Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 11 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #20

Cerita bersambung

Mirna tertegun, ia tak menyangka ayahnya sudah menerima lamaran Aji, padahal sedikitpun tak ada rasa tertarik dihati Mirna. Entah mengapa wajah bersih menawan itu tak sanggup menggoyahkan hatinya. Barangkali karena kemudian wajah Adhitama tiba-tiba melintas dibenaknya. Wajah tampan berwibawa yang memiliki tatapan memukau.
Seandainya Adhit yang melamarnya... Pikiran Mirna lari ke mana-mana. Membayangkan Adhitama duduk dipelaminan bersamanya, saling menatap bahagia, lalu berkejaran diantara taman bunga... ahaa.. seperti yang ada di film-film India ... lalu Mirna tersenyum sendiri..

"Kamu suka kan?" tiba-tiba tanya pak Kadir ketika melihat senyum Mirna.

Mirna terkejut. Lamunan tentang taman bunga dan kekasihnya buyar seketika. Ayahnya sedang menatapnya tajam, menunggu jawaban tapi setengah memaksa.

"Aap... apa.. pak?" gugup ketika menanggapinya.
"Kamu itu diajak bicara orang tua kok malam melamun ke mana-mana," tegur pak Kadir.
"Oh, nggak kok pak... Mirna dengar."
"Jadi kamu setuju kan, menikah dengan nak Aji?"
"Pak, bukankah itu sangat ter gesa-gesa? Kami belum lama berkenalan, dan belum saling mengetahui hati masing-masing," bantah Mirna.
"Mirna, kita sudah tau bahwa nak Aji sangat baik, sangat memperhatikan bapak, bahkan orang yang pernah ditabraknya dan hampir mati. Tapi dia bertanggung jawab sepenuhnya, dan memperhatikan bapak sampai sekarang."
"Ya, Mirna tau."
"Bapak ini kan sudah tua, kebahagiaan apa yang patut bagi orang tua kecuali melihat anaknya berada didalam lindungan orang baik, mapan dan sangat mencintai."

Mirna terdiam, ia merasa bapaknya sedang memaksanya.

"Apa kamu sudah punya pilihan lain?" tiba-tiba pertanyaan itu membuat angan Mirna kembali membayangkan Adhitama.

Ia memang punya pilihan, tapi si dia tak memilihnya, itu sangat mematahkan hatinya. Ia tak bisa berharap banyak. Ia tau Adhitama mencintai Dinda, dan mereka seakan sulit dipisahkan, apa yang dia tunggu lagi? Harapan yang hanya akan menghempaskan hatinya kesebuah batu karang tajam lalu membuatnya remuk ber keping-keping?

"Jawab bapak nduk, apa kamu punya pilihan lain?" ulang pak Kadir.
"Tidak, belum bapak..." jawab Mirna yang kemudian membuat hati bapaknya lega.
"Kalau begitu tunggu apa lagi, turutilah kata bapak, kecuali bapak sudah menerima lamarannya, bapak yakin dia akan membuat hidup kamu bahagia."
"Bagaimana kalau... kalau... Mirna tidak mencintainya?" pelan kata Mirna karena sesungguhnya ia tak ingin membuat ayah yang baru saja ditemukannya ini kecewa.
"Cinta itu bisa tumbuh nanti nduk. Terkadang dia datang tiba-tiba, tapi terkadang dia membutuhkan waktu untuk menguasai hati kamu."

Mirna menghela nafas. Apa lagi yang dia tunggu? Tiba-tiba saja dia sadar bahwa harapan dan impian tentang bos gantengnya sudah tak mungkin digenggamnya, dan dia berharap akan segera bisa melupakannya dengan kebaikan hati Aji nanti. Baiklah, cinta bisa datang nanti bukan?

Berlinang air mata Mirna ketika memeluk bapaknya.

"Mirna menurut apa kata bapak saja," bisiknya disela tangis, dan itu juga membuat air mata Kadir berlinang.
"Semoga hidupmu bahagia ya nduk," bisik Kadir dengan suara parau.
"Aamiin, bapak."
***

Keluarga Galang sudah ada di Solo seminggu sebelum perhelatan pernikahan Ayud dan Raka digelar.

Keluarga Raharjo juga sudah ada dirumah bu Marsih. Walau rumahnya kecil tapi anak cucu yang berkumpul membuat suasana menjadi hangat.

Bu Marsih bahagia, dulu anaknya ditolak mentah-mentah oleh keluarga Subroto, tapi sekarang cucunya akan menjadi keluarga mereka. Semua yang sudah diatur oleh Alloh Yang Maha Kuasa, siapa yang bisa menolaknya? Barangkali memang sudah ditakdirkan agar keluarga mereka bersatu, melalui jalan yang lain.

"Ibu, besok Dinda akan menggandeng pengantin wanita dari kamar pengantin menuju pelaminan. Pasti Dinda harus didandani cantik, ya kan?" kata Dinda dikamar ketika sedang berdua dengan ibunya.
"Ya nduk, nanti kamu pasti akan tampak lebih cantik. Sama siapa nanti? Biasanya kan berdua."
"Kata mas Adhit, tadinya pengin Dinda sama mas Adhit, tapi nggak boleh, harus perempuan semua."
"Hm..  iya donk, apa kamu suka kalau nggandengnya sama mas Adhit?"
"Nggak juga, mas Adhit kan punya tugas yang lain. Nanti Dinda akan sama mbak Mirna."
"Mirna? Oh, yang... anaknya tante Widi itu... "
"Oh.. itu kan yang membawa lari hape nya Dinda, mengerikan sekali bu, wajahnya buruk, dan jahat bukan alang kepalang. Mbak Mirna hampir dibunuhnya dengan racun."
"Iya, ibu sudah dengar semuanya, tapi dia itu sebenarnya sepupunya ibu, kamu memanggilnya mestine bude."
"Hmh... bude kenapa jadi orang jahat ?"
"Terkadang ada orang yang bisa mengendalikan perasaannya, tapi ada juga yang tidak. Sudahlah, jangan membicarakan dia lagi, ibu sedih kalau mengingatnya, dulu kami tumbuh besar ber sama-sama. Mengapa bisa jad begini," keluh Retno dengan wajah sedih.
"Dan sekarang mbak Mirna sudah ketemu ayahnya lho bu, mbak Ayud yang cerita."
"Iya, syukurlah, dia anak baik, hanya semalam ibu dan bapak bersama dia, tapi kesan kami dia itu anak yang baik."
"Iya bu."
"Lagi ngomongin apa nih, kok nggak keluar-keluar dari kamar sejak tadi," tiba-tiba Raharjo sudah ada didalam kamar itu.
"Ini, Dinda cerita kalau besok dia bertugas menggandeng Ayud keluar dari kamar  menuju pelaminan."
"Hm, bagus dong."
"Apakah besok kalau Dinda jadi pengantin juga harus begitu?"
"Ya iya, kamu itu gadis Solo, jadi kalau menikah juga harus memakai adat Solo, tanya aja sama simbah kalau nggak percaya." jawab Raharjo.
"Apakah besok kalau pas siraman juga ada dua buah kelapa kuning yang dihias dengan gambar wayang? Kemarin Dinda diajak teman disebuah acara siraman kayak gitu, ada dua buah kelapa kuning dimasukkan dalam ember..eh.. bukan.. apa tuh namanya..yang berisi air dan bunga-bunga juga.. untuk mandi bu. "
"Lho, itu kan kalau siraman mitoni.." tukas Retno.
"Siraman mitoni tuh apa bu?"
"Jadi kalau seorang perempuan hamil untuk pertama kalinya, pas tujuh bulan.. harus ada acara siraman juga."
"Oh iya, itu tantenya temen Dinda lagi hamil... dimandiin kayak pengantin?"
"Ya, mirip kayak siraman pengantin, tapi ada yang kamu sebut kelapa kuning tadi, namanya cengkir gading, digambari wayang . Yang satu Dewa Kamajaya, satuya Dewi Komaratih."
"Siapa tuh?"
"Waah.. siang-diang minta dongeng nih... ya sudah.. bapak kedepan saja, mau ngobrol sama simbah," kata Raharjo saqmbil ngeloyor keluar dari kamar.
"Siapa Dewa-dewa itu bu?" tanya Dinda mendesak.
"Kamajaya dan Kamaratih itu gambaran dari dewa dan dewi yang tampan dan cantik. Nah, ketika wanita sedang mengandung, nanti diharapkan anaknya kalau laki-laki ganteng kayak Kamajaya, kalau perempuan cantik kaya Kamaratih.."
"Apa dulu ibu juga begitu ?"
"Iya, ibu harus pulang kemari, dan diadakan uacara mitoni oleh simbah, itu pas ibu hamil kakakmu Raka.
"Itukah sebabnya maka kakakku ganteng?"
"Ah, itu hanya simbolis saja, itu adat yang biasa digunakan orang-orang jawa ketika hamil pertama untuk yang ke tujuh bulan. Kalau masalah ganteng atau cantik itu yang tergantung bagaimana Allah mengaruniaiNya."
"Retno... Dinda, ayo keluar dulu, waktunya makan siang," kata bu Marsih tiba-tiba.
"Oh, iya bu, baiklah, ini Dinda siang-siang minta didongengin.."
***

Siang itu Dinda dan Mirna mendapat tugas untuk membeli bunga-bunga yang akan digunakan untuk acara perhelatan pernikahan Ayud dan Raka. Mereka memborong bunga-bunga cantik yang akan dipakai untuk hiasan di meja-meja tamu.

"Seneng ya, mengapa sih semua bunga itu cantik?" celetuk Dinda sambil me milih-milih lagi bunga sedap malam.
"Iya, namanya bunga pasti cantik."
"Bunga ini harumnya nggak habis-habis.. berhari-hari masih saja harumnya."
"Itu bunga sedap malam. Aku sudah mengambil sepuluh tangkai, harus ditambah lagi karena ini akan dipasang disetiap meja."
"Iya..baiklah," kata Dinda senang. Tiba-tiba seseorang berdiri disamping Dinda dan ikut mengambil setangkai bunga.
"Cantiknya..." kata orang itu, sambil memandang kagum kearah Dinda.
"Apa?" Dinda terkejut mendengar suara itu. Dilihatnya siapa yang berdiri disampingnya. Dinda terkejut, ia ingat, laki-laki ini yang dulu masuk kerumah makan bersama Mirna.
"Cantik sekali, bunganya, dan yang mengambilnya..." katanya sambil tersenyum. Dinda tak menjawab, ia men cari-cari dimana Mirna berada, rupanya sedang memilih agak jauh disana.
"Mbak Mirnaa!!" teriak Dinda. Laki-laki itu memang Aji. Ia terkejut mendengar Dinda menyebut nama Mirna. Matanya men cari-cari, lalu menemukan Mirna disudut sana, juga sedang memilih bunga. Dengan cepat ia meninggalkan Dinda mendekati Mirna.

Dinda heran, dan merasa risih terhadap sikap Aji. Ia melongok, dan melihat Aji mendekati Mirna lalu berbincang dengan akrab. Dinda tak ingin ikut dalam pembicaraan itu, ia bahkan berjalan menjauh dan me milih-milih bunga lainnya. Haa.. mawar, ia ingat kata ibunya, bahwa ibu Putri suka sekali mawar. Ia meletakkan sedap malam yang sudah dipilihnya di keranjang, lalu mengambil bunga-bunga mawar aneka warna.
Sesekali ia melirik kearah dimana Mirna dan laki-laki itu berbincang. Tampaknya Mirna menyuruh laki-laki itu pergi, karena tak lama laki-laki itupun pergi meninggalkan toko.

Dinda mendekati Mirna.
"Siapa dia?"
"Dia... mm.. itu.. namanya Aji..." jawab Mirna singkat.
"Pacarnya ya?" kata Dinda memancing.
"Ah, kamu itu, mana bunga-bunga yang kamu pilih? Biar pak Sarno membantu mengangkatnya ke mobil."
"Iya, kumpulkan dulu disini mbak, biar aku bayar.
***

Ketika sore hari itu Dinda ketemu Adhit, ia langsung menarik tangan Adhit menjauh dari orang lain yang banyak berbincang di teras rumah bu Broto. Galang dan Putri menatapnya dengan khawatir melihat ke akraban mereka.

"Ada apa sih, me narik-narik tangan mas Adhit, baru nggak ketemu sehari saja.. kangen ya?" goda Adhit.
"Iih,dengar mas, Dinda mau cerita,"
"Cerita tentang apa nih?"
"Tadi tuh, waktu Dinda sama mbak Mirna lagi membeli bunga-bunga... tiba-tiba saja ada orang mendekati Dinda, kayaknya mau nggangguin gitu.."
"Wouw... siapa dia? Biar mas Adhit hajar orang yang berani nggangguin Dinda."
"Tiba-tiba dia mendekati Dinda yang lagi memilih bunga, lalu bilang.. cantiknya... hm.. sebel Dinda ngelihat matanya. Ee... dia tuh yang pernah sama mbak Mirna makan dirumah makan lalu kita melihatnya itu."
"Aji ?"
"Iya, trus Dinda nyari dimana mbak Mirna, rupanya dia nggak tau kalau Dinda bersama mbak Mirna, ketika Dinda meneraki mbak Mirna, baru dia me longok-longok, setelah tau dimana mbak Mirna lalu dia mendekati mbak Mirna."
"Terus.. dia mengantar Mirna pulang?"
"Nggak, kayaknya mbak Mirna mengusir dia, dia langsung pergi. Tapi Dinda nggak nanya terlalu jauh tentang laki-laki itu. Tampaknya memang dia mata keranjang."
"Kalau benar dia pacaran sama Mirna, aku harus memperingatkannya."
"Adhiiiit,... !! " teriakan Galang mengejutkan mereka berdua.

==========

Adhit berlari kearah ayahnya, tapi tangannya sambil menggandeng Dinda. Berkerut kening Galang melihat tangan Adhit masih memegang erat tangan Dinda ketika sampai dihadapannya. Adhit memang sengaja melakukannya, ia sudah berjanji dalam hati, akan terus memperjuangkan cintanya. Kalau tak berhasil, ia harus tau apa penyebabnya.

"Dinda, sepertinya Ayud mencari kamu," tegur Galang masih dengan wajah tak suka. Dinda yang merasa tak bersalah tak bisa menangkap arti pandangan itu, ia berlari kebelakang, untuk menemui Ayud.
Galang menghela nafas.

"Adhit, tolong antar ibumu untuk ngepas pakaian. Bukan begitu bu?" tanya Galang kepada isterinya.
"Iya Dhit, ibu berjanji kesana hari ini," tukas Putri.

Adhit mengangguk, ia mengambil kunci mobil dan menyiapkan mobil itu didepan, sambil menunggu ibunya.
Ada rasa kesal melihat pandangan mata ayahnya tadi, namun ia tak berani mengucapkan apapun. Sikap ayahnya sudah jelas, melarang berlanjutnya hubungan Adhit dan Dinda kearah percintaan.

Dalam perjalanan mengantar ibunya itu Adhit tak banyak bicara. Ia hanya menjawab ketika ibunya bertanya. Putri bukannya tak mengerti atas sikap anaknya. Ia tau Adhit sedang kesal.

"Adhit, lihat, wajahmu jelek kalau cemberut begitu," canda Putri.
"Adhit nggak cemberut, memang wajah Adhit seperti ini kok."
"Nggak, ibu tau kamu lagi kesal."

Adhit menghela nafas. Pasti ibu dan bapaknya harus tau kalau dirinya sedang kesal. Sangat kesal.  Tapi Adhit tak mengatakan apapun. Ia yakin tak akan mendapat jawabannya seandainya ia bertanya sekalipun. Mendesak.. Itu sudah sering dilakukannya.

"Adhit, kau harus percaya bahwa jodoh itu bukan kita yang bisa menentukannya. Nanti akan tiba sa'atnya kamu akan mendapatkan jodoh yang sangat baik dan bisa membahagiakanmu."
"Apa menurut ibu Dinda itu gadis yang tidak baik?" penasaran akhirnya Adhit bertanya juga, barangkali akan ada jawab yang diharapkannya kali itu.
"Bukan begitu, ibu tak mengatakan dia bukan gadis yang kurang baik, dia baik cantik, pintar, ibu percaya itu."
"Lalu...?"
"Tapi dia bukan gadis yang pantas untuk kamu."
"Mengapa dan kenapa, itu yang selalu Adhit ingin tau tapi tak pernah ada jawaban yang memuaskan. Dan percayalah ibu, Adhit akan terus memperjuangkan cinta Adhit, sampai kapanpun." tegas kata Adhit.
"Adhit...!!"
"Kita sudah sampai ibu, bukankah disitu butiknya?"

Adhit menghentikan mobilnya didepan butik langganan ibunya, lalu turun dan membukakan pintu samping, mempersilahkan ibunya turun.
Putri turun dengan perasaan gelisah. Sudah dua kali didengarnya bahwa Adhit akan terus memperjuangkan cintanya.
***

Perhalatan itu digelar dengan sangat meriah, dihadiri oleh teman, sahabat, dan saudara dari fihak mempelai laki-laki dan perempuan.

Rona bahagia tampak memancar dari kedua mempelai, diantara gemerlap pesta dan ucapan selamat yang tak kunjung henti.
Disebuah sudut, duduk Mirna disertai ayahnya yang juga mendapat undangan. Kadir menatap mempelai dengan mata berbinar. Tak lama lagi ia akan menikahkan buah hatinya, bersama seorang laki-laki baik yang sangat penuh perhatian. Diam-diam Kadir menyesal, mengapa Mirna melarangnya mengajak Aji datang ke pesta itu.

"Sebenarnya nggak apa-apa seandainya adi kita mengajak nak Aji juga ta nduk," kata Kadir.
"Ya nggak enak pak, yang diundang kan cuma bapak sama Mirna," jawab Mirna sedikit kurang suka.
"Tapi kan dia calon suami kamu ta nduk, bapak kira nggak apa-apa, sekalian memperkenalkan dia kepada nak Adhit .."
"Ah, bapak itu... Mirna masih sungkan mengatakannya."
"Lho, kan sebentar lagi dia juga akan menjadi suami kamu to nduk.."
"Iya, tapi bukan sekarang pak, ada sa'atnya nanti kita memperkenalkan dia kepada semua kenalan Mirna," kata Mirna sambil menatap kearah sebelah kanan pelaminan.
Dilihatnya Adhit berdiri, mengenakan pakaian Jawa, dengan beskap berwarna kehijauan. Berdesir hati Mirna, alangkah tampannya dia, alangkah mempesona, seandainya Mirna bisa bersanding nanti bersama dia di pelaminan, bisik batin Mirna.

"Itu siapa nduk?" tanya Kadir ketika dilihatnya Mirna selalu memandangi pria berpakaian Jawa didekat pelaminan itu.
"Itu? Itu pak Adhit, bos nya Mirna," jawab Mirna tanpa mengalihkan pandangannya dari bos gantengnya.
"Oh, itu ya,.. tadi bapak sudah bersalaman, kok belum tau siapa dia."
"Iya," jawab Mirna singkat.
"Besok kalau kalian menikah, apakah juga akan semewah ini?"
"Mirna nggak suka pak, Mirna hanya ingin menikah secara sederhana, tak usah mengundang banyak tamu, hanya kerabat atau teman dekat saja. Nggak usah di gedung, cukup di KUA." kata Mirna dengan wajah muram.
"Tapi mana mungkin nak Aji mau menikah sederhana? Dia kan punya uang... dan.."
"Nanti Mirna akan bilang, yang penting kan sah, tidak usah ber mewah-mewah, ya kan pak? Kita ini kan selamanya orang-orang yang sederhana. Apa bapak ingin perhelatan semewah ini?"
"Nggak juga, kamu benar nduk, yang penting sah, dan asalkan kamu bahagia.

Mirna me longok-longok.. bayangan priya pakai beskap ke hijauan tadi lenyap diantara kerumunan tamu. Banyak perempuan-perempuan cantik berebut menyalami bos gantengnya, ada yang merangkulnya dan menciumnya ber-lama-lama.. aduuh ternyata banyak juga penggemar pak Adhit, kayak artis saja, keluh Mirna yang kehilangan pandangan manisnya.

Telephone Mirna berdering, dari Aji, Mirna segan mengangkatnya, tapi sungkan sama bapaknya.

"Hallo...," jawabnya.
"Masih ramai sekali, belum mau pulang?" tanya Aji dari seberang sana.
"Oh, belum, masih lama.." jawab Mirna.
"Mau dijemput jam berapa?" tanya Aji mendesak.
"Nggak usah, belum tau mau pulang jam berapa, nanti kami naik taksi saja."
"Aku tungguin didepan sampai kamu pulang ya?"
"Jangan, masih lama..."
"Apa kita pulang sekarang saja?" tanya pak Kadir menyela.
"Nggak pak, nggak enak.. nanti saja.." jawab Mirna sambil memandang ayahnya.
"Bagaimana?"
"Mas Aji pulang saja dulu, saya sama bapak nanti naik taksi. Oke mas." lalu Mirna menutup ponselnya.
"Mengapa menolak, nanti nak Aji kecewa," tegur pak Kadir.
"Nggak enak pak, masa dia mau nungguin diluar sampai kita selesai."
"Tapi kalau kita pulang sekarang kan nggak apa-apa ?"
"Jangan pak, nggak enak pulang duluan, Mirna ini kan bawahannya pak Adhit, barangkali  nanti akan dirusuh apa atau apa," jawab Mirna beralasan, padahal tugasnya hanya menggandeng Ayud keluar dari kamar rias ke kursi pelaminan, dan itu sudah dilakukannya pada awal acara tadi.

Pak Kadir hanya diam. Bagaimanapun ia tak tau tentang urutan acara semeriah itu, karenanya tak banyak yang bisa dikatakannya.
***

Adhit yang merasa gerah setelah menyalami kerabat dan teman-temannya kemudian tampak men cari-cari. Tadi dilihatnya Dinda dandan cantik sekali. Dengan kebaya merah berpadu kembang-kembang hijau, dan dengan konde ala puteri Solo .. dan kain sidamukti yang membalut ketat tubuhnya, alangkah mempesona, tapi Adhit belum sempat mendekatinya. Ia hanya melihat ketika Dinda menggandeng Ayud keluar, lalu Adhit punya banyak tugas yang lain, yang membuatnya harus kesana kemari, sambil melayani salam teman dan kerabatnya. Dimana si centhil itu, pikirnya.
Ia melihat ayah dan ibunya duduk disamping pelaminan sebelah kanan, dan ayah ibunya Raka disebelah kiri. Pasti tak ada alasan waktu bagi mereka untuk melarangnya mendekati Dinda, Tapi dimana gadis itu? Astaga, Adhit kehilangan senyum dan harapannya ketika melihat Dinda duduk disamping bu Broto. Hm.. eyang putrinya ini juga termasuk penghalang baginya. Tapi Adhitama nekat. Ia mendekati Dinda dan melambaikan tangannya kearahnya.

"Ada apa?" tiba-tiba bu Broto bertanya. Tangannya memegang lengan Dinda, seakan melarang Dinda memenuhi panggilan Adhit.

Adhit mendekat.

"Penting eyang..." bisik Adhit yang kemudian menarik Dinda menjauh. Bu Broto hanya bisa memandanginya, karena disampingnya duduk bu Marsih yang sama-sama nenek dari mempelai.

Dinda berjalan ter saruk-saruk karena kainnya sempit, dan Adhit menariknya tanpa ampun.

"Adhuuh mas, aku nggak bisa jalan cepat nih..." keluh Dinda."
"Apa mau aku gendong?"
"Idiiih... mas Adhit kumat deh. Ada apa sih ... penting apanya?"

Adhit membawa Dinda ketempat yang agak jauh dari keramaian. Ia mengambil seglas minuman lalu diberikannya pada Dinda.

"Aku haus, temani aku minum."
"Tapi aku lapar.."
"Nanti saja... kan para tamu lagi pada makan.."
"Tadi bilang penting ... penting apa?"
"Penting lihat kamu.. dari tadi belum ketemu sih.. hm.. cantiknya kamu.."
"Mas Adhit.. kayak orang lagi pacaran saja..  "
"Emangnya nggak pacaran ?"
"Ih.. nggak mau..."
"Awas ya, jangan bilang aku orang tua lagi..." ancam Adhit sambil menutup bibir Dinda dengan jarinya.

Dinda tertawa...

"Ayo mas, ambilin aku makan dong, kita makan disini juga nggak apa-apa, jadi kalau nambah nggak malu-maluin."
"Dasar gembul !!"

Adhit melambai kearah pelayan yang sedang menghidangkan makanan.
***

"Setelah ini kita pulang ya, kayaknya setelah keluar es krim lalu pesta pasti bubaran," kata pak Kadir.
"Iya pak, kita bisa pulang lebih dulu.. kalau nanti bareng sama tamu-tamu yang lain malah kelamaan.."

Namun ketika Mirna mau berdiri, disebelahnya dilihatnya seorang anak kecil berumur empat tahunan sedang menangis.

"Mama... mamaa..." tangis anak itu.
"Eh... adik ganteng.. dimana mamanya?"
"Mama dimana... mama...?"

Mirna berdiri, digendongnya anak kecil itu, lalu ia mencoba men cari-cari barangkali ada seorang ibu yang kehilangan anaknya. Mirna berjalan diantara tamu yang juga bersiap pulang.

"Mamaa... mamaa..."
"Diamlah sayang, kita cari mama ya... sudah.. jangan nangis... ayuk kita cari mama.."

Mirna terus men cari-cari.. lalu dilihatnya seorang wanita cantik bergegas mendekatinya.

"Mamaaaaa..." anak itu berteriak, ketika melihat wanita yang datang mendekat.
"Bima... ya ampuun.. kamu tadi kemana?"  Lalu wanita itu mengambil anaknya dari gendongan Mirna..
"Ma'af ya, merepotkan.."
"Nggak apa-apa mbak, syukurlah sudah ketemu."
"Oh ya, kenalkan, nama saya Dewi..."
"Saya Mirna.."

Bersambung #21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER