Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 10 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #19

Cerita bersambung

"Kenapa mas? Kok wajah mas Adhit tiba-tiba jadi aneh begitu?" tanya Dinda.
"Aku baru teringat sesuatu, tentang laki-laki yang tadi bersama Mirna.
"Mas kenal?"
"Nggak cuma  kenal, bahkan pernah berantem sama dia..."
"Waauuuw....Memang kenapa?"
"Dia itu mata keranjang... tapi memang dia masih bujang.. eh.. bukan... duda.. so'alnya pernah dipaksa menikahi seorang gadis.. tapi kemudian bercerai... Kabarnya hanya suka mengganggu gadis-gadis.. tapi tak pernah dijadikannya isteri."

"Wah, bisa ganti-ganti dong..lebih enak begitu 'kali."
"Hush... enak gimana, sering di maki-maki orang donk."
"Asal jangan sama aku aja.. ceritain dong tentang berantem itu tadi, kayaknya seru deh."
"Sudahlah, selesaikan makan es krimnya, lalu kita pergi dari sini, nggak enak kalau sampai Mirna tau bahwa kita melihat mereka."
"Tapi mas, kalau memang laki-laki itu nggak baik, harusnya mas Adhit mengingatkan donk sama Mirna, jangan sampai terjerat rayuannya."
"Lha kan belum tentu kalau mereka pacaran."
"Mas tanya donk, kasihan kalau dia hanya dipermainkan.."
"Nanti aku tanya... ayuk kita pulang..."
"Jangan lupa, aku diantarnya ke kost, bukan ke rumah mas Adhit..."
"Iya, aku tau..."
"Nanti ceritain tentang yang tadi itu.. apa berantem karena rebutan pacar?"
"Bukaaaan... cerewet kamu ya," kata Adhit sambil menrik tangan Dinda menuju kasir, lalu segera mengajaknya keluar dari sana.

"Ada seorang gadis, teman kuliah aku waktu itu, pacaran sama dia," Adhit memulai ceritanya ketika dalam perjalanan mengantar Dinda pulang.
"Nama gadis itu...?"
"Namanya Dewi. Dia cantik, baik, dan tampaknya sangat mencintai dia. Tapi Aji.. laki-laki itu hanya mempermainkannya, bahkan membuatnya hamil."
"Waaah... gila itu."
"Udah gitu.. dia itu nggak bertanggung jawab, malah kabur dan nggak pernah muncul. Dewi yang sahabat mas, mengatakan sambil menangis. Marah aku, ber hari-hari mencari dirumahnya nggak ketemu, tapi kemudian setelah seminggunan dia muncul. Dia menemui Dewi dan menyuruh menggugurkan kandungannya. Tapi Dewi tidak mau. Dia minta Aji menikahinya, tapi Aji kabur lagi. Dan yang terakhir itu mas berhasil menemuinya dirumahnya, pas dia mau pergi, mungkin mau minggat lagi.
***

"Anda siapa?" tanyanya sengit ketika Adhit memintanya untuk bicara sebentar.
"Saya saudaranya Dewi," dan itu membuat wajah Aji merah padam.
"Mau apa menemui saya?"
"Anda jangan pura-pura tidak tau, saya ingin membawa anda menemui Dewi dirumahnya."
"Untuk apa?" suaranya mulai meninggi.
"Orang tua Dewi minta supaya anda menikahinya."
"Nggak bisa !! Aku sama sekali nggak ingin menikahi dia !!"
"Tapi anda telah membuatnya hamil !!"
"Bohong !!" Aji berteriak, dan kesabaran Adhit pun habis, ia maju selangkah dan menonjok wajah Aji sekuatnya.
"Gila kamu!!"

Lalu Adhit dan Aji benar-benar berantem.

"Orang gila!! Aku tetap nggak mau !!" teriaknya sambil bangkit ketika Adhit membuatnya tersungkur.
"Aku akan melaporkan kamu ke polisi !!" teriak Adhit tak kalah sengit.

Pertikaian itu berhenti ketika seorang tetangga Aji yang RT..melerainya.

Dengan ancaman mau dilaporkan ke polisi akhirnya Aji mau mengikuti Adhit kerumah Dewi, dan  dengan disaksikan pak RT itu dia berjanji mau menikahi Dewi.
***

"Sekarang bagaimana?" tanya Dinda yang ikut penasaran mendengar cerita itu.
"Dia menikahi Dewi hanya sampai bayi yang dikandung Dewi lahir, setelah itu Dewi diceraikannya."
"Waah... benar-benar bukan manusia.."
"Aku pernah ketemu pak RT yang dulu ikut menjadi saksi pernikahan mereka, katanya Aji sudah pindah entah kemana, tapi kabarnya masih suka ganti-ganti pacar."
"Dia pasti orang kaya.."
"Dia pengangguran, oang tuanya yang kaya. Tapi kedua orang tuanya juga sudah meninggal."
"Wah, makan dari warisan orang tua dong.."
"Iya, pinter kamu.."
"Semoga besok aku mendapat pacar yang baik ah, nggak mau kalau kayak Aji itu," celetuk Dinda yang membuat Adhit tersenyum.
"Pacaran sama aku aja, kan aku jelas baik..." Adhit selalu menggoda.
"Nggak mau, mas Adhit teralu tua untuk aku," jawab Dinda sekenanya.
"Apa kamu bilang? Tua? Tapi biar tua aku kan masih ganteng," bantah Adhit sambil berusaha mencubit pipi Dinda, dan karena itu tiba-tiba ia harus menginjak rem tiba-tiba, so'alnya mobilnya hampir menabrak becak yang sedang berjalan didepannya. Dinda terkejut, untung shift belt dikenannya sehingga tubuhnya tidak tersungkur kedepan.

"Aaah...mas Adhit..... sembrono deh..." teriak Dinda.
"Ma'af... ma'af...," Adhit pun kemudian meminggirkan mobilnya, menghela nafas dan lega karena tak terjadi hal-hal yang menghawatirkan.
***

Siang itu ketika tiba di kantor, ternyata Mirna sudah duduk di tempat kerjanya. Adhit ingin menanyakan perihal laki-laki yang mengajaknya makan siang, tapi diurungkannya. Tak enak rasanya ketika ia tiba-tiba bertanya, seakan tadi melihatnya makan siang bersama.
Lagipula ketika itu Ayud muncul dan mengajaknya berbincang agak lama.

"Kata Raka, om Raharjo sama tante Retno mau ke Solo dalam waktu dekat," kata Ayud.
"Bagus lah, so'alnya bapak sama ibu juga pasti akan datang untuk ikut mengurus semuanya. Kasihan kalau kamu sama Raka saja yang mondar mandir mengurus semuanya."
"Sebenarnya nggak apa-apa mas, supaya nanti aku sama Raka juga merasa puas karena beberapa barang kami memilihnya sendiri."
"Ya sudah terserah kamu saja."
"Karena sibuk jadi lupa kalau Dinda sudah lama nggak dirumah kita, apa kabarnya si centil itu ya mas?"
"Barusan aku makan sama dia."
"Yaaaah... bagaimana bisa? Dia datang kemari?"
"Nggak, aku nyamperin ditempat kost nya."
"Curang ya, aku nggak diajak.."
"Kamu kan pergi sama Raka.."
"Bagaimana kabarnya dia?"
"Baik-baik saja, dia suka kok di tempat kost nya. Tempatnya enak, dulu aku sama eyang yang mengantar dia."
"Iya, eyang sudah cerita. Basok aku akan kesana sama Raka, dia juga belum menjenguk adiknya semenjak pindah ke kost ittu.
"Aku juga mau ikut kalau kalian mau kesana."
"Iih.. mas Adhit, tunggu mas, sebenarnya mas Adhit itu sungguh-sungguh jatuh cinta sama Dinda?" kata Ayud sambil berbisik, takut suaranya terdengar oleh Mirna.
"Kamu kan sudah tau.. pake nanya lagi, tapi nanti saja kita ngomongin so'al itu, fikus pada pernikahan kamu saja dulu."

Tiba-tiba dering ponsel Mirna berbunyi, halus suaranya, tapi sempat membuat Ayud dan Adhit menoleh kearahnya. Dilihatnya Mirna mengangkat ponselnya.

"Hallo, ya bapak.. iya.. besok libur.. nggak, sudah hampir pulang... iya bapak.. besok saja, baiklah."
Lalu Mirna menutup ponselnya.
"Dipanggil bapak ya?" tanya Ayud.
"Iya bu, besok kan libur."
"Ya deh, selamat berhari Minggu sama bapak ya."
***

Sore itu Aji menemui pak Kadir dipondokannya. Pak Kadir menerimanya dengan sungkan, karena mereka duduk berdua diatas selembar tikar yang digelar didekat kasur busanya.

"Ma'af nak, ya beginilah bapak.. temat seperti ini saja juga bukan milik bapak, jadi..." kata pak Kadir terpenggal karena Aji menghentikannya.
"Sudah pak, jangan merendahkan diri seperti itu, saya senang bisa menemui bapak sore ini, seperti janji saya di telepone tadi."
"Ya nak, tapi ya cuma beginilah keadaannya, ma'af, saya suguhin teh ya nak, tapi harus buat dulu.."
"Jangan pak, nggak usah, sebenarnya saya ingin mengajak bapak makan diluar, tapi saya ingin membicarakan sesuatu yang penting, yang sebaiknya saya katakan dirumah ini, walau kamar sewa, tapi disinilah bapak tinggal kan. Nanti setelah bicara saya mau mengajak bapak makan diluar."
"Maksud nak Aji bagaimana? Apa yang ingin nak Aji bicarakan?"
"Begini pak, saya ini kan sudah cukup umur, dan harusnya sudah pantas punya isteri dan pastinya anak."
"Iya nak, itu benar. Saya juga heran, mengapa seumur nak Aji ini belum juga punya pasangan."
"Habisnya belum laku juga pak," kata Aji sambil tertawa.
"Belum laku, atau nak Aji yang terlalu me milih-milih?"
"Bukan terlalu me milih-milih pak, memang belum ada yang mau," kata Aji sambil tertawa.
"Saya kira sosok seperti nak Aji ini aneh rasanya kalau belum ada yang mau. Sudah ngganteng, baik hati, mapan, pengusaha kaya.. masa nggak ada yang mau?"
"Mungkin ada pak, cuma saya yang belum merasa cocok."
"Lalu yang seperti apa sesungguhnya yang nak Aji cari itu?"
"Begini pak, sebenarnya saya jatuh cinta pada Mirna."

Pernyataan Aji ini membuat Kadir terkejut, walau sebelumnya sudah men duga-duga.

"Saya ber sungguh-sungguh. Itu sebabnya saya ingin bicara sama bapak dirumah ini. Intinya saya ingin melamar Mirna, kalau bapak tidak keberatan."

Pak Kadir menatap Aji lekat-lekat. Ia mencari kesungguhan dari kata-kata Aji, karena ia merasa bahwa Mirna adalah anaknya, anak seorang miskin yang tidak punya apa-apa.

"Apa bapak tidak percaya?" tanya Aji ketika melihat pak Kadir tak segera menjawab kata-katanya.
"Sungguh saya tidak percaya, karena nak Aji itu siapa, dan Mirna itu siapa. Apa orang tua nak Aji mau berbesan dengan seorang mandor bangunan? Fikirkanlah dulu nak, jangan sampai nanti nak Aji menyesal dikemudian hari." kata Kadir hati-hati.
"Pak,saya itu tidak punya keluarga. Bapak dan ibu saya sudah meninggal, dan saya tidak punya saudara."
"Tapi saya tak ingin nak Aji nanti menyesal, Mirna bukan siapa-siapa."
"Saya mencintai Mirna pak, saya ingin menjadikannya isteri saya, saya letih hidup sendirian selama ini. Saya membutuhkan seorang isteri, dan Mirna adalah pilihan saya."
"Apa nak Aji sudah bicara sama Mirna?"
"Tidak pak, saya justru meminta ijin bapak terlebih dahulu, so'al kesediaan Mirna saya serahkan kepada bapak."

Kadir menghela nafas panjang. Ada kebahagiaan karena anak gadisnya dipinang oleh seseorang yang menurutnya baik,dan pantas, tapi ada rasa was-was, jangan-jangan karena Mirna hanya anak orang tak punya lalu dipermainkannya.

"Bagaimana pak, saya berjanji akan membahagiakan Mirna, saya akan menjadikannya ratu dirumah saya. Bagaimana pak..apakah bapak tidak percaya pada saya?"

Setelah diam sejenak, akhirnya Kadir menyerah.
"Baiklah nak, saya terima lamaran nak Aji."

Aji hampir bersorak karena kegirangan.

==========

Dengan hati gembira kemudin Aji mengajak pak Kadir makan malam disebuh restoran.

"Tapi nak, saya sungguh berpsan wanti-wanti, kalau memang nak Aji suka atau cinta sama Mirna, cintailah dia dengan sepenuh hati, dan lindungilah dia, karena dia tak lagi punya siapa-siapa kecuali saya, bapaknya yang tidak berharga ini," kata pak Kadir di sela-sela makan.
"Bapak jangan bilang begitu, mana ada orang tua yang tidak berharga? Bapak akan menjadi bapak saya juga yang pasti saya hormati dengan sepenuh hati."
"Terimakasih nak."
"Dan Mirna akan saya lindungi, saya cintai selama hidup saya."
"Terimakasih nak, saya percayakan Mirna kepada nak Aji, karena saya mempercayai nak Aji."
"Saya belum pernah jatuh cinta pak, saya ini bujang lapuk, saya akan bahagia bisa memiliki Mirna, karena sejak pertama kali saya melihatnya saya sudah jatuh cinta."
"Sayangnya nak Aji belum berbicara pada Mirna mengenai keinginan nak Aji ini."
"Yang penting kan bapak dulu mengijinkan, kalau orang tua tidak memberi restu, walau anaknya suka kan nggak bagus kalau diteruskan pak."
"Benar nak, saya kagum sama nak Aji, ternyata nak Aji berpandangan sangat jauh. Semoga nanti Mirna juga akan setuju dengan keputusan saya ini ya nak."
"Aamin pak, itu harapan saya.Memang selama ini saya belum mengerti bagaimana perasaannya terhadap saya, tapi sikapnya selalu baik kok, itu yang membuat saya semakin jatuh cinta."
"Semoga kita bisa menjadi keluarga seperti harapan nak Aji ya."
"Aamiin pak, mohon do'anya selalu ya pak."

Kesan yang ditampilkan Aji sungguh apik, dan membuat pak Kadir terpesona. Belum-belum ia merasa bersyukur, orang sebaik Aji mencintai anak gadisnya, dan ingin menikahinya, serta berjanji akan membahagiakannya. Bukankah itu semua adalah harapan semua orang tua?
***

Malam itu bu Broto sedang berbincang dengan kedua cucunya, tentang pernikahan Ayud yang akan diselenggarakan tak lama lagi. Undangan sudah disebar, persiapan sudah matang, dan mungkin Minggu ini keluarga Raharjo dan keluarga Galang akan datang ke solo.

"Eyang, bolehkan Ayud usul, nanti ketika keluar dari kamar rias lalu duduk di pelaminan sebelum "panggih".. Dinda yang mendampingi Ayud?" kata Ayud kepada neneknya.
"Ya.. boleh saja, tapi sama siapa?" bu Broto tampak berfikir..
"Sama Adhit saja ya  eyang?" tiba-tiba Adhit nyeletuk.
"Tidak... nggak boleh, " sergah bu Broto cepat-cepat.
"Tuh kan, Adhit sudah tau kalau itu jawaban eyang. Adhit sudah tau...," kata Adhit sambil cemberut.

Melihat hal itu bu Broto merasa bahwa Adhit terluka oleh jawabannya. Tapi bu Broto tau alasan yang tepat untuk mencegahnya. Dipegangnya pundak cucunya dengan lembut.

"Jangan marah ya le, dengar, yang "menganthi" penganten putri itu.. tidak boleh laki-laki dan perempuan, harus dua-duanya perempuan."
"Iya mas, kok mas Adhit kayak sewot begitu," kata Ayud menimpali.
"Iya, aku tau sekarang," kata Adhit sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Bagaimanapun ia tak suka ada orang yang menghalangi kedekatannya dengan Dinda. Diam-diam Adhit berjanji, bahwa setelah selesai perhelatan itu, ia akan terus memperjuangkan cintanya.

"Baklah, jadi siapa yang sebaiknya menemani Dinda?" tanya Ayud.
"Bagaimana kalau Mirna? Aku sudah bilang sama dia agar membantu sa'at pernikahan kamu." akhirnya kata Adhit setelah berhasil meredam emosinya.
"Oh iya, Mirna... baiklah eyang, sudah beres itu."
"Baiklah, tapi kalau yang nanti acara "temu".. yang mendampingi kamu haruslah orang yang sudah pernah mantu. Dan sebaiknya yang masih genap."
"Masih genap itu bagaimana eyang?"
"Genap itu ya yang masih bersuami... sedangkan yang mendampingi pengantin laki-lakinya juga suami dari ibu-ibu yang mendampingi kamu itu."
"O, gitu ya, pengantin Jawa sangat rumit ya eyang?"
"Orang Jawa, kalau punya hajad mantu, biasanya masih mempergunakan adat dan budaya mereka masing-masing. Adat Jawa, adat Sunda, adat Jogya, pesisiran, semua punya kebudayaan masing-masing yang selalu dipegang teguh. Yang menghawatirkan, kalau nanti cucu-cucu eyang seterusnya... lalu tidak lagi memegang teguh adat dan budaya kita, pasti akan punah kebudayaan yang adi luhung ini."
"Bukan cuma Jawa eyang, di Sumatra, Bali.. dan lain-lain juga punya adat budaya masing-masing," kata Adhit.
"Benar le, dan seringkali, mereka lebih memilih praktis, sederhana, tidak neka-neka. Tapi selama eyang masih ada, cucu-cucu eyang masih harus memegang teguh adat dan kebudayaan kita. Lha wong orang asing saja kagum melihat prosesi-prosesi pernikahan yang ada di negeri kita, kok kita sendiri malah ingin meninggalkan, sedih eyang kalau mengingat hal itu."
"Iya eyang, Ayud ingin mempelajari lebih banyak, supaya kelak Ayud masih bisa memegang teguh adat budaya kita," kata Ayud.
"Bagus nduk, eyang senang mendengarnya, semoga eyang masih diberi umur panjang lagi, supaya bisa melihat semua cucu-cucu eyang menikah," kata bu Broto sambil terus mengelus bahu Adhit yang memang duduk disisi neneknya.
"Aamiin...," kata Ayud dan Adhit hampir bersamaan.
"Eyang masih sehat, pasti nanti juga masih bisa menyaksikan cicit-cicit eyang tumbuh dewasa," kaya Ayud.

Bu Broto tersenyum, dan rona bahagia tampak pada wajahnya, menyaksikan cucu-cucunya bisa membesarkan hatinya. Mereka juga cucu-cucu yang membanggakan, yang cantik dan tampan, yang pintar.
Berlinang air mata bu Broto, teringat pada pak Broto yang telah mendahului dan tak sempat menyaksikan pernikahan cucunya.

"Mengapa eyang menangis?" tanya Ayud yang melihat perubahan wajah neneknya. Adhit yang duduk disampung bu Broto menoleh kearahnya, lalu mengusap air mata itu dengan jemarinya.
"Eyang pasti teringat sama eyang kakung ya?," kata Adhit.
Bu Broto mengangguk, tapi kemudian tersenyum.

"Eyang kakungmu sudah tenang disana, " lalu diambilnya tissue . Adhit merangkul neneknya dengan terharu, demikian juga Ayud yang segera mendekat dan menciumi neneknya. Mereka keluarga yang penuh kasih sayang.
***

Hari Minggu itu Mirna bangun pagi sekali, membersihkan kamar lalu mandi dan berpakaian rapi. Ia harus menemui ayahnya, yang sebenarnya tanpa disuruhpun ia memang ingin kesana. Hari-hari luangnya harus dipergunakan untuk bersama ayahnya, agar hidupnya tak terasa sendiri.

Ketika Mirna sampai didepan kamar sewa ayahnya, dilihatnya ayahnya sedang membereskan tempat tidur.

"Hayoo.. bapak bangun kesiangan bukan?" celetuknya tiba-tiba, membuat Kadir terkejut dan menoleh kearah pintu.
"Mirna, kamu sudah disini?"
"Iya pak, ini Mirna bawakan bapak sarapan nasi liwet."
"Wah, kamu juga masih ingat kesukaan bapak kalau pagi."
"Sudah, sekarang bapak mandi saja, biar Mirna yang membereskan kamarnya."
"Ya baiklah," kata Kadir yang kemudian berdiri dan menyambar handuk, lalu melangkah keluar dari sana.
Memang kamar mandinya ada diluar kamar, daan beruntung tidak perlu mengantri karena barangkali penghuninya yang rata-rata pekerja kasar masih malas keluar dari kamarnya.

Mirna merapikan kamar ayahnya, mengganti seprei dan sarung bantal dengan yang bersih, kemudian ia mengisi panci dengan air untuk mengisi termos untuk membuat minuman, lalu ia mengambil gelas dan piring kotor yang belum sempat dicuci. Tempat mencuci itu terletak dipancuran yang ada disebelah luar kamar itu juga.
Ada beberapa orang penghuni kamar sewa itu yang sudah bangun, dan duduk diluar kamar mereka, memperhatikan Mirna dengan kagum. Rata-rata berpikir alangkah senangnya Kadir punya anak secantik itu. Anak yang tadinya mereka sangka adalah bini mudanya Kadir, yang lalu disambut Kadir dengan tertawa ngakak.

"Mana ada gadis yang mau sama laki-laki tua dan miskin seperti aku?" jawabnya ketika itu. Sekarang mereka tau, bahwa Mirna adalah anaknya. Sungguh luar biasa dihari tuanya bisa menemukan anak kandungnya yang terpisah puluhan tahun, pikir mereka setelah Kadir menceritakan kisah hidupnya.

Ketika Mirna selesai mencuci gelas dan piring, air yang dijerang sudah mendidih. Mirna menyeduh dua gelas kopi untuk ayahnya dan untuk dirinya sendiri. Ketika masuk kekamarnya, Kadir sudah berganti pakaian rapi. Hidungnya kembang kempis, mencium aroma kopi yang selesai dibuat anaknya.

"Hm, wangi kopi..." katanya sambil tersenyum.
"Iya, silahkan pak," kata Mirna sambil ngelesot duduk di tikar yang sudah digelaarnya. Lalu meletakkan dua piring yang sudah berisi bungkusan nasi liwet yang dibawanya.
"Ada roti di bungkusan itu nduk, buka lah," kata Kadir sambil menyisir ramputnya sambil berkaca.
"Roti? Bapak beli roti?"

Mirna membuka bungkusan plastik dan melihat beberapa potong roti disana.

"Hm, roti mahal ini pak, ada roti spekuk, keju, ini bapak beli dimana?"
"Bukan bapak yang beli, taruh disini saja... nah..sekarang bapak minum dulu kopinya, lalu makan nasi liwetnya."
"Kalau bukan bapak yang beli, lalu siapa?" tanya Mirna, tapi hatinya mulai men-duga-duga.
"Hm.. enak kopi buatan kamu nduk, pas dilidah.." kata Kadir sambil menyeruput kopi sedikit demi sedikit karena masih panas.
"Pelan-pelan pak, masih panas," kata Mirna yang kemudian juga mencicipi kopinya, dengan sendok.
"Ayo dimakan nasi liwetnya," lalu Kadir membuka bungkusan nasi liwet itu, dan mengguyurkan sambal goreng jepan yang terbungkus plastik tersendiri.

"Bapak dapat rotinya dari siapa?" Mirna mengulang pertanyaannya.
"Dari nak Aji, kemarin sore sampai malam bersama bapak," kata Kadir sambil menyendok nasinya.
"Oh..." hanya itu jawaban Mirna, lalu ia juga sibuk mengunyah sarapannya. Ada perasaan kurang suka ketika mendengar bapaknya bersama Aji sampai malam.

"Ada lagi sebungkus nasi liwetnya, bapak mau nambah?"
"Ya, bapak ingin nambah, enak ini, beli dimana nasi liwetnya?"
"Didekat sana ada, saya saja yang membuka bungkusnya," kata Mirna sambil membukakan lagi sebungkus nasi.
"Semalam nak Aji duduk-duduk disini, di tikar ini... kemudian ia mengajak bapak makan malam, lalu belanja makanan lain, dan roti yang diberikan ke bapak itu. Makanlah nduk."
"Mirna kan sudah kenyang dengan sebungkus nasi ini pak. Nanti saja kalau sudah merasa lapar lagi."
"Baiklah." dan Kadir dengan lahap sudah menghabiskan bungkuan nasi liwet keduanya.
"Minum air putih pak, sudah Mirna siapkan nih," kata Mirna sambil mengangsurkan segelas air putih.
"Terimakasih nak, benar-benar bapak punya keluarga ya.. bahagia sekali bapak nduk."

Mirna tersenyum, lalu mengambil daun sisa makan dimasukkan kedalam kresek, dan mengesampingkan piring-piring yang tadi dipakainya.

"nDuk..."
"Ya pak.."
"Ada yang bapak ingin sampaikan," kata Kadir hati-hati, sambil mengelap mulutnya dengan tissue.
"Apa pak, tampaknya serius sekali."
"Kamu kan tau, bapak ini sudah tua.." lanjutnya.
"Nggak ah, bapak belum tua benar, kan masih bisa bekerja, dan pekerjaan itu berat lho pak."
"Bukan masalah itu. Bapak ini kan melihat kamu sudah dewasa, sudah sa'atnya ada yang mengambilmu sebagai isteri, lalu bapak punya cucu-cucu yang ganteng dan cantik..." mata Kadir menerawang keatas. Mirna menunggu dengan berdebar. Ia mulai menduga duga, kemana arah pembicaraan ayahnya.

"Tapi Mirna masih ingin merawat bapak seperti ini. Mirna sudah memikirkan, nanti akan mengontrak rumah yang pantas untuk Mirna dan bapak. Bapak suka kan?"
"Merawat bapak itu kan gampang. Sambil melayani suami, momong anak-anak kamu.. kamu juga masih bisa memikirkan bapak."
"Dengar nduk, bapak sudah menemukan calon yang cocog untuk kamu. Orang yang bapak bisa menitipkan hidupmu, melindungi dan membahagiakan kamu."
"Apa maksud bapak?" debar jantung Mirna bertambah cepat, arah pembicaraan ayahnya semakin jelas, tinggal menyebutkan sebuah nama, yang membuatnya ragu.
"Mirna, semalam nak Aji melamar kamu."

Tuh... kan... Mirna sudah menduganya, wajahnya gelap seketika.

"Dan bapak sudah menerimanya. Jangan kecewakan bapak ya?"

Bersambung #20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER