Cerita Bersambung
Sesa'at Adhit tak bisa ber kata-kata. Aji menikah dengan Mirna? Mengapa Mirna tak mengatakan apa-apa? Ia justru resign dengan alasan mengikuti ayahnya keluar kota.
"Hallooo... Dhit, kamu masih disitu ?" tanya Dewi karena Adhit diam saja beberapa sa'at lamanya.
"Oh.. eh.. iya.. ini.. lagi diajak ngomong Ayud... eh.. ya.. aku mendengar, jadi dia sudah menikah lagi? Kamu nggak tau dia ada dimana?"
"Enggak Dhit, itulah mengapa aku menelhone kamu, barangkali kamu juga mendengar berita itu.
"Nggak, aku nggak dengar apapun,. tapi aku akan membanu kamu sebisaku Wi." kata Adhit. Ia memang berusaha menutupi hubungannya dengan Mirna yang sekretarisnya. Ia tak ingin tiba-tiba Mirna menjadi tumpuan dendam Dewi. Ia berjanji akan mencari Mirna dan memperingatkannya. Tapi bagaimana ya, mereka katanya sudah menikah.. pikir Adhit.
"Oke Dhit, ma'af ya.. aku mengganggu di jam kerja kamu," kata Dewi kemudian.
"Baiklah Wi, aku akan ikut memikirkannya."
"Terimakasih Dhit."
"Wah, kacau nih.." kata Adhit ketika sudah menutup ponselnya.
"Ada apa mas?"
"Dewi mengatakan bahwa Aji sudah menikah dengan Mirna."
"Lho, Mirna sekretaris kita itu?"
"Aku belum cerita banyak mengenai Mirna dan hubungannya dengan Aji ya, nanti seusai wawancara aku akan cerita."
"Baiklah. rasanya kita hampir mendapatkan sekretaris yang baik mas, nanti kita bicara lagi."
***
Dan Mirna serta Aji memang seperti lenyap ditelan bumi. Mungkin benar kata Mirna bahwa ia akan pindah keluar kota, tapi luar kotanya dimana tak seorangpun tau. Dan beruntung bagi Aji ketika Mirna tak bersedia pernikahan mereka diadakan disebuah gedung dan cukup di KUA saja, karena kalau sampai itu terjadi maka Dewi benar-benar akan mempermalukan mereka.
Aji memiliki sebuah rumah mewah dipinggiran kota, jauh dari keramaian, dan tak seorangpun dari kenalan mereka tau dimana letak rumah itu. Mungkin Aji sudah mencium gelagat yang kurang baik dari Dewi yang masih berstatus isterinya, karena beberapa tetangganya sering mengatakan pernah bertemu Dewi yang ber-tanya-tanya tentang dirinya.
Aji juga memboyong mertuanya kerumah itu, dan melarangnya bekerja lagi sebagai mandor buruh bangunan.
"Bapak setengah saya paksa tinggal disini, supaya kalau saya pergi Mirna tidak kesepian," kata Aji ketika mengajak mertuanya mengikutinya.
Mengingat Mirna adalah satu-satunya keluarganya, Kadir tak kuasa menolak anjuran Aji. Ia senang, anaknya hidup berkecukupan, dan tinggal disebuah rumah yang cukup mewah walau terletak agak jauh di pinggiran kota.
Mirna mulai menjalani sebagai isteri Aji, demi pengabdiannya kepada ayahnya, satu-satunya orang tua yang dia miliki. Perlahan ia mulai terbiasa dengan kehidupannya sekarang. Ia tak perduli kalaupun Aji sering meninggalkannya, karena memang belum sepenuhnya ia mencintai Aji.
"Mirna, apakah suamimu sudah pergi sepagi ini? Mobilnya juga nggak kelihatan."
"Ya pak, sudah tadi pagi, ketika bapak sedang pergi jalan-jalan."
"Oh.. mungkin karena rumahnya jauh dari kota sehingga ia harus berangkat ke kantor pagi-pagi."
"Mungkin.." jawab Mirna asingkat.
"Sejauh ini bapak kan belum tau dimana sebenarnya nak Aji berkantor. Apa kamu tau?"
"Nggak pak, Mirna juga nggak pernah bertanya. "
"Kamu itu sebenarnya cinta nggak sih sama suamimu? Menurut bapak kok kamu itu banyak nggak perdulinya sana suamimu."
"Kan bapak sendiri yang bilang bahwa cinta itu bisa datang kapan saja, dan terkadang memerlukan waktu"
"Bukankah nak Aji sangat perhatian sama kamu?"
"Iya pak, butuh waktu untuk itu. Bagi Mirna, asalkan bapak bahagia, Mirna juga akan bahagia."
"Tapi kamu harus tau nduk, bapak melakukan ini untuk kebahagiaan kamu, bapak ingin kamu hidup layak dan terlindungi.."
"Iya pak, Mirna tau. Hari ini Mirna mau belanja, bapak ikut ya."
"Boleh saja, tapi belanjanya mau kemana ? Ini jauh dari keramaian."
"Ya kekota pak, belanja untuk sebulan sekalian."
"Naik apa kita nanti? Kenapa kamu bukannya minta nak Aji untuk mengantar, mungkin sore nanti atau kalau pas nak Aji nggak ada pekerjaan."
"Nggak usah pak, lebih baik belanja sendiri saja. Mas Aji sudah memberi Mirna uang. Kita bisa naik taksi."
"Baiklah nduk, terserah kamu saja."
***
"Tapi mas, apa yang namanya Mirna itu cuma bekas sekretaris mas saja? Mungkin Mirna yang lain," kata Ayud ketika Adhit menceritakan tentang Dewi yang masih berstatus isteri Aji, sementara Aji tampaknya sudah menikahi Mirna.
"Mas kira memang Mirna itu, karena kan mas sering melihat dia menjemput Mirna."
"Kalau begitu mengapa mas nggak mencegah semuanya dengan memberitahukan kepada Mirna siapa Aji sebenarnya..?"
"Mas ingin mengatakan, tapi Mirna bilang bahwa tak ada hubungan apa-apa antara Aji dan dirinya. Bahkan ketika resign pun Mirna tak mengatakan bahwa dia mau menikah."
"Salah Mirna sendiri kalau nanti tiba-tiba ketahuan belang suaminya. Tapi mas, siapa tau Aji telah berubah menjadi baik.
"Aku kira belum tentu. Ketika Dinda sedang membeli bunga sa'at kamu mau menikah itu, Dinda bilang bahwa seseorang telah mengganggunya, dan seseorang itu adalah Aji."
"Memangnya Dinda sudah pernah tau yang namanya Aji?"
"Kamu pernah melihat dia masuk kerumah makan bersama Mirna, lalu aku bilang pada Dinda tentang laki-laki itu."
"kalau benar begitu, alangkah kasihan Mirna. "
"Menurut aku, urusan sama Dewi harus selesai dulu. Tapi selesainya kan harus dengan mempermalukan Aji, dan itu pasti akan membuat Mirna menderita."
"Susah ya mas, jadi bagaimana nanti sebaiknya untuk menolong dua-duanya? Dewi dan Mirna?"
"Entahlah, ini kisah yang rumit, sementara kisahku sendiri juga masih rumit."
"Apa maksudmu mas?"
"Kisah cinta masmu ini, kamu itu lupa ya kalau mas dilarang mencintai gadis yang memang benar-benar mas cintai?"
"Sabarlah mas, kan Dinda masih sekolah."
"Aku tidak yakin itu alasannya. Menurut mas, sampai kapanpun mas akan dilarang. Tapi kenapa ya? Tak seorangpun memberi tau alasannya. Eyang bilang, yang berhak mengatakan hanyalah bapak atau ibu. Tapi kapan?"
"Kalau begitu mas harus mendesak bapak sama ibu untuk mengatakannya. Tapi mas, menurut Ayud, apakah Dinda itu cinta juga sama mas ?"
"Cinta, entahlah, tapi kalau suka iya."
"Apa maksudnya itu?"
"Dinda nggak pernah menolak mas kok, mas yakin suatu hari nanti dia akan jatuh cinta sama mas."
"Suka yakin kamu mas, kenapa nggak cari yang lain saja."
"Enak saja, mana bisa cinta bisa dialihkan ke orang lain? Pokoknya mas harus tetap memperjuangkan cinta mas ini."
Ayud hanya geleng-geleng kepala mendengar kata-kata kakaknya. Tapi dalam hati dia juga bertanya-tanya, ada apa dibalik larangan itu ya?
"Mas akan mendekati om Raharjo lebih dulu, dan minta agar om Raharjo bisa meluluhkan hati bapak."
"Ya sudah mas, semoga mas berhasil deh."
***
Setelah berbelanja itu Mirna kemudian mengajak ayahnya makan siang disebuah rumah makan. Udara yang panas, membuat mereka tampak letih. Tapi pak Kadir merasa khawatir melihat wajah Mirna juga tampak pucat.
"Kamu sakit?" tanya pak Kadir disela-sela makan.
"Agak pusing pak, makanya bapak Mirna ajak makan disini, sambil istirahat."
"Apa perlu ke dokter?"
"Nggak pak, nanti setelah istirahat pasti pusing Mirna agak berkurang."
"Ya sudah, kamu habiskan saja makananmu, barangkalu didekat sini ada yang jual obat-obatan, nanti bapak belikan."
"Iya pak, barangkali ada, tapi bapak selesaikan dulu makannya, baru beli. Bolehkan Mirna menunggu disini saja?"
"Ya tentu kamu harus menunggu disini, biar bapak sendiri yang mencari obatnya."
Tapi ternyata Mirna juga nggak berselera makan. Ia hanya menyuapkan beberapa sendok nasi ayam yang dipesannya,
"Kok cuma sedikit sudah berhenti, habiskan makanmu. Nih bapak sudah selesai, biar bapak keluar dulu sebentar."
Mirna hanya mengangguk. Pak Kadir keluar dari rumah makan itu meninggalkan Mirna yang tiba-tiba merasa mual dan ingin muntah.
Mirna merogoh tas, barangkali bisa menemukan minyak angin disana, untuk mengurangi rasa mualnya. Tapi minyak angin itu tak ditemukannya. Mirna berdiri dan berjalan cepat ke toilet. Begitu memasukinya, langsung keluar semua isi perutnya. Mirna ter engah-engah sambil menyiramkan muntahan di kloset kamar maandi itu. Kemudian ia berkumur serta mencuci wajahnya.
Lemas rasanya ketika ia keluar dari kamar mandi. Begitu pintu terbuka, Mirna terhuyung hampir jatuh, lalu tiba-tiba seseorang merangkulnya.
"Hati-hati, mbak sakit?" tanya perempuan yang menopang tubuhnya.
"Iya, sedikit pusing, tapi sudah berkurang setelah... ma'af.. muntah." jawab Mirna pelan.
"Saya membawa minyak gosok, sebentar, saya ambil." kata wanita itu yang kemudian merogoh tasnya.
"Ini, ayo agak ke pinggir mbak, biar saya gosok perut dan punggung mbak," katanya sambil menuntun tubuh Mirna agak ke pinggir.
Ada beberapa wanita yang keluar masuk toilet, lalu memandang kearah Mirna dan wanita itu. Bau minyak angin yang menebar, membuat mereka maklum bahwa seseorang sedang sakit atau masuk angin.
"Terimakasih banyak mbak," keluh Mirna yang merasa lebih nyaman begitu mencium aroma minyak angin yang semriwing.
"Sama-sama.... tapi... lho.. apakah kita pernah bertemu?" pekik wanita itu sambil memandang wajah Mirna lekat-lekat.
Tiba-tiba ketika memandangi wajah penolongnya, Mirna teringat, bukankah dia ibunya anak laki-laki yang menangis di pesta pernikahan Ayud?
==========
Mirna memegang kepalanya yang berdenyut.
"Aaa... di pesta pernikahan Ayud, anda menemukan anakku lagi nangis? Hahaaa... kok bisa kebetulan bertemu disini. Masih pusing?"
"Nggak mbak, terimakasih banyak, ma'af sudah merepotkan. "
"Dik.. temannya Ayud? Atau Adhit ?"
"Mm.. ya.. teman... teman saja.." Mirna bingung, tapi tak ingin mengatakan hubungannya dengan perusahaan Adhitama. Takutnya pembicaraan jadi panjang. Ia ingin cepat-cepat kenbali ke meja tempat dia makan.
"mBak, saya mau kesana dulu, barangkali ayah saya sedang menunggu." katanya sambil masih memegangi kepalanya.
"Hati-hati dik," pesan Dewi ramah, kemudian ia masuk kedalam toilet karena memang ingin buang air kecil tadi. Tapi tiba-tiba ia ingat nama gadis yang baru saja ditolongnya. Kalau nggak salah namanya Mirna. Haa.. Mirna...
"Tapi tak mungkin Mirna isterinya Aji, nama Mirna kan banyak.." desis Dewi sambil mengunci kamar mandi.
Sesampai di mejanya, dilihatnya ayahnya sudah duduk disana, sambil sesekali menoleh kesana kemari. Rupanya ia mencari cari Mirna yang tak ada dimejanya, sementara tas dan belanjaannya masih terletak disana.
"Bapak.." panggih Mirna sambil duduk dihadapan bapaknya.
"Ya ampun nduk, bapak mencari kamu tadi. Dari kamar mandi? Wajahmu pucat sekali."
"Iya pak, sempat muntah-muntah tadi, tapi sekarang sudah enakan."
"Ini obat pusing yang tadi bapak beli, minumlah dulu. Tapi kamu belum menghabiskan makananmu."
"Iya, rasanya mual, biar Mirna makan dulu sesendok dua sendok sebelum minum obatnya."
"Ya, itu lebih baik... itu nasimu hampir belum kamu makan.."
"Sudah sedikit tadi," kata Mirna sambil menyendok lagi nasinya. Perutnya agak enakan setelah isinya dikeluarkan sampai habis.
"Habiskan saja, kan cuma sedikit..." kata Kadir yang melihat Mirna mulai menyendok nasinya beberapa kali.
"Takut nanti mual lagi pak, mana obatnya, biar Mirna minum sekarang.
Pak Kadir menyodorkan satu strip obat pusing, yang kemudian diminum Mirna satu tablet dengan seteguk air.
"Sebaiknya nanti sore kamu ke dokter. Wajahmu pucat sekali nduk."
"Kalau sampai sore masih pusing saya mau ke dokter pak."
"Nanti tilponlah suamimu.. biar bisa pulang lebih awal dan mengantar kamu ke dokter."
"Nggak usah pak, nanti Mirna ke dokter saja sendiri, eh.. sama bapak saja.. lebih baik."
"Lha dia kan suamimu, wajib diberi tau keadaanmu dong nduk."
"Jangan pak, nanti merepotkan saja."
"Kamu itu aneh.. biar nanti bapak saja yang menelpon dia," kata Kadir yang kurang suka melihat sikap anaknya.
Mirna tak menjawab. Ia menghabiskan sisa minumannya, kemudian mengangkat ponselnya untuk memanggil taksi.
"Kita pulang ya pak,"
"Ya, itu lebih baik, supaya kamu bisa segera beristrrahat."
***
"Dhit, kamu tau nggak, tadi aku menolong seorang gadis yang sakit disebuah rumah makan, dan gadis itu namanya Mirna. Tapi pasti bukan Mirna isteri Aji itu, soalnya dia makan disitu bersama ayahnya. " kata Dewi dalam pembicaraan melalui telpon disore itu.
"Oh ya, orangnya bagaimana?"
"Aku tuh ketemu dia sekali, waktu pesta pernikahan Ayud itu."
"Oh, pernah ketemu?"
"Iya, kan dia yang menolong Bima ketika dia menangis mencari aku."
"Oh...begitu?"
"Katanya dia teman kamu.."
"Teman aku?" tanya Adhit masih pura-pura tak tau, padahal dia yakin kalau Mirna yang dimaksud pasti Mirna bekas sekretarisnya.
Selama ini Adhit merasa lebih suka bersikap tidak mengenal Mirna yang dimaksud Dewi.
"Iya, teman kamu atau teman Ayud, gitu.. oh ya, waktu datang itu sepertinya dia juga bersama ayahnya.."
"Yah, teman aku kan banyak, agak lupa aku. Dia datang pada pesta prnikahan Ayud ya? "Mungkin teman Ayud, atau teman Dinda, entahlah.."
"Aku belum menemukan berita tentang Aji, geregetan aku, sebetulnya aku pengin mengajukan gugatani cerai saja, tapi aku ingin membalas perlakuannya dengan mempermalukannya didepan isterinya."
"Nanti aku bantu kamu mencari informasi tentang dia Wi, sabar ya."
"Baiklah Dhit, aku percaya kamu masih temanku."
"Iyalah Wi.. selamanya kita akan berteman."
Ketika pembicaraan itu selesai, Adhit...
Bersambung #23
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel