Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 16 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #25

Cerita Bersambung

"Adhit ada di Medan. Barusan Raharjo menelpon," kata Galang pada isterinya sore hari sepulang kantor.
"Ya ampun, apa yang dilakukan anak itu disana? Bicara tentang Dinda ?"
"Pastinya ya. Raharjo bilang bahwa Adhit tak akan pulang kalau belum mendapat jawaban."
"Lalu mas bilang apa?"
"Aku suruh Raharjo datang ke Jakarta."
"Mas nggah nyuruh Adhit juga datang lagi kemari? Dia masih di Medan ?
"Aku nggak nanya. Kalau dia belum mau pulang itu berati masih di Medan atau dimana,"

"Mengapa mas nggak tanya?"
"Iya.. ma'af.. aku begitu kaget ketika dia menelpon dan bicara tentang Adhit. Sehingga aku hanya minta agar dia segera datang ke Jakarta untuk bicara."
"Kalau begitu telepone dia supaya datang bersama Adhit."
"Baiklah.."

Tapi ketika Galang menelpone Raharjo sore itu, dia mendapat jawaban mengecewakan.

"Ma'af mas, sebenarnya aku juga mau mengajak Adhit ke Jakarta."
"Adhit nggak mau?"
"Bukan.. Tadi Ayud menelpon, katanya ada urusan kantor yang harus segera diselesaikan dan itu penting."
"Jadi Adhit sudah  kembali ke Solo?"
"Ya mas, belum lama. Tapi dia wanti2 agar segera dikabari tentang hal yang akan kita bicarakan di Jakarta nanti."
"Yang ini kita bicara saja sendiri nanti Adhit biar aku atau ibunya yang bicara.

Tak urung Raharjo yang penuh penasaran ingin segera tau jawaban atas semuanya.

"Sayang aku baru bisa datang Minggu depan mas.. tak bisa meninggalkan pekerjaan karena ada pembicaraan dengan klient yang harus aku tangani sendiri. Dan Adhit juga bilang bahwa dia akan ke Solo hanya untuk urusan yang dikatakan Ayud. Setelahnya dia akan pergi lagi sampai dia dapatkan jawaban dari mas Galang."

Dan Galangpun harus bersabar sampai segala yang membuat keluarganya tertekan segera terurai.
***

Galang benar-benar hanya mengurusi pekerjaan yang hanya dia sendiri yang menanganinya. Setelah itu dia berpamit untuk pergi lagi.

"Kalau perlu aku akan membuat surat kuasa agar kamu bisa menyelesaikan semua urusan tanpa aku."katanya sebelum pergi.
"Sebenarnya ada apa sih mas? Mas lagi marah sama bapak sama ibu?" tanya Ayud yang berusaha menahan kakaknya tapi tak berhasil.
"Bukan lagi marah."
"Lalu ? Mengapa mas harus pergi?"
"Aku sudah bilang, tak akan kembali sebelum mendapatkan jawabannya."
"Mas, bukankah mas bisa menanti disini? Bukankah menurut kata mas.. om Raharjo akan membantu?"
"Bapak sama ibu tak akan bergeming kalau aku diam menunggu."
"Lalu .. mas akan pergi kemana?"
"Entahlah, jangan menghawatirkan mas. Mas bukan anak kecil lagi," jawab Adhit sambil memeluk adiknya. Tak urung berlinang air mata Ayud karena kepergian Adhit kali ini membawa hati yang penuh kecewa.

"Jaga baik-baik keponakanku," kata Adhit sambil mengelus perut adiknya yang mulai membuncit.

Terburai air mata Ayud, membasahi pundak Adhitama.
***

Pagi hari itu Mirna sedang duduk diteras depan bersama ayahnya. Seperti biasa Aji tak menemani mereka karena sudah 3 hari tidak pulang kerumah.
Pak Kadir yang mulai kecewa menyaksikan sikap Aji mencoba menghibur anaknya.

"Kamu harus bersabar nduk, yang penting semua kebutuhan kamu tercukupi. Bukankah nak Aji selalu memberi kamu uang belanja?"
"Sudah sebulan ini Mirna mengambil uang tabungan Mirna untuk mencukupi semua kebutuhan kita."
"Apa ?" kata pak Kadir sambil mengangkat kepalanya yang semula bersandar di kursi.
"Itu benar bapak, tapi bapak tak usah khawatir. Mirna sedang berusaha mencari pekerjaan lagi."
"Apa ?" mata pak Kadir terbelalak.

Semua yang didengarnya sungguh tak pernah dibayangkannya. Ini seperti mimpi buruk. Kebahagiaan anaknya yang selalu diharapkannya ternyata meleset dari angan-angannya.
Air mata pak Kadir berlinang. Dipeluknya tubuh Mirna dan menangis tersedulah dia.

"Ma'afkan bapak nduk, ma'afkan bapak. Bapak silau oleh iming-iming gemerlap yang dipamerkannya. Iming-iming janji kasih sayang yang diucapkannya. Ma'afkan bapak ya nduk."

Mirna me nepuk-nepuk punggung bapaknya.

"Bapak jangan sedih. Tak perlu menyesali diri sampai menangis begini. Bukankah tidak semua impian bisa menjadi nyata? Mirna bukan sedih karena pilihan bapak. Mirna merasa bapak memilihkan sesuatu terbaik untuk Mirna, dan kalau semua menjadi salah.. tak perlu menyesalinya. Kegagalan ini akan kita pikul bersama. Ayo bangkit bapak, jangan menangis lagi. Mirna juga tak akan menangis. Lihat mata Mirna. Masih ada semangat menyala disini," kata Mirna sambil tersenyum.
Didorongnya tubuh ayahnya lalu diusapnya air matanya dengan jemarinya. Mata tua itu tampak sayu. Tak bisa dipercaya anaknya akan setegar itu.

"Ma'afkan bapak.. ," bisiknya pilu.
"Bapak tidak bersalah. Bapak ingin memberi Mirna kebahagiaan. Dan itu impian mulia orang tua. Bahwa kemudian mimpi tak bisa menjadi nyata.. maka tak boleh ada sesal itu."

Pak Kadir memandangi wajah Mirna lekat-lekat. Sungguh tak percaya rasanya Mirna juga bisa mengucapkan semua itu.
Rasanya ia seperti seorang kanak-kanak yang diberi petuah oleh orang tuanya. kembali air matanya berlinang.

"Lho.. bapak kok menangis lagi?"
"Sungguh menyesal bapak ini.."
"Sudahlah pak, sekarang ayo kita melakukan sesuatu. Mirna sudah mencoba melamar ke beberapa perusahaan... dan.. "
"Tidak nduk, kamu sedang hamil.Suasana perempuan hamil itu tak menentu. Kadang kamu merasa sehat. Tapi sering merasa lemas.. mual.. muntah.. Mana bisa kamu bekerja? Bapak akan menghibungi Sukir. Dia pasti bisa membantu. Jadi bapaklah yang akan bekerja."
"Bapak ? Tapi bapak seharusnya tidak bekerja," protes Mirna.
"Ahaa.. jangan menyepelekan bapakmu, lihat.. bapak masih perkasa..," kata pak Kadir sambil mengangkat kedua lengannya dan menampakkan ototnya yang masih tampak perkasa.

Mirna memeluk bapaknya.

"Jangan lagi ada tangis dan sesal diantara kita," bisik Mirna sambil tersenyum.
"Bapak akan menelpon Sukir sekarang," kata pak Kadir sambil meraih ponselnya.
"Nanti kalau anak Mirna sudah lahir, Mirna juga akan bekerja."

Tak ada yang bisa dilakukan Mirna kecuali menurut apa kata bapaknya.
Memang kehamilannya terkadang membuatnya bingung. Mual dan muntah hampir tiap hari dirasakannya. Padahal kandungannya sudah memasuki usia ke 3 bulan. Memang sudah tidak sesering pada awal-awalnya, tapi terkadang rasa mual itu masih selalu menyiksanya.
***

Siang itu Mirna sedang berada di kamar.
Sudah sejak pagi dia terbaring saja karena perutnya mual dan nggak doyan makan.
Sementara itu pak Kadir sudah mulai bekerja sejak tiga hari yang lalu.
Pak Kadir menyuruh Mirna nggak usah memasak.
Untuk makan pagi dan siang pak Kadir sudah membelikan makanan di warung. Nanti sepulang kerja dia akan membawa lagi makanan untuk makan malam mereka.
Tapi sejak sarapan yang hanya beberapa suap, Mirna belum lagi menyentuh makanannya.
Obat anti muntahnya ternyata sudah habis. Mirna bermaksud memeriksakan lagi kandungannya sore nanti.

Tiba-tiba tanpa diduga Aji datang. Ia marah-marah melihat Mirna tiduran dan tak segera mengambilkan minum.

"Itulah perempuan. Kalau lagi hamil bawaannya malas-malasan,"omel Aji sambil berdiri didepan pintu kamar.

Mirna tak menjawab. Tapi ia berusaha bangkit. Lalu turun perlahan dari ranjang. Tubuhnya memang lemas.
Dengan tertatih ia melangkah menuju pintu. Sedikit terhuyung sampai ia berhasil memegang daun pintu.
Namun Aji justru meninggalkan kamar dengan wajah muram, lalu duduk sambil menyelonjorkan kakinya di sofa panjang, seperti biasanya.

Mirna merambati pintu dan melangkah sambil berpegangan apa saja yang bisa dipegangnya. Menuju dapur dan menuangkan air putih kedalam gelas.
Lalu ia membawanya kedepan tapi begitu sampai didepan Aji, Mirna terhuyung dan air dalam gelas itu tumpah membasahi baju dan celana Aji.

"Apa kamu tidak memiliki mata?" hardiknya.

Aduhai.. begitu keras dan kasar kata-kata itu. Mirna menyandarkan tubuhnya sebentar pada sandaran sofa, tak menjawab sepatah katapun atas umpatan kasar suaminya.
Dilihatnya Aji bangkit dan berjalan kearah kamar. Mungkin untuk mengganti baju dan celananya yang basah.

"Mana pak Kadir? Mana ayahmu?" hardiknya lagi tak kurang kasar.

Mirna tak menjawab. Ia berjalan tertatih kebelakang. Rasa mualnya telah berganti rasa ingin muntah. Agak cepat langkahnya sambil berpegangan apa saja yang bisa dipegangnya.
Dan beruntung muntahan itu tumpah ketika ia tiba di kamar mandi.

Lemas dan masih terhuyung ketika ia berjalan kearah kamarnya. Tapi dilihatnya Aji sudah tak ada disana. Deru mobil terdengar menjauh dari halaman.
Mirna menghela nafas panjang. Air tumpahan dari gelas yang tadi dihidangkan untuk suaminya masih bergelimang di lantai.
Mirna belum ingin membersihkannya. Ia memungut gelas yang jatuh tergeletak disofa basah lalu mengisinya lagi dengan air setelah bisa mencapai dapur.
Setelah muntah perutnya terasa sedikit lega. Dibukanya tudung saji lalu ia menyendok beberapa suap nasi sisa pagi tadi.
***

Sore harinya Mirna sudah mandi dan berdandan. Ia menunggu ayahnya untuk diajaknya memeriksa kandungan.
Ketika itu dilihatnya mobil memasuki halaman. Tapi itu bukan mobil Aji.
Ada tamu rupanya. Seorang wanita setengah baya turun dari mobil itu.
Mirna berdiri menyambut.

"Selamat sore.." sapa wanita itu.
"Selamat sore ibu,"jawab Mirna ramah
"Bisa ketemu mas Aji?"
Mirna tertegun.
"Dia ada kan?"
"Tidak ada bu, mas Aji sedang keluar,"jawab Mirna.
"Anda isterinya?"

Mirna mengangguk walau sebutan isteri membuatnya kurang nyaman.

"Boleh saya duduk? Saya ingin bicara."
"Oh, silahkan ibu."

Mirna mempersilahkan tamunya duduk dan sejuta pertanyaan membuatnya gelisah. Pandang wanita setengah tua itulah yang membuatnya tak enak.

==========

Perempuan setengah baya itu duduk. Ada tatapan angkuh yang ditangkap Mirna ketika wanita itu memandangnya. Orang berada yang hanya memandang sebelah mata kepada lawan bicaranya.

"Mohon ma'af bu, bolehkah ibu memperkenalkan diri?"
"Oh ya, ma'af saya lupa.. saya ini bu Sukiman."
"Oh, bu Sukiman, ada yang bisa saya bantu?"
"Ya, pastinya.. karena saya tidak bisa menemui mas Aji, jadi saya minta anda yang menyampaikannya."

Mirna diam menunggu. Wanita bernama bu Sukiman itu memandangi halaman dan sekelilingnya. Kepalanya meng angguk-angguk. Lalu tersenyum senang.

"Rupanya anda merawat rumah dan kebun ini dengan baik."
Mirna tak mengerti. Bu Sukiman menilai bagaimana ia merawat rumah ini. Ada apa?
"Saya pemilik rumah ini."

Mirna kaget. Jadi ini bukan rumah Aji? Dilihatnya bu Sukiman masih memandang kearah halaman. Melihat bunga-bunga melati yang sedang berbunga lebat dan aroma wanginya tercium sampai ke teras.

"Saya senang halaman ini terawat bagus. Saya senang tanaman-tanaman bunganya. Tapi tolong anda bilang kepada suami anda.. apakah kontrak rumah akan diteruskan atau tidak."

Mirna masih diam. Pikirannya lari jauh ke mana-mana. Kalau harus pindah dari sini apakah dia akan terus mengikuti suaminya? Lalu bisakah ia menjauh dari Aji untuk hidup sendiri? Terbersit keinginan untuk bercerai, tapi bukankah dia sedang mengandung?

"Tolong juga bilang, sudah hampir dua bulan harusnya kontrak dlperbarui. Tapi kok belum ada beritanya."

Bu Sukiman  membuka tasnya dan mengeluarkan lembaran-lembaran kertas.

"Ini surat perjanjian kontraknya. Kalau memang mau diteruskan ya mari buat perjanjian baru. Tapi saya akan  menaikkan harga kontraknya. Dan kalau tidak, saya minta mas Aji membayar sisa dua bulan yang belum terbayar."

Mirna tak menjawab apapun. Surat kontrak yang disodorkan bu Sukiman juga tak disentuhnya. Ia tak ingin membacanya.

"Baiklah bu, nanti semua ini akan saya sampaikan pada mas Aji."
"Tolong dia suruh menghubungi saya. dia tau kok nomor kontak saya," kata bu Sukiman sambil berdiri.
***

Ketika pak Kadir sampai dirumah, dilihatnya Mirna duduk termangu di teras.

"Bapak... " sapa Mirna sambil berdiri.
"Ma'af tadi ada urusan pekerjaan, jadi agak terlambat pulang. Jadi ke dokter? Bapak mandi sebentar ya. Bau nih badan," kata pak Kadir sambil terus berjalan kebelakang, tapi Mirna menghentikannya.
"Sebentar pak, Mirna ngomong sebentar."
"Ada apa?"
"Tadi ada tamu."
"Oh, siapa?"
"Pemilik rumah ini. "

Pak Kadir tertegun. Ia duduk di kursi dihadapan Mirna dengan pandangan bingung. Apa karena Mirna segan menyebut nama suaminya sehingga menyebutnya begitu? Tapi kenapa disebut juga tamu?

"Rumah ini bukan milik mas Aji."
"Oh.. bukan?"
"Kontrak rumah ini sudah habis dua bulan lalu. Pemiliknya menagih uang perpanjangan kontrak, atau pembayaran sewa kelebihan dua bulan ini."
"Kamu sudah menghubungi suamimu?"
Mirna menggeleng. Ia segan berbicara dengan suaminya.
"Harusnya dia diberi tau. Nanti kamu disalahkan."
"Bapak saja kirim pesan lewat WA. ya pak."
"Baiklah. Sekarang bapak mandi dulu. Bukankah kamu harus ke dokter?"
"Ya pak, sambil jalan nanti kita pikirkan langkah yang akan kita ambil. Sepertinya kita tak harus tinggal disini lebih lama."
***

"Ayud.. mas mu masih di kantor? Katanya dia sudah kembali ke Solo," tanya Galang ketika menelpon Ayud.
"Kemarin ke kantor, hanya menyelesaikan urusannya. Lalu pergi lagi."
"Kemana lagi dia? Ke Medan ?"
"Mas Adhit nggak bilang kemana dia pergi. Malah dia membuat surat kuasa bahwa selama dia pergi Ayud yang akan menangani semua urusannya."
"Anak itu, benar-benar keras kepala."
"Tapi bapak, mengapa bapak tidak segera memberikan alasannya supaya mas Adhit bisa menerima?"
"Bapak sama ibu akan menjelaskannya tapi dia keburu pergi. Bapak nggak pernah bisa menghubungi."
"Nanti Ayud akan mencoba menelpon mas Adhit."
"Baiklah, tapi sebelumnya bapak akan bicara dulu sama om Raharjo."
"Mengapa om Raharjo?"
"Mas mu minta tolong dia untuk bicara sama bapak. Tapi dia bisanya ke Jakarta masih besok Minggu depan. Tolong kalau bisa menghibungi katakan kalau bapak menunggu. Soalnya bapak kirim pesan ke WA nya juga nggak pernah dibaca."
"Baiklah bapak, nanti akan Ayud sampaikan."
***

Ketika pak Kadir akhirnya menelpon Aji, tanggapan Aji ternyata tak seperti yang diharapkannya. Ibaratnya dia berhutang dan ditagih oleh pemiliknya harusnya dia ter buru-buru membayarnya. Tapi tidak.

"Biarkan saja perempuan cerewet itu. Kebiasaan dia me nagih-nagih."
"Kalau begitu nak Aji hubungi saja dia supaya dia tak datang-datang lagi."
"Itu urusan saya pak. Bapak nggak usah ikut-ikutan."
"Begini nak, sebenarnya saya berharap nak Aji pulang karena ada yang ingin saya bicarakan," kata pak Kadir sambil menahan emosinya mendengar kata-kata Aji.
"Sa'at ini saya belum bisa pulang karena saya masih banyak urusan. Kalau sudah selesai saya baru bisa pulang."
"Kalau begitu saya utarakan saja sekalian disini apa yang ingin saya katakan nak."
"Oh, baiklah. Itu lebih bagus."
"Saya dan Mirna akan mencari kontrakan lain saja, supaya tidak terlalu memberatkan nak Aji."
"Oh, jadi bapak mengira saya merasa berat membayar kontrakan rumah itu? Bapak meremehkan saya?"nada suara Aji mulai meninggi.
"Ma'af nak. Bukan maksud saya meremehkan nak Aji. Menurut saya rumah ini terlalu bagus dan terlalu besar untuk kami. Apalagi nak Aji kan jarang-jarang pulang.. jadi...."
"Ya sudah.. terserah bapak saja. Kan itu kemauan bapak dan pastinya juga Mirna," kata Aji memotong pembicaraan itu, lalu dimatikannya ponselnya.

Pak Kadir menghela nafas panjang. Kesal dan marah bercampur aduk menjadi satu.

"Bagaimana pak?"
"Besok bapak akan mencari kontrakan itu. Tak ada gunanya bicara lagi dengan dia. "
"Mirna juga ingin lebih cepat pergi pak, biarlah kita hidup miskin asal hati kita bahagia."
"Ma'afkan bapak ya nduk," kata pak Kadir sendu.
"Bapak kok bilang begitu lagi. Nggak ada yang harus dima'afkan. Bapak adalah ayah terbaik untuk Mirna," kata Mirna sambil memeluk ayahnya.
"Sekarang minum obatmu lalu kita makan dan kamu harus beristirahat. Mudah-mudahan besok pagi bapak sudah mendapatkan rumah itu."
***

Dua hari kemudian pak Kadir sudah mendapatkannya. Rumah kecil sederhana yang boleh disewa setiap bulan sehingga tidak terlalu memberatkan.

Sore itu Mirna dan ayahnya sudah berkemas. Dua buah kopor besar berisi pakaian dan semua milik mereka telah disiapkan didepan rumah.
Mirna sedang mau mengontak taksi online ketika tiba-tiba sebuah mobil behenti didepan pagar rumah. Seseorang turun dari mobil dan menyapanya dengan heran.

"Mirna ?"
Mirna terkejut. Ia berjalan kearah pagar untuk menyambut.

Bersambung #26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER