Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 12 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #21

Cerita bersambung

Mirna menyukai sikap ramah Dewi, ibunya Bima, kemudian ia berpamit untuk pulang lebih dulu.

"Kenapa buru2?" tanya Dewi.
"Iya mbak, saya sama bapak, kasihan kalau nanti kecapean.
"Baiklah, hati-hati dijalan ya," kata Dewi ramah.
"Terimakasih mbak."
"Aku juga berterimakasih karena telah menolong Bima."
"Iya, kaget saja, karena nangisnya pas disamping saya. Hallo Bima, jangan nangis lagi ya," kata Mirna sambil menowel pipi Bima.

Anak kecil itu mengangguk senang, lalu melambaikan tangan ketika Mirna dan bapaknya berlalu.

"Anak mama tadi main kemana?" tanya Dewi sambil mencium pipi anaknya, lalu mengajaknya berjalan masuk kembali. Dari jauh dilihatnya Adhit dan Dinda sedang makan es krim disudut agak jauh dari keramaian.

"Hai Dhit.."
"Hai, Wi... ada apa anakmu? Habis nangis ya?"
"Iya, tadi lari-lari sama anak kecil lain kesebelah sana, lalu tiba-tiba nangis nyariin aku."
"Oh, iya... begitu banyak tamu sih..."
"Iya, untung tadi ada mbak-mbak yang kemudian menggendongnya lalu menemukan  aku."
"Untung kamu nggak diculik ya Bim, kalau yang diculik ibumu sih pasti ngikut aja..." Canda Adhit
"Enak aja !! Eh.. itu  siapa? Cantik bener..." tiba-tiba Dewi melihat Dinda sedang mengawasi mereka. Diturunkannya Bima dari gendongan.
"Itu Dinda, hei.. Din.. sini.. mas kenalin sama orang cantik nih.."

Dinda meletakkan gelas es krimnya yang memang sudah habis, lalu berjalan mendekat. Dengan tersenyum disalaminya perempuan cantik teman Adhit.

"Hallo, aku temannya Adhit kuliah dulu. Ini....." Dewi bermaksud bertanya apakah dia pacar Adhit.
"Dia ini adalah..."
"Saya adiknya," jawab Dinda buru-buru karena khawatir Adhit mengakuinya sebagai pacar, seperti ketika beberapa temannya bertanya.

Adhit tertawa keras.
"Hm, adiknya atau adiknya, kan adikmu cuma Ayud?"
"Saya adik angkat mbak," kata Dinda lagi.
"Oh, gitu ya..."
"Sedih aku, nggak ada yang mau jadi pacarku.." keluh Adhit sembil merangkul Dinda.
"Kamunya aja yang sombong, dari dulu didekatin gadis cantik-cantik nggak ada yang diterima jadi pacar."
"Bukan sombong.. belum ada yang cocok. Aku cocog sama ini, tapi ditolak.." kata Adhit sambil melirik Dinda.
"Nggak mau aku, terlalu tua," kata Dnda yang disambut tawa keduanya.
"Bagaimana kabar kamu Dewi? Masa kamu juga akan menjanda terus? Banyak bujang ganteng, banyak bujang keren.. "
"Gila kamu ya, aku belum janda, kami belum pernah bercerai."
"Oh, belum ? Dulu kamu bilang dia ninggalin kamu."
"Tapi dia nggak nyeraiin aku, aku diamin saja, akan aku balas dia pada suatu hari nanti, ketika menemukan lagi perempuan yang mau dipermainkannya."
"Dasar orang gila."
"Ya udah, lihat para tamu sudah pada pulang, aku juga mau pulang nih."
"Pulang sama siapa?"
"Sendiri lah, memangnya mau sama siapa?"
"Hati-hati ya, kapan-kapan aku main kerumah deh."
"Bener ya?"

Dewi pergi setelah menyalami Adhit dan Dinda.
Dinda seperti teringat sesuatu..

"Mas, itu bukan Dewi yang pernah mas ceritakan itu?"
"Iya, isterinya Aji, ternyata belum dicerai, berarti masih isterinya."
"Kasihan anaknya."
"Kapan-kapan kita main kesana ya?"
"Ogah, mas Adhit ngaku-ngaku  kepada semua orang kalau aku pacar mas Adhit, aku jadi nggak laku dong." keluh Dinda sambil cemberut. Lalu Adhit tertawa ngakak.
***

Sebulan perhelatan itu telah berlalu, dan Ayud dan Raka memilih mengontrak rumah sendiri. Raka menolak ketika Adhit ingin membelikan rumah. Ia ingin membeli dengan hasil kerjanya sendiri.

"Nggak mas, terimakasih banyak. Raka ingin nanti membeli dengan uang hasil jerih payah Raka sendiri. Dan Ayud menerimanya kok."
"Baiklah, terserah kamu saja, yang penting adik-adikku hidup bahagia."
"Do'akan yang mas, dan semoga mas Adhit juga segera menemukan jodoh yang cocog."
"Sebenarnya ada, cuma rintangannya agak berat diterjang."

Raka tersenyum, ia sudah mendengar dari Ayud bahwa Adhit menyukai adiknya, namun dilarang oleh kedua orang tuanya. Raka hanya mengira kalau larangan itu disebabkan karena Dinda masih sekolah.

"Sabarlah mas, jodoh itu bukan kita yang menentukannya. Kita hanya boleh memilih, tapi keputusan tetap ada diarasNya."
"Iya aku tau."

Dan ketika Ayud dan Raka benar-benar sudah pindah kerumah kontrakannya, Adhit baru merasa kesepian sa'at dirumah.
Untunglah di kantor mereka masih selalu ketemu.
***

Siang itu ketika menjelang istirahat siang, Adhit mendengar Mirna menerima telepone dari seseorang. Pelan sekali Mirna menjawabnya, tak jelas apa yang dibicarakan dan dengan siapa. Adhit tiba-tiba teringat akan Aji yang seringkali menjemput Mirna.

"Mirna.." panggil Adhit ketika Mirna sudaah menutup ponselnya.
"Ya pak.."
"Ma'af, sekedar ingin tau saja, apa kamu pacaran sama dia?" Adhit sengaja tak menyebut nama Aji, karena ia tak ingin Mirna tau bahwa dirinya mengenal Aji.
"Dia siapa pak?"
"Itu, yang sering menjemput kamu."

Mirna terkejut, karena ternyata pak bos gantengnya memperhatikan kedekatannya dengan Aji. Tapi Mirna sungkan mengakui adanya hubungan itu. Entah mengapa, Mirna tak ingin Adhit tau.

"Oh, nggak pak, dia itu kan yang menabrak bapak ketika bapak mau menyeberang, mungkin karena merasa bersalah dia sering mengunjungi bapak, mengajak makan bapak dan kadang-kadang saya diajaknya," runtut sekali jawaban Mirna, seperti ia telah menyusunnya baik-baik apabla suatu waktu Adhit menanyakannya.

"Oh, ya sudah..." kata Adhit singkat. Ia tak ingin melaanjutkan kata-katanya, atau bercerita tentang siapa Aji sesungguhnya kalau memang tidak ada apa-apa,

Ketika makan siang itu Mirna pamit untuk keluar, tapi Adhit tak menanyakan juga apakah dia bersama Aji.
Tiba-tiba Adhit ingin sekali kerumah Dewi. Pertemuan sebulan lalu yang kemudian Dewi mengatakan bahwa belum bercerai dari Aji, membuatnya ingin berbincang lebih jauh tentang laki-laki itu.

"Hallo..." sapa Adhit menelpon Dewi.
"Hai, tumben menelpon, ada apa nih?" jawab Dewi renyah.
"Lagi dimana kamu?"
"Di toko lah, kan itu pekerjaanku..Ada apa?"
"Pengin ngobrol, tokonya masih didepan rumah kamu kan?"
"Iya lah Dhit, dimana lagi, Ayuk main kerumah, aku masak enak siang ini."
"Wauw, ini yang aku suka, memang jam nya makan siang kan?"
"Sudah jangan banyak ngomong, segera datang atau aku akan menghabiskan sendiri semua masakan aku."
"Ya..ya, aku segera datang."
***

Adhit senang bertemu teman lamanya. Dulu mereka sangat dekat, tapi setelah Dewi menikah kemudian Adhit jarang mendengar beritanya.

"Aku kira kamu sudah bercerai," kata Adhit disela sela makan siang itu.
Ada kakap asam manis yang dulu sering mereka makan disebuah warung disela sela waktu kuliah mereka.

"Aku nggak minta cerai, dan dia juga nggak pernah datang kemari.
"Mengapa kamu nggak minta cerai saja?"
"Nggak, keenakan dia."
"Kok gitu, kebanyakan perempuan memilih untuk bercerai apabila suaminya tak lagi memperhatikannya. "
"Aku bukan perempuan kebanyakan," canda Dewi.
"Apa kamu nggak ingin menikah lagi? Kamu masih muda, dan anakmu pasti butuh sosok seorang ayah."
"Belum terpikirkan.."
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin membalas perlakuan Aji apabila dia ingin mendekati perempuan lain. Bukankah aku masih isterinya? Aku yakin di mana-mana dia mengaku bujang. Nanti aku akan menghancurkan hubungan dia apabila dia serius dengan perempuan lain."
"Oh, itu rencana kamu?"
"Setelah itu baru aku mau bercerai."
"Iya, kamu kan masih muda, dan cantik, pasti banyak pangeran ganteng yang akan melamar kamu."
"Kamu itu aneh, menyuruh aku mencari pangeran ganteng, kamu sendiri bagaimana? Apa ingin jadi perjaka tua?"
"Nanti lah.. katanya jodoh itu dikasih dari Sana," kata Adhit sambil menunjuk keatas.
"Benar..."

Selesai makan siang itu Dewi mengajak Adhit melihat tokonya.
Toko itu terbilang kecil, tapi ada hampir semua kebutuhan se hari-hari disana. Beras, gula, mentega, kecap, bermacam makanan instan, permen sabun..dan juga alat-alat kecantikan disudut agak kebelakang,  Bedak, lipstik sabun mandi..  ada air mineral.. es krim..
Tiba-tiba Adhit teringat Dinda yang sangat suka es krim. seandainya ada Dinda pasti langsung melahap beberapa rasa pilihan yang disukainyaa. Hm, gadis itu benar-benar membuatnya gemas. Apakah suatu hari nanti dia akan jatuh hati juga padanya? Entahlah, Adhit juga masih bingung. Ya ampun, mengapa dimanapun dia berada selalu ada saja yang mengingatkannya pada Dinda?

"Mengapa senyum-senyum Dhit? Ini toko kecil, bukan seperti perusahaan kamu yang besar dan hebat." Kata Dewi yang mengira Adhit mentertawakan toko nya.
"Bukan, aku teringat temen yang suka sekali es krim, kalau ada dia pasti sudah dihabiskan sekotak es krim itu."
"Wah, kenapa nggak diajak? Itu ya, yang katanya adik angkat kamu?"
"Iya.. Tapi Wi, ini sebuah mini market, semuanya ada, kamu hebat bisa mengelolanya."
"Ada dua orang karyawan yang menunggui toko ini."
"Ini sebuah mini market, semua ada disini."
"Aku hidup dari sini Dhit, untuk makan aku, menyekolahkan anakku .."
"Oh ya, mana anakmu?"
"Besok kan libur, biasanya kalau libur dia dijemput oleh kakeknya. Baru besok sore dia kembali."
"Bapak ibu masih sehat ya Wi?"
"Masih Dhit.. kapan-kapan tengoklah dia, pasti mereka senang."
"Iya, kalin kali aku kesana, masih di Penumping?"
"Masih lah.. "
"Aji nggak pernah kemari, sekalipun?"
"Lhah, kembali ke Aji lagi kamu tuh. Ya nggak pernah, dia sudah pergi dan nggak mungkin kembali. Kamu tau Dhit, aku mendengar dia mau menikah."
"Oh ya, dengar dari siapa?"
"Tetangganya yang dulu ada yang pindah kedekat rumahnya bapak, dia cerita kalau mendengar bahwa Aji mau menikah."
"Benar kurangajar dia."
"Aku menunggu kapan hari pernikahan itu, biar aku buka semua kedoknya."

==========

Ketika kembali ke kantor, Adhit masih selalu ingat kata Dewi bahwa ia akan membalas sakit hatinya ketika mendengar Aji mendekati perempuan lain. Dan dia juga mendengar bahwa Aji akan menikah? Mengapa sering kali Aji datang menjemput Mirna? Tapi Mirna bilang bukan apa-apa nya, pikir Aji. Berarti ia tak perlu menghawatirkannya. Hanya ia harus mengingatkannya kalau memang Aji sudah mau menikah, mengapa mendekati Mirna terus?

"Dasar buaya !" desis Adhit pelan, tapi itu membuat Mirna mengangkat kepalanya dan melihat kearah bos gantengnya. Ia ingin bertanya, tapi tak berani.mengucapkannya.
Siapa gerangan yang disebutnya sebagai buaya? Pikir Mirna. Tapi dilihatnya sang bos sedang memegang ponselnya, barangkali ia sedang membaca sebuah berita, mungkin ada pelakor yang berhasil menggaet seorang milyader di berita itu.
Ah, entahlah, Mirna kembali menekuni pekerjaannya. Ketika ia mendengar ponselnya berdering, lalu mengetahui siapa penelponnya, maka ia kemudian mematikannya.

Sebel banget, kenapa sih menelpon terus setiap hari? Pada jam kerja lagi. Kan ini belum sa'atnya istirahat ?

"Mengapa tak dijawab?"

Mirna terkejut, ternyata bos ganteng memperhatikannya. Ia mengangkat kepalanya dan memandang lalu menganggukkan kepalanya. Maksudnya meng iyakan.

"Bukan siapa-siapa pak, mungkin salah sambung, dari tadi mengganggu, makanya lebih baik saya matikan."
"Barangkali dari penggemar kamu."

Mirna tersenyum, benarkah pujaan hatinya mengajaknya bercanda?

"Bapak bisa aja," jawabnya sambil menunduk, tak tahan memandang sorotan mata tajam yang selalu membuatnya terpukau.
"Nanti kamu dikira sombong," sambung Adhit, seperti kurang pekerjaan. Tak biasanya Adhit begitu perduli pada Mirna.

Mirna tak menjawab, dalam menunduk kearah keyboard laptopnya, ia masih saja tersenyum.
Tak lama kemudian entah mau kemana, Adhitama berdiri lalu keluar dari ruangan. Mirna memandangi punggung tegap itu, lalu terkejut ketika tiba-tiba Adhitama menoleh.

"Kalau ada yang nyari, bilang aku sedang keluar, catat siapa dan apa perlunya.'
"Bb... baiklah," jawab Mirna sedikit gugup. Malu dong ketahuan memandangi sang bos, walau hanya punggungnya.

Setelah Adhit keluar, Mirna mengangkat ponselnya, ia mengirim WA kepada Aji, yang barusan menelpon.

"JANGAN MENELPON SA'AT JAM KERJA"

Singkat, tapi itu sebuah teguran keras, bagi seseorang yang tidak bisa menghargai sebuah tugas. Harusnya Aji memakluminya.
***

Malam itu Aji menemui pak Kadir di kamar sewanya. Pak Kadir selalu bersemangat setiap kali Aji datang. Harapan akan membuat anaknya bahagia, membuat hatainya selalu ber bunga-bunga. Bukan karena menganggap Aji itu kaya raya, tapi karena menganggap Aji begitu tulus mencintai dan berjanji akan selalu mencintai dan melindungi Mirna.

"Tadi siang Mirna menolak ketika saya mengajaknya makan siang pak," kata Aji sepeti mengadu kepada calon mertuanya.
"Oh, iya, tadi Mirna juga bilang begitu, tapi nak Aji harap maklum, di perusahaan itu kan Mirna itu menjadi sekretaris yang mempunyai tugas berat. Kadang tidak sempat keluar makan siang karena banyaknya pekerjaan. Jadi harap nak Aji maklum."
"Iya pak, tadi juga saya nggak jadi menjemputnya. "
"Ma'afkan Mirna ya nak, itulah beratnya jadi karyawan. Kalau jadi bos sih, bisa melakukan apa saja yang dia mau. Ya kan nak? Seperti nak Aji, mau pergi pagi, siang ... jam kerja atau bukan.. siapa yang berani nglarang?"
"Besok kalau sudah jadi isteri saya pak, saya akan menyuruh Mirna berhenti bekerja."
"Itu bagus nak, Lebih baik seorang wanita memang diam saja dirumah, Mengerjakan tugas seorang ibu rumah tangga kan lebih mulia. Apalagi kalau suami sudah mencukupi semua kebutuhannya. Saya percaya pada nak Aji."
"Bapak jangan khawatir, menjadi isteri saya, Mirna tidak akan kekurangan. Apa yang dia mau pasti saya akan berikan."

Pak Kadir tertawa senang.

"Mirna itu selamanya adalah gadis yang sederhana nak, maklumlah, anak orang yang nggak punya. Ketika belum ketemu saya dan bersama ibu tirinya juga, dia juga hidup sangat sederhana, jadi dia nggak mungkin punya keinginan yang berlebihan."
"Karena dulunya hidup susah, nanti saya akan menjadikannya seorang ratu dirumah saya pak. Dan bapak saya larang tinggal disini, bapak harus hidup bersama kami dalam satu rumah."
"Wah, kalau nak Aji melarang saya bekerja, saya keberatan nak, selama saya masih kuat, saya akan tetap bekerja. Karenanya saya nggak usah nak Aji ajak tinggal serumah, malah akan membuat malu nak Aji saja, masa mertuanya seorang terpandang hanya buruh bangunan.seperti saya."
"Bapak jangan begitu, kalau saya sudah berani melamar Mirna, berarti saya sudah menganggap bapak sebagai orang yang saya hormati, apapun kedudukan bapak."

Pak Kadir terdiam, berlinang air matanya mendengar kata-kata Aji.. Bayangan dan harapan akan kebahagiaan anaknya membuatnya tersedu dalam haru yang tak terkirakan.

"Bapak jangan menangis, saya tulus mengatakannya."
"Terimakasih nak.. terimakasih banyak", katanya serak.
"Sekarang saya akan membicarakan tentang hari pernikahan pak, kalau bisa bulan depan ini sudah terlaksana. Saya akan mempersiapkan semuanya."
"Bulan depan nak? Tidak terlalu cepat?"
"Sebenarnya kalau ber lama-lama itu apa yang harus kita tunggu pak, bukankah lebih cepat lebih baik? Sehingga bapak tak lagi memikirkan Mirna karena saya akan menjaganya."
"Benar nak, terserah nak Aji saja. Tapi apakah Mirna sudah mengatakan sesuatu kepada nak Aji tentang pernikahan itu?"
"Mengatakan yang bagaimana pak"
"Mirna tidak ingin pernikahan itu di buat meriah. Ia hanya mau menikah di KUA saja, tidak usah mengundang siapa-siapa kecuali kerabat dekat."
"Mengapa begitu pak?"
"Itu kemauan Mirna. Saya kan sudah bilang dia gadis yang sederhana? Jadi kalau nak Aji mencintai dia, tolong turutilah kemauannya."
"Baiklah pak, nanti saya akan bicara sama Mirna."
***

"Bulan depan? Secepat itu ?" tanya Mirna  ketika mereka sedang makan malam berdua.
"Memang kenapa? Aku sudah bicara sama bapak, dan aku juga sudah memilih gedung terbaik untuk....."
"Tidak... kalau mas Aji mau menikahiku, mas Aji tidak harus melakukannya disebuah gedung atau tempat pertemuan yang lain ."
"Jadi...?"
"Aku hanya mau menikah di KUA, dan tak akan mengundang siapapun karena aku tidak punya keluarga. Kalau mas Aji ingin mengundang, undang kerabat dekat saja, dan hanya di KUA."
"Mengapa begitu Mirna? Ini sebuah pernikahan, yang harus memiliki kesan indah bukan?"
"Kesan indah itu bukan karena diabadikan di sebuah gedung mewah. Keindahan dan kebahagiaan itu adanya didalam hati."
"Mirna... tapi .."
"Sudahlah mas, itu keinginanku, kalau mas Aji tidak mau ya sudah," kata Mirna dengan wajah muram.
Bagaimanapun pernikahan itu bukan sesuatu yang diharapkannya. Ia hanya ingin membahagiakan ayahnya. Ia tak ingin ayahnya kecewa. Mirna hanya berharap agar ini adalah sebuah pilihan terbaik untuk hidupnya. Sekilas terbayang mimpinya lagi, tentang Adhitama, tapi kemudian dihempaskannya mimpi itu karena ia tau bahwa semuanya hanyalah mimpi yang mungkin bisa terjadi.

"Baiklah Mirna, bagiku, apa yang menjadi pilihan kamu adalah yang terbaik. Besok kita akan mulai mengurus surat-surat untuk keperluan pernikahan itu. Lebih cepat lebih baik bukan?"
"Terserah mas Aji saja."
"Dan satu lagi Mirna, setelah menikah nanti, aku ingin kamu betul-betul menjadi ibu rumah tangga, tak usah bekerja lagi."

Mirna terkejut. Ia harus berheni dari pejerjaannya, dan tak akan lagi pernah memandangi wajah bos gantengnya ? Tapi kemudian Mirna sadar bahwa perasaan itu hanya akan menyakiti hatinya. Baiklah, barangkali memang lebih baik ia tak pernah lagi melihat wajah ganteng yang penuh pesona itu, yang selalu terbawa dalam angan dan mimpinya.

"Bagaimana? Kamu bersedia bukan?"
"Baiklah, terserah mas Aji saja."
***

Pak Kadir sudah menentukan hari dan tanggalnya. Surat-surat yang diperlukan sudah siap dan didaftarkannya di KUA. Mirna hanya pasrah. Dihadapan ayahnya Mirna selalu menampakkan wajah yang cerah dan ceria. Tak akan dikatakannya betapa batinnya menangis.

"Cinta tidak selalu datang tiba-tiba." Itu selalu kata ayahnya.

Dan Mirna berharap, cinta itu akan tumbuh dengan berjalannya waktu. Semoga.

"Mirna, ini tadi baju yang diberikan nak Aji, katanya untuk pernikahan nanti. Alangkah bagusnya, pasti ini mahal," kata pak Kadir.
"Iya pak, biar disini saja dulu."
"Kok disini saja bagaimana, bukankah nanti kamu yang akan memakai? Kata nak Aji, nanti kita semua berangkat dari rumahnya, dan kamu juga akan dirias disana. "
"Oh, begitu?"
"Kamu juga harus ngepas bajunya dulu, mana yang kurang.. barangkali kebesaran atau kekecilan.."
"Iya pak, gampang, kalau begitu nanti Mirna bawa ke kost dulu."
"Bapak juga dapat baru, ini celana dan jas. Sebenarnya bapak malu, ini kan jas ber merk, belum pernah memakai, nanti malah canggung ya nduk."
"Nggak apa-apa pak, sudah diberikan, lebih baik dipakai. Mengapa harus canggung. Kata bapak itu haru yang istimewa buat bapak."
"Iya kamu benar. Oh ya, tadi nak Aji sudah bilang bahwa setelah menikah kamu harus keluar dari pekerjaanmu. Apa kamu setuju?"
"Mirna sudah bilang bersedia pak. Mungkin besok Mirna akan sekalian mengajukan surat untuk resign."
"Resign itu artinya keluar ?"
"Iya, bapak."
"Baiklah, kalau memang sudah ada yang bersedia mencukupi kebutuhanmu, mengapa kamu harus bekerja juga. Seorang perempuan lebih baik mengurus suami dan anak-anaknya."

Mirna terdiam. Dalam hati dia berjanji, mulai besok dia akan memuaskan hatinya dengan memandangi sang bos gantengnya. Tak ada sebulan lagi dia harus keluar dan tak pernah lagi melihatnya, menyapanya, ah... sudahlah, bukankah itu akan membuatnya sedih? Berlinang air mata Mirna.

"Mengapa kamu menangis nduk?"

Mirna terkejut, ternyata ayahnya memperhatikannya.

"Ah.. enggak, Mirna hanya terharu, akhirnya bapak menemukan menantu," jawab Mirna sambil mengusap matanya dengan tissue.
"Dan menantu itu baik, sangat baik. Semoga hidupmu bahagia ya nduk."

Mirna memeluk bapaknya, dan terisak didadanya.
***

Adhitama terkejut ketika Mirna memberikan surat pengunduran dirinya.

"Kamu mau resign ?"

Mirna tersenyum dan mengangguk.

"Mengapa Mirna? Gaji kamu kurang besar ?"
"Bukan, saya harus mengikuti ayah saya yang berpindah keluar kota."
"Apakah kamu harus mengikuti ayahmu? Pindah kemana? Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan lain ?"

Mirna tertunduk pilu. Wajah ganteng itu memandang kearahnya, menatapnya tajam. Aduhai, tak lama lagi tak akan pernah dilihatnya pandangan memukau itu.

"Ada pekerjaan lain?" Adhit mengulang pertanyaannya.
"Ada, itu kemauan ayah saya pak, saya tak bisa membantahnya.

Adhitama terdiam. Ada guratan kesedihan dimata sekretarisnya. Itu jelas dilihatnya. Juga ada sepasang mata sembab, yang mungkin dbuatnya menangis semalam suntuk.

"Mirna, kalau ada sesuatu, katakan saja padaku."
"Oh, tidak ada pak," jawabnya singkat.
"Pikirknlah lagi Mirna, barangkali walau ayah kamu berpindah keluar kota, kamu masih bisa bekerja disini. Jauhkah ?"
"Luar Jawa," meluncur begitu saja jawaban itu. Membuat Adhit kemudian meng angguk-angguk.
"Oh, luar Jwa ya baiklah, semoga dalam waktu dekat akan ada pengganti kamu, dan yang sebaik kamu."

Aduhai, betapa senangnya, sang bos ganteng berkata begitu, berarti selama ini pekerjaannya memuaskan. Sayang juga meninggalkan pekerjaan ini, tapi Mirna sadar bahwa apabila masih terus berada disini hatinya akan semakin tersiksa. Mungkin tanpa bertemu lagi dengannya akan membuatnya hanya memperhatikan Aji yang nanti akan menjadi suaminya.
***

Adhitama dan Ayud sedang menyeleksi pelamar yang akan menggantikan Mirna, ketika tiba-tiba ponsel Adhit berdering.

"Sebentar Yud, kenapa ini siang-siang Dewi menelpon."
"Ya Wi...." sapa Adhit
"Hallo Dhit, apa aku mengganggu? "
"Nggak Wi, ada apa? Tumben menelpon."
"Benar-benar kurangajar Dhit, kabarnya Aji sudah menikah, tapi dimana aku nggak  tau."
"Lhoh, kamu dapat berita dari mana?"
"Gedung yang mau dia sewa dibatalkan, harusnya sudah kemarin. Pemilik gedung itu kan temanku. Aku pikir bisa menemui dia pas resepsi disana."
"Oh, ya ampun, kamu sudah kerumahnya?"
"Dia sudah pindah keluar kota, belum tau dimana, katanya tiga  hari yang lalu menikah, nama isterinya Mirna siapaaa... gitu."
"Mirna?" tanya Adhit terkejut.

Bersambung #22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER