Mirna mengerjap-ngerjapkan matanya. Seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Ada rasa bingung untuk menjawab kalau nanti ada pertanyaan.. mengapa ngantri di dokter kandungan.
"Mirna?"
Mirna mengangkat kepalanya sambil memikirkan sebuah jawaban.
"Bu Ayud ?"
"Mirna... kamu ada disini. Sekarang tinggal dimana?"tanya perempuan yang memang Ayud adanya. Ada suaminya berdiri disampingnya.
"Saya.. diluar kota dan...."
"Kamu sudah menikah? Mengapa kami nggak kamu beritau Mirna?"
"Oh... itu...," gagap Mirna menjawabnya.
Tiba2 Aji sudah ada diantara mereka. Ia menatap perempuan cantik yang sedang menyapa isterinya. Batinnya berdecak kagum. Alangkah cantik perempuan ini. Tapi sadar bahwa ada laki2 berdiri disampingnya, ia hanya memandangnya sekilas sambil menelan ludah.
"Ini... suami kamu?" tanya Ayud.
"Ya.. saya suaminya, jawab Aji sambil tersenyum. Diam2 Ayud kurang suka melihat senyumnya. Tapi ia ingat kata kakaknya nahwa laki2 bernama Aji itu memang mata keranjang. Kasihan Mirna.
"Mirna.. kamu mau periksa kandungan? Kamu sudah mengandung?"
"Kami baru akan memeriksakannya ke dokter .. " lagi2 Aji yang menjawabya.
Tiba2 pintu ruang dokter kandungan itu terbuka, seorang perempuan dengan perut buncit keluar dan suster memanggil nama Mirna.
"Nyonya Mirna Aji."
Aji menarik tangan isterinya untuk diajaknya masuk kedalam. Rupanya tadi Aji minta didahulukan dengan alasan Mirna muntah2 terus.
Sambil melangkah sambil menggandeng isterinya, Aji sempat melirik kearah Ayud dengan pandangan kagum. Kalau saja Aji tau bahwa Ayud adalah adiknya Adhit yang pernah menghajarnya sampai babak belur, pasti ia tak akan berani melakulannya.
Ayud memalingkan wajahnya dengan sebal, lalu menarik tangan Raka, diajaknya duduk.
"Hiih...menyebalkan !"keluh Ayud.
"Kalau tidak ingat bahwa ada Mirna disitu pasti sudah aku hajar si brengsek itu. Beraninya dia menatap isteriku dengan pandangan kurangajar seperti itu."
"Padahal ada isterinya. Benar kata mas Adhit. Dia laki2 brengsek. Kasihan Mirna."
"Wajahnya pucat sekali. Botol minyak angin dibawa dan dihirupnya ber kali2. Mungkin benar dia hamil," kata Raka.
"Untunglah aku walau hamil tak merasakan apa2. Malah doyan makan .." kata Ayud senang.
"Kamu perempuan kuat, nggak merepotkan suami," puji Raka sambil memeluk pundak isterinya.
Agak lama mereka menunggu, Mirna dan Aji baru keluar dari ruang dokter. Mirna tak ingin berhenti untuk menyapa Ayud. Ia berjalan lunglai dengan dipapah suaminya yang kali ini tak berani lagi menatap Ayud karena Raka menatapnya tajam penuh ancaman. Aji hanya mengangguk dan berlalu. Mirna tak menoleh sedikitpun. Ia tak ingin lagi mendengar pertanyaan yang tak akan mampu dijawabnya.
Ayud mendengus kesal. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih jauh. Minimal dimana alamat mereka, tapi situasi tampak tak memungkinkan. Bahkan ia juga tak menanyakan, benarkah Mirna hamil atau tidak.
***
"Kamu bertemu dia? Mengapa kamu nggak menanyakan dimana alamatnya?"tegur Adhit ketika Ayud menceritakan tentang pertemuannya dengan Mirna dan Aji. Juga sikap Aji yang sangat memuakkan.
"Nggak ada kesempatan untuk itu mas, Mirna tampak kesakitan dan nggak bisa diajak bicara."
"Suaminya?"
"Nggak mau aku ngomong sama suaminya. Sikapnya sangat menyebalkan," sungut Ayud kesal.
"Sayang sekali kamu nggak bisa bertanya dimana alamatnya."
"Iya mas. Mau bagaimana lagi. Tapi tampaknya dia benar2 hamil. Kasihan benar.. punya suami seperti itu."
Adhit terdiam. Kalau toh dia bisa mengetahui alamatnya, lalu bertemu dengannya, apa yang akan dikatakannya? Mengingatkannya.. toh sudah terlanjur. Bukannya lebih kasihan kalau setelah menjadi isterinya lalu mengetahui keburukan suaminya?
"Apa yang mas pikirkan?"
"Hanya rasa kasihan. Apa yang harus kita lakukan lagi? Bukannya semua sudah terlanjur? Aku justru ingin menutupi semua ini dari Dewi. Takutnya kalau Dewi tau lalu melabraknya.. "
"Iya.. kasihan Mirna.. ber kali2 itu yang bisa aku katakan."
***
Mirna memang dinyatakan hamil. Ketika di USG dokter menunjukkan ada janin didalam rahimnya
"Berbahagialah bapak dan ibu, karena anda akan dikaruniai seorang bayi," kata dokter Andre, dokter kandungan itu.
Aji mengangguk angguk, dan Mirna tampak lesu. Dokter Andre tak melihat rona bahagia pada wajah keduanya. Mirna menyesali kehamilannya yang tumbuh bukan karena cinta. Tapi dokter Andre mengira bahwa tak adanya rona bahagia itu adalah karena Mirna kesakitan.
Dokter itu menuliskan resep yang kemudian dibelikan oleh Aji di apotik. Ada obat mual yang harus diminumnya sebelum makan. Dan vitamin berbentuk lonjong kecoklatan yang hanya boleh diminum sekali sehari. Oh ya.. masih ada lagi tablet putih kecil2 yang harus diminum pagi sore.
Mirna memandangi setumpuk obat itu dengan lesu. Tadi Aji membelikannya dan meletakkannya begitu saja dimeja. Ia membiarkan isterinya berbaring di ranjang. Tak ada gairah yang membuat nafsunya menyala seperti ketika mereka belum berangkat ke dokter. Aji orang aneh, ia benci perempuan hamil. Seperti ketika ia meninggalkan Dewi sa'at perutnya berisi benih yang ditanamkan olehnya. Sekarang rasa itu timbul lagi. Itulah sebabnya. Mengapa setelah meletakkan obat2 dimeja disamping tempat tidur Mirna maka dia langsung pergi lagi.
"Aku sedang banyak.urusan. Mungkin tak bisa pulang malam ini," itu yang dikatakan Aji kepada Mirna, yang didengar Mirna dengan perasaan tak perduli.
Lebih baik suaminya tak ada disampingnya. Menurutnya Aji adalah laki2 yang menikahinya karena nafsu.
Mirna selalu mengeluh karena lelah melayani suaminya yang tak henti2nya merasa kehausan mereguk kenikmatan dari tubuhnya. Dan Mirna melayaninya hanya karena kewajiban. Tak ada cinta disana. Dan tak segera cinta itu tumbuh seperti kata ayahnya.
"Lho nduk.. kok obatmu belum diminum juga?"kata pak Kadir begitu masuk kekamar dan obat2nya masih utuh didalam bungkus plastiknya.
"Nanti saja pak, perut Mirna masih mual."
"Lha tadi suamimu bilang ada obat mualnya," kata pak Kadir yang kemudian merasa kesal karena Aji meninggalkan isterinya begitu saja walau tau isterinya sedang sakit.
"Iya pak.. nanti saja."
Pak Kadir membuka bungkusan obat membaca satu persatu aturan minumnya.
"Naa.. ini.. yang ada tulisannya sebelum makan ini pasti anti mualnya. Ayo diminum dulu ta nduk. Supaya kamu nggak muntah2 lagi," kata pak Kadir sambil mengulurkan obatnya.
"Sebentar pak, tadi Mirna sudah membuka semua obatnya."
"Minum yang anti muntah ini dulu.. nih.. minummu sudah bapak siapkan," kata pak Kadir setengah memaksa.
Mirna terpaksa bangkit lalu diminumnya obat yang diberikan ayahnya.
"Setelah itu makanlah."
Mirna mengeluh, lalu kembali membaringkan tubuhnya.
"Mengapa nak Aji tadi cepat2 pergi padahal kamu sedang sakit?"
"Biarkan saja pak. Dia sedang banyak pekerjaan."
"Ya sudah, bapak juga nggak ngerti kalau pengusaha itu bekerjanya harus siang malam."
Mirna terdiam. Sebenarnya ada yang difikirkannya. Sesuatu yang mengganggunya.
"Mau makan sekarang? Bapak ambilkan ya?"
"Nanti dulu pak."
"Sudah seperempat jam setelah kamu minum obatnya. Ayo bapak ambilkan," kata pak Kadir sambil beranjak pergi.
"Pak.. sebentar pak."
Langkah pak Kadir terhenti.
"Bagaimana kalau Mirna menggugurkan saja kandungan ini?"
Pak Kadir terkejut.
==========
Pak Kadir tertegun. Dipandanginya Mirna yang tampak berlinangan air mata.
"Mirna.. kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan?"
Mirna tak menjawab. Ia mengambil botol minyak angin lalu dihirupnya perlahan. Obat mual itu rupanya belum bekerja sempurna. Perutnya kembali terasa mual.
Pak Kadir tiba-tiba merasa bahwa menantunya ternyata kurang perhatian pada isterinya yang sedang hamil muda. Biasanya seorang suami akan memberi perhatian lebih sa'at isterinya hamil.
Mengapa Aji seakan tak perduli? Pekerjaan apa yang membuat seorang suami mengesampingkan kehamilan sang isteri? Iba rasa hati pak Kadir melihat Mirna tampak menderita.
Namun tentu saja Kadir tak setuju ketika Mirna bermaksud menggugurkan kandungannya.
"Mirna, anak itu adalah titipan Alloh Yang Maha Kuasa. Ketika kamu mengandung, berarti Alloh mempercayakan miliknya agar dijaga olehmu, dikasihi dicintai sepenuh hati."
Mirna masih terdiam. Sesungguhnya ia sadar akan kebenaran kata ayahnya. Ia hanya tak suka pada suaminya. Tak ada cinta ketika nafsu bercumbu dalam nikmat sesa'at. Ia mengelus perutnya lembut.
Kamu tak berdosa. Ma'af telah menyakitimu dengan keinginan menggugurkanmu.. bisiknya dalam hati.
"Apa kamu merasa lebih nyaman? Bapak ambilkan makan lalu minum obat lainnya ya"
"Biar Mirna makan diruang makan saja pak. Sudah enakan. Mirna bukan sedang sakit.. " kata Mirna sambil bangkit turun dari ranjang.
Pak Kadir yang merasa khawatir memapahnya. Tapi Mirna menolak.
"Mirna nggak apa-apa bapak.. bisa jalan sendiri kok."
Dan Mirna benar-benar makan. Pak Kadir senang melihatnya.
"Kamu tadi tidak ber sungguh2 bukan ?"
Mirna mengangkat wajahnya, menatap ayahnya sambil tersenyum
"Ma'afkan Mirna bapak," katanya sambil menyendok makanannya. Pak Kadir merasa lega. Iapun menghabiskan nasi sepiring yang diambilnya.
"Obatmu? Nih bapak bawa sekalian kemari," kata pak Kadir sambil memberikan bungkusan plastik berisi obat.
"Mirna.. apa kamu belum bisa mencintai suamimu?"
Mirna urung membuka plastik obatnya. Ia memandangi wajah tua itu dengan terharu. Ia tau ayahnya ingin melihatnya bahagia. Dan ia tak ingin mengecewakannya.
"Bukankah cinta terkadang memerlukan waktu untuk bicara? Bapak yang mengatakannya bukan?"
"Kalau kamu tidak bahagia, bapak akan menyesali pilihan bapak."
Mirna menelan obat-obatnya. Dipandanginya lagi wajah tua itu dengan iba.
"Bapak jangan khawatir. Mirna bahagia kok. Apalagi dengan adanya bapak disamping Mirna."
Tapi mata tua itu menangkap kebohongan diwajah pucat anaknya. Ia mulai merasakan bahwa Aji kurang memperhatikan isterinya.
Itu dirasakannya ketika Aji nekat pergi walau isterinya sedang sakit.
Rasa sesal perlahan merayapi batinnya.
Memang Aji memberikan rumah bagus kalau tidak boleh dibilang mewah. Rumah itu lengkap dengam segala isinya. Ruang dapur yang lengkap dengan semua peralatan modern. Ruang makan yang luas dan enak dipandang. Tiga kamar tidur yang nyaman dengan semua perabotnya. Ruang santai diruang tengah.. kamar tamu... semua sangat mewah menurut pak Kadir yang biasa hidup serba kekurangan.
Tapi ternyata gelimang harta tak sepenuhnya bisa menciptakan bahagia.
Mirna sudah selesai minum obatnya. Ia ingin membersihkan meja makan, tapi ayahnya melarangnya.
"Biar bapak saja," katanya sambil berdiri.
"Jangan pak, Mirna sudah merasa baik. Bapak duduk saja disitu."
Tapi pak Kadir memaksa mengambil sisa makanan itu kedapur, sedangkan Mirna membawa piring-piring kotor dan langsung mencucinya.
***
Siang itu Dinda sedang men cari-cari buku disebuah toko. Sebenarnya Raka akan mengantarnya, tapi Dinda memaksa untuk mencarinya sendiri.
Beberapa buku sudah ditemukannya. Ada lagi satu buku yang dicarinya... haa.. ternyata ada disana.. Dinda melangkah kearah letak buku itu ketika tiba-tiba seseorang menyapanya.
"Heiii... bukankah kita pernah bertemu ?"sapanya.
Dinda memandanginya dan meng ingat-ingat siapa dia.
"Hayooo... lupa kan? Aku mengikuti kamu sejak kamu turun dari taksi."
Tapi melihat senyum itu Dinda merasa sebal. Wajah yang sebenarnya tampan itu menjadi tidak lagi menarik karena senyum yang dimaksudkan untuk memikat itu justru membuat Dinda muak. Itu bukan senyuman orang baik-baik.
Lalu Dinda teringat ketika sedang membeli bunga bersama Mirna. Haaa... dia kan Aji?
Dinda bergegas berjalan meninggalkan Aji tapi laki-laki menyebalkan itu memegang lengannya. Kemarahan Dinda memuncak.
"Lepaskaan... !!"teriak Dinda. Dan teriakan itu membuat semua orang yang ada ditoko buku itu menoleh kearah mereka.
Aji segera melepaskan pegangannya. Membiarkan Dinda langsung menuju kasir umtuk membayar belanjaannya. Ada yang belum sempat dibelinya tapi Dinda merasa lebih baik menjauhi Aji.
Dinda tak perduli orang-orang disekitarnya memandanginya sambil ter senyum-senyum. Mereka pasti mengira Dinda sedang berantem dengan pacarnya.
Ada bisikan begitu yang sempat terdengar oleh Dinda.
"Idiih... amit-amit deh.. pacaran sama orang kayak gitu," katanya pelan didepan kasir yang kemudian juga tersenyum aneh kearahnya.
Dinda tak perduli. Ia bergegas keluar dari toko sambil menenteng bawaannya.
Ketika diluar toko itu ia membuka ponselnya untuk memanggil taksi, seseorang turun dari mobil yang ada didepannya.
Dinda pura-pura tak melihatnya. Ia terus mengotak atik ponselnya untuk memberi petunjuk kepada driver taksi dimana dia menunggu.
"Dimana sih rumahnya? Mau diantar nggak?"
Dinda pura-pura tak mendengar, ia berjalan menjauh dengan wajah suram.
"Sombong amat, aku kan berniat baik ?"
Dinda melongok kesana kemari untuk melihat apakah taksi yang didepannya sudah dekat.
Tiba-tiba tiga orang gadis yang semuanya menarik lewat didepan Aji. Seseorang berteriak memanggil.
"Heiii... mas Aji.. gebetan baru ya?" kata.salah seorang gadis itu yang disambut tawa teman-temannya.
Aji tersenyum sambil menutup mulutnya dengan jari telunjuknya. Ketiga gadis berlalu sambil tertawa ngakak.
Ketika Aji ingin mendekati Dinda lagi, taksi yang dipesan Dinda sudah sampai.
Dinda segera naik kedalam taksi dan taksi itu berlalu. Karena gemas.dan.penasaran, Aji cepat-cepat menaiki mobilnya.dan mengejar taksi yang membawa gadis yang diincarnya.
***
Dinda yang merasa yakin bahwa laki2 nekat itu pasti mengikutinya, ia memesan taksi kekantor Adhitama.
Aji terkejut ketika melihat taksi yang diikutinya turun didepan kantor dimana dia dulu sering menjemput Mirna.
"Jadi gadis itu bekerja di kantornya Mirna dulu?"gumamnya sambil turun dari mobil.
Ketika Dinda melangkah kehalaman kantor, tiba-tiba sebuah mobil sedang menuju keluar. Begitu melihat Dinda, mobil itu berhenti dan Adhit keluar dari mobil itu.
"Mas Adhit?"seru Dinda senang.
"Kamu kok nggak bilang kalau mau kesini? Untung aku belum pergi."
"Ya.. itu gara-gara aku di kejar kejar orang gila."
"Orang gila?"
"Iya, jangan-jangan dia ngikutin sampai kemari," kata Dinda sambil melongok kejalan.
"Itu dia !"teriak Dinda.
Tapi Aji yang semula mengikuti Dinda, terkejut ketika Dinda bertemu Adhitama. Aji belum lupa bagaimana Adhit menghajarnya. Serta merta Aji berbalik arah, menuju ke mobilnya dan kabur.
"Aji ? Dia mengganggu kamu?" Adhit manarik Dinda agar masuk kemobilnya, lalu memacunya kearah perginya Aji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel