Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 07 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #16

Cerita bersambung

Raharjo terkejut mendengar teriakan Galang. Ini tidak sewajarnya. Sebuah penolakan keras yang tak akan boleh diganggu gugat. Sesa'at Raharjo tak bisa ber kata-kata. Tapi pembicaraan itu belum terputus.

"Mas, ada apa mas? Kenapa berteriak?" tanya Raharjo bingung.

Galang menyadari keterkejutannya dengan teriak yang pastilah terasa tidak wajar. Ia menghembuskan nafas setelah menariknya dalam-dalam.

"Ma'af Jo.."

"Ada apa mas ?"
"Aku... aku terkejut saja... ma'af ya."
"Apa usulku berlebihan? Dan itu membuat mas Galang agak... mm.. marah kah?" tanya Raharjo hati-hati.
"Tidak, bukan begitu.. aduuh.. kenapa juga aku ini. Baiklah, kita selesaikan satu persatu saja dulu ya Jo, so'al Raka dan Dinda. Oh ya, besok datang pagi bukan?"

Galang mencoba menyembunyikan ke gelisahannya, tapi tak urung hal itu membuat perasaan aneh di hati Raharjo.

"Aku berusaha datang pagi, nggak tau anak-anak akan datang jam berapa," jawab Raharjo kemudian.
"Baiklah, aku tunggu ya Jo."

Galang menutup pembicaraan itu dengan perasaan tak menentu. Ia terkejut ketika Raharjo mengusulkan perjodohan untuk anak-anak mereka. Raharjo tidak tau apa-apa, Raharjo tak akan pernah menyadari siapa sebenarnya Adhit.

"Ada apa mas?" tanya Putri yang sedari tadi mendengarkan Galang berbicara dengan Raharjo.
"Nggak ada, besok mereka akan datang, mungkin kalau bisa pesawat terpagi."
"Tapi mas Galang kok kelihatan aneh?"

Galang tersenyum, ia tak ingin membebani perasaan isterinya dengan usulan Raharjo yang mengejutkan.

"Aneh bagaimana? Perasaan aku biasa-biasa saja."
"Tadi mas pakai berteriak .." Putri masih curiga.
"Aaah,, biasa, Raharjo kan suka bercanda, sudah jangan pikirkan. Minta simbok menata kamar buat tamu-tamu kita nanti."

Putri hanya mengangguk, tapi yang didengarnya tadi bukan candaan. Ah, entahlah, kalau suaminya berkata tidak apa-apa, sebaiknya dia juga merasa bahwa tidak ada apa-apa.
***

Pagi itu Adhit sudah bersiap-siap berangkat mengantar Ayud ke airport, tapi ia harus menjemput Raka terlebih dulu. Raka sudah melarangnya dan bersedia datang untuk berangkat bersama tapi Adhit memaksa untuk menjemputnya. Ketika Ayud sudah siap, Dinda ber lari-lari mendekat.

"Aku ikuuut..." teriaknya.
"Hm... kenapa nggak dari tadi? Buruan ganti baju.."
"Nggak usah, ini bagus kan?"

Dinda memutar badannya bak seorang peragawati, dengan hot pant sebatas paha bahan jean berdan kaos berlengan pendek berwarna biru muda, Dinda merasa sudah pantas dan tentu saja cantik
Adhit tersenyum,  menurutnya dengan pakaian apapun Dinda tampak cantik dan menawan. Senang dong kalau Dinda ikut, nanti pulangnya bisa berduaan, mungkin mengajaknya makan es krim, atau apalah yang bisa membuat mereka senang.

Tapi tiba-tiba bu Broto ikut menimpali.

"Aku juga mau ikut lho..." katanya, sudah dengan baju bagus dan tas kecil ditenteng ditangan kirinya.
Ayud tertawa, dan Adhit kehilangan senyumnya.
"Adduh, jadi rame nih... ayo mas berangkat."
"Aku duduk sama eyang dibelakang," kata Dinda yang sudah lebih dulu melompat naik keatas mobil. Sungguh ia tak punya perasaan apapun, dan sikap bu Broto juga sama sekali tak mempengaruhi sikapnya.

"Nanti pulangnya sekalian mau belanja, kamu harus bantuin eyang ya," pesan bu Broto sambil naik dan duduk disamping Dinda. Adhit merasa, bahwa neneknya menghalangi Dinda berduaan dengannya. Ya Tuhan, ada apa ini? keluhnya dalam hati, sambil menjalankan mobilnya perlahan.
***

Hari itu Mirna membezoek ayahnya. Ia merasa lega karena ayahnya sudah tampak lebih sehat. Mungkin satu dua hari lagi sudah boleh pulang.

"Aku merasa lebih baik, sebenarnya ingin cepat-cepat pulang," kata Kadir pada Mirna.
"Iya pak, kalau bapak sudah baik juga pasti sudah boleh pulang. "
"Aku khawatir kalau terlalu lama disini, maka beaya perawatan akan semakin membengkak."
"Bapak nggak usah khawatir, oang yang menabrak sudah menitipkan sejumlah uang, dan kalau kurang, pihak rumah sakit akan menghubungi dia."
"Tapi kasihan juga, ini bukan sepenuhnya kesalahannya, aku yang menyeberang tanpa melihat jalan. Kapan ya aku bisa bertemu dia, kata Sukir ketika aku belum sadar dia beberapa kali menjenguk. Tapi ini sudah dua minggu dan aku belum pernah bertemu dia. Siapa namanya dia Mirna?"
"Kok Mirna juga lupa pak, dulu KTP juga diserahkan ke Mirna, Mirna membaca sekilas tapi lupa, dan KTP itu sudah Mirna serahkan ke pak Sukir. Nanti kalau ketemu pak Sukir Mirna akan tanyakan."

Tiba-tiba seseorang masuk kedalam ruangan itu. Seorang laki-laki bertubuh sedang, tapi berwajah bersih dan menawan,mengenakan pakaian santai, T shirt agak ketat yang membuat dadanya tampak tegap. Laki-laki itu mendekat, tapi Mirna kemudian ingat, dialah laki-laki yang telah menabrak ayahnya. Laki-laki itu mengulurkan tangannya.

"Hallo, lupa sama saya?" sapanya.
"Oh, nggak mas.. ingat kok, jawab Mirn sambil tersipu, karena laki-laki itu memandangnya sangat lekat."
"Bapak, saya Adji, yang telah membuat bapak dirawat disini."
"Oh, nak.. baru saja bapak bicara sama anak bapak ini, bahwa bapak ingin sekali bertemu dengan nak... siapa... "
"Adji Sasangka pak."
"Nah, nak Adji, saya sudah menyusahkan nak Adji."
"Oh, nggak pak, saya yang menyusahkan bapak, saya minta ma'af ya pak." kata Adji sambil me nepuk-nepuk tangan pak Kadir.
"Nggak apa-apa, bapak yang salah."
"Bagaimana keadaan bapak?"
"Sudah sangat baik, saya justru ingin segera pulang nak."
"Tadi saya sudah bicara sama dokter, besok bapak boleh pulang."
"Ah, syukurlah nak.. "
"Semua beaya perawatan sudah saya selesaikan semua, sampai besok pak, jadi bapak nggak usah memikirkannya."
"Terimakasih banyak nak. Oh ya, ini anak saya, Mirna." kata Kadir memperkenalkan anaknya.
"Lho, mbak ini anaknya bapak? Tapi ketika kecelakaan itu terjadi, sepertinya nggak kenal sama bapak."
"Inilah keajaiban yang sudah ditunjukkan Tuhan kepada saya nak. Dengan tidak di sangka-sangka, dalam kecelakaan itu aku ditolong oleh seorang gadis yang ternyata anak saya sendiri, yang sudah limabelas atau enam belasan tahun tidak ketemu."
"Oh, Sungguh Tuhan Maha Besar... "
"Kalau nanti ada kesempatan, bapak akan ceritakan semuanya."

Adji mengangguk angguk, dengan sesekali melirik kearah Mirna. Ada perasaan suka tiba-tiba, entah mengapa.

Mereka berbincang sangat akrab, karena Adji memang ramah dan sangat perhatian kepada orang yang pernah ditabraknya. Ia bersyukur pak Kadir dan anaknya tidak menuntut dan membawa peristiwa kecelakaan itu ke pengadilan.
Sebelum pergi Adji juga meninggalkan sebuah amplop berisi uang ditangan pak Kadir, yang ditolaknya keras-keras, tapi dipaksakannya juga.
***

Pak Kadir terharu, ketika memasuki kamar di tempat pondokannya, ia melihat semua tampak rapi, bersih dan wangi. Mirna juga membuang semua baju butut pak Kadir dan membelikannya yang baru dan pantas. Ada bahan-bahan makanan kering yang ditumpuk diatas meja, untuk keperluan makan dan minum pak Kadir ketika sedang dirumah. Ada kompor gas, alat-alat masak sederhana yang diletakkannya disudut kamar. Hanya ada satu ruangan, jadi semuanya tertata disana.

"Lain kali bapak harus cari tempat pondokan yang lebih baik, bukan yang hanya sepetak seperti ini," kata Mirna sambil membuatkan minuman untuk bapaknya.
"Ya, itu gampang, tidak harus dipikirkan sekarang. Bapak senang kamu membuat semuanya menjadi bersih dan rapi. Bapak tak pernah serapi ini. Semuanya berantakan."
"Setelah ini bapak harus lebih rapi. Ini obat-obat untuk bapak, saya letakkan dimeja, harus diminum sampai habis. Nanti sa'at harus kontrol, Mirna akan menjemput bapak dan mengantarkannya kerumah sakit."
"Tapi tempat ini sama rumah kost kamu kan jauh nduk, biar saja bapak berangkat sendiri."
"Nggak apa-apa pak, ijinkan Mirna merawat bapak dihari tua bapak ini, supaya Mirna merasa bahwa Mirna punya keluarga. Nanti kalau uang Mirna cukup, Mirna akan mengontrak rumah untuk kita berdua."

Kadir memeluk anaknya dengan air mata ber-linang2. Alangkah bahagianya seseorang ketika mendekati hari tuanya ada anak yang merawatnya dengan sangat baik. Tadinya Kadir berfikir, akan sendirian seumur hidup, sampai akhir hayatnya, entah bagaimana nantinya. Tapi sekarang semuanya menjadi lain. Bahagia ini bukan hanya milik Kadir, tapi juga milik Mirna, anaknya.
***

Raharjo dan Retno sudah sampai di Jakarta, juga Raka dan Ayud. Bahagianya bisa bertemu orang tua masing-masing, tak terkirakan. Ayud menggelendot dibahu ibunya sejak kedatangannya, setelah menciumi simbok yang sudah semakin tua tapi masih tampak bersemangat.

Berlinang air mata simbok, ketika mendengar Ayud akan menikah. Dalam pengabdiannya kepada keluarga Subroto, hampir dua kali ia menikmati pernikahan momongannya. Dulu antara Putri dan Galangm sebentar lagi Ayud dan Raka. Mereka adalah bayi-bayi yang dulunya menjadi momongan simbok.

"Simbok sudah semakin tua," isak simbok.
"Nggak mbok, simbok masih kelihatan muda, sehat, semangat," peluk Ayud erat-erat.
"Semoga besok simbok masih bisa menggendong anaknya jeng Ayud, mas Adhit... mungkinkah ya jeng?"
"Ya mungkin saja mbok, do'akan agar cucumu ini segera punya momongan," kata Putri menimpali.
"Iih... ibu.. menikah saja belum, sudah didoakan punya momongan," sahut Putri sambil mencubit lengan ibunya.
"Mengapa Adhit tidak ikut serta kemari?" tanya Putri.
"Mas Adhit tidak bisa meninggalkan Dinda," celetuk Ayud sekenanya, maksudnya hanya bergurau, tapi kata-kata itu membuat pucat wajah Putri, dan juga Galang. Lebih-lebih ketika Raharjo dan Retno juga menimpali.
"Ya, betul tidak kataku mas, kita akan menjadi sebuah keluarga besar," kata Raharjo tanpa merasa bersalah.
"Bagus sekali, benarkah kita akan menjadi keluarga besar?" timpal Retno.

Aduhai, kedua tamunya tak mengerti, bahkan Ayud dan Raka juga tak mengerti, alangkah sulit menghindari suasana pelik seperti ini. Galang melihat Putri sudah berlinangan air mata.

"Lihat, Putri sampai terharu," teriak Retno tanpa dosa.
"Tidak.. tidak... begini.. Jangan berfikiran yang aneh-aneh dulu. Kita selesaikan satu per satu. Sekarang, bicara saja tentang Raka dan Ayud. Setuju?" kata Galang serius.

Raharjo dan Retno merasa aneh, melihat Galang tampak serius. Ia seperti tak menghendaki puterinya Dinda menjadi menantu keluarga ini.

"Baiklah mas, mungkin puteriku kurang pantas menjadi bagian dari keluarga ini," kata Raharjo, ada nada tersinggung disana,

==========

Suasana menjadi kaku, semuanya tak mengerti penyebabnya, kecuali Galang dan Putri, yang bingung menghadapi tamu2nya, yang tampak tersinggung.

"Begini Jo, jangan salah faham, ini bukan masalah pantas atau tidak pantas, kita kan sudah menjadi keluarga sejak sebelum kita berkeluarga? Jadi tak ada yang tak pantas diantara kita. Cuma, ini pembicaraan tentang Raka dan Ayud, jadi marilah kita bicara tentang anak-anak ini dulu."
"Saya tau mas, tapi kan kami kan hanya bercanda, ya bercanda tapi juga ada harapan dalam canda itu, lhah aku lihat kok mas Galang menangkapnya serius amat." kata Raharjo.

Galang mencoba mencairkan suasana itu dengan tertawa.

"Jo, mungkin kelihatannya begitu, baiklah, aku minta ma'af, anakku kan perempuan, jadi agak gugup juga ketika ada yang melamarnya. Maklum, belum pernah dilamar, dulu kan aku melamar, bukan dilamar?" kata Galang mencoba bercanda.

Beruntung candaan itu agak mengena, dan membuat masing-masing tersenyum, bahkan ikut tertawa. Walau sesungguhnya ada juga ganjalan dihati Raharjo, sejak ketika dia menelpon Galang kemarin sorenya. Ada nada penolakan keras ketika dia bicara so'al Adhit dan Dinda.

Namun suasana itu segera mencair ketika Raka dan Ayud mengajak mereka jalan-jalan, makan diluar dan mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah menjadi kenangan mereka bersama sebelum berpisah.
***

"Mas, rasanya kita tidak boleh begini terus menerus," kata Putri ketika tamu-tamunya sudah kembali ke Medan keesokan harinya, dan Raka serta Ayud juga sudah kembali ke Solo.

"Maksudmu?"
"Keadaan ini sungguh menyiksa aku mas, rahasia ini tidak bisa selamanya kita pendam. Nggak kuat aku mas," kata Putri nyaris terisak.

Galang segera memeluk isterinya.

"Tenanglah Putri, itu bisa kita pikirkan nanti, yang penting kan kita akan menikahkan Ayud lebih dulu. Setelah itu baru kita pikirkan bagaimana sebaiknya."
"Benar mas, tapi jangan lagi menyembunyikan rahasia ini."
"Maksudmu kita akan membukanya? Berterus terang bahwa Adhit bukan anakku?" sahut Galang pilu.
"Tadinya kita ingin begitu mas, tapi Tuhan pasti berkehendak lain. Hal itu tidak selamanya bisa menjadi rahasia. Terbukti Adhit jatuh cinta pada adiknya sendiri. Itu kehendak Yang Maha Kuasa agar kita tidak selamanya menyimpan rahasia."
"Apa kamu siap menerma ini semua?"
"Siap atau tidak, ini adalah dosaku mas, aku akan memikulnya," lalu meledaklah tangisnya, dan Galang semakin erat memeluknya.
"Baiklah, tapi seperti kataku tadi, kita selesaikan dulu pernikahan Raka dan Ayud, nanti kita bicarakan lagi bagaimana caranya."
"Terimakasih mas Galang selalu bisa mengerti aku, mencintai aku dengan segala kekuranganku, dosaku, cacatku, aibku...."
"Stop Putri, hentikan, kamu tidak boleh berkata begitu lagi. Kamu adalah isteriku yang aku sayangi, aku banggakan dan tak ada cacat celanya bagiku. Kamu isteriku yang sempurna, tak akan berubah selamanya."
"Terimakasih mas.." dan tangis itu semakin tak terbendung, dan Galang semakin mendekapnya erat. Alangkah indah hidup ini.
***

Hari itu Dinda tampak sangat gembira. ia diterima disebuah universitas favorit di kota Solo. Ia merangkul bu Broto yang lebih dulu ditemuinya, yang disambut dengan ciuman manis oleh bu Broto. Kamudian dia menelpon Raka, neneknya dan juga Ayud serta Adhit. Semuanya menerima berita itu dengan gembira.

Siang itu bu Broto hanya makan berdua dengan Dinda. Dinda makan dengan sangat lahap, dan merasa bahwa ini adalah makan siangnya yang paling enak.

"Eyang, Dinda boleh nambah lagi kan? Ini enak sekali, sungguh eyang," katanya sambil menyendok lagi nasi dan sayur, tanpa menunggu jawaban bu Broto. Bu Broto  tersenyum dan mengangguk angguk.
"Habiskan saja, eyang suka kalau kamu mau makan banyak."
"Bener eyang?"
"Bener, ayo nambah lagi.."
"Ah, eang bener eyang, mana muat perut Dinda kalau harus nambah lagi. Tapi bener lho, hari ini Dinda pengin makan banyak."
"Itu karena hati kamu lagi seneng."
"Iya eyang, mungkin bener kata eyang."
"Dinda, dulu kan eyang pernah bilang.."
"So'al apa eyang?" tanya Dinda sambil menyendok lagi nasinya."
"Kalau kamu kuliah, kan jauh tuh tempatnya dari sini. Nah, eyang usul.. apa nggak sebaiknya kamu kost saja ditempat yang dekat dengan kuliah kamu."
"Oh, iya eyang, Dinda masih ingat."
"Kamu jangan salah terima, bukannya eyang nggak suka kalau kamu tinggal disini, tapi eyang tuh kasihan, gadis mungil seperti kamu, kulahnya jauh, pasti capek. Ya kan?"
"Iya eyang, nanti Dinda mau bilang sama mas  Raka supaya mencarikan tempat kost yang dekat dengan tempat kulian Dinda."
"Tapi sekali lagi, kamu nggak boleh salah terima lho Dinda, eyang katakan ini karena eyang sayang sama Dinda."
"Iya eyang, Dinda tau."
"Ya sudah, ayo nambah lagi makannya."
"Sudah ah, kali ini perut Dinda sudah nggak muat lagi nih," kata Dinda sambil menutup sendok garpunya, lalu minum segelas air.
"Oh ya eyang, nanti sepulang mengajar, mas Raka mau menjemput Dinda kemari, sekalian Dinda mau ke rumah simbah ya."
"Oh ya, baiklah.. jam berapa Raka selesai mengajar?"
"Nggak tau eyang, mungkin sebentar lagi. Dinda bersihkan dulu meja makannya ya eyang, " kata Dinda sambil berdiri, lali membantu membersihkan meja maan, dengan membawa piring-piring kotor kebelakang.

Bu Broto menghela nafas panjang.

"Dinda gadis yang baik, seandainya tak ada ikatan darah diantara mereka, aku pasti suka punya cucu menantu seperti dia. Ya Tuhan, mengapa jadi begini." keluh bu Broto dalam hati. Ia segera berdiri ketika yu Supi mengambil sisa makanan diatas meja untuk dibawa kebelakang juga.
***

"Bagaimana keadaan bapak kamu, Mirna?" tanya Adhit ketika siang itu selesai makan siang bersama Ayud.
"Sudah pulang ke rumah pak, maksud saya, kerumah pondokannya."
"Oh, syukurlah, penabrak itu bertanggung jawab bukan?"
"Ya pak, dia membayar semua beaya pengobatan dirumah sakit, bahkan memberi uang juga untuk bapak.
"Syukurlah kalau dia bertanggung jawab. Tapi dia belum mulai lagi bekerja kan?"
"Belum pak, biar istirahat dulu beberapa hari."
"Kamu benar, seorang mandor bangunan itu pekerjaannya berat. Memang tidak mengusung pasir atau bata atau semen.. tapi dia bertanggung jawab atas semuanya."
"Sebetulnya saya sudah melarang bapak bekerja lagi, tapi bapak memaksa."
"Biasanya seorang tua susah dilarang berhenti bekerja. Biarkan saja semampu dia."
"Ya pak."

Tiba-tiba pembicaraan berhenti karena Dinda nyelonong masuk, dan langsung menggelendot dibahu Adhit. Mirna membuang muka, ada rasa tak suka melihat sikap Dinda kepada bos gantengnya. Tapi dilihatnya Adhit menyambutnya dengan wajah berseri.

"Kok tiba-tiba kamu sampai kemari?"
"Aku sama mas Raka, tapi dia sedanag ketemu mbak Ayud, ya sudah, aku kemari saja."
"Mm.. gitu ya, mau kemana kalian? Jangan bilang kamu mau minta hadish ke kakak kamu karena kamu diterima kuliah disana."
"O, enggak lah, aku mau minta hadishnya sama mas Adhit." kata Dinda seenaknya. Ia kemudian duduk dihadapan Adhit, dan memegang tangan Adhit seenaknya. Membuat hati Adhit kebat kebit tak menentu.
"Iya atau nggak? Eh.. dikasih atau enggak?" lanjut Dinda.
"Memangnya kamu mau minta hadish apa?" tanya Adhit sambil mengacak acak rambut Dinda.
"Apa saja boleh?" Adhit mengangguk.
"Mm.. apa ya? Kalau begitu kita pergi saja yuk, nanti Dinda mau memilih apa yang Dinda inginkan."
"Aku tau apa yang kamu mau."
"Apa?"
"Paling es krim."
"Haaa.. iya... es krim.. sama sesuatu deh, ayo mas..bisa keliar nggak, biarin kita tinggalkan mas Raka sama mbak Ayud."

Dinda mengelus rambutnya yang acak-acakan, lalu berdiri dan menarik Adhit keluar ruangan itu. Hari sudah menjelang sore, sebentar lagi kantor tutup.

"Mirna, aku langsung pulang ya."

Karena gembiranya Dinda lupa berpamit pada Mirna, padahal sudah saling kenal.

"Selamat sore pak," sambut Mirna dengan wajah kecut. Bagaimanapun sikap Dinda dan Adhit membuat dadanya panas.
"Iih.. kolokan amat..." gumamnya sambil membenahi barang-barangnya.

Tiba-tiba Ayud masuk bersama Raka, yang kemudian celingukan karena yang dicari nggak kelihatan.

"Mana dia?" tanya Ayud.
"Pak Adhit sudah pulang bersamaa....dik Dinda.." jawab Mirna.
"Ya ampun Ka.. lihat kelakuan adik kamu, malah dia kabur bersama mas Adhit."
"Ya sudah kita susul saja dia, coba kamu telephone mereka kemana," kata Raka.
"Bener-bener deh..." keluh Ayud yang kemudian memutar nomor telephone kakaknya.
***

Sore itu disebuah rumah makan, Dinda dan Adhit sedang menikmati is krim dengan riangnya. Dinda tertawa-tawa ketika Adhit tak mau mengatakan dimana dia sedang berada, ketika Ayud menelponnya.

"Mas Adhit jahat, kenapa mas Adhit bilang kita ke mal? Kan kita cuma makan es krim disini?"
"Biar saja mereka men cari-cari, supaya mereka nggak mengganggu kita," jawab Adhit enteng.
"Memangnya kalau ada mereka kita akan terganggu? Huh, kayak kita ini orang yang lagi pacaran saja," kata Dinda sambil menjilat jilat es krim dari sendoknya.
"Memangnya kita tidak pacaran?"
"Wuaaaa... masa aku pacaran sama orang tua?"
"Haaah? Apa kamu bilang? Aku orang tua?"

Dinda ter tawa-tawa senang merasa bisa membuat jengkel Adhit. Ia terus menjilati es krim dari sendoknya dan it membuat Adhit semakin gemas.

"Iya kan jauh lebih tua dari pada aku?"
"Nggak boleh ya?"
"Nggak boleh," jawab Dinda sekenanya.
"Emang kenapa? Apa aku kurang ganteng?"
"Bukan, aku tuh besok kalau punya pacar.. pengin yang gantengnya kayak mas Adhit.."
"Kok nggak pilih mas Adhit saja?"
"Hm... diam lah mas, aku lagi menikmati es krim nih... "

Tapi tiba-tiba pandangan Dinda mengarah kearah jalan dan matanya terbelalak.

"Mas... itu,, itu..." tangan Dinda menunjuk nunjuk kearah jalan.
"Itu apa?" tanya Adhit sambil matanya juga menatap kearah jalan.
"Itu... yang membawa lari ponsel Dinda.." teriak Dinda, yang kemudian membuat Adhit berdiri dan berlari kearah jalan.

Bersambung #17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER