Cerita bersambung
Ayud tertegun. Mengapa harus pindah rumah sakit? Apa sakitnya parah? Apa rumah sakit ini tidak bisa menangani?
"Tidak ada apa-apa bu, hanya suaminya yang ingin memindahkan ke rumah sakit lain." lanjut perawat jaga.
"Apakah ada alasannya mengapa harus pindah?"
"Kami kurang tau, dengar-dengar supaya dekat rumah, begitu."
Ayud keluar dari rumah sakit itu dengan kecewa. Ia tak mengerti sikap Aji. Kemarin dilihatnya seperti orang kebingungan, apakah memikirkan isterinya yang entah mengapa?
Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Dewi, Ayud segera mengangkatnya.
"Hallo mbak, ada apa?"
"Ma'af Ayud, aku mengganggu. Ini tentang Mirna."
"Oh ya mbak, Mirna kenapa?"
"Sejak kemarin Mirna bekerja di toko milikku."
"Oh ya?"
"Tapi hari ini dia tidak datang. Aku khawatir karena kemarin suaminya menemuinya, tampaknya ada sesuatu. Barusan aku kerumahnya, tapi rumahnya kosong."
"mBak, tadi malam Mirna dibawa kerumah sakit. Oh ya, ini aku lagi dirumah sakit, maksudnya mau menemui Mirna dan melihat keadaannya, tapi kata pihak rumah sakit, suaminya telah memindahkannya ke rumah sakit lain."
"Tunggu... tunggu.. semalam dia bersama suaminya? Kenapa? Ada apa?"
"Dia keguguran."
"Ayud, aku mau ke kantormu sekarang, ada banyak yang akan aku bicarakan, tentang Mirna. Mungkin kamu belum tau, aku akan mengatakan semuanya. Sekarang ini aku menghawatirkan dia."
"mBak, ini aku masih dirumah sakit. Gagal menemui Mirna karena katanya dipindahkan. Kita ketemuan dirumah sakit saja, saya tunggu di loby depan, bagaimana ?"
"Kamu dirumah sakit mana?"
"Yang di Jl. Kapt. Mulyadi mbak, saya tunggu didepan ya."
"Baik, aku meluncur kesitu."
***
Hari itu Raharjo terbang ke Jakarta. Putri dan Galang sudah menunggu sekian lama, untuk segera menyadarkan Adhit akan kesalahan langkahnya.
"Apakah tidak sebaiknya Adhit kita panggil saja kemari biar mendengar semuanya mas?" kata Putri ketika menunggu kedatangan Raharjo.
"Tidak dulu, Raharjo harus kita beri tau sebelum Galang mengetahuinya."
"Apakah Raharjo akan bersama Retno? Aku sengaja tidak mengundangnya, nggak enak kalau belum-belum Retno mengetahuinya."
"Raharjo bilang datang sendiri. So'al Retno biar dia sendiri nanti yang memberi tau."
Putri mengangguk. Tapi bagaimanapun ada perasaan tak enak ketika menjelang pertemuannya dengan Raharjo. Pembicaraan itu akan mengungkap kisah lama yang memalukan, dan menyakitkan. Tapi Galang selalu memberi semangat, agar Putri tabah.
"Bukankah kamu sudah bilang bahwa akan siap menghadapinya? Bagaimanapun hal ini harus terungkap, agar ringan langkah kita dalam mengayuh hidup ini, tidak terbebani oleh rahasia yang selama ini kita simpan rapat."
"Ya mas, aku tau."
Namun ketika kemudian Raharjo sudah ada dihadapan mereka, Putri memilih pergi kebelakang dengan alasan mempersiapkan hidangan. Galang yang bisa memalumi perasaan Putri membiarkannya.
"Ada apa mas? Sampai-sampai Adhit merasa sedih seperti itu. Nggak sampai hati aku melihatnya. Tampaknya dia sangat mencintai Dinda," kata Raharjo setelah berbasa basi sebentar.
Putri keluar untuk menghidangkan minuman dan makanan kecil,
"Silahkan diminum dan dimakan, aku akan menyelesaikan pekerjaan didapur dulu," kata Putri setelah meletakkan hidangannya.
"Mengapa tidak duduk bersama kita?" kata Raharjo.
"Tidak, kita berbicara saja sendiri, dia masih punya pekerjaan dibelakang."
Raharjo mengangguk, tapi perasaannya mulai tak enak. Apakah Galang tak ingin Putri menemuinya ketika tak ada Retno diantara mereka? Bukankah berpuluh tahun lewat dan semua perasaan tak enak diantara mereka telah mencair dan menjadi sebuah persaudaraan yang erat?
"Baiklah, silahkan diminum dan dinikmati hidangan dari kami, sambil kita bicara," kata Galang sambil mendahului meraih cawan berisi teh hangat yang dihidangkan isterinya.
Raharjo mengikutinya, mengambil cawan dan menghirupnya dengan nikmat. Aroma teh Solo masih terasa di keluarga ini. Raharjo sangat menikmatinya karena dia juga berasal dari Solo. Ada harum dan sedikit sepat yang terasa berbeda dengan teh dari kota lain.
"Serasa lagi nge teh di Solo." gumamnya seraya meletakkan cawannya.
"Iya dong, isteriku kan putri Solo. dia selalu minta kiriman teh dari ibunya, teh yang khas Solo."
"Retno kan juga orang Solo, tapi dia sudah nggak begitu perduli akan rasa teh. Dan seringnya juga kami ngopi."
"Kopi yang sehat itu tanpa gula."
"Benar mas."
Galang terdiam sejenak, dia sedang merangkai kata-kata yang tepat untuk mengurai semua kejadian yang membuat Adhit terlahir didunia.
"Mas, tadi kita bicara tentang Adhit. Dan memang untuk itu kan aku datang kemari?" akhirnya Raharjo membuka percakapan tentang Adhit lagi.
"Ya Jo, ada rahasia besar yang selama ini kami simpan rapat-rapat."
"Rahasia apa itu mas?"
Galang menghela nafas dan menghembuskannya perlahan, seakan ingin memuntahkan semua ganjalan yang ada didalam dadanya, namun alangkah susahnya.
"Jo.. bukan rahasia lagi bahwa dulu diantara kamu dan Putri pernah ada... mm.. hubungan cinta.." kata Galang pelan. Ia menyandarkan tubuhnya ketempat duduknya.
Raharjo terkejut, mengapa Galang tiba-tiba mengungkap cerita lama itu lagi? Ada sesuatu yang melintas dibenaknya, seperti kilat, kemudian lenyap. Apa hubungannya dengan Adhit?
"Mengapa mas Galang mengatakan itu?"
"Kamu ingat, ketika hujan deras, sepulang dari latihan menari.. lalu kalian bernaung disebuah warung kosong..." Galang tiba-tiba bisa berucap dengan lancar.
"Putri sudah menceritakan semuanya tentang hubungannya dulu dengan Teguh atau Raharjo, tak ada yang ditutupi."
Dan ucapan itu membuat Raharjo seperti terbang keawang awang, lalu jatuh terjerembab ketanah yang berbatu. Peristiwa itu, mengapa Galang mengetahuinya? Lalu....
"Lalu peristiwa itu terjadi.. seperti mimpi buruk.. ketika sepasang anak muda dalam kegelapan, kedinginan.. dan ...."
"Hentikan mas, untuk apa mas Galang mengatakan semua itu?" suara Raharjo meninggi, ada nada marah, tersinggung dan itu seperti berpuluh palu godam memukul kepalanya. Galang ingin mempermalukannya, itu yang dirasakan Raharjo.
"Jo, aku tau karena Putri menceritakan semuanya. Tak ada yang dia tutupi."
"Tapi untuk apa mas Galang mengatakan semua itu? Kalau tau hanya akan dipermalukan lebih baik aku tidak datang kemari."
"Jo, dengar Jo, jangan merasa tersinggung atau marah, dengar dulu, peristiwa sa'at hujan itu menebarkan sebutir benih dirahim Putri."
Sekarang Raharjo benar-benar merasa, kejatuhannya dari awang membuat batu-batu runcing menusuk seluruh kulit kepalanya, membuatnya berdarah darah, sampai ke hatinya.
"Mas...." gemetar suara Raharjo. Lalu terbayanglah peristiwa sa'at hujan deras, dirinya dan Putri bernaung disebuah warung kosong, lalu mereka kedinginan, lalu setan-setan mengipasi hati mereka, lalu membuat darah mereka mendidih, lalu mereka lupa segalanya.
"Dan benih itu tumbuh subur, lalu lahirlah seorang bayi yang kemudian menjadi anakku.."
"Adhit ? Adhitama ?" suara itu lirih.. hampir tak terdengar, lalu butir-butir air air bening bergulir dari sepasang mata Raharjo. Kedua tangannya menutupi mukanya lalu terdengar isak lirih yang memilukan. Dan tanpa diduga, Raharjo turun dari kursinya, mendekti Galang lalu bersimpuh dihadapannya, merangkul lututnya erat. Galang tentu saja terkejut.
"Jo, jangan begini Jo, sudahlah Jo, aku bukan ingin membuka aib kamu, ini untuk menunjukkan ke kamu, mengapa aku melarang Adhit mencintai Dinda. Jo, ayolah berdiri, jangan begini Jo," kata Galang sambil berusaha mengangkat tubuh Raharjo.
Raharjo bangkit, mengusap air matanya yang masih bercucuran. Galang meraih tissue dan mengulurkannya pada Raharjo.
"Jo, tak ada yang perlu ditangisi, semuanya sudah terjadi," kata Galang sambil menarik tubuh Raharjo agar duduk disampingnya.
"Hal ini akan tetap menjadi rahasia, kalau saja Adhit tidak memaksakan kehendak akan memperisteri Dinda. Ini kehendak Yang Maha Kuasa Jo. Rahasia yang aku simpan puluhan tahun memang sudah seharusnya terbuka. Kamu harus tau siapa darah dagingmu."
"Ma'afkan aku mas, ma'afkan aku," masih gemetar suara Raharjo ketika mengucapkan itu.
"Tak ada yang perlu dima'afkan. Aku sudah mema'afkan kamu sejak Putri menjadi isteriku. Toh kemudian kita menjadi saudara, dan sekarang kita sudah berbesan. Dan kita hampir mempunyai cucu Jo, ini membahagiakan." kata Galang menghibur besannya. Membesarkan hatinya.
"Ya Tuhan.... ya Tuhan... berpuluh tahun berlalu, aku tak menyadari.." keluh Raharjo ber kali-kali.
"Jo, sudahlah, sekarang apa yang kamu inginkan? Kita panggil Adhit sekarang?"
Menunggu beberapa sa'at lamanya sampai Raharjo bisa menguasai dirinya.
"Kamu ingin memanggil Adhit sekarang? Mengatakan siapa sesungguhnya dirinya?"
"Akan aku minta supaya besok pagi dia kemari," akhirnya kata Raharjo.
***
Ayud terkejut mendengar cerita Dewi tentang Mirna. Kasihan mendengar nasibnya.
"Dulu aku sama mas Adhit ingin mengingatkan dia ketika melihat Aji sering menjemputnya, tapi Mirna bilang tak ada hubungan apa-apa. Bahkan ketika mau menikah, dia resign dari perusahaan, juga tak mengatakan kalau mau menikah. Katanya ikut bapaknya yang pindah keluar kota," kata Ayud panjang lebar.
"Kemarin itu Mirna yang ketemu Aji membawanya kerumahku. Sudah aku muntahkan semua isi hatiku dan kekesalanku sama dia. Lalu dia memaksa ingin bertemu Mirna, aku melarangnya. Hampir dua bulan Mirna ditelantarkan, rumah yang diakuinya sebagai rumahnya sendiri ternyata rumah kontrakan yang sudah sa'atnya dibayar tapi belum juga dibayarnya."
"Lalu Mirna dan bapaknya pergi mengontrak rumah sendiri?"
"Aku kebetulan ketemu, baru tau kalau dia isterinya Aji. Aku membantunya membawa barang-brangnya, lalu aku memberinya pekerjaan di toko. Lha baru sehari itu dia kok nggak datang lagi, aku curiga karena kemarinnya Aji memaksa ingin bertemu. Rupanya Aji benar-benar menemuinya, entah untuk apa. Dan bagaimana Mirna bisa keguguran? Ada apa sebenarnya?"
"mBak, sebaiknya kita mencari Mirna di rumah sakit lain. Pasti ada salah satu rumah sakit dimana kita bisa menemuinya."
"Ini pasti ada apa-apa, mengapa Mirna dipindahkan dari rumah sakit ini. Apa mungkin setelah bertemu dengan kamu, lalu ia menghawatirkan sesuatu ya?"
"Mungkin mbak, sikapnya juga aneh, tampaknya dia sedih memikirkan isterinya."
"Nggak mungkin Yud, dia itu nggak perduli sama Mirna. Kalau dia merasa khawatir, pasti karena ada sesuatu yang membutuhkan pertolongan Mirna."
"Baiklah, ayo kita coba cari ke rumah sakit lain mbak."
"Kalau ada Adhit pasti dia bisa membantu."
"Akan aku coba menelpon dia mbak, sekalian menanyakan kabar dia."
Lalu Ayud mencoba memutar nomor telephone Adhit. Tapi ternyata Adhit sedang berbicara dengan seseorang.
"Dia lagi menelpon, nggak tau sama siapa, aku akan kirim berita lewat WA saja," kata Ayud yang kemudian menulis berita untuk Adhit.
"Mudah-mudahan setelah membaca dia akan menghubungi kita."
Dan memang sa'at itu Adhit sedang berbicara dengan ayahnya.
"Datanglah ke Jakarta besok,om Raharjo menunggu dirumah," kata Galang.
"Baiklah, Adhit akan ke Jakarta, kalau bisa siang ini juga," jawab Galang bersemangat. Ada harapan yang membuat hatinya berbunga bunga, karena Raharjo sudah bicara, dan ada harapan yang akan membahagiakannya. Semoga. Bisik batinnya..
Lalu wajah cantik dengan mata bening itu melintas diangannya, membuatnya rindu. Sudah lama tak ketemu Dinda, sebelum berangkat nanti Adhit bermaksud menemuinya.
Tapi tiba-tiba terbaca olehnya WA dari Ayud.
"MAS TOLONG HUBUNGI KAMI, ADA SESUATU TERJADI DENGAN MIRNA. MBAK DEWI BUTUH PERTOLONGAN MAS ADHIT. HUBUNGI KAMI."
Adhit terkejut. Mana yang harus didahulukan? Tapi sepertinya ada hal menghawatirkan tentang Mirna, Butuh pertolongannya? Segawat apakah? Memang sih Mirna bukan apa-apanya, hanya bekas sekretarisnya, tapi kalau Dewi dan Ayud sangat mengharapkan pertolongannya.... aduhai, apa yang harus dilakukan?
==========
Adhit ingin segera mendapatkan jawaban atas perasaan cintanya pada Dinda, Ia ingin menunda urusannya tentang Mirna. Hatinya sudah mantap, ketika ponsel berdering dan itu dari Dewi. Adhit terpaksa mengangkatnya.
"Hallo Wi... ada apa?"
"Untunglah kamu lagi on. Susah bener menghubungi kamu."
"Ya, lagi bertapa aku," candanya.
"Gawat Dhit, aku terpaksa minta tolong sama kamu."
"Mirna? Ada apa dengan dia ?"
"Kamu kan tau bahwa dia itu orang gila, kasihan Mirna. Kebetulan aku dipertemukan dengannya dan tau semuanya. Ternyata dia yang dinikahi Aji, tapi setelah hamil di sia-siakannya. Baru sehari dia bekerja di tokoku, setelah mengontrak rumah sendiri bersama ayahnya."
"Kemana Aji ?"
"Kemarin dia mencegat Mirna ketika Mirna mau berangkat ke tokoku, yang kebetulan nggak jauh dari rumah kontrakannya. Lalu Mirna sengaja membawanya ketokoku. Dia terkejut melihat aku. Aku sudah me maki-makinya habis habisan. Tapi sa'at itu dia ngotot ingin bertemu Mirna, sepertinya dia butuh pertolongan Mirna, entah apa, tapi aku melarangnya bertemu. Tapi sorenya ketika Mirna pulang, mungkin Aji mencegatnya lagi, dan entah apa yang dilakukannya, Mirna sampai masuk rumah sakit dan keguguran."
"Dirumah sakit mana?"
"Ayud yang kebetulan mengetahui sa'at Mirna dioperasi atau mungkin di kuret karena kehamilannya yang gagal, paginya ingin menemui dirumah sakit itu, tapi pihak rumah sakit bilang kalau Aji sudah memindahkannya ke rumah sakit lain."
"Karena apa? Parahkah keadaan Mirna?"
"Tidak, aku curiga Aji memang menyembunyikan Mirna, karena tau bahwa Ayud melihatnya dan mengenalnya."
"Ada apa ya?"
"Itulah Dhit aku mengajak kamu untuk menyelidiki masalah ini."
"Tapi aku mau ke Jakarta hari ini."
"Tolong Dhit, aku menghawatirkan Mirna."
Adhit bimbang, antara keinginan segera mengetahui kelanjutan perasaannya terhadap Dinda, dan membantu Dewi
"Gimana Dhit ? Bisa kan? Aku masih dirumah sakit bersama Ayud nih. Pokoknya aku tunggu ya."
"Ya baiklah, aku kesana sekarang, Ayud sudah mengatakan rumah sakitnya tadi."
***
"Bapak, mana bapak?" keluh Mirna ketika perawat sedang mengukur tensinya siang itu.
"Bapak Aji menunggu diluar bu, sabar ya, keadaan ibu lemah setelah dikuret, ibu harus istirahat dulu disini. "
Mirna sedih, ia memikirkan bapaknya yang entah berada dimana. Ia mendengar laporan perawat pagi tadi kepada suaminya. Tekanan darahnya rendah, hb nya juga sangat rendah. Kalau siang ini tidak membaik, ia harus mendapatkan transfusi darah.
Ketika perawat itu akan pergi, terbersit keinginan Mirna untuk meminta tolong. Ia harus menghubungi Dewi, ia sadar keadaannya tak begitu bagus, ia dalam tekanan Aji, dan ayahnya dipergunakannya sebagai alat untuk memaksanya.
"Suster...."
Perawat itu berhenti melangkah, berbalik mendatangi Mirna.
"Ada apa bu, akan saya panggilkan pak Aji."
"Jangan, tolonglah saya.."
"Apa yang bisa saya lakukan?"
"Tolong catatlah nomor telephone ini.."
Perawat itu lalu mengambil kertas yang entah darimana, mungkin dicatat disudut kertas laporannya, lalu mencatat nomor yang dikatakan Mirna.
"Tolong mbak, kirimkan pesan ke nomor itu, bahwa saya ada dirumah sakit ini, saya bekerja disana dan nggak tau kalau harus terbaring disini."
"Baiklah bu.."
"Eh mbak..." panggil Mirna lagi ketika perawat itu akan berlalu.
"Ya bu?"
"Tolong jangan bilang pak Aji tentang pesan saya ini."
Perawat itu mengangguk. Lalu keluar dari ruangan.
Mirna merasa sedih, sakit ditubuhnya tak begitu dirasakannya. Ia hanya memikirkan ayahnya. Ia berharap perawat itu benar-benar menolongnya, dan Dewi segera bisa datang menemuinya.
Ketika Aji masuk, Mirna pura-pura memejamkan matanya. Tapi Aji tetap mengajaknya bicara.
"Mirna, tolonglah aku..Hari ini aku harus kembali ke kantor polisi. Aku sudah bilang bahwa kamu sakit. Mungkin polisi akan datang kemari, tolong aku ya Mir."
Mirna membuka matanya. Dilihatnya wajah Aji yang pias, jauh dari keangkuhan yang biasanya diperlihatkannya sesa'at setelah diketahuinya dia mengandung.
"Dimana bapak?" katanya lemah.
"Bapak baik-baik saja, aku akan membawanya kemari setelah kamu mengatakan pada polisi tentang apa yang aku katakan kemarin."
Mirna kembali memejamkan matanya. Sungguh ia tak ingin berbohong, tapi ia juga ingin segera bertemu ayahnya.
"Maukah Mirna?"
Mirna mengangguk pelan. Itu membuat Aji merasa lega. Diciumnya pipi Mirna, tapi kemudian Mirna membuang mukanya. Laki-laki yang berstatus sebagai suaminya ini tak pernah membuatnya bahagia, tak pernah berhasil menumbuhkan cinta, dan kini justru memercikkan kebencin dengan melibatkannya pada kejahatan yang telah dilakukannya.
***
Ayud dan Dewi gembira ketika melihat Adhit datang. Adhit memeluk adiknya lalu mengelus perutnya yang mulai membuncit.
"Rupanya kangen juga ya sama keponakanmu ini?" canda Ayud.
"Iya, kangen bener, tapi bagaimana lagi. Harusnya siang ini aku mau ke Jakarta."
"Mas, kayaknya Mirna dalam bahaya, kita harus menolongnya,"
"Waduh, ini salah dia sendiri, dulu nggak mau berterus terang kalau mau menikah dengan Aji."
"Iya mas, kan itu sudah lewat, ayo sekarang kita cari Mirna dimana."
"Sebentar, sebentar.. ada pesan WA ini, entah dari siapa, nggak kenal nomornya, tunggu.. siapa tau penting."
"Barangkali dari Mirna?
"Oh, dari perawat rumah sakit, ini dia alamatnya, Mirna yang nyuruh kita kesana, ayo kesana cepat."
"Ayud, kamu kembali saja ke kantor, nanti kamu kecapean, biar aku sama Dewi yang mengurusnya." kata Adhit ketika melihat Ayud mengikutinya.
"Iya Yud, sudah ada Adhit, kamu kembali saja ke kantor."
"Baiklah, tapi kabari aku kalau ada apa-apa ya."
***
Ketika tiba dirumah sakit itu, Adhit dan Ayud langsung menuju dimana ruang Mirna dirawat, karena bunyi WA itu juga menyebutkannya.
Ketika memasuki ruangan itu, dilihatnya Mirna terbaring dengan wajah pucat.
"Mirna ?"
Ada rona merah tersirat pada wajah Mirna ketika melihat Dewi datang. Dalam hati ia berterimakasih pada perawat yang dititipinya pesan. Tapi ia terkejut melihat Adhit datang juga bersama Dewi. Ia tak kuasa menahan debar jantungnya. Laki-laki tampan yang selalu dikaguminya, dan yang berusaha dilupakannya, sekarang ada dihadapannya, memandangnya penuh iba.
"Pak Adhit.." bisiknya lirih.
"Aku memintanya untuk membantu mencari kamu, karena katanya Aji memindahkanmu ke rumah sakit lain, untunglah ada yang memberi tau keberadaanmu."
"Saya minta tolong perawat mbak, saya butuh pertolongan."
"Apa yang sesungguhnya terjadi ? Aku ikut prihatin mendengar kamu keguguran,"
"Bapak disekap oleh mas Aji," kata Mirna lirih, air mata mulai menggenangi kelopaknya, menetes membasahi pipinya.
"Disekap bagaimana?" tanya Dewi dan Adhit hampir bersamaan.
Lalu Mirna menceritakan semuanya, dengan ter bata-bata. Mulai ketika Aji mencegatnya ketika pulang dari toko Dewi sampai dirinya dibawa kerumah sakit itu.
"Kalau saja kamu berterus terang kalau mau menikah dengan bedebah itu, pasti aku akan mencegahnya, karena aku sudah tau siapa dia. Tapi sudahlah, semuanya sudah terlanjur, dan kamu harus segera keluar dari kemelut ini." kata Adhit mmenyesali peristiwa itu.
"Dia benar benar gila. Ternyata dia pembunuh."
"Penjahat kelas teri, gampang saja kalau mau membuat dia masuk penjara."
"Kamu jangan mau mengakui kebohongan itu Mirna."
"Tapi bapak dalam bahaya mbak," isak Mirna.
"Kurangajar benar dia itu," kata Dewi geram.
"Begini saja, aku akan melaporkan semua ini pada polisi."
"Bapak saya bagaimana pak."
"Jangan khawatir, nanti polisi akan mengaturnya. Dewi, kamu disini dulu menemani Mirna, saya akan ke kantor polisi."
Dewi mengangguk. Mirna menatap kepergian bekas bos yang masih ganteng itu dengan matanya. Dan laki-laki yang dikagumi itu sedang berusaha membantunya. Dipejamkannya matanya sambil melantunkan do'a dalam hati, agar dirinya benar-benar bisa terlepas dari keterlibatan kejahatan Aji.
"Tenanglah Mirna, Adhit pasti akan menolong kamu," kata Mirna yang merasa iba memandangi wajah pucat itu.
"Ma'afkan saya mbak, saya telah membebani mbak Dewi dengan persoalan saya."
"Jangan berfikir begitu, aku khawatir benar-benar ketika mendengar kamu bertemu Aji lagi."
"Saya hanya menghawatirkan bapak, dimana mas Aji menyekapnya."
"Percayalah Mirna, semuanya akan baik-baik saja."
Mirna mengangguk, sedikit merasa tenang karena Dewi menemaninya.
***
Raharjo sedikit kecewa menerima pesan dari Adhit siang itu.
"Adhit tidak bisa datang siang ini seperti janjinya, katanya ada urusan penting," kata Raharjo yang masih berada dirumah Galang.
"Katanya buru-buru ingin tau jawabannya, mengapa dia menundanya lagi?"
"Mungkin ada urusan pekerjaan yang harus ditanganinya."
"Tapi Ayud bilang Adhit sudah beberapa hari tidak ke kantor."
"Padahal rencananya besok aku mau kembali ke Medan mas."
"Lho, katanya kamu mau meminta Retno untuk menyusul kemari."
"Nggak mas, masalah ini harus aku bicarakan dirumah, dengan hati-hati. Tidak bisa disini."
"Benar juga ya, tapi bagaimana kalau besok Adhit datang dan kamu sudah kembali?"
"Bagaimana kalau mas Galang suruh Adhit ke Medan saja."
"Ke Medan?"
"Sebaiknya aku yang memberi tau masalah ini mas... bukan mas Galang, karena akulah yang membuat semuanya menjadi kacau begini."
"Tidak Jo, bukan kacau, ada jalan untuk keluar dari masalah ini, karena kita adalah saudara, yang menganggap semua perso'alan bisa dipikul bersama."
"Baiklah, aku telephone Adhit sekarang saja ya mas, biar dia langsung ke Medan besok."
"Tapi katakan juga nanti harus ke Jakarta dulu, ibunya ingin ketemu."
Raharjo mengangguk, lalu memutar nomor telephone Adhit.
Terdengar nada panggil, tapi Adhit tidak mengangkatnya. Ber kali-kali dilakukan, tetap Adhit tidak mau mengangkatnya.
"Kok nggak diangkat ya," kata Raharjo.
"Coba aku yang menelpon ya Jo."
Namun baik Raharjo maupun Galang, tak mendapat jawaban atas panggilan telephone yang dilakukannya.
Tentu saja Adhit tidak mengangkatnya, karena waktu itu dia sedang ada di kantor polisi. Ketika dia datang, waktu itu Aji juga sedang memasuki kantor polisi itu. Begitu melihat Aji, Adhit langsung mendekat, geram melihat wajah tampan yang tampak kumal, tapi matanya penuh kelicikan. Ia teringat ketika Aji mengganggu Dinda, lalu dengan sekali tonjokan dihantamnya wajah Aji, dan membuat Aji terhuyung huyung.
Bersambung #29
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel