Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 17 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #26

Cerita bersambung

Mirna heran melihat siapa yang datang. Seorang anak kecil melompat dari tempat duduk disamping kemudi. Langsung menyalami Mirna.

"Tante.." sapanya.
"Hallo.... kamu kan... mm... aduh tante lupa namamu..," jawab Mirna sambil membungkuk untuk mencium ubun-ubun si bocah.

"Bima..." kata anak kecil itu.
"Aduh, ya ampun tante lupa. Iya Bima, anak cakep..."

Mirna memandangi perempuan yang datang, dia adalah Dewi.

"mBak Dewi ya?"
"Kok ada disini, aku tadi sudah meluncur kearah depan, seperti melihatmu berdiri disana, lalu aku berhenti dan mengundurkan mobilku."
"Iya mbak, beberapa sa'at lamanya saya tinggal disini, tapi ini sudah mau pergi lagi," jawab Mirna tersipu.
"Mengapa pergi? Aduh kamu sudah mengandung, berapa bulan?"

Wajah Mirna meredup, pertanyaan tentang kehamilannya membuatnya sedih, teringat akan nasibnya yang kurang beruntung.

"Hei, benar kan kamu sudah mengandung ?"
"Ya mbak, sudh berjalan tiga bulan ini, ayo kita masuk dulu sebentar, sambil menunggu taksi. Saya baru akan memesannya."
"Sebenarnya mau kemana? Aku antar sekalian saja, aku habis belanja. "
"Merepotkan mbak, biar saya panggil taksi saja."
"Mau kemana sebenarnya?"
"Ini mau ketempat kontrakan baru nak," kata pak Kadir yang mendekati mereka sambil mengusung kopornya."
"Ini bapak saya mbak.." kata Mirna memperkenalkan ayahnya.
"Saya pak Kadir nak, bapaknya Mirna," kata pak Kadir sambil mengulurkan tangannya.
"Saya Dewi, ah ya... waktu itu kita sama-sama ke undangan pesta nikahnya Ayud kan?"
"Iya benar."
"Tunggu, mana suami kamu Mirna?"

Mirna terdiam, sungkan menjawabnya, dan juga enggan.

"Jangan tanyakan mana suaminya nak, ini isteri yang di sia-siakan suaminya. Itulah sebabnya kami mau pindah dari sini."
"Oh, ini rumah suami kamu Mirna?"
"Bukan nak, suaminya mengontrak rumah ini, ngakunya rumah miliknya, beberapa hari yang lalu pemiliknya menagih uang kontrakan, dan kami terkejut karena nggak mengira kalau ini rumah kontrakan."
"Oh, kayaknya belum lama Mirna menikah ya?"
"Ceritanya panjang nak, saya yang memaksa Mirna menikah sama dia, karena janji-janjinya yang muluk-muluk, nggak taunya begitu dia hamil, perhatiannya langsung lenyap, dan nggak ada perdulinya sama sekali."
"Sudahlah pak, mengapa menceritakan masalah kita kepada orang lain. Ma'af mbak Dewi, mungkin bapak sudah terlalu kesal."

Dewi terdiam, kisah Mirna ini mirip sekali dengn dirinya, yang tak diperdulikan Aji sa'at mengandung, bahkan ditinggalkan sampai sekarang.

"Nggak apa-apa Mirna, kisah itu mirip dengan kisahku. Suamiku lebih jahat lagi, ia menghamili aku lalu kabur, untung ada Adhit sahabat aku yang membantu sehingga dia mau menikahi aku, tapi ya itu, hanya menikahi lalu kabur sampai sekarang. Ya Tuhan, aku sebenarnya sedang mencari Aji yang kabarnya sudah menikah lagi."

Pak Kadir dan Mirna terkejut mendengar nama Aji disebut.

"Nama suami nak Dewi itu Aji? Aji Sasongko?" kata pak Kadir agak keras.
"Iya benar, bapak kenal?"
"Ya Tuhan... dia itulah yang menikahi Mirna nak.. "

Mirna terkejut, dipegangnya kedua lengan Mirna erat-erat.

"Kamu? Jadi yang tak dengar bahwa Aji menikah itu ternyata dengan kamu? Iya, aku dengar memang nama isterinya Mirna, tapi nggak nyangka bahwa itu kamu. " kata Dewi sambil mengguncang guncang tubuh Mirna.

Mirna terisak.

"Ma'af mbak, saya tidak tau. Saya juga tidak pernah mencintai dia."
"Ayo naik ke mobil, saya akan antar kamu dan bapak kemanapun, kita akan bicara lebih banyak, ini kejadian yang sungguh luar biasa, laki-laki laknat itu harus diberi pelajaran," kata Dewi sambil menarik Dewi kedalam mobilnya, dan meminta pak Kadir agar mengusung semua bawaannya kedalam mobil.
***

"Ya sudah kalau capek istirahat saja, jangan mentang-mentang merasa kuat lalu kamu lupa istirahat," kata Raka melihat isterinya masih sibuk mem buka-buka laptop.
"Sebentar mas, ini lho, mas Adhit sudah mulai mengerjakan tapi belum selesai. Curang dia itu, pergi seenaknya, aku yang harus mengurus semuanya," jawab Ayud menggerutu.
"Benar, tapi ingat istirahat dong, ini si kecil yang ada didalam perut juga pengin liat kamu istirahat," kata Raka sambil mengelus perut isterinya yang mulai membuncit.
"Iya bapak, ini sebentar lagi selesai."

Tiba-tiba telephone yud berdering.

"Pasti dari mas Adhit, tolong angkat mas," pinta Ayud karena sedang menyelesaikan pekerjaannya.
"Bukan, bukan dari mas Adhit, ini dari Dewi," kata Raka sambil mengangsurkan ponsel isterinya.
"Oh ya? Tumben.... Hallo mbak... " sapanya.
"Ayud, ma'af malam-malam mengganggu."
"Nggak apa-apa, lagi santai nih mbak, ada apa nih, tumben.."
"Mau nanya nih, Adhit tuh kemana ya, sejak beberapa hari ini ilang-ilangan terus, di WA gak dibaca, ditilpun juga nggak pernah aktif."
"Oh, iya mbak, mas Adhit tuh lagi bertapa 'kali, beberapa hari nggak ke kantor, lagi ada urusan yang harus dia selesaikan, nggak bisa diganggu biar oleh adiknya juga."
"Oh, gitu ya.. "
"Ada yang penting mbak? Kadang-kadang kalau dia yang butuh, pasti menelpon ke kantor, nanti kalau pas dia menelpone bisa aku sampaikan."
"Penting nggak penting sih, ingin kasih tau saja. Barusan mbak ketemu Mirna."
"Mirna? Mirna bekas sekretarisnya mas Adhit ?"
"Lhoh, itu bekas sekretarisnya Adhit? Aku ketemunya ketika pesta pernikahan kamu itu. Tapi kok Adhit juga nggak bilang kalau dia bekas sekretarisnya?"
"Ada sesuatu 'kali mbak."
"Sekarang sesuatu itu aku sudah tau. Rupanya Adhit menutupi peristiwa pernikahan Mirna dan Aji, mungkin untuk menjaga perasaan Mirna juga."
"Oh, mbak sudah tau ?"
"Iya, kan dia ketemu aku, dan cerita banyak tentang pernikahannya. Si Aji itu memang kurangajar, Mirna juga ditelantarkannya tuh."
"Ya ampun mbak, bagaimana ceritanya?"
"Ini cerita di telephone kok nggak enak, besok aku mau mampir ke kantor kamu setelah mengantar Bimo ke sekolah. Kamu ada waktu? So'alnya aku mau minta tolong Adhit juga tentang kejadian-kejadian yang menimpa aku dan Mirna. Si brengsek itu harus diberi pelajaran."
"Nggak apa-apa mbak, besok silahkan mampir ke kantor saja."

Ketika pembicaraan itu berhenti, Ayud tampak meng geleng-gelengkan kepala.

"Ada apa?"
"Kasihan Mirna. Sayang sekali mas Adhit nggak sempat memperingatkan sebelum ia menikah dengan Aji. Habisnya Mirna nggak mau berterus terang sih."
***

Ketika beberapa hari kemudian Aji datang kerumah kontrakan itu, dilihatnya pintu tertutup rapat. Ada penjual gorengan yang mangkal didepan rumah, ber lari-lari mendekat untuk menyerahkan kunci rumah.

"Pak, ini pak, kunci rumah dititipkan ke saya oleh ibu," katanya sambil memberikan kunci.
"Oh, ya.. kapan dia pergi?"
"Sudah tiga atau empat hari lalu pak."
"Baiklah, terimakasih ya."

Penjual gorengan itu pergi dan  Aji segera membuka pintu rumah. Rumah yang kosong, sepi karena tak berpenghuni. Aji mengitari seisi rumah, semuanya masih seperti sebelumnya. Hanya almari pakaian Mirna yang kosong, juga pakaian-pakaian pak Kadir sudah nggak ada.

"Rupanya mereka memang benar-benar minggat dari rumah ini," omelnya kemudian duduk disofa panjang, menyelonjorkan kakinya seperti biasa dilakukannya setiap pulang.

Ada rasa sepi yang tiba-tiba menyentak, ada rasa kehilangan, yang kemudian ditepiskannya. Selamanya ia tak pernah mencintai dengan sepenuh hatinya. Ia lebih suka ber ganti-ganti pasangan. Tapi entak kenapa kali ini ia merasa sepi. Sedih, sakit.

"Sial benar, ada apa aku ini?"

Aji berjalan kebelakang, mengambil gelas yang masih tersisa, lalu membuka almari es. Beruntung masih ada sebotol air dingin. Ia menuangnya ke gelas itu dan menenggaknya habis, lalu kembali kearah sofa dan duduk bersandar seperti tadi.

Tiba-tiba didengarnya sebuah mobil berhenti dihalaman. Dengan enggan ia bangkit  dan berjalan keluar. Seorang wanita turun, ia bu Sukiman, si pemilik rumah.
Aji ingin mnghindar atau bersembunyi, tapi sudah kepalang tanggung. Bu Sukiman sudah melihatnya ketika ia membuka pintu, jadi kemudian ia keluar menuggu tamunya di teras.

"Beruntung bisa bertamu kamu mas, aku tunggu-tunggu nggak segera menelpon, apa isterimu lupa menyampaikan pesanku ?" omel bu Sukiman sambil nyelonong masuk dan duduk begitu saja dikursi yang ada di teras rumah.

"Sudah menyampaikan, sudah.."
"Jadi kamu mau meneruskan kontraknya atau enggak?"
"Kayaknya enggak bu, dia mau mencari kontrakan lain."
"Kamu kan punya rumah di kota, mengapa memilih ngontrak? Apa sekarang isteri kamu tinggal dirumah kamu?"
"Enggak bu, dia nggak suka."
"Baiklah, kalau begitu aku minta dibayar yang kelebihan dua bulan itu saja. Malah lebih seminggu nih sudah, tapi nggak apa-apa, bayar dua bulannya saja."
"Memangnya bu Sukiman belum ketemu dia lagi?"
"Dia siapa?"
"Isteri saya lah bu... siapa lagi."
"Belum, baru sekali itu aku ketemu isteri kamu, terus hari ini kemari lagi ketemu kamu."
"Waduh, bagaimana ini... " Aji tampak meng garuk-garuk kepalanya.
"Apanya yang bagaimana ?"
"Kan uangnya sudah saya serahkan kepada isteri saya untuk dibayarkan sama ibu."
"Aku belum ketemu lagi sama isteri kamu. Mengapa dititipkan isteri kamu ? Biasanya kan kamu transfer atau ketemu aku dirumah."
"Saya belum sempat ketemu ibu, jadi saya titipkan ke dia."
"Kalau begitu coba tanyakan sama dia, dan kasih tau supaya mentransfer uangnya ke rekening aku, kan kamu sudah tau? Coba lihat, ini sudah aku buatkan catatannya, kalau kamu hanya membayar dua bulan saja. Kontrak setahun aku bagi enam, harusnya nilai kontraknya sudah naik, tapi nggak apa-apa aku hitung sama dengan dulu saja."

Aji mengambil ponselnya, pura-pura memutar nomor tilpun Mirna. Tapi mana mungkin, Aji kan cuma berbohong ?'

"Waduh, ponselnya nggak aktif bu."
"Memangnya isteri kamu pergi kemana?"
"Dia ... sedang bersama orang tuanya, bagaimana kalau besok ibu kemari lagi?"
"Nggak bisa, waktuku sangat sempit, biar aku tunggu saja disini sampai isteri kamu kembali. Atau.. apa kamu nggak bisa kasih uang kamu saja, daripada harus menunggu yang sudah dibawa isteri kamu."
"Saya lagi nggak ada uang bu, ibu kan tau, saya lagi bangkrut."
"Waduh, tapi ma'af, aku nggak bisa kasih toleransi lagi, banyak yang menanyakan rumah ini, untuk dikontrak, jadi hari ini juga harus selesai."

Aji kebingungan. Ada terbersit niyat jahat yang tiba-tiba melintas dibenaknya.

==========

Karena kasihan mendengar nasib Mirna yang mirip kisah hidupnya, Dewi meminta Mirna agar membantu di tokonya.

"Tapi mbak, saya ini kayak orang sakit-sakitan,, kadang merasa sehat, kadang lemas mual..  itu kan sangat mengganggu, mana bisa saya bekerja dengan baik?" bantah Mirna dengan rasa sungkan.
"Nggak apa-apa Mirna, toko itu kan dekat rumah, ada kamar kosong dibelakang, dimana kamu bisa istirahat sa'at merasa nggak enak. Aku tau itu pembawaan orang yang lagi hamil."
"Tapi mbak..."
"Sudahlah Mirna, lagi pula suamimu nggak akan perduli sama kamu, Dengan bekerja kamu bisa punya penghasilan, apalagi menjelang kamu melahirkan nanti pasti butuh beaya yang tidak sedikit. Memang sih aku nggak bisa memberi gaji sebanyak yang Adhit pernah berikan, tapi mungkin ada gunanya walau tak seberapa."
" Bukan gaji itu mbak, cuma Mirna merasa sungkan kalau nggak bisa bekerja maksimal."
"Biasanya orang mengandung itu merasa seperti orang sakit ketika usia kandungan sampai tiga.. empat.. atau paling lma lima bulan saja, selebihnya pasti baik-baik saja."
"Kalau memag mbak ewi mengijinkan, saya sangat berterima akasih mbak, semoga semua kebaikan mbak Dewi mendapat balasan yang melimpah."
"Ah, sudahlah, aku membantu dengan tulus, lupakan tentang balasan itu. Yang aku inginkan sa'at ini adalah balasan sakit hatiku pada Aji. "
"Biarlah mbak, lebih baik kita lupakan saja, bukankah siapa yang menanam dia akan menuai?"
"Kamu sungguh baik Mirna, sayang sekali kamu terjerumus pada keadaan yang menyakitkan setelah bertemu Aji."
"Bukankah semua yang terjadi pada kita adalah garis yang sudah ditorehkan oleh Yang Maha Kuasa? Saya ingin bisa menjalaninya dengan ikhlas."

Dewi mendengarkan dengan perasaan penuh haru. Hidupnya sengsara tapi Mirna bisa menjalaninya dengan ikhlas, bisa mengeluarkan kata-kata bijak yang sempat menyentuh lubuh hatinya yang paling dalam. Dan itu membuatnya untuk berhenti mengejar Aji. Mirna benar, siapa menabur maka dia akan menuai..

"Baiklah mbak, kapan saya boleh mulai bekerja?" akhirnya Mirna menyanggupi.
"Sekarangpun boleh kok. Mulailah.."
"Besok saja ya mbak, karena saya juga harus bicara pada bapak. Untunglah kami tinggal tak jauh dari sini. Jam berapa saya mulai bekerja?"
"Datanglah jam 8 pagi, nanti jam dua atau tiga kamu boleh pulang dan beristirahat. Minggu boleh libur, biarpun toko itu tak pernah tutup."
"Baiklah mbak, terimakasih banyak."
***

Pak Kadir gembira Mirna boleh bekerja ditoko Dewi. Sungguh tak disangka, Bertemu dengan seorang perempuan korban Aji yang sangat baik kepada Mirna.

"Syukurlah kalau nak Dewi bisa menerima kamu bekerja dengan kedaanmu seperti yang sekarang ini. Semoga bisa membuat hatimu lebih terhibur ya nduk." katanya sore itu ketika pulang dari bekerja.
"Iya pak... dan tidak kesepian ketika bapak bekerja."
"Bapak mau mandi dulu. Oh ya ini koran hari ini, beli di tukang jaja koran, kasihan.. bapak beli saja."
"Koran baru, ada berita apa nih? Ya sudah bapak mandi dulu, Mirna sudah buatkan teh dan goreng pisang buat bapak," kata Mirna sambil membalik balik lembar koran yang diletakkan ayahnya di meja.
"Wah, kok dapat pisang goreng nduk?"
"Tadi beli pas ada tukang sayur .. masih hangat lho pak, tapi bagusnya bapak mandi dulu. Tuh bajunya kotor."
"Iya lah, namanya buruh bangunan mana bisa bajunya bersih," kata pak Kadir sambil menuju kamar mandi.

Mirna masih membalik balik korannya, lalu tiba-tiba terkejut melihat berita di koran.

SEORANG PEREMPUAN PENGUSAHA MENGALAMI KECELAKAAN SERIUS. MOBIL YANG DITUMPANGINYA TERCEBUR DISEBUAH KALI. IA MENDERITA LUKA CUKUP PARAH DAN DIRAWAT DIRUMAH SAKIT UMUM DAERAH. DIPERKIRAKAN NYAWANYA TAK TERTOLONG.

Miris hati Mirna, tapi ia terkejut melihat wajah KTP korban yang dipampang di koran itu.

"Bukankah ini bu Sukiman? Ya ampun, baru kemarin terjadinya. Kasihan, sudah setengah tua, tapi ke mana-mana menyetir mobilnya sendiri." gumam Mirna pelan.

Ketika pak Kadir selesai mandi dan sudah duduk dikursi menghadapi teh hangat dan pisang gorengnya, dilihatnya Mirna masih memegangi koran dan membacanya penuh pehatian.

"Ada berita apa nduk, kok serius amat ?" tanyanya sambil menghirup teh hangatnya dan mengambil sebuah pisang goreng yang juga masih hangat.
"Ini lho pak ada berita mengejutkan, korban kecelakaan mobil masuk kali, ini Mirna tau, dia bu Sukiman pak."
"Bu Sukiman... itu bukannya pemilik rumah yang dulu menagih uang kontrakan itu?"
"Iya pak, kemarin mengalami kecelakaan. Kasihan... tertolong nggak ya pak, katanya luka parah nih."
"Oh ya, lha kok bisa itu apa menghindari tabrakan?"
"Belum tau peristiwanya pak, seseorang melihatnya lalu melaporkannya kepada yang berwajib."
"Semoga baik-baik saja."
"Bu Sukiman itu kan sudah tidak muda lagi, tapi ke mana-mana membawa mobil sendiri. "
"Namanya orang kalau lagi apes nduk, siapa yang bisa menghindarinya."
"Iya pak. Enak nggak pisang gorengnya?"
"Enak, berbeda dengan pisang goreng yang dijual di penjual gorengan di pinggir jalan."
"Iya lah pak, itu digoreng pakai tepung, pakai telur, dikasih gula sedikit dan vanili."
"Mm.. ya, pantesan ada harum-harumnya gitu, anakku pinter bener," puji pak Kadir sambil mencomot lagi pisang gorengnya.
"Habiskan saja pak, memang itu untuk bapak."
"Wah, ya nggak sekarang... nanti kekenyangan malah nggak doyan makan, itu bapak beli nasi bungkus lho nduk, sampai lupa ngomong."
"Oh iya, tadi Mirna mau bertanya sama bapak, itu bungkusan apa, tapi kemudian tertarik baca berita jadi lupa. Saya taruh dipiring ya pak." kata Mirna sambil bangkit mengambil bungkusan yang ditaruh ayahnya diatas meja.
"Ya, tapi kamu harus minum obatmu dulu, supaya nggak mual atau muntah lagi."
"Iya pak, sudah Mirna minum barusan. Lagian sudah berkurang rasa mual-mualnya, nggak seperti kemarin-kemarin."
"Syukurlah, kata orang-orang tua, memang begitu bawaan bayi. Biasanya setelah tiga bulan, paling lama lima bulan pasti kamu akan merasa sehat. Lalu doyan makan banyak."
"Iya pak."
"Kapan kamu mulai bekerja di tokonya nak Dewi?"
"Besok sudah mulai bekerja pak, pagi jam delapan, nanti sore sekitar jam tiga sudah bisa pulang."
"Baguslah nduk, tapi jangan lupa obatmu selalu dibawa."
"Iya pak."
"Apa selama kita pindah ini nak Aji pernah menghubungi kamu?"
"Nggak pernah pak. Biar saja, ini justru membuat perasaan Mirna jadi lebih ringan, tidak terbebani. Karena dialah yang menelantarkan Mirna, bukan Mirna mengabaikan kewajiban Mirna sebagai isteri."
"Kalau mengingat kegagalan kamu berumah tangga ini, sungguh bapak merasa menyesal."
"Sudahlah pak, nggak ada yang perlu disesali. Memang harus begini jalan hidup Mirna, dan Mirna bisa menerimanya kok. Demikian juga bapak ya. Kita tetap bersama, dan bahagia bukan?"
"Ya, begitulah nduk, kamu adalah milik bapak yang paling berharga, kalau kamu bahagia, bapak juga pasti bahagia."
"Setelah anak ini lahir, Mirna sebaiknya minta cerai saja kan pak?"
"Itu lebih baik nak. Supaya kamu bisa terlepas dari ikatan yang sangat menyedihkan ini."
"Baiklah pak, saya jadi menyesal dulu pernah ingin menggugurkan kandungan ini."
"Lha itu yang bapak dulu pernah marah sama kamu, bayi yang tidak berdosa, mengapa harus dilenyapkan? Nanti kalau dia lahir, kamu baru tau betapa indahnya karunia memiliki anak. Dulu waktu bapak ketakutan lalu lari meninggalkan kamu, hanya kamu yang bapak pikirkan. Bapak bersyukur karena akhirnya bisa menemukan kamu."

Mirna tersenyum dan memeluk bapaknya.
***

"Ada apa sebenarnya mas Galang ini ya pak, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan sama bapak," kata Retno ketika Raharjo pada suatu sore.
"Iya, mungkin dua hari lagi aku akan ke Jakarta. Ibu mau ikut?"
"Apa aku harus ikut?"
"Bukan masalah harus atau tidak, kalau ibu pengin ikut ya ayo.. aku senang kalau kita bisa pergi berdua."
"Tapi kayaknya cuma bapak yang akan diajak bicara."
"Bapak sama ibu itu kan nggak ada bedanya. Kalau mau bicara sama bapak, ibu kan juga akan tau apa yang dibicarakan."
"Tapi kalau memang ibu juga diharapkan datangnya, pasti Putri juga menelpon aku. Nyatanya kan tidak, cuma bapak yang diajak bicara. Mas Galang juga nggak bilang kalau bapak harus datang sama ibu kan?"
"Ya nggak apa-apa, mengapa tergantung mereka mengundang atau tidak. Yang diundang bapak ya ibu juga wajib untuk ikut."
"Ya belum tentu pak, rasanya kok lebih baik bapak berangkat sendiri saja."
"Ibu kok gitu."
"Ibu merasa lebih baik begitu kok. Nanti kalau pembicaraan yang entah apa itu sudah selesai, bapak kabari ibu, nanti ibu akan menyusul."
"Baiklah kalau begitu. Sebenarnya sih masih banyak pekerjaan yang harus bapak selesaikan, tapi kok mas Galang kayaknya mendesak sekali, dan pastinya Adhit juga menunggu."
"Jadi bapak berangkat kapan?"
"Dua hari lagi saa, besok bapak baru mau pesen tiketnya."
"Kemarin Putri menanyakan apakah Adhit kembali kemari, lalu kemana ya anak itu?"
"Pastilah orang tuanya bingung, karena di Solo nggak ada, disini juga nggak ada. Semoga masalah ini cepat selesai, aku juga bingung, ada apa sebenarnya antara Adhit dan kedua orang tuanya lalu melibatkan kita. Sementara ini juga ada hubungannya dengan Dinda."
 "Nggak tau lah pak, rumit amat, tapi kok perasaanku jadi nggak enak ya."
"Sebentar, kayaknya ada pesan WA dari Adhit.."
"Pasti menanyakan hasil pertemuannya dengan ayahnya,, coba baca pak."
"Iya benar, dikiranya bapak sudah kesana."
"DUA HARI LAGI OM BARU MAU KE JAKARTA, SECEPATNYA OM KABARI, JANGAN MATIKAN PONSEL KAMU."
"Sudah bapak balas. Dan bapak suruh jangan matikan ponselnya, karena ber kali-kali dihubungi bapak ibunya ponselnya nggak pernah aktif."
"Mungkin itu wujud sebuah protes dari Adhit karena harapannya belum terpenuhi."
"Iya, mungkin juga."
***

Pagi hari itu pak Kadir mau berangkat bekerja. Tapi Mirna mengatakan akan berangkat nanti sebelum jam delapan karena rumah atau toko Dewi tak jauh dari rumah kontrakannya.

"Bapak berangkat saja dulu, Mirna berangkat sebentar lagi, setelah membereskan rumah, toh ini baru jam tujuh."
"Kamu bisa naik angkot dari sini nanti, tapi jangan lupa obat-obatmu Mirna, jangan sampai nanti merepotkan nak Dewi karena kamu lupa membawa obatmu."
"Iya, sudah Mirna masukkan kedalam tas, bapak nggak usah khawatir."

Mirna memang merasa lebih sehat, rasa mualnya sudah jarang terjadi, dan itu membuat tubuhnya terasa lebih kuat, karena bisa makan lebih banyak.

Pagi itu Mirna memutuskan untuk pergi ke toko Dewi dengan berjalan kaki saja. Kecuali lebih irit, ia merasa sudah kuat berjalan agak jauh. Jalanan sudah tampak ramai pagi itu. Lalu lalang kendaraan sa'at orang berangkat kekantor mewarnai hirup pikuk suasana dipagi itu.

Setelah tiba diperempatan jalan didepan, Mirna harus menyeberang. Tapi sebelum perempatan itu tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Mirna ingin terus melangkah, tapi seseorang yang melompat dari mobil itu memanggilnya.

"Mirna !!"

Mirna menoleh lalu berhenti. Dilihatnya Aji melangkah mendekatinya.

Bersambung #27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER