita mau ke Jakarta, " kata Raharjo dari seberang.
"Iya, aku sama ibunya Adhit baru berbicara so'al itu.Kabarnya Raka sama Ayud juga mau datang?"
"Iya, katanya begitu. Biarlah mas, kita kan lama-lama juga memang harus menjadi tua, senang rasanya kita bisa besanan."
"Iya, aku juga berfikiran begitu."
"Dengar mas, kita ini kan sama-sama punya seorang anak gadis dan seorang anak laki-laki. Aku juga, mas Galang juga. Kalau keduanya bisa menjadi pasangan alangkah menyenangkan." kata Raharjo yang membuat Galang terkejut seketika.
"Apa maksudmu Jo?"
"Raka mau menikah dengan Ayud, kalau Adhit mau menunggu dan kelak bisa berdampingan dengan Dinda, bukankah itu sangat membahagiakan?"
"Tidak Jo, tidaaaak!" suara Galang hampir berteriak.
"Benarkah kamu Mirna?" serak suara Kadir ketika Mirna sudah berdiri disamping tempatnya berbaring.
"Bapak?" tiba-tiba ingatan itu menjadi jelas dikepalanya.
Wajah itu, wajah bapaknya yang pergi setelah peristiwa tragis itu.
"Apa kamu anakku ?"
"Bapak, ini Mirna... bapak?" tiba-tiba saja Mirna menubruk kedada Kadir dan menangis tersedu disana. Sukir yang menyaksikan adegan itu merasa terharu.
Jadi benar bahwa Kadir memang merasa bertemu dengan anaknya, dan Tuhan mengabulkan kerinduan yang tersimpan didada ayah dan anak itu.
Kerinduan akan memiliki keluarga, kerinduan akan kasih sayang seorang darah daging.
"Lama sekali, baru bisa bertemu denganmu nak, bapak sangat rindu. Kamu sudah dewasa, dan cantik seperti ibumu. Karena wajahmu yang mirip itulah aku kemudian berusaha menemuimu. Dan itu benar, kamu adalah anakku," bisik Kadir pelan ditelinga Mirna.
Mirna bangkit, mengusap air matanya yang bercucuran. Tak disangka laki-laki setengah tua yang ditolongnya, diselamatkannya nyawanya dengan tetesan darahnya, adalah ayah kandungnya.
"Oh ya, ini anak buahku, namanya Sukir.. " kata Kadir memperkenalkan temannya.
"Kami sudah berkenalan pak." jawab Mirna sambil tersenyum.
"Sukir telah membantuku mencarimu, kealamat yang tertulis setelah kamu mendonorkan darahmu, tapi rumah itu dijaga poliisi, apa kamu berurusan dengan polisi? Dengan siapa selama ini kamu tinggal? " ber tubi-tubi pertanyaan Kadir.
Sukir mengambil sebuah kursi, dan mempersilahkan Mirna duduk.
"Mirna bahkan tak tau, sebenarnya Mirna anak siapa, setelah mengetahui bahwa ibu Widi ternyata tak bisa melahirkan seorang anakpun setelah rahimnya diangkat."
"Ceritakanlah semuanya nak."
Dan Mirna pun menceritakan semuanya, sampai kemudian ibunya berusaha membunuhnya dan sekarang menjadi buron.
***
Adhit melihat wajah Mirna ber seri-seri pagi itu.
Ada sedikit rasa heran, karena biasanya Mirna hanya fokus kepada pekarjaannya dengan wajah yang selalu murung. Ia ingin bertanya tapi diurungkannya. Ia tak mau dianggap terlalu perhatian kepada sekretarisnya.
"Saya sudah bertemu bapak saya," tiba-tiba suara itu memberikan jawaban atas pertanyaann yang dipendamnya.
Adhit menatap wajah berseri itu dengan rasa ikut bergembira.
"Benarkah? Dimana, dan bagaimana caranya?"
"Beberapa hari yang lalu saya menolong seorang laki-laki setengah tua yang tertabrak mobil didepan rumah kost saya."
"Oh ya, Ayud sudah cerita, lalu kamu juga mendonorkan darah kamu bukan?"
"Ternyata dia bapak saya."
"Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku ikut senang mendengarnya. Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Sudah lebih baik, tapi masih pusing-pusing, dokter belum mengijinkannya pulang."
"Semoga segera membaik ya."
"Terimakasih pak," sahut Mirna.
Ada harapan untuk menemukan kehidupan yang baru, sebuah keluarga walau tanpa ibu, tapi ada tempat untuk bersandar ketika hati sedang gulana. Itu membuat Mirna sangat bersemangat.
Seperti ketika setiap sore sepulang kantor ia selalu menjenguk ayahnya ke rumah sakit, membawakan apa saja yang bapaknya inginkan, dan memberinya semangat agar segera pulih.
"Apa rencana bapak setelah sembuh nanti?"
"Belum tau nak, masih memikirkan kondisi bapak ini dulu,tapi yang jelas bapak akan tetap bekerja."
"Menurut Mirna, bapak nggak usah bekerja saja, biar Mirna yang bekerja."
Kadir tertawa, ia terharu karena anak gadisnya memperhatikannya.Tapi Kadis merasa masih kuat, mana mau ia duduk berpangku tangan dan membiarkan anak gadisnya menghidupinya?
"Bapak ini walau sudah setengah tua, tapi kan masih kuat bekerja nak, mana mungkin aku mau menjadi beban anakku? Tidak, nanti setelah sembuh bapak akan tetap bekerja, dan kamu jangan terlalu menghawatirkan bapak."
"Baiklah, kita lihat saja nanti.. yang penting bapak harus sehat dulu kan?"
***
Pagi hari ketika libur, Mirna pergi ke rumah pondokan ayahnya yang letaknya agak jauh dari rumah sakit tempat dia dirawat. Ia ingin melihat seperti apa, dan membenahi barang-barang yang mungkin tidak pantas dan harus dibersihkan.
Kadir hanya menyewa sebuah kamar tidur yang sangat sederhana.
Kamar mandi yang dipergunakan untuk ber enam dari orang-orang yang tinggal atau menyewa tempat itu. Tak ada ruangan lain kecuali sepetak kamar dengan alas tidur dari kasur busa tilis yang digelar di lantai. Ada almari usang yang tak berisi banyak barang-barang. Beberapa lembar pakaian yang kebanyakan lusuh, dan ada sebuah dompet berisi 4 lembaran puluhan ribu dan beberapa lembar dua ribuan. Ada juga sebuah meja, termos kecil diatasnya, gelas kosong dan sendok yang tidak terpakai.
Rupanya sebelum pergi Kadir telah mencuci semua peralatan makannya. Lalu kaca dan sisir yang dekil... ah.. seorang laki-laki sering tidak perduli pada kerapian dan kebersihan.
Tapi Mirna merapikan semuanya, baik almari dan semua yang ada disekitarnya. Ia ingin, kalau pulang nanti ayahnya akan merasa lebih nyaman. Ia juga ingin mengganti seprei kumal yang menutupi kasur tipis itu, tapi ia harus membelikannya lebih dulu karena tak ada persediaan sprei disitu,
"Pak, saya nanti akan bawa kunci kamarnya bapak ya, besok mau saya bawakan seprei yang bersih," kata Mirna kepada pak Sukir yang menemaninya.
"Ya, silahkan mbak, kalau perlu bantuan saya pasti siap."
"Ya pak, terimakasih banyak," kata Mirna sambil membersihkan kamar itu dari sebu-debu yang sudah menebal. Dan membuka lebar2 pintu kamarnya agar bau pengap dan penguk segera lenyap.
***
Mirna benar-benar merasa memiliki semangat untuk hidup. Ia lupakan semua masa lalunya yang pahit, yang kadang menyiksa dan terakhir benar-benar membuatnya tersiksa.
Sesa'at ia melupakan rasa kagumnya terhadap pria ganteng yang selalu duduk dihadapannya. Yang selalu tampak gagah dan berwibawa, yang memiliki senyum selangit manisnya. Ah, tidak lagi, ia sedang bersemangat karena menemukan ayah yang mengukir jiwa raganya.
Yang baru diketahuinya bahwa ia adalah darah dagingnya, justru dari umpatan ibu Widi nya sebelum menyiksanya. Ini anugerah, ini membuatnya benar-benar hidup..
***
Siang itu Adhit sengaja membiarkan Ayud makan siang hanya bersama Raka, yang nyamperin ketika selesai mengajar.
Ia akan makan diluar, dan tiba-tiba timbul niyatnya untuk mengajak Mirna. Apa salahnya sekali-sekali makan bersama sekretarisnya?
"Mirna .."
"Ya pak..?"
"Kamu mau menemani aku makan siang ?"
Mirna berdebar, ia merasa sedang bermimpi, ingin rasanya segera mengangguk se keras-kerasnya agar bos gantengnya tau bahwa ia sungguh mau makan bersamanya.
Tapi tiba-tiba diingatnya bahwa ia harus belanja seprei dan semua kebutuhan ayahnya yang harus disiapkannya.
"Mm, ma'af pak... siang ini saya ada keperluan," jawabnya pelan.
"Oh, gitu ya... baiklah, nggak apa-apa, aku mau makan dirumah saja."
"Ma'af pak.."
"Nggak apa-apa, so'alnya bu Ayud sudah keluar duluan dari tadi."
Lalu Adhit berdiri dan melangkah keluar.
Tiba-tiba saja ia ingin makan dirumah, supaya bertemu Dinda, dan bisa makan bersamanya.
Diam-diam Adhit ber debar-debar. Bagaimana caranya menghilangkan perasaan ini?
***
Dinda berlari kecil kearah depan ketika mendengar mobil memasuki halaman. Wajahnya berseri ketika melihat Adhit turun dari mobil. Ia segera berlari mendekat.
"Mana mbak Ayud?" tanyanya riang.
"Digondol kakakmu..." jawab Adhit sambil tersenyum, lalu berjalan masuk kerumah sambil merangkul bahu Dinda.
"Haa... senangnya. Karena itu lalu mas Adhit pulang? Mau makan dirumah? Eyang baru saja menata meja, kita bisa makan bersama, horeee.."
Celoteh Dinda selalu menggemaskan. Ingin rasanya menggigit bibir yang tak pernah berhenti mengoceh itu. Namun dari dalam bu Broto keluar sambil memandang kurang suka.
"Dinda, tadi katanya mau bantuin eyang menata meja, kok malah lari kedepan." tegurnya.
"Oh, iya eyang, habisnya mendengar mobil mas Adhit datang. Baiklah, biar Dinda melanjutkan menata mejanya," kata Dinda sambil berlari kebelakang.
Namung Adhit tau, neneknya kurang suka melihat keakraban itu.
Adhit menghela nafas panjang, lalu menuju kebelakang untuk mencuci tangannya.
"Tumben kamu pulang siang, nggak makan sama adikmu?" tegur bu Broto sambil mengikuti langkah cucunya.
"Ayud sudah makan bersama Raka," jawab Adhit singkat.
"Oh ya, kemarin ibumu menelpon, katanya Raka mau melamar Ayud, itu benar kan?"
"Mungkin yang.."dan Raka menghilang dibalik kamar mandi. Bu Broto tau bahwa Adhit kurang suka terhadap sikapnya terhadap Dinda, namun ia harus melakukannya. Hal yang salah tak bisa dilanjutkan. Rahasia harus tetap tersimpan rapi, demi menutupi aib, demi sebuah harga diri. Tapi bisakah? Bukankah se pandai-pandai menyimpan bangki pasti akan tercium juga bau busuknya?
***
Makan siang hari itu terasa sangat nikmat. Raka tak bosan-bosannya memandang wajah Ayud yang asyik mengunyah makanannya sambil sesekali melirik kepadanya. Sebentar lagi Ayud akan menjadi isterinya, itu kata ibunya yang telah mendengar kisah cintanya. Ia tentu sangat berbahagia.
Dalam waktu dekat Raharjo dan Retno akan ke Jakarta.
"Apakah kita harus ke Jakarta juga?" tanya Raka.
"Ke Jakarta, ngapain ?"
"Bapak sama ibu akan segera melamar kamu."
"Oh ya? Secepat itu?"
"Memangnya kenapa?"
"Sudah buru-buru pengin kawin ?"
"Bukan..."
"Apa?"
"Menikah lah..." lalu keduanya tertawa lucu.
"Aku mau ke Jakarta, ketika bapak dan ibu kesana nanti."
"Kapan ?"
"Belum tau, nanti pasti mereka mengabari. Kamu mau ikut kan?"
"Kita lihat saja nanti, kalau mas Adhit mengijinkan."
"Ya pasti mengijinkan lah, mas Adhit kan yang selalu mendorong dorong aku juga supaya cepat-cepat melamar kamu."
"O, jadi kalian sekongkol ya? Mas Adhit, kamu, Dinda..."
"Sekongkol untuk hal yang baik kan nggak ada salahnya."
"Hm...gitu ? Oh ya Raka, kamu tau nggak kalau sebenarnya mas Adhit suka sama Dinda?"
"Haa... sama si centil itu? Aneh mas Adhit, susah sekali jatuh cinta, taunya suka sama adikku?"
"Bagaimana menurut pendapat kamu?"
"Terserah saja, kalau yang mau menjalaninya suka, aku bisa apa? Aku senang kita tetap menjadi satu keluarga. Tapi Dinda kan masih sangat muda."
"Benar, dan Dinda itu suka juga sama mas Adhit, aku juga nggak tau. Tapi ketika mas Adhit bilang sama bapak, bapak melarangnya keras. Demikian juga ibu."
"Masa? Karena Dinda masih kecil menurut mereka?"
"Nggak tau. Mas Adhit sedih lho karena itu."
"Kalau mau menikah sekarang ya pasti belum boleh, kan Dinda masih harus kuliah, oh ya, besok kan pengumuman dia diterima atau tidak di universitas pilihannya itu."
"Mas Adhit sudah bilang tidak akan menikahi sekarang. Tapi baru bilang suka saja sudah ditentang."
"Mengapa aku diterima? Ah, diterima kah? Jangan-jangan tidak. Bagaimana kalau om Galang juga menolak aku? Aku tau sih, aku kan cuma..."
"Sst.. sudah jangan dilanjutin, bapak sama ibu nggak bilang menolak kok. Mereka sudah menelpon aku."
"Oh,syukurlah..."
***
"Besok mereka jadi datang kan mas?" tanya Putri di sore itu.
"Katanya begitu, dan katanya lagi Raka sama Ayud juga mau datang. Tapi belum tau, Adhit belum mengabari."
Dering telepone membuat percakapan mereka berheenti.
"Dari Raharjo,... hallo Jo..." sapa Galang ramah.
"Besok kita mau ke Jakarta, " kata Raharjo dari seberang.
"Iya, aku sama ibunya Adhit baru berbicara so'al itu.Kabarnya Raka sama Ayud juga mau datang?"
"Iya, katanya begitu. Biarlah mas, kita kan lama-lama juga memang harus menjadi tua, senang rasanya kita bisa besanan."
"Iya, aku juga berfikiran begitu."
"Dengar mas, kita ini kan sama-sama punya seorang anak gadis dan seorang anak laki-laki. Aku juga, mas Galang juga. Kalau keduanya bisa menjadi pasangan alangkah menyenangkan." kata Raharjo yang membuat Galang terkejut seketika.
"Apa maksudmu Jo?"
"Raka mau menikah dengan Ayud, kalau Adhit mau menunggu dan kelak bisa berdampingan dengan Dinda, bukankah itu sangat membahagiakan?"
"Tidak Jo, tidaaaak!" suara Galang hampir berteriak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel