Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 18 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #27

Cerita bersambung

Mirna ingin terus melangkah tapi Aji memegangi lengannya.

"Mirna, ayo baiklah ke mobil, aku ingin bicara," kata Aji tanpa mau melepaskan pegangannya.
"Tolong lepaskan tanganku," pinta Mirna dengan wajah muram.
"Baiklah, maukan masuk ke mobil sebentar, ada yang ingin aku bicarakan, nggak enak bicara dipinggir jalan begini."

Mirna ragu-ragu. Ia tak segera meng iyakan.

"Tolong Mirna, kamu kan isteriku, masa kamu tak mau bicara sebentar saja, ini penting," pinta Aji, dan Mirna heran, Aji tampak memelas. Tak ada wajah muram apalagi garang ketika ia mengucapkan itu.
Tiba-tiba Mirna ingin mempertemukan Aji dengan Dewi. Sepertinya Aji harus tau bahwa Mirna telah mengetahui kebohongan yang dia lakukan ketika meminangnya.

"Mirna..."
"Mas, ini aku sedang mau bekerja, baiklah kita bicara, tapi ayo ditempat kerja aku saja."
"Dimana ?"
"Nggak jauh dari sini, kita hampir sampai."
"Ayo naik mobil saja," kata Aji sambil menunjuk kearah mobilnya.
"Nggak usah, hanya sampai di perempatan itu lalu belok kekiri. Kalau mau ya ayo, kalau nggak mau ya sudah, pekerjaan ini penting bagiku." kata Mirna tandas.
"Baiklah.," akhirnya kaya Aji, yang kemudian mengikuti langkah Mirna.
"Aku minta ma'af, karena tidak sempat menghubungi kamu, sehingga tidak tau kamu pindah kemana," kata Aji sambil berjalan. Kata-kata yang tidak pada tematnya. Mana mungkin seorang suami tidak menanyakan dimana isterinya berada, bagaimana keadaannya. Tapi Mirna tak perduli. Baginya perhatian Aji itu tidak penting. Justru lebih baik terlepas dari tanggung jawab Aji sehingga dia bebas melakukan apa yang diingininya.

"Kamu sama bapak pindah dimana? Mengapa tidak mengabari aku juga?" tanyanya sok perhatian.

Mirna tak menjawab, ia tau kata-kata itu hanya basa basi. Barangkli Aji membutuhkan sesuatu dari dirinya, entah apa, sehingga sikapnya tampak baik, tapi terasa... baiknya adalah baik yang di buat-buat.

"Masih jauhkah tempat kamu bekerja? Ini sudah sampai perempatan."
"Kekiri sedikit."

Dan kira-kira seratus meter dari perempatan itu, tampaklah sebuah halaman yang tidak begtu luas, ada roling door yaang masih tertutup. Memang hari masih pagi, belum sa'atnya toko dibuka.
Lalu Mirna melangkah memasuki sebuah halaman toko. Ia masuk melalui samping, dan Aji menunggu diluar.

"Mas tunggu disini dulu, aku harus bilang kepada pemilik toko bahwa aku harus menemui tamu sebentar," kata Mirna sebelum masuk.

Aji mengangguk. Ada bangku panjang disamping toko, lalu dia duduk disitu. Sungguh dalam hati ia tak perduli Mirna bekerja dimana, ia butuh pertolongan dari Mirna. Tampaknya ia sedang dalam kesulitan.

Tiba-tiba terdengar pintu terbuka dibelakangnya, Aji menoleh, dan dilihatnya seseorang yang dikenalnya, manatapnya dengan penuh kemarahan.

"Dewi ?" bisiknya pelan.
"Rupanya kamu masih ingat namaku ?"
"Ka..kamu... disini ?" gagap Aji menghadapi perempuan yang ber tahun-tahun dilupakannya.
"Rupanya Tuhan menuntun orang-orang yang kamu tipu agar bersatu, kemudian bertemu kamu untuk menunjukkan semua kebusukan kamu Aji," hardik Dewi tajam.
"Ma'af Dewi, waktu itu aku benar-benar belum siap dan...."
"Dan apa... dan sibuk mempermainkan setiap perempuan, yang kamu tinggalkan setelah dia mengandung anak kamu."
"Benar, aku menyesal, dimana sekarang anakku?"
"Tidak, kamu tidak berhak mengetahui anak itu, anak yang kamu terlantarkan dan membiarkan aku membesarkannya sendiri."
"Dewi, aku minta ma'af.." kata Aji terbata.
"Lalu bagaimana dengan Mirna? Kamu mengaku bujang, kamu mengaku punya rumah mewah.. yang ternyata rumah kontrakan..lalu kamu biarkan dia dan bapaknya pergi tanpa kamu perduli.. "
"Dewi, aku minta ma'af.."
"Tidak, aku akan melaporkan kamu ke polisi karena penipuan yang kamu lakukan."
"Dewi, aku mohon..."
"Karena kebohongan yang kamu tebarkan..! Kamu mata keranjang yang tak bermartabat. Sok kaya padahal miskin. Kamu mengaku jadi pengusaha padahal pengangguran yang hanya bisa menghabiskan harta orang tua untuk ber foya-foya. Sekarang kamu tak punya apa-apa, mobilpun bukan milik kamu, iya kan? Aku mencari kamu ketika mendengar kamu mau menikah, aku ingin mempermalukan kamu didepan banyak orang, tapi  ternyata kamu menikah diam-diam, dan aku bertemu wanita yang kamu tipu habis-habisan itu, dan  mendengar semua kebusukan kamu. Kasihan dia, gadis baik-baik dengan bapaknya yang lugu."
"Dewi... mana Mirna?"
"Mirna tidak sudi keluar untuk kamu. Sekarang enyahlah dari sini atau aku akan memanggil polisi supaya menangkap kamu."
"Biarkan aku ketemu Mirna, sebentar saja."
"Tidak, Mirna sudah bilang tidak mau, jadi lebih baik kamu pergi. cepat sebelum aku berubah pikiran !!"
"Aku mau bicara sebentar sama Mirna."
"Tidak... tidak... dan tidak... !!

Kata Dewi setengah berteriak sambil menunjuk kearah jalan keluar halaman tokonya.

Aji , seandainya ia  tidak sedang membutuhkan sesuatu, pasti lebih baik tidak menemui Mirna, apalagi Dewi. Tapi ia sedang membutuhkannya, sebuah pertolongan, sebuah alibi, karena ia sedang dalam urusan polisi.
***

"Dia sudah pergi," kata Dewi sambil memberikan kunci roling door kepada pembantunya. Dia mengajak Mirna duduk disebuah kursi dibelakang toko itu.
"Biarkan saya membantu membereskan toko mbak," kata Mirna melihat kesibukan dua orang pembantu ketika membuka toko.
"Tidak, biarkan mereka melakukannya. "
"Nanti mbak katakan apa yang harus saya lakukan."
"Ya, jangan khawatir, sekarang minumlah tehmu, agar hatimu tenang. Aku sudah menyiapkannya dari tadi."
"Terimakasih mbak."
"Apa kamu mencintai dia?"
"Tidak sama sekali. Saya menikah karena bapak. Bapak mengira dia laki-laki yang baik, karena kata-katanya begitu manis. Bapak mengira hidup anaknya akan bahagia bersama dia."
"Setelah kamu mengandung, tetap tak ada cinta yang tumbuh dihati kamu?"
"Saya heran pada perasaan saya. Sama sekali saya tak pernah merasa jatuh cinta. Kata bapak cinta bisa tumbuh dengan berjalannya waktu, tapi ternyata tidak. Saya minta ma'af, sungguh saya tidak mengerti kalau mas Aji masih berstatus suami mbak Dewi."
"Siapa perduli? Aku marah bukan karena aku merasa dikhianati, lak-laki seperti dia sangat tak berharga untuk dipertahankan. Aku sebenarnya hanya ingin mempermalukannya, lalu aku akan mengurus surat cerai. Ikatan pernikahan ini harus berakhir. Apa kamu ingin mempertahankannya?"
"Saya sudah bilang sama bapak, setelah bayi ini lahir aku harus bercerai resmi dengan dia. Tapi dengan penipuan itu, apakah pernikahan saya ini sah?"
"Entahlah, mungkin sah menurut agama, tapi tidak menurut hukum. Nanti aku akan bertanya kepada yang lebih mengerti. Sekarang minum tehmu, lalu marilah kita bekerja."
"Terimakasih mbak."
"Tunggu, apa kamu sudah minum obat yang seharusnya kamu minum?"
"Sudah mbak," jawab Mirna lalu meneguk teh hangatnya. Dalam hati ia bersyukur bertemu Dewi yang ternyata sangat baik kepadanya.
***

Hari menjelang sore ketika Mirna keluar dari toko Dewi. Ia menolak ketika Dewi ingin mengantarnya. Sungguh Mirna tak ingin selalu menjadi beban bagi Dewi. Apa yang diberikan Dewi padanya sudah membuatnya sangat bersyukur.

Jalanan yang panas sudah lebih berkurang karena matahari telah condong ke barat. Walau begitu Mirna tetap membawa payung untuk melindungu kepalanya.
Ada penjual gorengan dipinggir jalan, tampaknya masih hangat. Tampak ubi goreng, tahu atau apapun yang dijualnya, tampak bertumpuk dan menebarkan aroma gurih yang menggelitik. Pasti ayahnya akan suka.

Mirna berhenti, menutupkan payungnya lalu membeli beberapa macam gorengan. Hanya sepuluh ribu, tapi Mirna yakin tak akan habis dimakan berdua.
Tas kresek putih berisi gorengan itu masih terasa panas. Mirna menentengnya lalu melanjutkan perjalanannya. Payungnya tak perlu dimegarkan lagi, ia bahkan mempergunakannya sebagai penyangga tubuhnya ketika berjalan.

Ada sebuah pohon waru dipinggir jalan itu, dan ada bangku berjajar yang kosong, tampaknya ada warung penjual makanan disitu. Tapi tidak, bangku itu tidak kosong, ada seorang laki-laki duduk disana, menatapnya dan membuatnya cemas.

"Mirna," sapa laki-laki itu yang ternyata adalah Aji.
Mirna ingin terus melangkah, tapi kembali seperti pagi tadi, Aji menahan lengannya. Mirna menyesal tadi menolak ketika Dewi ingin mengantarnya.

"Ada apa mas? Sudahlah, lepaskan aku, aku sudah tau siapa diri mas Aji."
"Ma'af Mirna, nanti aku akan ceritakan hubungan pernikahanku dengan Dewi yang tidak serasi, karena..."
"Sudahlah mas..." potong Mirna.
"Mirna, aku mohon, ijinkan aku mengatakan sesuatu. Aku kan masih suami kamu, dan kamu pasti tak keberatan untuk menolong aku bukan?" pinta Aji yang kemudian mengajak Mirna duduk dibangku kosong disebelahnya.

Mirna menurut bukan karena ingin menurut, ia malu bersitegang dipinggir jalan karena beberapa orang lewat mulai memperhatikannya.

"Ada apa sebenarnya?"
"Mirna, tolonglah aku," pinta Aji sambil meremas jari tangan Mirna, tapi yang kemudian ditepiskannya.
"Jangan begitu, ini dijalan umum," kata Mirna sebel.
"Tapi kamu kan masih isteriku, apa salah aku memegang tanganmu?"
"Sudahlah mas, hentikan sandiwara ini. Segera katakan apa keinginan mas Aji, karena aku harus segera sampai dirumah."
"Nanti aku akan mengantar kamu, atau kita bicara didalam mobil saja?"
"Tidak, katakan sekarang disini apa yang ingin mas katakan."
"Aku sedang dalam kesulitan," katanya lalu berhenti sejenak.

Mirna terdiam dan berfikir tentang bentuk kesulitan itu. Apakah Aji kebahisan uang dan ingin meminjam darinya? Darimana Mirna punya uang banyak? Beberapa uang tabungannya sudah berkurang untuk makan dan semua kebutuhannya bersama ayahnya.

"Aku sedang berurusan dengan polisi."

Mirna terkejut. Polisi?

"Itu benar, polisi menuduh aku telah melakukan kejahatan," lanjut Aji.

Mirna masih diam, ia menunggu apa yang dikatakan Aji. Apakah Dewi melaporkannya pada polisi? Pasti tidak, dia hanya mengancamnya tadi dan Mirna juga mendengarnya

"Ada seorang perempuan meninggal didalam mobil, dan polisi menduga itu korban pembunuhan."

Mirna lebih terkejut sekarang. Ia ingat ketika membaca berita koran yang dibawa ayahnya. Bu Sukiman jatuh kesungai bersama mobilnya, dan luka parah, diperkirakan nyawanya tidak tertolong.

"Bu Sukiman?" celetuk Mirna pelan. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
"Kamu tau? Darimana kamu tau?"
"Aku membaca berita di koran."
"Ya, ada di koran berita itu, tapi polisi menuduh aku."
"Mas Aji kelihatan takut, mengapa takut kalau memang tak bersalah?"
"Kamu kan tau bagaimana polisi menekan orang yang dituduh melakukan kejahatan?"
"Lalu mengapa mas Aji mengatakannya padaku? Apa yang harus aku lakukan?"
"Aku hanya butuh alibi."
"Alibi, Apa maksudnya?"
"Mirna, nanti kalau polisi bertanya, katakan bahwa pada hari itu aku sedang bersama kamu."

Mirna terkejut. Ia langsung berdiri dan menjauh dari Aji.

"Tidak, mengapa mas Aji melibatkan aku? Tidak, aku tidak mau ... aku ingin hidupku tenteram."
"Mirna, aku kan suamimu? Kamu wajib menolong aku Mirna."
"Wajib? Apa mas juga tau apa kewajiban seorang suami? Aku tidak menyesal kalau mas tidak memperhatikan aku, tidak, bagi Mirna.. mas Aji itu tidak penting. Semua yang Mirna lakukan sudah cukup. Pengorbanan Mirna juga sudah lebih dari cukup. Sekarang menjauhlah dari aku."
"Mirna, kamu harus menuruti apa kataku... Kamu hanya harus mengatakan bahwa ketika kejadian, kamu sedang bersama aku, itu cukup." kata Aji dengan nada tinggi.
"Tidak mas, Mirna tidak mau terlibat."
"Tapi kalau kamu tidak mau menurut apa kataku, ayah kamu tidak akan selamat." kata yang terakhir ini adalah sebuah ancaman. Mirna merasa lemas, dan terduduk dibangku itu kembali.

"Aaap..pa... yang mas lakukan?"
"Ayahmu ada dalam tanganku !!"

==========

Mirna merasa lemas. Kepalanya pusing tiba-tiba. Sama sekali ia tak menduga Aji akan berbuat sejauh itu. Apa benar bukan Aji pembunuhnya? Ia mencari alibi, berarti dia terlibat, atau dia memang melakukannya.
Ingat akan keselamatan ayahnya, tiba-tiba timbul kekuatan pada diri Mirna. Ia bangkit berdiri dan bergegas berjalan kearah rumah. Sebungkus gorengan yang masuh hangat tertinggal di bangku tempat dia duduk, tak diperhatikannya. Aji mengikutinya dari belakang.

"Mirna, Mirna.. jangan khawatir, aku tak akan mencelakai ayahmu, tapi turutilah kata-kataku. Tolong Mirna," katanya sambil terus berjalan, dan Mirnapun tak menjawab, ia terus saja melangkah.

Ketika tiba dirumah kontrakannya, dilihatnya pintu terbuka, setengah berlari Mirna masuk kedalam.

"Bapak... bapak..," panggilnya sambil memasuki semua ruang yang ada dirumah itu, tapi tak ditemukannya orang yang dicarinya.
"Bapaaaak...," Mirna berteriak semakin keras. Kali ini sambil menangis.
"Mirna, bapak ada bersama aku," kata Aji sambil menarik tangan Mirna dan mengajaknya duduk.
"Jangan menangis, bapak baik-baik saja."
"Kembalikan bapak.. kembalikan, jangan libatkan dia kedalam perso'alan kamu mas," isak Mirna.
"Tidak, aku tidak melibatkan bapak, dia baik-baik saja, sungguh."
"Apa yang kamu inginkan mas.."
"Aku hanya ingin kamu membantu aku."
"Aku harus bagaimana?"
"Katakan pada polisi bahwa hari ketika bu Sukiman kecelakaan, aku sedang bersama kamu, ber jalan-jalan, atau belanja disebuah toko. Oh tidak, jangan belanja, aku harus punya bukti belanjaan itu. Katakan sedang ber-jalan-jalan saja."
"Jadi kamu memang membunuhnya?"
"Tidak, aku hanya dituduh, karena keluarganya mengatakan bahwa sore itu dia sedang pergi kerumah itu untuk menagih uang kontrakan."
"Kalau kamu tidak melakukannya, mengapa kamu harus memiliki alibi yang ternyata bohong? Dan melibatkan aku, melibatkan bapak.." kata Mirna setengah berteriak.
"Mirna, apapun yang dituduhkan polisi aku harus memiliki alasan kuat. Aku sudah mengatakan tak tau apa-apa, tapi mereka tak percaya. Lalu aku mengatakan bahwa waktu itu aku sedang bersama kamu."
"Penjahat!! Pembohong! Penipu kamu mas! Mimpi apa aku bisa bertemu manusia seperti kamu!!"
"Mirna, sudahlah, kamu tinggal menjawab bersedia atau tidak, lalu biarkan aku melakukan apa yang ingin aku lakukan."
"Kamu juga akan dihukum karena menyandera bapak !!"
"Apa itu masalah buat aku? Kalau aku sudah dihukum dengan tuduhan membunuh, maka tuduhan menyiksa bapak, atau bahkan membunuh bapak sekalipun, apa bedanya?"

Mirna terus menangis. Dadanya terasa sesak, perutnya juga terasa mulas.

"Kamu tau, aku hanya diberi waktu sehari untuk mencari kamu, dan besok aku sudah harus kembali ke kantor polisi dengan membawa kamu. Aku bisa keluar karena alasanku tepat, dan salah seorang saudara ayahku yang menjamin aku tak akan melarikan diri. Tapi besok aku harus kembali. Tolong Mirna."
"Bawalah bapak kembali kerumah ini."
"Pasti Mirna, tapi tidak sekarang. Besok sepulang dari kantor polisi kita akan menjemput bapak dan membawanya pulang."

Mirna tak menjawab, kepalanya terasa sangat pusing, tubuhnya gemetar, kemudian semuanya menjadi gelap. Mirna jatuh pingsan.
***

"Lho, ini Dinda kesini mau main, kok kalian mau pergi?" keluh Dinda dirumah Raka sore itu.
"Lain kali kalau mau kesini telepone dulu, supaya kamu tau kami ada ata nggak. Untung kami belum berangkat, kalau sudah, kamu nggak akan bisa ketemu siapa-siapa kan?" jawab Ayud sambil tersenyum.
"Aku libur seminggu ini, penginnya nginep disini."
"Boleh saja, tapi kami mau ke dokter dulu, kamu tunggu dirumah ya."
"Ogah, ak sendirian? Kalau begitu aku ikut saja."
"Ke dokter, mbak Ayud mau periksa kandungannya, kamu nggak papa ikut ngantri disana?" tanya Raka.
"Nggak apa-apa, daripada sendirian disini, kalau aku diculik hantu bagaimana?"
"Nggak mungkin, sesama hantu mana bisa saling menculik?" goda Raka.
"Eeh... apa? Jadi mas Raka ngatain aku hantu? Huuh.. jahat banget sih. Kalau aku hantu kan mas Raka juga hantu? Mana ada hantu punya kakak manusia." kata Dinda cemberut.

Lalu Raka dan Ayud tertawa renyah.

"Jadi kangen mas Adhit deh, kemana sih dia, lama banget perginya," kata Dinda yang tiba-tiba teringat Adhit.
"Oo.. kangen ya...?" goda Ayud.
"Iya lah, lama nggak diledekin mas Adhit. Kenapa sih orang-orang pada suka ngeledekin Dinda?"
"Karena kamu tuh nggemesin..."
"Sudah.. sudah, ayo kita berangkat sekarang. Tadi belum ngambil nomor antrian, pasti dapat belakangan." kata Raka yang kemudian berdiri.
"Ayuk, itu tas kamu bawa masuk kekamar dulu, nanti aja ngeberesinnya, Dinda."
"Iya.. kamarku yang biasanya itu kan?"
***

Dan benar juga, karena mengambil nomor antrian belakangan, maka Raka dan Ayud harus sabar karena pasien lumayan banyak.

"Tuh, harus nungguin lama kan, kamu pasti nggak sabar," kata Ayud.
"Nggak apa-apa... seneng liat perempuan-perempuan perutnya buncit."

Tapi ternyata Dinda juga merasa letih karena duduk terus ber lama-lama. Kemudian ia berdiri dan ber jalan-jalan disekitar rumah sakit itu.

Tiba-tiba Dinda melihat seseorang yang dikenalnya, duduk di sebuah kursi tunggu diluar ruang UGD. Laki-laki yang pernah mengganggunya. Dinda ingin membalikkan tubuhnya, tapi laki-laki itu keburu melihatnya. Laki-laki itu Aji, yang sedang menunggui Mirna diruang UGD. Melihat Dinda, Aji bukannya ingin mengejar seperti biasanya kalau melihat perempuan yang menarik hatinya. Kali itu tidak, ia teringat kata Mirna bahwa gadis cantik itu pacarnya Adhit. Aji justru mengalihkan pandang kearah lain. Ia mencari jalan agar bisa pergi dari situ dan tidak berpapasan dengan Dinda. Aji berdiri dan berjalan kearah pintu ruang UGD.

Dinda merasa heran karena Aji seperti tak perduli padanya. Ia membalikkan tubuhnya untuk menemui Ayud dan Raka.

"Aku melihat dia", katanya ketika sudah tiba didepan kakaknya.
"Dia.. siapa?"
"Itu... laki-laki mata keranjang itu, yang.. mm.. katanya menikah dengan mbak Mirna."
"Aji?" seru Ayud.
"Iya.. untung dia tidak perduli sama aku."
"Dia sama Mirna ?"
"Nggak tau, diluar ruang UGD, dia sendirian."
"Berarti Mirna ada didalam? Kenapa dia?" tanya Ayud sambil berdiri. Ia ingin mencari tau apa yang terjadi pada Mirna. Tapi Raka menahannya.

"Sudahlah Yud, disini saja, kita bisa mencari tau nanti. Kalau kamu kesana, lalu namamu dipanggil, bagaimana? Masa Dinda yang harus masuk."
"Iih.. mas Raka, emangnya aku hamil?"

Ayud kembali duduk. Tapi ketika ruang dokter kandungan itu dibuka, dilihatnya dokter keluar, lalu bergegas pergi dari ruang prakteknya. Pasien yang menunggu ber tanya-tanya. Dan seseoang yang bertanya pada perawat yang membantu dokter itu, jawabannya adalah sang dokter harus segera menangani pasien yang harus di operasi.

"Waduh, operasi kan lama.." keluh Ayud.
"Lumayan, tapi mau bagaimna lagi?"
"Kita pulang saja yuk, periksa besok saja," kata Ayud sambil berdiri.

Tapi ketika tiba diruang UGD itu, tak dilihatnya lagi sosok Aji yang katanya menunggu disana. Ayud mendekati perawat yang keluar dari ruangan itu.

"Ma'af suster, ada pasien bernama Mirna?" Ayud bertanya sekenanya, karena menurutnya pasti Aji bersama Mirna.
"Oh, dia sudah dibawa ke ruang operasi," jawab perawat itu.
"Memangnya dia kenapa?"
"Dia keguguran."

Ayud terkejut. Ia berjalan kearah ruang operasi, diikuti Raka dan Dinda.

"Ayud, mau apa kamu itu?" tanya Raka sambil berjalan mengikuti isterinya.
"Aku ingin tau keadaan Mirna. Kenapa dia?"

Walau sebenarnya tak ingin ikut campur, tapi Raka dan Dinda mengikuti Ayud menuju ruang operasi. Dinda memegangi tangan kakaknya erat ketika melihat Aji. Raka yang pernah melihat sikap Aji terhadap isterinya memandang tajam Aji, mungkin bersiap menonjokkan kepalan tangannya kalau Aji bersikap kurangajar terhadap isterinya.

Dan walau kurang senang melihat sikap Aji beberapa waktu lalu, Ayud terpaksa bertanya.

"Ma'af, ada apa dengan Mirna?" tanya Ayud.

Aji kali itu tampak pucat, Ayud mengira ia mencemaskan keadaan isterinya.

"Keguguran," jawab Aji singkat. Mata nyalang itu tak ada lagi, ada kecemasan yang ditahannya, dan membuatnya lemas.

"Jatuh ya?"

Aji menggeleng, lalu ia berjalan menjauh dari Ayud, rupanya tak ingin mendengar petanyaan-pertanyaan Ayud lagi.
Banyak yang dipikirkannya, dan membuatnya bingung, juga takut. Ancaman hukuman itu. Bagaimana kalau Mirna tak bisa memberinya keterangan? Besok ia harus kembali ke kantor polisi. Apa ia harus kabur? Berjuta pikiran memenuhi benaknya. Pikiran yang membuat kepalanya terasa berat. Ada sesal memenuhi dadanya ketika ia terpaksa melakukan kejahatan itu.

Tiba-tiba telephone berdering, Aji mengangkat ponselnya. Dari pamannya, saudara ayahnya yang telah membayar penangguhan penahanan atas dirinya.

"Hallo om, iya.. sudah ketemu, bisa.. tapi sial om... iya.. dia tiba-tiba pingsan.. sekarang sedang dioperasi... keguguran om.. saya lagi menungguinya. Belum tau, entahlah om, tolonglah saya. Bagaimana lagi, saya juga bingung.. baiklah, besok saya akan ke sana dengan membawa surat keterangan dari rumah sakit ... baik om. Tidak... bukan saya... saya sedang ingin membuktikan bahwa bukan saya pelakunya. Baiklah.."

Ayud dan Raka mendengar sedikit pembicaraan itu, tapi tidak mengerti apa maksudnya. Tapi mereka melihat bahwa Aji sangat cemas.

"Ia sangat mencemaskan isterinya, lihat wajahnya pucat," kata Ayud.
"Kita pulang saja dulu, besok kita mencari keterangan tentang keadaan Mirna."

Ayud keberatan, tapi Raka mendesaknya.

"Baiklah, besok kita cari keterangan."
***

Tapi keesokan harinya, ketika Ayud kerumah sakit itu lagi, didapatnya keterangan yang membuatnya heran.

"Pasien Mirna dipindahkan ke rumah sakit lain atas permintaan suaminya.

Bersambung #28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER