Cerita Bersambung
Adhit memacu mobilnya, tapi jalanan sedang ramai. Mobil Aji sudah tak kelihatan buntutnya. Adhit mengumpat tak habis-habisnya.
"Setan alas, sudah gatal tanganku ingin menghajarnya lagi," umpatnya penuh geram.
"Ih.. mas Adhit kalau marah menakutkan deh," kata Dinda sambil memandangi wajah Adhit yang tampak gusar.
"Diapakan kamu tadi?"
"Dia tiba-tiba sudah ada didekat aku, aku diamkan lalu aku tinggalkan dia, tapi dia memegang tanganku."
"Kurangajar !!"
"Aku berteriak sampai orang yang ada disana memandangi kami, baru dia melepaskan tanganku."
"Kok ada ya orang segila itu."
"Yang lebih mengesalkan, ada orang berbisik-bisik, mengira kami sepasang kekasih yang lagi bertengkar."
"Benar-benar harus dihajar orang itu."
Kesal mencari tak ketemu, akhirnya Adhit mengajak Dinda makan disebuah restoran.
Kekesalan hati Adhit terobati ketika dipandanginya wajah cantik yang sedangmakan dengan lahapnya.
"Kamu lapar sekali ya?" Tanya Adhit sambil tersenyum.
"Iya.. aku belum sarapan tadi," jawab Dinda sambil mengusap bibirnya yang berlepotan terkena minyak dari ayam goreng yang digigitnya.
"Kasihaaan... anak kost.. ," goda Adhit, membuat Dinda cemberut.
"Biarin...," kata Dinda sambil menyendok suapan terakhirnya, lalu diteguknya sisa minumnya.
"Nggak mau nambah ?"
"Iih.. memangnya perutku nih karet ? Bisa diisi sesukanya."
"Sama buat ntar sore barangkali;"
"O.. iya.. kalau begitu bungkysin dong," kata Dinda sambil meleletkan lidahnya.
"Oke, pesan aja sendiri apa yang kamu suka,"
Dan bahagianya Adhit ketika tanpa dinyana bertemu Dinda yang selalu dirindukannya.
"Mengapa tiba-tiba ketika dikejar si brengsek itu kemudian larinya ke kantor mas Adhit? Pasti kamu kangen kan?"
"Aku bingung mau kemana, dan terdekat dari toko buku itu kan kantornya mas Adhit."
"Dan beruntung waktu itu mas Adhitmu ini belum keluar dari kantor. Dan menurut mas Adhit kita ini sebenarnya memang jodoh," kata Adhit memancing.
"Iya jodoh.."
Adhit berdebar mendengar jawaban Dinda. Apakah itu berarti dia mulai menyukaiku? Pikir Adhit.
"Kamu suka?"lanjut Adhit memancing.
"Suka apa," jawaban Dinda bingung.
"Tentang jodoh itu."
"Jodoh itu apa?"
Dan Adhit terperangah. Rupanya Dinda tak mengerti kemana arah kata-kataya.
"Dasar bodoh," celetuknya kesal.
Dinda menatap wajah Adhit. Mencoba mengurai arah kata Adhit.
"Lho mas Adhit kok cemberut gitu. Memangnya aku salah apa?"
"Nggak, kamu nggak salah. Kamu cuma bodoh," gerutu Adhit.
Dinda tak menjawab. Dipandanginya wajah Adhit. Benar-benar pandangan polos, seperti anak kecil yang belum memahami sebuah kata.
"Dinda...," bisik Adhit lembut. Pandangannya tajam kearah wajah Dinda. Pandangan penuh cinta kasih. Tapi yang membuat Dinda bingung.
"Mas kok memandangi Dinda begitu, Dinda takut, tau." katanya tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah Adhit.
"Kamu suka nggak sih sama mas Adhit?"
"Suka dong, apalagi setelah mas Raka menikah, mas Adhit tampak sangat menyayangi Dinda."
Lalu jiwa Adhit bagai terhempas disebuah bebatuan setelah terbang melayang dilangit tempat dewa2 bermukim.
Aduhai. Begitu polosnya gadisku ini. Begitu lugu dan menganggap ungkapan perasaanku sebagai lelucon. Bisik batin Adhit.
Ia lepaskan tatapan mata polos itu lalu diteguknya habis sisa minuman yang tinggal setengahnya.
"Mas Adhit marah ?" tanya Dinda, lagi-lagi dengan pandangan polos. Sepasang mata bening itu benar-benar bening. Bagai telaga.tak berombak. Indah memukau. Adhit menelan ludah dan memalingkan wajah.
"Aduhai mata indah yang bodoh". Bisiknya lirih.
"Mas Adhit bilang apa?"sepasang mata bening itu ber kejap -kejap. Adhit gemas.. tapi tak berdaya. Baiklah, akan aku jaga cinta ini sampai kamu mengerti. Aku yakin kamu tak akan menolakku. Bisik batinnya lagi.
***
Siang itu Mirna sedang membersihkan dapur setelah memasak, ketika tiba-tiba Aji masuk kedalam. Mirna segera menyambutnya dengan mencium tangan suaminya seperti biasa dilakukannya setelah menjadi seorang isteri.
"Aku buatkan minum dulu," katanya sambil mengambil gelas dan siap menuangkan jus jeruk kedalamnya.
Aji tak menjawab. Ia hanya mengangguk lalu membalikkan tubuhnya, kemudian duduk diruang tengah. Ia bahkan tak menyalami mertuanya ketika dilihatnya pak Kadir baru masuk kerumah setelah membersihkan kebun.
"Lho, jam segini nak Aji sudah pulang?"
"Ya pak, nggak ada pekerjaan penting."
"Oh, Mirna sudah memasak tadi, apa dia sudah tau? " lanjut pak Kadir sambil terus berjalan kebelakang untuk membersihkan kaki tangannya.
"Sudah pak, sudah tau," kata Aji tanpa menoleh. Diselonjorkannya kakinya disofa dengan santai.
Ketika Mirna datang membawa segelas minuman, Aji mengambilnya dan segera meneguknya habis. Tampaknya ia kehausan.
"Mirna.. ," panggilnya ketika dilihatnya Mirna membalikkan tubuhnya. Mirna berhenti.
"Aku mau minum obat dulu mas, perutku mual, itu harus diminum sebelum makan."
"Aku hanya ingin bicara sebentar. Kebangetan ya perempuan kalau lagi hamil. Sungguh merepotkan," keluh Aji. Tapi ia membiarkan Mirna terus berjalan kebelakang.
Sakit hati Mirna mendengar perkataan Aji. Tapi ia mendiamkannya.
Pak Kadir yang juga mendengar perkataan itu ketika mau keluar menemui menantunya, urung melangkah. Ia membalikkan tubuhnya dan masuk kekamarnya.
Barangkali sakit hati yang dirasakannya sama dengan yang Mirna rasakan. Perasaan sesal sedikit demi sedikit mulai merayapi hatinya.
"Mirna..," panggil Aji setengah berteriak.
Mirna baru saja memasukkan tablet anti muntahnya, lalu diteguknya air yang sudah disiapkannya.
"Mirnaa," panggil Aji lebih keras.
Mirna meletakkan gelasnya lalu berjalan menemui suaminya.
"Duduklah, aku ingin bicara."
Mirna duduk di hadapan suaminya. Menunggu apa yang akan di katakannya. Sedikitpun ia tak berharap suaminya akan bertanya tentang keadaannya setelah dari dokter dua hari yang lalu.
Dan memang Aji tak menanyakannya, juga tak tampak kebahagiaan diwajahnya ketika mengetahui Mirna sedang mengandung anaknya.
"Aku ingat ketika bertemu kamu pada suatu hari.. disebuah toko bunga ..." Aji berhenti sebentar .. Mirna masih menunggu.
"Kalau tidak salah waktu itu kamu sedang bersama temanmu."
Mirna meng ingat-ingat. Kalau itu menjelang pernikahan bu Ayud.. dia bersama Dinda, apa maksudnya, pikir Mirna.
"Siapa dia? Orangnya kecil tinggi semampai, rambut sebahu, wajahnya ayu..."
Kalau isteri lain merasa cemburu ketika sang suami me muji-muji perempuan lain, tapi tidak dengan Mirna. Tak sedikitpun ada cemburu dihatinya.
Benar kan, cemburu pertanda cinta.. lhah kalau nggak cemburu? Memang Mirna mengakui bahwa cinta itu belum tumbuh dihatinya. Tak ada semi karena tak ada pupuk yang membuatnya subur.
"Kamu mendengar perkataanku?"tanya Aji ketika dilihatnya Mirna terdiam.
"Apa kamu cemburu?"lanjutnya.
Mirna buru-buru menggelengkan kepalanya. Cemburu? Tidaak.. kamu bukan hanya boleh memuji setiap perempuan cantik, kamu memacaripun aku tak perduli. Kata batin Mirna.
"Siapa sebenarnya gadis itu?"
"Namanya Dinda," jawab Mirna singkat.
"Dia bekerja ditempat kerja kamu dulu?"
"Nggak..."
"Tapi aku melihatnya memasuki halaman kantor itu."
"Itu kerabat bekas atasanku."
"Oh, kerabat?"
"Kalau nggak salah dia itu pacarnya bekas atasanku."
Aji terkejut setengah mati.
"Pacarnya? Mati aku," cetus Aji.
***
Setelah pertemuan terakhir dengan Dinda, hati Adhit semakin tak bisa melupakannya.
Hari itu ia nekat terbang ke Jakarta untuk menemui kedua orang tuanya. Ia harus meyakinkan mereka bahwa ia benar-benar cinta dan ingin.menikahinya.
Galang dan isterinya terkejut ketika tanpa kabar tiba-tiba Galang.muncul dihadapan mereka.
"Ada yang penting, atau kangen sama bapak ibumu?"tanya Galang setelah berbincang tentang usaha dan juga keadaan keluarga Solo.
"Kangen bapak sama ibu.. iya, tapi Adhit masih akan melanjutkan pembicaraan yang dulu pernah Adhit utarakan."
"Tentang apa itu?"
"Tentang Dinda."
Galang dan Putri terkejut. Tak mengira Galang akan senekat itu.
"Kamu itu sudah lupa pada yang pernah bapak katakan ya?"kata Galang tajam. Putri diam dan berdebar.
"Bapak, Galang benar-benar cinta. Katakan alasannya kalau memang tak diijinkan,"
"Kamu tidak perlu alasan apapun. Kalau orang tua melarang pasti ada alasannya." kata Galang tandas.
"Tapi apa alasannya, bapak. Apa dia buruk, apa dia penyakitan, apa dia punya umur yang tidak akan panjang?"
"Tidak semuanya. Pada suatu hari nanti kamu akan mengerti."
"Pada suatu hari? Mengapa tidak sekarang bapak, Adhit mohon.."
Tapi sampai kemudian Putri menyuruhnya istirahat, Adhit belum juga mendapatkan jawabannya.
Dikamarnya, Putri dan Galang berbincang.
"Menurut aku, kita bisa mengarang kebohongan.." kata Galang dengan mata menerawang.
"Kebohongan bagaimana mas?"
"Bagaimana kalau kita katakan bahwa..."
"Tidak mas, aku lelah menyimpan rahasia ini dan akan menutupinya dengan kebohongan," kata Putri sambil berlinang air mata. Galang merengkuh tubuh isterinya dan mengelus kepalanya lembut. Sungguh ia tak ingin batin Putri terluka. tapi bukankah luka itu masih ada?
"Apa maksudmu Putri?"
"Sudahlah mas, katakan saja, buka saja rahasia ini. mungkin dengan begitu batin kita akan merasa lebih tenteram."
Galang termenung. apa yang dikatakan isterinya memang benar. Rahasia itu menyiksa perasaannya seumur hidup. apalagi dengan kerewelan Adhit yang tak henti-hentinya.
"Apa kamu sudah siap? kamu ber sungguh-sungguh ?" tanya Galang masih sambil mengelus kepala isterinya.
Putri mengangguk.
***
Pagi itu Putri sudah menyiapkan makan pagi. Galang sudah duduk dimeja makan. Putri menunggu Adhit yang tak segera keluar.
"Coba kamu lihat kekamarnya, mungkin dia masih tertidur."
Putri menuju kamar Adhit dan mengetuk pintunya.
"Adhit, kamu masih tidur?"
Dan karena tak ada.jawaban maka Putri membuka pintu kamarnya yang ternyata tidak terkunci.
Namun Putri tertegun. Adhit tak ada dikamarnya. Ranjang itu sudah rapi tapi kopor Adhit yang semula terletak didepan almari juga tidak ada.
Adhit pergi diam-diam.
"Maaas... Adhit sudah pergi maas," teriak Putri.
==========
Galang berdiri dan setengah berlari kearah kamar Adhit. Dilihatnya Putri berdiri termangu didepan pintu, berlinang air matanya. Galang merangkulnya.
"Aku baru saja ingin mengatakan semuanya," isak Putri.
"Tenanglah, Adhit bukan anak kecil. Dia tak akan ke mana-mana."
"Coba mas telpone dia..."
Galang mengambil ponselnya dan mencoba menelon Adhit, namun ternyata tidak aktif. Galang menuntun Putri, mengajaknya duduk disofa. Acara makan pagi menjadi tidak lagi nikmat. Mereka kehilangan nafsu makannya.
"Mungkin dia sudah kembali ke Solo, dan mungkin sekarang baru di pesawat. Sebentar lagi aku akan mencoba menelponnya lagi."
"Anak itu, ya ampuun.. kalau sudah punya kemauan, sulit dihentikan. Itu sudah sejak dia masih kecil dulu bukan mas?"
"Benar, dibalik hatinya yang lembut, penuh kasih sayang, dia selalu punya keinginan yang sulit dihentikan. Tapi dalam hal ini kita harus bisa memakluminya, kita melarangnya tanpa mengatakan alasannya kenapa. Pasti dia penasaran."
"Kita yang salah mas. Kita selalu ketakutan untuk membuka rahasia itu. Aku, lebih-lebih aku.. merasa malu membuka aibku.. ini akibatnya. Bukankah se pintar-pintar kita menyimpan bangkai akhirnya akan tercium juga bau busuknya?" kata Putri pilu.
"Putri, dalam hidup terkadang kita harus melalui liku-liku, banyak bunga kehidupan yang terkadang menyakitkan, kita sudah bisa menjalani selama berpuluh tahun, kamu dan aku tetap kuat menerimanya. Tapi Tuhan ingin agar semua terbuka, karena masalah darah daging adalah masalah yang tak bisa disembunyikan. Jangan ingkar kalau Adhit itu memang darah dagingnya Raharjo. Dan Raharjo juga harus tau masalah ini."
Putri mengusap sisa air matanya dan mengangguk perlahan.
"Ayo kita lanjutkan makan paginya, setelah itu aku akan mencoba menelponnya lagi."
Dan makan pagi itu dilalui dengan saling diam. Mereka berbicara dengan hati mereka masing-masing.
Walah bibir mengatakan siap membuka rahasia itu, tapi hati tetap merasa ragu, juga pilu, dan pasti ada rasa malu.
Namun setelah selesai sarapan, bahkan beberapa jam kemudian, ponsel Adhit belum juga aktif. Ketika menelpon kerumah bu Broto, bu Broto malah bingung karena mengira Adhit masih di Jakarta.
"Memangnya ada apa? Apa kalian memarahinya?" tegur bu Broto.
"Enggak bu, cuma dia tadi pulang ter gesa-gesa. Mm.. maksudnya... nggak pamit dulu sama kita." kata Putri yang semula ingin menutupi kepulangan Adhit yang tiba-tiba.
"Ibu sudah menduga, pasti karena Dinda kan?"
"Malam tadi kami sudah sepakat mau membuka rahasia itu bu, supaya Adhit tidak penasaran berkepanjangan dan bisa memaklumi mengapa kita melarangnya, tapi pagi tadi tiba-tiba dia pergi tanpa -pamit." kata Putri yang akhirnya harus berterus terang perihal kepergian Adhit.
"Sudah menelpon dia?"
"Ber kali-kali bu, tapi rupanya dia mematikan ponselnya. Kami mengira dia sudah sampai dirumah."
"Belum tuh, tapi ya sudah nggak apa-apa, ibu tungguin saja, nanti ibu suruh dia kembali ke Jakarta kalau kalian mau mengatakan hal yang sebenarnya. Ibu nggak mau mengatakannya, harus kalian sendiri."
"Baiklah bu, kabari Putri kalau Adhit sudah sampai dirumah."
***
Siang itu Dinda muncul dikantor, tapi langsung menemui Ayud karena tak melihat Adhit di ruangannya. Kata sekretaris barunya, Adhit nggak datang hari itu.
"mBak Ayud, memangnya mas Adhit kemana?"
"Nggak tau, sejak dua hari lalu menghilang," jawab Ayud sekenanya.
"Lhah, kok bisa menghilang?"
"Dia ke Jakarta, ada apa sih, kangen ya?"
"Iya kangen... ," kata Dinda sambil tertawa. "Heran, kalau deket sebel, kalau jauh kangen aku sama dia."
"Hm, itu namanya cinta," goda Ayud.
"Enak aja, ogah aku jatuh cinta sama orang tua."
"Enak aja, kakakku biar tua tapi ganteng lho."
"Iya, percaya, idiih deh, nggak kakaknya nggak adiknya kalau ketemu topiknya itu-itu aja."
"Topik apaan sh?"
"Itu, tentang cinta, Dinda sih belum ingin jatuh cinta, kata ibu harus sekolah dulu, ya kan?"
"Anak pinter. Oh ya, ada apa kau kemari, cuma ingin ketemu mas Adhit?"
"Nggak mbak, tadi cuma nengok aja ke ruangannya, tapi kata sekretarisnya dia nggak ada. Aku langsung kemari deh."
"Oh, aku tau.. bapak mengirimi kamu uang, tapi ada di rekening mas Raka. Kamu butuh sekarang?"
"Iya sih, aku telpone mas Raka dulu deh, biar diambilin uangnya."
"Nggak usah, nanti mbak yang bilang, biar mbak kasih dulu sekarang."
"Nggak enak ah, nanti aku dimarahin mas Raka."
"Lho mas Raka itu kan suami aku, apa menurut kamu beda antara mbak Ayud sama mas Raka?"
"Nggak sih, tapi terkadang mas Raka suka ngomel kalau so'al uang."
"Nggak apa-apa, ini.. mbak kasih dulu, nanti kalau kurang karu bilang sama mas Raka," kata Ayud sambil memberikan sejumlah uang.
"Terimakasih mbak, nanti aku bilang sama mas Raka kalau sudah dikasih mbak Ayud."
"Ya, bilang aja."
Tiba-tiba ponsel Ayud berdering. Ternyata dari Adhit.
"Hallo mas, lagi dimana? Iya aku tau, sudah beres semuanya... apa? Belum mau pulang? Enak aja semua urusan Ayud yang harus urus. Ada apa sih? Mas masih di Jakarta? Lama bener, sampai kapan? Waduuh.. jangan galak-galak dong, ada Dinda disini tuh.. iya.. tuh .. mau ngomong? Nggak? Tumben, nggak kangen sama Dinda? Dinda aja kangen tuh, bener, barusan dia bilang. Oh ya, baiklah, ya nanti Ayud bilang sama eyang. Yaaa... salam buat Dinda? Salam apa dong.. Oke mas" Dan Ayud meletakkan ponselnya sambil masih ter tawa-tawa.
"Ada apa sih? Lucu ya?"
"Itu mas Adhit, kangen sama kamu, tapi cuma nitip salam aja."
"Masih di Jakarta?"
"Tau tuh, ada urusan apa .. nggak bilang apa-apa, minta dilamarin barangkali."
"Oh, mau nglamar? Siapa dong, besok kalau mas Adhit nikah aku mau jadi patahnya."
Ayud tertawa keras.
"Kalau patah segede kamu, bisa-bisa dikira pengantin perempuannya kamu."
"Sama siapa sih, putri Solo? Kok nggak pernah dikenalin ya aku."
"Kamu itu, mbak Ayud cuma bercanda, nggak tau tuh ada urusan apa di Jakarta, ini semua pekerjaan jadi mbak Ayud yang ngurusin."
"Ya udah, Dinda mau pulang sekarang, nanti mbak Ayud terganggu."
"Ayo .. mbak Ayud antar aja sekarang, sekalian makan siang."
"Waah, enak dong.. nanti sekalian diantar ke kampus kan, Dinda mau langusng ke kampus."
"Oke, tunggu sebentar ya."
***
Tapi Putri bingung ketika Ayud menelpon dan mengatakan bahwa Adhit masih ada di Jakarta.
"Jakarta nya dimana?"
"Memangnya nggak dirumah bu?"
"Enggak, cuma semalam dirumah lalu dia pergi lagi."
"O, lagi bingung mas Adhit tuh."
"Iya bingung."
"So'al apa bu?"
"Ah, so'al yang kemarin-kemarin itu juga," jawab Putri seakan mengeluh.
"So'al Dinda?"
"Iya, sedih ibu nduk."
"Memangnya kenapa bapak sama ibu melarang mas Adhit menyukai Dinda?"
"Nanti bapak sama ibu mau mengatakannya, tapi mas mu keburu pergi. Ditelpone juga nggak diangkat, atau dimatikan sekalian ponselnya. Tampaknya dia marah sama bapak ibumu."
"Padahal Dinda sendiri seperti nggak ngerasain perasaan seperti perasaan mas Adhit lho."
"Kamu yakin?"
"Yakin lah bu, dia itu sama mas Adhit cuma bersikap seperti seorangg adik terhadap kakaknya. Tapi kayaknya mas Adhit berharap suatu hari Dinda pasti akan mencintai dia."
"Itu yang benar."
"Yang benar bagaimana bu?"
"Mm... maksud itu, menyukai sebagai seorang kakak, itu lebih bagus," kata Putri buru-buru, karena ia belum ingin membuka rahasia itu sekarang.
"Bingung ya bu.."
"Oh ya, bagaimana kehamilan kamu nduk?"
"Baik bu, Ayud sehat, dan nggak ngerasain ngidam. Apa saja Ayud makan. Besok anaknya Ayud rakus 'kali ya?" kata Ayud sambil tertawa.
"Syukurlah nduk, itu bagus, memang orang ngidam itu yang dirasakannya ber macam-macam, ada yang terus muntah-muntah, ada yang banyak keinginannya, ada yang tidak bersasakan apa-apa seperti kamu ini. Tapi kamu harus hatu-hati menjaga kehamilan kamu ya? Meski tidak merasakan apapun, tapi jaga terus, jangan kecapaian, jangan mengangkat yang berat-berat."
"Iya bu, Ayud tau.Do'akan Ayud ya bu.."
"Pasti lah nduk, ibu dan bapak akan selalu berdo'a yang baik-baik untuk anak-anaknya.
"Nanti ibu kabari kalau masmu kembali lagi kerumah."
"Baiklah ibu."
***
Tapi Raharjo terkejut ketika tiba-tiba Adhit muncul lagi dihadapannya. Kali itu ia datang ke kantornya.
"Adhit, kamu jadi mau buka cabang di kota ini?" tanya Raharjo.
"Belum tau om, baru meng hitung-hitung untung ruginya, dan kemungkinan menjalankannya."
"Ya, harus begitu, jangan asaln memiliki perusahaan banyak tapi tidak bisa cara mngelolanya dengan baik."
"Sebetulnya ada hal lain yang ingin Adhit sampaikan," kata Adhit sedikit ragu-ragu.
"Oh ya, ada apa nih?"
"Adhit dari Jakarta kemarin om."
"Oh ya, kamu membawa pesan dari bapak?"
"Nggak juga..."
Raharjo sedikit bingung. Dipandanginya Adhit lekat-lekat, dan ia menemukan kesedihan disana.
"Ada apa sebenarnya ?"
"Ini so'al perasaan saya."
"Haaa... perasaan? Coba jelaskan Dhit, om jadi bingung.."
"Adhit menyukai Dinda om."
Raharjo terkejut. Sedikit banyak ada terbersit keinginan untuk bermenantukan Adhit, tapi Raharjo merasa sepertinya Galang tidak suka. Apakah Adhit juga tau tentang penolakan ayahnya?
"Lalu... bagaimana? Dinda kan masih sekolah?" hanya alasan itu yang Raharjo bisa jawab. Tapi itu kan bukan penolakan keras?
"Bapak sama ibu menolak keras, Adhit ingin tau alasannya," kata Adhit pelan.
"Iya.. iya, om tau dan merasakannya."
"Apa om tau alasannya? Hanya itu yang Adhit ingin tau."
"Nggak, om nggak tau alasannya, tapi bahwa ayah kamu menolak, om sudah tau."
Adhit diam, tak seorangpun bisa memberi jawaban. Itu membuatnya semakin kacau. Ia tak ingin cintanya kandas tanpa tau penyebabnya. Cinta yang dipendamnya serasa semakin besar dirasakannya, dan semakin ia ingin mengejarnya. Sampai dapat.
"Apakah om juga akan menolaknya seandainya pada suatu hari nanti Adhit melamarnya?"
Entah darimana datangnya semua keberanian itu, Adhit sendiri tak tau. Mungkin rasa penasaran yang terus menghantuinya membuat Adhit lupa akan rasa malu dan sungkan terhadap Raharjo yang sejak lama dianggapnya sebagai keluarga dekat sejak dirinya masih kanak-kanak.
"Tidak, om suka itu, tapi bagaimana lagi kalau orang tuamu menolaknya?"
"Maukah om menolong Adhit?"
"Apa yang harus om lakukan?"
"Tolong tanyakan pada bapak sama ibu, mengapa mereka menolak. Adhit tak akan pulang ke Solo ataupun ke Jakarta kalau belum mendapat jawaban.
Raharjo terkejut. Ini sebuah kenekatan .. dan tiba-tiba dirinya juga merasa penasaran.
Tapi ketika dia menelpon Galang, jawabannya adalah bahwa dia harus datang ke Jakarta.
Bersambung #25
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel