Cerita bersambung
Mirna terpaku, sesa'at tak mampu mengatakan apapun. Hatinya yang bergolak gembira karena akan makan bersama bos gantengnya, surut tiba-tiba. Ia bisa menolak Aji dan membuat alasan apapun yang masuk akal. Tapi ada bapaknya yang juga menunggu.
"Hallo.." suara dari seberang sana.
"Oh, ya.. ya.. sebentar, mohon ditunggu ya," mau tak mau itulah jawaban yang harus diberikannya.
"Ma'af pak..." katanya sambil memandang pak bos dengan pandangan kecewa. Sangat kecewa.
"Ya.. ada apa?"
"Mm.. ma'af lagi tidak bisa menemani bapak, karena bapak saya menunggu diluar, mau mengajak makan siang juga."
"Kalau begitu ayo makan sama-sama sekalian.." Adhit menawarkan ajakan untuk bapaknya Mirna. Tapi kan disana bukan cuma bapaknya Mirna.
"Oh, nggak usah pak, terimakasih. Mungkin lain kali saja."
"Oh, baiklah, aku makan dirumah saja sama Dinda."
Mirna menggigit bibirnya, nama itu sangat membuatnya terganggu. Tapi apa boleh buat kalau sang bos ganteng lebih suka sama dia.
Ia membenahi berkas-berkas yang terserak dimejanya, lalu diangkatnya kepalanya ketika mendengar suara Adhit menelpone.
"Jangan.. jangan pergi dulu, nanti aku antar.. sebentar kok, ini udah hampir berangkat. Ya.. ya.. ada apa.. kok nggak bilang bilang dari kemarin. Nggak, nanti kita bicara lagi, tunggu ya."
Pasti sama Dinda. Ah.. Mirna mengibaskan perasaan sakit hatinya, kemudian bangkit berdiri.
"Saya keluar dulu pak."
"Oh, ya.. ya.. aku juga mau keluar sekarang," jawab Adhit yang kemudian juga berdiri dan melangkah keluar. Mirna mengikuti dibelakangnya.
"Bapak naik apa?" tiba-tiba Adhit menoleh sambil bertanya.
"Mm.. sama.. saudara.. mungkin," jawab Mirna sekenanya. Ia masih tetap berjalan agak dibelakang Adhit.
Ketika keluar dari halaman itu, dilihatnya mobil Aji berhenti agak kekanan. Melihat Mirna mendekat, Aji langsung keluar dan membukakan pintu buat Mirna.
"Itu bapak sudah menunggu," kata Aji.
Mirna segera naik, lalu duduk di jok belakang.
"Masih sibuk ya nduk?" tanya Kadir.
"Nggak pak, sudah waktunya istirahat."
"Tadi tiba-tiba nak Aji nyamperin, mengajak kemari supaya bisa makan siang bersama."
"Ya pak,.. nggak apa-apa."
Aji kemudian masuk dan duduk dibelakang kemudi, pada sa'at itu mobil Adhit keluar dan sempat melihat laki-laki yang menjemput Mirna.
Adhit merasa pernah melihat laki-laki itu, tapi entah dimana. Sepanjang perjalanan pulang ia mengingat-ingat, tak belum diingatnya juga. Itu karena pikirannya tertuju pada Dinda, yang katanya hari ini mau boyongan ke tempat kost nya.
***
Begitu turun dari mobil, dilihatnya Dinda sudah menunggu di teras, dan sebuah koper besar terletak disampingnya.
"Hari ini ?"
"Iya mas, Dinda mau berangkat sendiri, mas Raka sudah mengantar Dinda menemui ibu kost nya kok."
"Ayo aku antar kamu.sekalian..."
"Lho, bukankah tadi sudah pesan taksi?" kata bu Broto yang tiba-tiba sudah nongol dari dalam rumah.
"Dinda batalin, habis mas Adhit minta supaya Dinda menunggu," kata Dinda sambil memandangi Adhit yang sudah siap mengangkat koper Dinda.
"Kamu itu bukannya pulang mau makan siang Dhit?"
"Dinda sudah makan?" Adhit balik bertanya pada Dinda.
"Sudah, barusan sama eyang,"
"Kalau begitu tungguin eyang ya, eyang mau ikut ngantar Dinda, supaya eyang tau dimana tempat kost nya Dinda," tiba-tiba bu Broto sudah membalikkan tubuh kebelakang untuk berganti pakaian.
Adhit menghela nafas. Ia tau, semua orang menghalangi kedekatannya dengan Dinda. Ini aneh dan tak bisa dimengerti. Namun tak ada yang bisa dilakukannya.
***
Dirumah makan itu Mirna lebih banyak terdiam. Aji dan ayahnya yang banyak bicara. Ayahnya banyak bercerita mengenai kehidupannya yang terasa berat sejak berpisah dengan isteri dan anaknya. Dan kini menemukan kebahagiaannya setelah Tuhan mempertemukan mereka kembali.
Aji mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan sesekali melirik kearah Mirna, sementara Mirna terus saja menikmati makanannya tanpa menyambung pembicaraan itu.
"Apa benar minggu depan bapak sudah akan mulai bekerja?" tanya Aji mengejutkan Mirna yang kemudian mengangkat wajahnya.
"Bapak sudah mau bekerja lagi?" Mirna menimpali.
"Bapak sudah merasa sangat sehat, nggak bisa bapak berpangku tangan saja. Tadi bapak sudah menelpon Sukir, supaya besok mau nyamperin bapak."
"Bapak mau bekerja di kantor saya?"
"Wah, nggak nak, bapak itu hanya lulusan SMP, nggak punya ke ahlian apa-apa, bisanya cuma jadi buruh bangunan, dan sekarang karena sudah pengalaman trus dijadikan mandor, gitu saja."
"Mungkin menjadi keamanan di kantor saya ?"
"Nggak nak, sudah.. jangan mikirin pekerjaan bapak, bapak sudah sangat menyukai pekerjaan bapak ini. Kamu kan nggak malu ta nduk, punya orang tua menjadi mandor bangunan?"
"Ya enggak pak," kata Mirna sambil memegang tangan bapaknya. Kadir tersenyum, ia bangga punya anak sebaik Mirna.
"Mirna gadis yang baik, saya sangat kagum sama dia," kata Aji sambil menatap Mirna lekat2. Mirna mengalihkan pandangan kearah lain, Kearah sekeliling rumah makan itu yang hampir penuh karena memang waktunya makan siang.
Ada AC diruangan itu, namun Mirna merasa gerah. Sungguh ia risih ketika sesekali Aji memandanginya dengan senyuman penuh arti. Mirna merinding. Ia kembali teringat pada Adhitama, yang memiliki senyuman memikat, tapi jarang sekali ia tersenyum kearahnya. Sementara ia selalu mengharapkannya. Aduhai, Mirna sudah merasa kalau rasa cintanya pada Adhitama akan terhempas, lalu luluhlah hatinya ber keping-keping. Tapi alangkah susah menghilangkan perasaan itu.
"Mirna dari tadi kok diam saja.." tegur bapaknya.
"Nggak apa-apa pak, sebenarnya tadi masih ada tugas yang belum selesai. Kalau sudah cukup bisakah kembali sekarang?" tanya Mirna sambil menatap Aji.
Aji mengangguk,. sesungguhnya ia masih mengharapkan lebih lama besama Mirna, tapi alasan pekerjaan sungguh membuatnya tak enak. Aji merasa.. Mirna sangat menarik hatinya, tentu ada harapan lebih daripada berteman biasa, hanya saja ia belum berhasil menarik hati Mirna. Itu kelihatan dari sikap dan cara dia berbicara.
Apakah aku kurang tampan? Pikir Aji. Tampan sih, tubuh tinggi walau tak terlalu besar,wajah bersih tanpa kumis dan selalu licin, pasti ia merawatnya dengan sangat baik. Hidung mancung, mata yang memiliki pandangan tajam,bibir yang selalu tersenyum, semua itu disadari sepenuhnya oleh Aji. Ia merasa penasaran karena selama ini gadis-gadis berebut mendekatinya. Mengapa Mirna sama sekali tak kelihatan tertarik?
Mirna mengambil tissue dan mengelap bibirnya perlahan. Aji melambai pada pelayan dan meminta tagihannya.
***
Tempat kost Dinda terletak didaerah Kenthingan. Dinda tampaknya senang tinggal disana, ada sebuah kamar, dengan kamar mandi didalam, lalu sedikit ruang makan dan kalau ingin masak memasak sekadarnya, ada kompor gas kecil, lalu diluar ada sepasang kursi dan sebuah meja, barangkali ada tamu untuk penghuninya.
Udara diluar juga sejuh karena banyak pepohonan dan tanaman bunga-bunga yang dirawat dengan rapi oleh pemiliknya. Ada harum kembang melati yang menyeruak, ketika bu Broto mendekati taman kecil itu.
"Hm... lumayan bagus, pintar Raka mencarikan tempat untuk adiknya. Pasti Dinda kerasan tinggal disini bukan?" gumam bu Broto sambil memetik beberapa melati yang sedang berkembang.
"Ibunya Adhit sangat suka bunga, terutam mawar dan melati," katanya lagi sambil berjalan kearah kamar Dinda.
"Mau dibantuin menata barang-barang kamu?" kata Adhit.
"Nggaaaak.. mana boleh laki-laki menata pakaian perempuan, ya kan eyang?"
Bu Broto tersenyum dan mengangguk. Sesungguhnya Dita gadis yang baik. Ada rasa sayang ketika ia harus menyarankan Dinda meninggalkan rumahnya, tapi ia harus bisa mencegah semakin dekatnya Adhit dan Dinda. Ketika mereka meninggalkan Dinda sendirian, ada rasa sedih dihati bu Broto, ia sama sekali tidak membenci Dinda, bahkan menyayanginya. Bu Broto lupa, bahwa mereka bukan binatang yang bisa dikurung sehingga tak akan lari ke mana-mana.
Sebelum pergi, bu Broto memeluk Dinda erat-erat. Ada genangan di pelupuk matanya, yang kemudian diusap Dinda dengan jemarinya yang lentik.
"Eyang jangan sedih, Dinda akan sering mengunjungi eyang kok." Bu Broto mengangguk.
"Benar, sering-seringlah kerumah, nanti akan eyang buat masakan kesukaan kamu."
"Horeeee... pasti Dinda akan suka.."
***
Tak tahan menyimpan perasaan kesal, Adhit nekat bertanya pada neneknya.
"Eyang, bukankah eyang menyarankan Dinda untuk kost itu karena ingin menjauhkan Dinda dari Adhit?"
Bu Broto terkejut. Begitu terus terangnya Adhit, dan seakan dia mengakui bahwa ia ingin selalu berdekatan dengan Dinda. Bingung bu Broto menjawabnya.
"Eyang..." Adhit mengulang pertanyaannya.
"Bukankah adikmu menikah dengan kakaknya Dinda?"
"Memangnya kenapa kalau kakak adik menyukai kakak beradik juga?"
"Kalau dalam istilah Jawa, itu namanya "dadung kepuntir" tidak bisa dilakukan."
"Dadung kepuntir itu apa?"
"Kalau adikmu menikah dengan Raka, maka kalau kamu suka sama Dinda itu namanya Dadung kepuntir. Bingung kamu memanggilnya. Mau dipanggil kakak.. karena ia kakak isterimu.. tapi kan ia suami adikmu.. Mau memanggil adik.. lha dia kakak isterimu... Bingung kan?"
Tapi Adhit tak bisa menerima jawaban itu.
"Tapi rencana Ayud sama Raka itu kan baru saja eyang, saya bilang sama bapak sudah jauh hari sebelum Raka melamar Ayud. Bagaimana bisa ada ungkapan dadung kepuntir ketika itu? Tapi bapak sama ibu sudah menentangnya keras, bahkan ibu sampai menitikkan air mata. Adhit bingung eyang."
Waduh, bagaimana ini? Bu Broto diam, tak bisa menjawab pertanyaan cucunya.
"Eyang... maukan eyang mengatakan penyebabnya? Kalau Ayud boleh menikah sama Raka, mengapa Adhit dilarang menyukai Dinda?"
"Kamu kan tau Dinda masih sangat muda, mungkin itu penyebabnya."
"Tapi Adhit kan tidak ingin menikah sekarang?"
"Dinda juga tidak suka sama kamu Adhit, dia itu hanya suka bermanja-manja sama kamu, bukan suka bukan cinta."
"Lepas daripada bagaimana perasaan Dinda, bapak sama ibu sudah melarang kok."
"Adhit, pada suatu hari nanti pasti kamu akan tau sebabnya."
"Mengapa tidak sekarang saja? Adhit sudah lebih daripada dewasa, kalau Adhit tau sebabnya apa, dan memang tak boleh menyukai Dinda, Adhit akan terima."
"Sekarang belum sa'atnya le.."
"Kapan eyang?"
"Tunggu sampai adikmu menikah, nanti kamu akan tau."
"Mengapa harus menunggu? Apa hubungannya perasaan Adhit dan pernikahan Ayud?"
Bu Broto menghela nafas. Rupanya tak bisa rahasia itu disembunyikan terus menerus. Adhit bukan anak kecil yang gampang dibujuk. Ia laki-laki dewasa yang sedang terbakar cinta. Bu Broto yakin Adhit akan terus memperjuangkannya.
"Mampir belanja dulu yuk.." kata bu Broto untuk mengalihkan perhatian Adhit.
"Dengar eyang, Adhit belum pernah merasakan seperti yang sekarang Adhit rasakan terhadap Dinda. Adhit sudah mencoba menghilangkannya tapi tak pernah berhasil. Jadi sampai kapanpun Adhit akan tetap mengejarnya, Dinda harus menjadi isteri Adhit."
Bu Broto tercengang. Apakah rahasia itu harus dibuka saja sekarang?
==========
Bu Broto terkejut. Ia tak menyangka Adhit akan senekat itu. Ia ingin membuka rahasia itu, tapi kemudian ditahannya. Barangkali bukan sekarang sa'atnya yang tepat. Atau mungkin bapak ibu nyalah yang lebih berhak mengatakannya.
"Adhit, cucu eyang cah bagus... dengar kata eyang ya le, menurut pada orang tua itu perbuatan mulia lho. Kalau kamu menentang, kamu akan membuat kedua orang tua kamu sedih," lembut kata bu Broto, sambil mengelus pundak cucunya.
"Eyang, Adhit tak ingin menjadi anak durhaka, Adhit akan melakukan apa saja yang dikehendaki bapak sama ibu, tapi Adhit harus tau alasannya. Cuma itu saja keinginan Adhit, mengapa semua diam? Hanya berkata "tidak boleh".. tapi tanpa mengatakan apa alasannya."
"Baiklah ngger, eyang mengerti. Begini, memang ada sesuatu yang menyebabkan kalian tidak boleh berhubungan yang ada kaitannya dengan cinta, lebih-lebih sampai ke jenjang pernikahan, tapi disini eyang tidak berhak mengatakannya. Nanti bapak atau ibumu yang akan mengatakan, tapi ingat le, sa'at ini bapak sama ibumu sedang focus memikirkan pernikahan adikmu, jadi eyang minta kamu jangan dulu mengganggunya dengan pertanyaan itu. Mau mendengar kata-kata eyang?"
Adhit menghela nafas. Memang ada sesuatu... dan itu membuatnya semakin penasaran.
"Sabar ya Dhit, nanti kamu pasti akan diberi tau. Orang tua melarang keras, pasti ada alasannya. Bukankah kamu percaya bahwa orang tua akan melakukan hal-hal terbaik bagi anak-anaknya? Ya nggak mungkin bapak ibumu akan menyusahkan kamu, membuat kamu kecewa atau sakit hati. Camkan itu le, dan jangan keras kepala."
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Adhit, jiwanya bergolak, diantara gelora cinta yang sulit dipadamkan, dan "sesuatu" yang membuat cinta itu terlarang. Apakah Dinda punya penyakit yang tidak bisa disembuhkan? Umurnya tidak akan panjang? O. tidaaak, jangan sampai itu terjadi.
"Dhit, jangan lupa mampir ke pasar sebentar ya, eyang mau belanja sesuatu."
"Baik eyang."
***
Hari itu Adhit benar-benar nggak punya semangat kerja. Ayud yang biasanya selalu bersama dan berbincang tentang banyak hal, sekarang lebih sering jalan bersama Raka. Apalagi menjelang hari pernikahan mereka yang sudah tidak lama lagi akan digelar secara besar-besaran oleh ayah ibunya. Dan ketika hati sedang gelisah seperti ini, Adhit bingung harus melakukan apa. Ia tak banyak bicara, ia lebih sering melamun dan ber main-main dengan ponselnya. Lalu tiba-tiba sebuah pesan WA membuatnya berbinar. Dari Dinda.
MAS ADHIT LAGI NGAPAIN?
Lalu dibalasnya segera, LAGI MIKIRIN KAMU..
Lalu Dinda membalasnya dengan emoticon melet.
Dan Adhit membalasnya dengan stiker berbentuk jantung..
MAS ADHIT SUDAH MAKAN SIANG?
BELUM, MAU NEMENIN ?
NGGAK AH, JAUH, KASIHAN MAS ADHIT, DINDA MAU BELI NASI AYAM AJA DIWARUNG SEBELAH.
JANGAN, AKU AKAN MENJEMPUT KAMU SEKARANG.
JAUH LHO MAS.
NGGAK MASALAH, TUNGGUIN YA.
Lalu emoticon berbentuk jantung ditampilkannya lagi dilayar ponsel Dinda.
Dan Mirna yang memperhatikan sejak Adhitama tampak gelisah kemudian melihatnya ada senyum mengembang dibibirnya. Hm.. senyumnya itu... Lalu dilihatnya Adhit berdiri, dan mungkin saking gembiranya Adhit keluar tanpa berpamit pada sekretarisnya. Mirna menghela nafas.
Alangkah susah mengendalikan perasaan, walau dia tau bahwa bos ganteng yang dipujanya sudah punya pujaan lain. Lalu terbayanglah wajah Aji, yang selalu baik dan ramah, yang selalu memandangnya dengan sangat hangat dan entah apa yang ada dihatinya, tapi semua itu tak pernah menggetarkan perasaannya.
Ketika ponselnya berdering.... aduuuh... baru dipikirkan.. sudah menelpon. Mirna ragu-ragu mengangkatnya. Tapi dering itu tak henti-hentinya, seperti dering penjual es keliling yang belum juga mendapatkan pembeli.
"Hallo," kata Mirna menjawab telephone itu.
"Mirna, nanti pas istirahat siang aku jemput ya?"
Mirna tercengang, apakah Aji juga mengajak ayahnya lagi? Kalau ada ayahnya pasti susah menolak, sesa'at ia diam.
"Hallo... Mirna, kamu masih disitu?"
"Oh ya, apa.. m.. ma'af.. sambil bekerja nih.."
"Oh, ma'af... aku hanya ingin bilang bahwa nanti aku akan menjemput kamu, setelah sampai didepan kantor aku akan menelpon lagi."
Lalu telephone itu ditutup.
Apa dia akan datang bersama ayahnya? Lalu Mirna mencoba mengontak sang ayah, namun tak ada jawaban, rupanya Kadir mematikan ponselnya.
Mirna ingin menolak tapi merasa sungkan. Aji sudah sangat baik kepada ayahnya, sangat perhatian ..
Dan ketika sa'at istirahat tiba itu Aji benar-benar menelponnya. Mirna berjanji bahwa ini yang terakhir, lain kali ia akan menolak dan dia akan mencari alasan yang tepat untuk itu. Lalu diangkatnya ponselnya.
"Hallo Mirna, aku sudah diluar."
" Oh, ya mas.. aku akan keluar... apa mas Aji bersama bapak?"
"Tidak, tadi bapak sudah mulai masuk kerja, dan sudah makan bersama teman-temannya. Bagaimana, apakah kalau tanpa bapak kamu akan menolak?"
"Nggak, bukan begitu, baiklah, aku mau keluar sekarang."
***
Siang itu Raharjo makan siang dirumah, karena Retno ingin mengajaknya bicara tentang rencana pernikahan Raka.
"Kata mas Galang, semuanya sudah siap, karena dia menyerahkannya pada EO... tapi kan kita harus juga secepatnya ke Solo untuk ikut bicara, karena waktunya tinggal sebulan lagi," kata Retno.
"Ya, aku sedang memikirkan untuk mengambil cuti."
"Bapak sudah tau kalau Dinda sudah pindah ke tempat kost didekat kampusnya?"
"Iya, kan kemarin sudah menelpon. Buat aku biar saja Dinda mencoba mengurus dirinya sendiri. Kalau terus kita ikut mengurusnya kapan dia dewasanya, anak kolokan begitu."
"Raka yang sering mengeluh, macam-macam saja maunya."
"Mengeluh apa, Raka senang kok memanjakan adiknya."
"Tapi dia kan sudah mau punya isteri, biar Dinda belajar mengurus dirinya sendiri. Makan minum kalau bisa juga harus memasak sendiri.Tapi barusan Dinda menelpon, Adhit akan menyamperin ketempat kostnya untuk mengajaknya makan diluar."
"Nah, itu... banyak orang memanjakan Dinda rupanya."
"Bapak tau nggak, kata Raka, nada-nadanya Adhit suka sama Dinda."
"Masa? Jadi ketika kita bergurau agar dua-duanya bisa menjadi menantu itu ada benarnya. Cuma, aku kok melihat mas Galang kurang suka ya."
"Iya tuh, apa Dinda dianggap terlalu muda?"
"Bukan, rasanya ada yang lain. Mungkin mas Galang sedang menjodohkan Adhit dengan gadis lain."
"Masa sih? Kalau begitu pasti Putri ngomong terus terang."
"Ya sudah, jangan memikirkan Dinda dulu, kita bicara tentang rencana perhelatan yang akan diadakan di Solo itu saja, ayuk sambil makan. Sudah lapar nih aku."
"Ayo, kan sudah disiapkan dari tadi."
***
"Mas Adhit kok jauh-jauh datang ke kost cuma mau ngajakin Dinda makan sih?" tanya Dinda ketika sudah duduk semeja disebuah rumah makan.
"Habis, mas Adhit kangen sama Dinda."
Dinda tertawa, deretan giginya yang tertata rapi, tapi ada gingsul disebelah kiri, menambah manis tawa itu. Tak tahan Adhit mencubit pipi Dinda.
"Memang sih, Dinda itu ngangenin.. " katanya riang.
"Kamu makannya lahap bener, kelaparan ya?"
"Iya, tadi ke kampus pagi2 belum sarapan, lalu pulang agak siang, terus mas Adhit ngajakin makan. Sudah lapar berat nih mas.."
"Mau nambah?"
"Nggak, ini porsinya lumayan besar, sudah kenyang sekarang."
"Kalau mau nambah boleh kok, nggak usah malu-malu."
"Enggak, kalau sama mas Adhit aku nggak usah malu. Ini bener udah kenyang, tapi kalau ada es krim Dinda masih mau... " kata Dinda sambil memeletkan lidahnya.
"Ya udah pesan aja, jangan kelamaan, keburu ngiler..," goda Adhit.
"Iih... masa aku ngiler... pesenin dong, aku mau es krim coklat stowberi campur vanili..."
"Banyak bener campurannya.."
"Nggak apa-apa, enak semua kok.'
"Okey, apa sih yang enggak buat kamu..."
Ketika Adhit melambaikan tangan kearah pelayan, tiba-tiba Dinda melihat sepasang laki-laki dan perempuan masuk kedalam. Dinda hampir berteriak memanggil, tapi Adhit segera memberi isyarat agar diam. Adhit memesankan pesanan Dinda, kemudian duduknya lebih dimiringkan kearah berlawanan dengan pintu masuk.
"Bukankah itu mbak Mirna?" bisik Dinda tak mengerti.
"Sst... diamlah, dan jangan menyapanya," kata Adhit serius.
"Kenapa? Mas cemburu?"
"Hush, apa-apaan sih kamu itu? Kenapa harus cemburu, orang bukan siapa-siapa aku."
"Lalu..." Adhit meletakkan jari telunjuknya sebagai isyarat agar Dinda diam.
"Itu pacarnya?"
"Nggak tau, diam dan pura-pura tidak tau saja."
Yang masuk barusan memang Mirna dan Aji. Adhit enggan menyapa, dan beruntung mereka duduk agak kedalam disebuah sudut yang tak akan bisa melihat kearah Adhit dan Dinda.
Ketika pesanan es krim itu tiba, Adhit yang ikut memesan segera sibuk menikmati pesanannya, demikian juga Dinda.
Adhit kembali merasa pernah bertemu laki-laki yang sedang bersama Mirna, sambil minum ia meng ingat-ingat. Tapi kesan yang dirasakannya adalah kesan yang kurang nyaman. Adhit merasa pernah bertemu dalam suasana yang tidak enak. Haaa... sekarang Adhit ingat..
Bersambung #19
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel