Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 08 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #17

Cerita bersambung

Adhit sudah sampai dipinggir jalan, ia melihat kesana kemari, namun orang yang ditunjuk Dinda tak lagi kelihatan. Memang tadi ada perempuan bercadar yang berjalan kearah selatan, bajunya biru gelap, demikian juga cadarnya, tapi mengapa bisa sangat cepat hilangnya?
Adhit masih melongok kesana dan kemari, barangkali perempuan itu bersembunyi dibalik pohon atau ada dibelakang mobil yang berderet disana.


"Mencari siapa pak?" seorang tukang parkir bertanya ketika melihat Adhit dan Dinda tampak men cari-cari.
"Tadi saya melihat seorang perempuan, baju biru gelap, pakai cadar lewat kearah selatan, kok tiba-tiba menghilang ya?"
"O, perempuan itu? Tadi langsung naik becak pak," jawab tukang parkir itu.
"Naik becak? Kearah mana?"
"Kesana pak, baru saja, sebelum bapak keluar tadi."
"Dinda,.. ayo cepat," Adhit menarik Dinda menuju ke mobil, lalu keluar dari area parkir itu, tapi sayang sekali jalanan itu satu arah. Adhit menelpon polisi. Kemudian ia mengendarai mobilnya, mencari tikungan yang bisa menembus kearah jalan yang arahnya disebelah selatan rumah makan tadi.

"Jadi deg-deg an aku."
"Benarkah ia perempuan yang merebut ponselmu?"
"Aku ingat tas yang dibawanya, persis yang dibawa perempuan itu ketika ia minta aku mengantarnya masuk ke gang. Jalannya juga agak miring-miring kekiri gitu. Kalau wajahnya sih aku nggak tau. Habis tertutup cadarnya terus."
"Ini sudah sampai disebelah selatannya rumah makan itu, kemana ya becak itu membawanya? Coba kamu tengok setiap becak yang kita lampaui Din.."
"Udah nih, aku udah me longok-longok terus."
"Dia itu apa punya ajian belut putih ya?" gumam Adhit.
"Apa tuh?"
"Ajian yang bisa membuat dia menghilang, susah ditangkap."
"Oh ya, aku mau ah.. punya ajian seperi itu."
"Waaah, jangan... nanti kalau aku pengin nangkap kamu jadi susah.."
"Memangnya mas Adhit mau nangkap aku? Aku ini kan bukan kupu-kupu.. bukan kelinci.. bukan... apa lagi ya....."
"Bukan.. kamu bukan semua itu, kamu adalah bidadari kecil yang nakal."
"Haaa.... aku suka dibilang bidadari, kan bidadar itu cantik, tapi aku nggak mau dibilang nakal. Masa aku nakal sih?" Dinda cemberut, mulut kecilnya yang manyung justru membuat Adhit bertambah gemas. Dengan tangan kirinya ia mencubit pipi Dinda.
"Auuw.. Iih, mas Adhit genit.. " teriak Dinda.

Telephone Dinda berdering, Dinda mengangkatnya sambil tertawa. Mas Raka nih, pasti dia marah-marah.

"Hallo mas," jawabnya nyaring.
"Dinda, kalian itu dimana? Kata mas Adhit di mal,. mal mana?"
Dinda tertawa.
"Mas Adhit nggak mau kasih tau supaya nggak nggangguin mas Raka sama mbak Ayud.
"Ya ampuun...kalian memang pasangan orang nakal ya. Ini aku sama Ayud mau ke rumah simbah, buruan kesana."
"Nanti dulu mas, nih lagi jadi ditektif."
"Ditektif apa?"
"Itu, ketemu orang yang dulu ngrampas ponselku, tapi ilang.."
"Nggak ketemu...?"
"Udah dilaporin ke polisi juga, nggak tau .. ini aku sama mas Adhit lagi nyari, tapi kayaknya nggak berhasil deh, kata mas Adhit dia tuh punya ajian belut putih."
"Kamu itu ada-ada saja, ya sudah ke rumah simbah ya."

Dinda masih ter senyum-senyum ketika menutup ponselnya.

"Marah kakak kamu?"
"Nggak, mana bisa mas Raka marah sama Dinda. Tapi dia kerumah simbah, mas Adhit mau ya nganterin Dinda kerumah simbah?"
"Baiklah, kita kesana sekarang."
***

Sepulang dari kantor Mirna langsung kerumah kontrakan ayahnya. Dilihatnya sang ayah sudah mandi dan rapi. Mirna tersenyum lalu mencium tangannya.

"Bapak kelihatan segar dan lebih muda."
Kadir tertawa.
"Itu karena kamu sudah membuang semua baju butut bapak, dan menggantikannya dengan baju-baju bagus."
"Iya pak, habis baju-baju sudah bulukan gitu masih bapak pakai juga."
"Kalau bapak jadi bersih itu ya buat siapa nduk, orang cuma hidup sendiri,"
"Sekarang bapak kan tidak sendiri, ada Mirna yang akan selalu memperhatikan bapak."
"Iya benar, bapak merasa hidup lagi sekarang."
"Ayo kita jalan-jalan pak."
"Sekarang?"
"Ya sekarang, nanti kita beli keperluan bapak lagi, atau makan mie kesukaan bapak dulu."
"Hahaaa... kamu masih ingat nduk?"
"Dulu kan kalau bapak pas punya uang, pasti ngajak Mirna dan ibu Widi makan mie diwarung dekat rumah."
"Iya benar."
"Ayo berangkat sekarang.Hari sudah mulai gelap."

Tapi ketika Kadir dan Mirna sedang menunggu taksi on line yang dipesan Mirna, sebuah mobil berhenti didepan mereka. Kadir menarik Mirna agar sedikit mundur karena mobil itu berhenti terlalu minggir.

"Itu taksi yang kamu pesan?" tanya Kadir.

Tapi seseorang turun dari mobil itu, dan Kadir serta Mirna terkejut.

"Selamat sore pak, sore Mirna.." sapanya ramah.
"Ini kan... nak.. Aji.. ya?"
"Ya pak, bapak sama Mirna mau kemana?"
"Mirna ngajak bapak jalan-jalan. Kok nak Aji sampai disini juga?"
"Saya memang mencari alamat pak Kadir, syukurlah ketemu."
"Oh ya, ada perlu kah?"
"Nggak pak, hanya ingin tau keadaan pak Kadir, sudah lebih sehat rupanya?"
"Ini atas budi baik nak Aji, jadi bapak cepat sehatnya."
"Alhamdulillah pak, saya ikut senang."

Tiba-tiba taksi yang mereka pesan sudah datang.
"Ini taksi kita pak."
"Nak Aji, bagaimana ini, bapak sudah mau pergi, taksinya sudah datang."
"Nggak apa-apa pak, lain kali saya akan kemari lagi, silahkan kalau mau pergi."
"Terimakasih nak, ayo Mirna."
"Ma'af mas, kami pergi dulu.."

Dan ketika taksi online itu meluncur, mobil Aji mengikuti dibelakangnya.
***

"Menurut Mirna, mas Aji itu terlalu baik," kata Mirna ketika sudah berada didalam taksi.
"Ya, bapak juga berfikir begitu, dia memperhatikan kesehatan bapak, sampai setelah pulang pun dia masih juga menanyakan keadaan bapak."
"Biasanya kalau sudah merasa membayar atau mengganti biaya perawatan, ya sudah, kan merasa sudah memenuhi kewajibannya."
"Benar. Jangan-jangan dia suka sama kamu."
"Ah, bapak ada-ada saja. Menurut Mirna dia itu sudah punya isteri. Masa umur segitu, kaya, cakep, belum juga punya isteri."

Dan tiba-tiba Mirna teringat kepada bos gantengnya. Bukankah Adhit itu juga sudah berumur, sukses, ganteng, tapi belum juga punya isteri? Tapi mengapa ya, si bos ganteng itu bisa menggetarkan hatinya, sedangnya si penolong ganteng ini menurutnya biasa-biasa saja?

"Tapi sepertinya kamu juga memikirkannya," pancing pak Kadir.
"Ah, bapak ini ada-ada saja. Nggak lah pak, biasa saja..."
"Iya nduk, kamu kan hanya anak mandor bangunan, mana pantas memimpikan menjadi isteri seorang pengusaha."
"Eeh, bapak jangan begitu. Mengapa jadi merendahkan diri sendiri? Jadi buruh, jadi mandor, jadi pengusaha itu kan hanya karena memang sudah digariskan jadi begitu. Aku bangga jadi anak bapak, dan tak akan merasa rendah diri."

Kadir mengangguk, tapi orang tua mana yang tak ingin anaknya hidup mulia?
Ketika mereka makan disebuah warung mie setelah belanja semua keperluan mereka, Kadir merasa sangat bahagia. Waktu itu Mirna masih kecil,sepiring mie juga nggak habis dimakan sendirian, Kadirlah yang menghabiskannya. Tapi mereka sama-sama suka makan mie.

"Apa kamu tau dimana ibumu sekarang?" tanya Kadir tiba-tiba.
"Maksud bapak, ibu Widi? Nggak tau pak, karena jadi buron, mungkin juga bersembunyi disuatu tempat. Entahlah, sampai sekarang polisi belum berhasil menangkapnya."

Kadir menghela nafas.Dua orang wanita yang dicintainya sama-sama melukai hatinya. Yang satu lari bersama laki-laki lain, satunya menjadi cacat karena kemarahannya.

"Bapak nggak usah mengingat masa lalu. Bukankah bapak pernah bilang kalau sekarang ini bapak merasa bahwa hidup bapak baru dimulai?"
"Iya benar. "
Mereka menghabiskan waktu malam itu di warung mie.

Hari sudah malam, dan Kadir memaksa mengantarkan Mirna pulang ke tempat kost nya, sementara dia akan pulang sendiri. Tapi lagi-lagi sebuah mobil berhenti didekat mereka. Kali itu mereka belum sempat memanggil taksi.

"Nak Aji ?" kata Kadir tertahan.
Aji turun dari mobil, menghampiri mereka berdua.
"Sudah selesai belanja dan makannya?"

Kadir dan Mirna heran, Aji bisa tau apa yang mereka lakukan.

"Saya kebetulan melihat bapak sama Mirna belanja, dan kebetulan juga melihat kalian makan di warung mie itu. Ingin ikut masuk, tapi takut mengganggu."
"Sebetulnya ya nggak apa-apa nak."
"Sekarang mau pulang?"
"Saya mau mengantar Mirna dulu ke tempat kostnya, mari nak," kata Kadir lalu menarik tangan Mirna.
"Biar saya antar saja pak."
"Jangan nak, aduuh, kami itu sudah banyak merepotkan nak Aji."
"Nggak apa-apa, biarkan saya mengantar Mirna lebih dulu, baru bapak."

Tapi tiba-tiba Mirna berteriak.

"Itu ibu Widi !!"

Seorang wanita yang kebetulan lewat menoleh, lalu tiba-tiba berlari dan langsung menyeberang jalan. Rem mobil berderit keras, dan sebuah jeritan ngeri terdengar.

==========

Mirna terkejut, ia memeluk tubuh ayahnya erat-erat. Kadir juga terpana, ditengah jalan, tubuh bercadar itu tergolek, tak bergerak. Kadir ingin berlari mendekati tapi Mirna menahannya. Dijalanan orang-orang berkerumun, terjadi kemacetan tiba-tiba.. Dengung mobil polisi yang mendekat membuyarkan kerumunan itu. Beberapa celetukan orang-orang membuat miris hati Mirna. Mati dia.. sudah mati... tak bergerohongan, dan diliputi denya penuh kebak... jelas mati.. kasihan...

Tak lama mobil ambulan datang dan membawa tubuh itu ke rumah sakit. Aji mengantarkan Kadir dan Mirna mengikuti ambulan itu, ketika mengetahui mereka ingin pergi kesana.

"Meninggalkan dia?" bisik Mirna lirih. Bagaimanapun Widi pernah merawatnya sampai lebih dari sepuluh tahun, seperti anak kandungnya sendiri, walau sebenarnya ada maksud tertentu dengan apa yang dilakukannya.

"Tenanglah, kita akan tau ketika sudah tiba dirumah sakit nanti." kata Kadir menghibur.
"Bapak kenal perempuan itu?" kata Aji tiba-tiba.
"Dia... bekas .. isteri saya.." jawab Kadir terbata.
"Oh.. ketika Mirna berteriak, tiba-tiba dia menyeberang jalan tanpa menengok kiri dan kanan lagi. Mudah-mudahan lukanya tidak parah."
"Ibu Widi mendengar teriakanku, pasti dia ketakutan,"
"Dia harus mendapatkan pelajaran atas apa yang telah dilakukannya. Hidupnya diliputi dendam, tak pernah mau menyerah." guman Kadir pelan.
Aji mendengar semuanya, tapi tak hendak menyela, ia hanya men duga-duga apa yang terjadi dengan keluarga itu.

"Sebenarnya Mirna menyayangi ibu Widi, karena mengira dia ibu kandung MIrna, tapi ternyata ibu membenci Mirna, ingin membunuh Mirna."
"Ya sudah, nggak usah dipikirkan terlalu jauh, kita serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa ya."

Aji mengantarkan Kadir dan Mirna masuk kerumah sakit itu, walau Kadir menolaknya. Ia merasa sungkan karena Aji telah terlalu banyak berbuat baik untuk mereka.

"Nggak apa-apa pak, sekalian nanti mengantar bapak dan Mirna pulang. Ini kan sudah malam, lagi pula Aji juga lagi nggak ada pekerjaan.
"Terimakasih banyak nak."
***

Polisi yang memeriksanya segera tau bahwa dialah wanita yang diburu. Itu karena keterangan Mirna, dan surat KTP yang dibawanya.

"Bagaimana keadaan ibu Widi?" tanya Mirna kepada polisi.
"Kritis, tapi kalau mau melihatnya, silahkan," kata dokter yang merawatnya.

Kadir terkejut melihat wajah Widi. Kecantikan yang dulu digndrunginya telah sirna. Itu karena ulahnya, karena ketidak sabarannya melihat kelakuan buruk Widi.

"Widi..." Kadir berbisik

Mata yang memang tak bisa terpejam karena kelopaknya nyaris tak bisa menutupnya, tampak ber gerak-gerak.

"Ma'afkan aku ya," lanjutnya

Mata itu sekejap menyala, ada kemarahan yang ditahannya, lalu terdiam.
Kadir memegang tangan Widi, lemas, tak bergerak.

"Sayang sekali, dia meninggal. Benturan pada kepalanya terlampau keras. " kata dokter lagi.
"Oh", pekik Mirna, tak urung ada rasa sedih yang mengirisnya. Bertahun berkumpul dalam keadaan baik-baik saja, dan sekarang dipisahkan karena kekejamannya dan niyat buruknya, lalu Tuhan telah membalas dengan caraNya.

Mirna mengusap setitik air matanya yang turun.
Kadir juga merasa berdosa ketika melihat wajah Widi sa'at terbuka cadarnya. Wajah cantik itu benar-benar sudah berganti dengan wajah buruk yang mengerikan, dan itu karena ulahnya, karena kemarahan yang tak bisa ditahannya ketika itu.

"Ma'afkan aku, " bisik Kadir lagi, lalu melangkah keluar dengan lunglai, diikuti Mirna.

Beribu perasaan mengaduk aduk hatinya, antara sedih dan bersyukur. Apakah semuanya sudah selesai?
Namun Kadir dan Mirna mengurus pemakaman Widi dengan baik. Mereka juga mendo'akan agar Tuhan mengampuni segala salah dan dosanya.
***

Berita kematian Widi segera tersebar.  Galang dan Putri bersyukur, bukan mensyukuri kematian Widi, tapi mensyukuri keselamatan anak-anak mereka atas dendam Widi yang tak pernah henti.

Retno sedih, karena bagaimanapun Widi adalah sepupunya. Ia tak menyangka sang kakak sepupu yang dulu sangat pintar dan lincah bisa mengalami nasib se tragis itu. Ia menyesal karena Tuhan tak memberinya waktu untuk bertobat.

"Kasihan ya Ka, semoga Tuhan mengampuni semua dosanya," bisik Retno sedih.
"Aamiin..."
"Seandainya sebuah kejadian buruk yang menimpanya dulu itu bisa menjadi pelajaran agar berbuat lebih baik, pasti tidak akan begini jadinya."
"Benar, aku juga tak mengira mbak Widi menjadi seperti itu. Dan semua berawal dari cinta yang tak terbalas."
"Ternyata cinta bisa membuat orang menjadi kejam."
"Itu karena batinnya lemah, pikirannya jadi terlalu sempit. Hatinya dibakar dendam.. sampai akhir hidupnya."
"Benar Ka."
"Ya sudahlah, sekarang yang harus kita lakukan hanya mendo'akannya."
***

"Ya sudah Mirna, sekarang kamu nggak usah khawatir lagi, karena yang mengancammu sudah nggak ada lagi.. jadi kamu bisa hidup lebih tenang," kata Ayud katika siang itu ada diruang kerja Adhit.
"Benar bu, tapi bagaimanapun dia pernah merawat Mirna sampai 10 tahunan lebih. Dan Mirna masih merasa sayang sama ibu Widi sampai sebelum dia nyaris membunuh Mirna."
"Aku bisa mengerti, karena kamu selalu mengnggap dia ibu kandung kamu bukan?"
"Baru tau kalau dia bukan ibu kandung Mirna ketika ibu sendiri yang mengatakannya."
"Semua akan terkuak pada waktunya. Ya sudahlah.. kamu sudah melakukan yang terbaik sampai dia meninggal, mengurus pemakaman dan mendo'akannya. Itu perbuatan mulia."

Mirna mengangguk. Banyak kesedihan sudah dilewatinya, dan sekarang sikap Ayud juga sangat baik padanya. Mirna berjanji akan membuat hidupnya lebih nyaman, bersama bapaknya, orang yang mengukir jiwa raganya dan baru saja ditemukannya. Mirna berjanji, akan mencari rumah kontrakan yang bisa ditinggali bersama ayahnya. Tapi dia kan harus menabung dulu.

"Rumah yang kalian tinggali itu sebenarnya rumah siapa?" tiba2 Adhit menyela.
"Kami hanya menyewa.. dibayar ibu tiap bulan."
"Oh, kirain milik ibu kamu."
"Bukan pak, mana ibu punya uang untuk membeli rumah?"
"Ya sudah, siapa tau nanti kamu bisa beli rumah sendiri?"
"Banyak rumah dijual dengan cicilan, barangkali kamu ingin tinggal bersama bapak kamu," sela Ayud.
"Nanti Mirna pikirkan bu."
"Katakan saja barangkali kami bisa membantu," sambung Adhit.

Mirna mengangkat kepalanya, memandangi wajah tampak yang dikaguminya itu, yang menatapnya dengan pandangan tulus.

Ah, alangkah baik hatinya, pikir Mirna yang kemudian menundukkan muka, untuk meredam gejolak hatinya yang me luap-luap. Tapi kemudian Mirna berusaha meredamnya. Wajak si cantik Dinda melintas, mereka begitu dekat dan mesra. Aduuh.. mengingat gadis itu cemburunya masih saja mengganggu.

"Terimakasih pak", akhirnya hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya.
***

"Mas, tolong carikan rumah kost yang dekat kampus dong," kata Dinda pada suatu malam dirumah bu Marsih.
"Kamu mau kost dekat kampus?" tanya Raka heran.
"Aku selalu lupa bilang, eyang Broto itu selalu menyarankan Dinda untuk kost saja didekat kampus."
"Tuh kan, simbah bilang apa, mereka itu keluarga terpandang, mana mau repot-repot mengurus orang seperti kita."
"Lho, simbah jangan begitu, eyang itu bilang begitu karena kasihan pada Dinda, kalau kuliah kejauhan.. pasti capek."
"Bukan karena hal lain?" tanya Raka.
"Hal lain apa, mereka baik semua sama Dinda, apalagi mas Adhit.

Tiba-tiba Raka teringat sebuah percakapan ketika di Jakarta, diantara ayah ibunya dan keluarga Galang, ketika membicarakan kemungkinan menjodohkan Adhit dan Dinda, tapi kemudian Galang menolaknya keras. Memang sih, alasannya tepat, karena sedang memikirkan bakal pernikahan dirinya dan Ayud, tapi Raka juga menangkap ke tidak senangan Galang pada pembicaraan yang setengah bercanda itu. Apakah ada hubungannya dengan permintaan bu Broto? Mereka tidak suka punya menantu Dinda? Lalu ingin menjauhkan Dinda dari Adhit?

"Gimana mas, bisa nggak?"
"Ya bisa lah, nanti mas akan tanyakan."
"Kalau sudah dapat Dinda akan segera pindah saja, karena di awal sebelum kuliah kan banyak kegiatan. Memang benar sih, pasti nanti Dinda akan capek."
"Nggak berat pindah dari keluarga yang menyayangi kamu?"
"Berat sih, tapi kalau liburan kan aku bisa main kesana.."
"Bagaimana sikap mas Adhit sama kamu?"
"Mas Adhit? Aduuh... dia itu kadang-kadang aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Sukanya manjain Dinda gitu, trus bicara yang aneh-aneh, tapi dia baik... besok ya mas, kalau Dinda punya pacar, Dinda harus dapat yang seperti mas Adhit. Ganteng, baik hati.."
"Idiiih... sekolah dulu ajaah...jangan mikir pacaraan..." celetuk bu Marsih yang mendengar pembicaraan cucu-cucunya.

Raka tertawa tapi diam-diam dia ingat celetukan Ayud, bahwa Adhit suka sama Dinda. Ah, entahlah, Raka percaya bahwa jodoh itu sudah ditentukan dasi sananya.

"Jangan dengarkan Dinda mbah, dia itu kan sukanya ngomong yang enggak-enggak.anggap saja burung yang lagi ngoceh."
"Iih.. jahat deh."
"Ya sudah sana tidur, besok katanya mau ke kampus pagi-pagi."
"Ayuk mbah, kan aku tidurnya sama simbah, nanti sambil didongengin ya mbah," rengek Dinda manja.
"Kalau anak kecil dongengnya gampang, kalau anak segede kamu, didongengin juga pasti nggak akan tertarik."
"Pokoknya ndongeng aja mbah, Dinda suka dengerinnya kok."
"Ya sudah sana, ini bukan waktunya ngoceh."
***

"Mirna, bulan depan bu Ayud mau menikah," kata Adhit pada siang itu di kantornya.
"Oh, ya pak.. Mirna sudah mendengarnya," kata Mirna sambil menunduk. Selalu begitu kalau Adhit mengajaknya bicara. Takut ada getaran-getaran yang mengganggunya. Habis matanya itu, seperti mata elang yang galak tapi menghanyutkan. Aduh..

"Kamu mau kan bantuin diacara itu nanti?"
"Pasti pak, kalau Mirna disuruh pasti Mirna akan mau. Apa menikahnya di Solo?"
"Eyang ingin cucunya menikah di Solo, kan kami semua ini asalnya dari Solo. Eh bukan, bapakku dari Semarang," kata Adhit sambil tersenyum.

Lagi-lagi Mirna harus membuang muka, karena senyumnya itu.

"Oh ya, siang ini mau menemani aku makan? Dulu itu belum jadi karena kamu ada perlu."
"Bu Ayud..?" tanya Mirna menahan perasaan gembiranya mendengar ajakan itu.
"Biasa lah, akhir-akhir ini kan Ayud lebih suka kencam makan siang sama calon suaminya."

Mirna harus segera meng iyakannya, khawatir nanti bos gantengnya keburu pulang untuk makan bersama Dinda.

Tiba-tiba ponsel Mirna berdering.
Nomor itu tak dikenalnya, ia ingin mengacuhkannya, tapi khawatir barangkali ada yang penting, entah dari siapa.

"Selamat siang," sapanya ragu-ragu.
"Mirna, ini aku Aji, sedang menunggu didepan kantor kamu," kata suara dari seberang yang sangat mengejutkannya.
"Ada apa ya?"
"Aku akan mengajakmu makan siang,"

Hati Mirna berdebar. Kan bos gantengnya sudah akan mengajaknya makan bersama? Ia harus menolaknya, lalu dicarinya sebuah alasan.

"Hallo Mirna, " suara Aji mendesak.
"Ya.. tapi..."
"Ini aku bersama pak Kadir, aku nyamperin tadi kerumahnya."
"Aduuhhh..." keluh Mirna dalam hati.

Bersambung #18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER