Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 20 Agustus 2021

Dalam Bening Matamu #29

Cerita bersambung

Aji memandangi laki-laki tampan dihadapannya yang menatapnya penuh kebencian. Untuk kedua kalinya wajahnya kena kepalan tangannya. Dua orang polisi menghampiri, lalu membawanya masuk karena sebenarnya Aji berada dalam status tahanan.
Aji heran melihat Adhit datang ke kantor polisi. Ia sama sekali tak mengira bahwa kedatangannya ada hubungannya dengan kasusnya. Bahkan akan menjerumuskannya kedalam penjara yang mungkin akan menyekapnya selama puluhan tahun.

Adhit kemudian menemui polisi jaga dan mengutarakan apa yang akan dilaporkannya.
Adhit kemudian baru tau bahwa Aji adalah benar- benar terdakwa pembunuh seorang wanita bernama bu Sukiman.
Geram sekali rasanya, membayangkan Mirna akan terseret kedalamnya. Beruntung Adhit segera datang dan mengatakan semuanya.
Ia juga minta agar bapaknya Mirna yang disekap Aji segera dibebaskan.
***

Ketika semuanya selesai.. Adhit baru membuka ponselnya dan melihat beberapa panggilan telephone tak terjawab.
Dari ayahnya dan juga dari Raharjo. Pasti ada yang penting.
Adhit memutar nomor telephone Raharjo dengan hati berdebar. Adakah jawab dari pertanyaan yang selama ini mengganjal dihatinya?

"Hallo om.. ma'af, tadi lagi ada urusan..jadi nggak bisa menerima telephone dari om," sapa Adhit begitu telephone diterima Raharjo.
"Sekarang sudah selesai urusannya?"
"Sementara sudah. Bagaimana om? Ada berita baik untuk Adhit?"
"Dhit, besok kamu jangan ke Jakarta dulu," kata Raharjo yang kemudian membuat Adhit berdebar. Pasti Raharjo belum menemukan jawaban yang diharapkan.
"Kabar buruk ya om?"tanyanya pelan seperti putus asa.
"Tidak.. bukan kabar buruk nak. Kabar yang sangat baik," jawab Raharjo pelan. Ada getar lembut mengusik dadanya ketika menyadari dirinya sedang berbicara dengan darah dagingnya.
"Jadi..... " kata Adhit yang kemudian merasa lega.
"Besok aku mau kembali ke Medan, jadi datanglah ke Medan," kata Raharjo yang kemudian bisa menata hatinya.
"Tapi sebenarnya bagaimana om, benar kabar baik ?"
"Benar nak, pokoknya datanglah ke Medan. Kita akan bicara banyak."

Ada rasa lega ketika Adhit mendengar tentang berita baik yang dibawa Raharjo. Walau belum tersirat jelas, tapi Adhit menerima berita baik itu sebagai keberhasilan Raharjo membujuk ayahnya sehingga mengijinkan dirinya mencintai Dinda.
Adhit begitu yakin, walau belum pernah mendengar bahwa Dinda mencintai dirinya, tapi Adhit yakin bahwa suatu hari nanti hal itu pasti akan terjadi.

Adhit kemudian memesan tiket untuk berangkat ke Medan esok hari, dan akan menemui Dinda sore nanti.
***

Mirna sangat bahagia ketika sore hari itu ayahnya datang menjenguknya.
Ia tau pak bos ganteng telah membantunya.

"Bapak.. apa yang telah dilakukannya pada bapak? Apa dia menyakiti bapak?" tanya Mirna sambil mencoba duduk. Kekuatannya tiba-tiba pulih, mungkin karena hatinya lega.
"Tidak, ia tak melakukan apa-apa dalam arti menyakiti tubuhku, tapi ia menyakiti perasaanku. Ia membuatmu menderita, membuatmu kehilangan bayimu.." kata pak Kadir dengan berlinangan air mata.
"Jangan sedih bapak, semuanya sudah berlalu. Kita akan menikmati semuanya dengan penuh damai dan bahagia. Yang penting bapak bisa pulang dalam keadaan baik-baik saja," kata Mirna sambil memeluk ayahnya, bersandar didadanya, dan membiarkan lelaki setengah tua itu mengelus kepalanya.
"Bapak, hari ini Mirna harus pulang, maukah bapak menanyakan ke kantor untuk melihat berapa yang harus kita bayar untuk perawatan Mirna, karena pasti belum ada yang mengurusnya. Lalu bapak lihat apakah sisa tabungan Mirna masih cukup? Kalau tidak, Mirna akan menjual kalung Mirna yang Mirna beli dari hasil kerja Mirna dulu."
"Baiklah, bapak juga bisa usahakan nanti kalau ada kurangnya," kata pak Kadir sambil melepaskan pelukan Mirna lalu keluar dari kamar.

Mirna turun dari tempat tidur dan melipat selimutnya.
Disebelahnya, terpisah dengan sekat sehelai gorden berwarna hijau terdengar ramai oleh pengunjung yang membezoek keluarganya. Ada tawa dan celoteh orang-orang yang mengomentari penyakit pasien yang baru saja dioperasi karena hamil anggur.
Ada sesal dihati Mirna karena ia harus kehilangan bayi yang dikandungnya. Kesedihan, kekecewaan dan tekanan dari Aji yang menyekap ayahnya, membuatnya begitu lemah dan itu berpengaruh pada kandungannya.
Mirna menghela nafas panjang. Bagaimanapun ia harus bersyukur karena bertemu Dewi yang sangat memperhatikannya. Dan sang bos ganteng yang telah menolongnya. Ia ingat ketika kembali menjenguknya setelah selesai membuat laporan tentang kejahatan Aji, Adhit mengatakan kalau ia tetap akan dipanggil dalam persidangan sebagai saksi.

"Tapi kamu tidak usah khawatir Mirna, kamu tidak bersalah, dan tak tau apa-apa tentang pembunuhan itu. Kamu hanya sebagai saksi yang tadinya mendapat tekanan karena Aji telah menyekap ayahmu."

Pesan Adhit kembali terngiang di telinganya. Suaranya begitu lembut dan penuh perhatian. Jauh bedanya dengan Aji yang hanya bersikap manis ketika menginginkan tubuhnya. Tiba-tiba Mirna merasa muak, dan membenci hari-hari yang pernah dilaluinya bersama Aji.

"Mirna..." suara ayahnya mengejutkannya.
"Bagaimana bapak, masih banyak ya kurangnya?"
"Tidak, kita tidak perlu membayar apapun karena srseorang telah melunasinya."
"Siapa," tanya Mirna terkejut.
"Nggak tau.. orang itu tidak mengatakannya."
"Pasti mbak Dewi."

Tapi ketika Dewi datang, dia mengatakan bahwa bukan dia yang telah membayarkannya.

"Pasti Adhit, siapa lagi."
***

Dinda terkejut ketika diruang tamu tempat kost nya ada seseorang yang sedang menunggu, dan itu adalah Adhit.

"Mas Adhiiit.."  pekiknya kegirangan begitu melihat siapa yang datang. Dan dengan entengnya kemudian Dinda memeluknya, membuat detak jantung Adhit berdegup tak karuan. Ia bahkan tak ingin melepaskan ketika Dinda kemudian mendorong tubuhnya perlahan.

"Iih.. mas Adhit.. nanti dikira kita pacaran, tau !!"tegurnya sambil mendorong tubuh  Adhit lebih keras. Adhit tersenyum manis. Mungkin itulah senyum termanis yang pernah diberikannya begitu mendengar berita baik yang dikatakan Raharjo.

"Sudah mandi?"tanya Adhit sambil berdiri.
"Sudah dong, apa aku belum wangi?"
"Kamu kan selalu wangi."
"Huh.. itu kan rayuan seorang lelaki kepada perempuan yang disukai."
"Sudah pernah dirayu laki-laki?"
"Sering... mas Adhit tuh yang sering ngrayu," jawab Dinda sambil duduk.
 Adhit tertawa.
"Duduk dong mas, kok malah berdiri," tegur Dinda ketika melihat Adhit berdiri.
"Ayo kita keluar," kata Adhit kemudian.
"Kemana?"
"Jalan-jalan lah. Makan, minum es krim.."
"Asyiik...," Dinda bersorak.
"So'alnya  besok aku mau ke Medan."
"Ke Medan?"mata Dinda terbelalak.
"Iya, mau ikut ?"
"Ngapain ke Medan?"
"Ngelamar kamu."

==========

Dinda terkekeh.

"Mas Adhit suka bercanda deh. Dinda ganti pakaian dulu ya," katanya sambil berlari kedalam untuk ganti pakaian.

Adhit tersenyum.

"Enak aja, siapa bercanda, aku bener-bener mau nglamar kamu nih," bisiknya sambil kembali duduk untuk menunggu.

Adhit ter senyum-senyum sendiri.
Berita yang diterima dari Raharjo membuatnya ber bunga-bunga. Ia tak perduli apa kata Dinda, ia yakin pada suatu hari Dinda pasti akan bisa menerimanya. Siapa sih yang nggak suka sama lelaki ganteng yang romantis seperti dirinya? Ehem... bodoh benar kalau kamu menolak cintaku Dinda, bisik hatinya, sambil terus ter senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika Dinda sudah keluar, mengenakan celana jean ketat dan kaos warna pink berkembang didadanya, lalu membuat Adhit terpesona, senyum itu masih mengembang dibibirnya. Dindapun merasa aneh.

"Iih, mas Adhit, kok senyum-senyum sendiri sih, Dinda jadi takut nih," kata Dinda sambil memonyongkan bibirnya.
"Kok takut sih, masa sama orang ganteng kamu takut?"
"Bukan gantengnya, senyum-senyum sendiri itu yang membuat Dinda takut."
"Waaah, kamu nih, masa senyuman semanis ini membuat kamu takut?"
"Iya lah, senyum sendiri, siapa yang nggak takut," kata Dinda sambil mengunci pintu kamarnya, lalu melangkah keluar diikuti Adhit yang kemudian menggandeng tangannya.
"Mas, hari ini sikap mas Adhit aneh deh, tuh diliatin anak kost yang disebelah sana, ntar kita dikira pacaran donk."
"Biarin aja, emang kenapa kalau pacaran," jawab Adhit nekat, dan terus menggandeng Dinda sampai ke mobilnya.
"Enak aja, nanti aku nggak laku donk," kata Dinda sambil naik kemobil setelah Adhit membukakan pintunya.
"Nggak laku nggak apa-apa, kan ada aku," kata Adhit sambil menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah kost itu.
"Iih... nggak mau aku..."
"Awas ya .. kalau bilang aku sudah tua, biar aku cubit bibirmu."

Dinda tertawa terkekeh. Ia selalu suka berdekatan dengan Adhit, tapi sedikit kesal kalau mendengar Adhit bersikap seperti pacarnya. Sungguh tak ada rasa lain kecuali menganggapnya sebagai kakak. Menurutnya Adhit adalah kakak yang selalu membuatnya senang.
***

"Bagaimana keadaanmu setelah sampai dirumah?" kata Dewi yang mengantarkan Mirna pulang kerumah kontrakannya setelah dari rumah sakit itu.
"Baik mbak, semuanya melegakan, karena saya kan nyaris terlibat dalam peristiwa pembunuhan itu, sementara saya sebenarnya nggak tau apa-apa."
"Si brengsek itu sudah akan mendapat ganjarannya. Biarkan saja, sudah banyak dia menyakiti orang terutama perempuan-perempuan. Dan membunuh itu sebenarnya hanya sesuatu yang akan membawanya ke penjara. Dia melakukannya karena terpaksa, sudah nggak punya apa-apa, ditagih puluhan juta, kacau dia. Lalu akhirnya melakukan hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Tapi semua itu kan hanya jalan untuk menghukum dia."

Mirna mengangguk.
Dielusnya perutnya yang tak lagi berisi janji buah nafsu Aji. Mirna tak mensyukuri keguguran itu, sungguh sebenarnya ia ingin merawatnya, tapi Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Rupanya ia tak harus membawa apapun yang berbau Aji.

"Kamu menyesal telah keguguran?" tanya Dewi yang bersiap pulang setelah mengantar Mirna.
"Ada rasa menyesal, karena sebenarnya saya mulai menyukai kehamilan saya, dan ingin merawatnya, tapi bagaimana lagi."
"Mungkin dengan begini kamu sudah tak akan lagi punya hubungan dengan dia. Berbeda dengan aku yang membawa benih orang jahat itu. Tapi dia tak akan pernah menjadi anaknya, karena toh dia juga tak pernah menghendakinya."
"Ya mbak, Bima anak baik dan pintar, dia akan menemani mbak Dewi dalam suka dan duka."
"Benar Mirna, dan sa'at ini aku sedang mengurus perceraian dengan dia. Kamu juga harus segera terlepas dari dia Mirna, supaya kamu bisa melanjutkan hidupmu. Kamu kan masih muda, semoga kamu juga segera mendapatkan pendamping yang lebih baik.Yang sungguh-sungguh mencintai kamu dan bisa mengayomi kamu."
"Aamiin," jawab Mirna singkat. Sekilas terbayang wajah bos ganteng yang sangat dikaguminya, tapi hanyalah mimpi kalau dirinya berharap bis bersanding dengan dia. Ada Dinda yang sangat dicintainya, apalagi sekarang dia kan sudah berstatus janda. Hm.. jangan mimpi Mirna...

"Kamu cantik, laki-laki mana yang tidak akan jatuh hati sama kamu?" kata Dewi sambil mengelus pipi Mirna, lalu berdiri dan berpamitan.
"Aku pulang dulu ya, mau menjemput Bima, sekalian belanja. Kamu tidak usah tergesa gesa masuk kerja, biar beenar-benar pulih dulu kesehatanmu. Kamu masih tampak pucat lho."
"Terimakasih mbak, tapi saya sudah merasa kuat kok, munkin besok atau lusa sudah bisa bekerja. Dan tolong sampaikan terimakasih saya pada pak Adhit mbak, pasti dia yang sudah membayar semua beaya ketika saya dirawat."
"Baiklah, nanti aku sampaikan."
"Tapi kalau se waktu-waktu aku dipanggil ke persidangan aku mohon pamit ya mbak."
"Ya, nanti aku temani kamu, jangan takut, katakan saja semuanya nanti."
"Terima kasih banyak mbak, kita belum lama bertemu, tapi mbak Dewi sudah banyak membantu saya. Saya merepotkan ya mbak."
"Jangan begitu Mirna, aku melakukan apa yang harus aku lakukan. Kita sesama wanita yang telah menjadi korban seorang lelaki yang sama pula."
"Sekali lagi terimakasih ya mbak."
"Ya, sudahlah, nggak usah dipikirkan."
***

Hari itu Raharjo sudah kembali. Ia ingin mengatakan perihal hubungan antara dirinya dan Adhit, tapi ragu-ragu. Ketika ia mengatakan pada Galang bahwa dia yang akan berterus terang nanti pada Adhit, ternyata tak semudah yang dibayangkan. Baru menghadapi isterinya lalu menceritakan aib itu saja dia sudah ketakutan, bagaimana nanti mengatakannya pada Adhit? Retno yang tak jadi menyusul karena Raharjo tak mengabarinya, melihat kegelisahan pada wajah Raharjo.

"Pak, sebenarnya ada apa?" tanyanya sambil duduk dihadapan suaminya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku harap kamu jangan marah."
"Lho, ada apa ini..Kok pakai nyuruh aku nggak marah segala?"
"Sesuatu yang pelik. Puluhan tahu lalu, yang aku lakukan... "
"Apa ?"
"Sebuah dosa... dosa besar bu... kamu pasti tak akan mema'afkan aku."
"Pak, mbok ya bicara yang jelas, yang urut begitu, aku sama bapak ini kan sudah hidup bersama selama puluhan tahun juga, jadi kalau ada apa-apa itu kan lebih baik dibicarakan dengan jelas. Puluhan tahun lalu, dosa besar.. apa itu?"
"Aku dan Putri...." kata Raharjo lalu terdiam. Ia berharap Retno bisa menangkap apa yang ingin ia katakan, tapi Retno memandanginya dengan penuh tanda tanya.
"Aku tidak mengerti pak, bicaralah dengan jelas."
"Bu, kamu kan tau bahwa antara aku dan Putri dulu pernah menjalin cinta?"
"Ya, aku tau se jelas-jelasnya itu. "
"Pada suatu hari aku dan Putri melakukan hal yang tidak seharusnya aku lakukan, sebuah dosa." kata Raharjo lirih. Matanya menunduk kebawah, tak berani menatap wajah isterinya, yang mungkin akan marah, atau kemudian mengumpatnya habis-habisan.

Lalu Retno mencoba mengurai kata-kata itu. Raharjo atau Teguh dan Putri melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan, sebuah dosa, jawabnya hanya satu, Retno sudah menangkapnya, lalu lari kearah sosok Adhit, yang sebenarnya dari dulu dianggapnya mirip dengan suaminya. Itukan buah cinta mereka, sehingga ada larangan keras bagi Adhit untuk melakukan hubungan cinta dengan Dinda. Haa.. Retno bukan orang bodoh, ia sudah tau sekarang. Ia bisa memaklumi, ketika itu mereka masih sama-sama muda, dan kesempatan terbuka untuk setan mengipasinya, apalagi kalau ada banyak pertemuan yang memungkinkan untuk itu.

"Ibu..." bisik Raharjo yang kemudian mengangkat wajahnya, memandangi isterinya yang menatapnya lekat. Tapi Raharjo tak menangkap adanya kemarahan pada mata itu. Ia tau, sejak dulu isterinya begitu lembut dan penuh pengertian.
"Ya, aku sudah tau pak... sudah bisa memaklumi semuanya. Bukankah Adhit itu darah dagingmu?"

Raharjo membelalakkan matanya. Tak perlu banyak cerita dan Retno sudah bisa menangkapnya, dan yang lebih mencengangkan adalah dia tidak tampak marah.

"Ma'afkan aku ibu..." kata Raharjo sambil mendekati isterinya lalu memeluknya erat.
"Sudah, nggak apa-apa, wong kejadian sudah puluhan tahun berlalu, dan kita sudah berbahagia dengan anak-anak kita. Tak ada yang perlu dima'afkan, aku bisa menerimanya kok."
"Syukurlah Retno, terimakasih banyak atas pengetianmu."
"Bapak sudah bicara sama Adhit?"
"Belum, aku menyuruhnya datang kemari hari ini. Entah jam berapa dia akan sampai. Tapi masalahnya, sangat susah bagiku untuk bercerita apa adanya sama dia. Sulit memulainya."
"Iya, aku bisa memakluminya pak, pasti sulit mengatakannya."
"Aku baru selesai mengatakannya pada ibu, tadinya agak susah, tapi aku lega ketika ibu bisa menerimanya. Cuma agak susah bicara sama Adhit ternyata. Bagaimana kalau dia marah, lalu menuduh aku laki-laki tak bertanggung jawab.. lalu..."
"Bagaimana kalau ibu yang mengatakannya?"
"Ibu mau?"
"Mungkin lebih baik orang lain yang mengatakannya."
"Ibu akan bilang apa?"
"Ya bilang semua yang terjadi, apa adanya, mau bilang apa lagi?"
"Ibu sanggup?"
"Ibu kan isterinya bapak, kalau bapak nggak bisa, ibu nanti yang cerita sama dia, mungkin lebih gampang ibu daripada bapak."

Raharjo menghela nafas lega, ada beban yang lebih ringan ketika sang isteri mau ikut memikulnya.

"Terima kasih bu, kamu selalu bisa mengerti aku."
"Iya lah, kalau ibu tidak penuh pengertian, mana mungiin aku bisa menjadi isteri bapak, yang sepertinya selama hidup tak bisa melupakan kekasih pertamanya."
"Lho, ibu jangan ngeledek begitu, siapa yang selama hidup nggak bisa melupakan..? Buktinya aku kan bisa menjadi suami yang sangat mencintai isterinya?" kata Raharjo yang hatinya mulai tenang.
"Itu kan karena telatennya ibu menunggu jatuhnya purnama cinta dari hati bapak.."
"Ehem...gitu ya? Padahal diam-diam bapak juga jatuh cinta lho sama ibu."
"Aah.. gombal pak sudah.. sudah.. nggak pantes ah ngomongin cinta, orang sudah tua begini. Malu didengar anak-anak."
"Anak-anaknya saja jauh dari sini, bagaimana ibu bisa malu."
"Ya sudah, itu.. malu sama tembok.. sama yang ada disekeliling kita."
"Coba aku tilpun Adhit ya bu, jadi datang hari ini atau tidak, kalau hari ini mau jam berapa. Nanti sa'atnya dia datang bapak mau ke kantor saja ."
"Lhoh kok malah ke kantor sih pak."
"Supaya ibu bisa bicara enak sama dia. Apa ini berarti bapak pengecut?"
"Bukan pengecut, ibu kira memang lebih baik begitu, supaya lebih enak bapak bicaranya. Coba sekarang bapak menelpon dia."

Ternyata Adhit sudah ada di bandara.

"Lho, kamu sudah ada di bandara?"
"Iya om, lagi nungguin taksi nih."
"Sayang sekali om gak bisa menjemput Dhit, so'alnya om masih ada di kantor, datang tadi langsung ke kantor.Nanti kamu bicara saja sama tante kamu ya."
"Baik om, itu taksinya sudah datang."
"Ya Dhit, tante kamu menunggu."

Raharjo menutup teleponnya, lalu bersiap berangkat ke kantor, diiringi senyuman isterinya.
***

Retno melihat kedatangan Adhit yang wajahnya tampak ber seri-seri. Ia mencoba menata kata-kata apa yang akan dikatakannya nanti setelah mereka duduk berdua.

"Selamat datang Adhit... sendirian?" kata Retno ber basa basi,.
"Iya tante, tadi mau mengajak Dinda tapi dia nggak mau, katanya ada kuliah penting, gitu."
"Oh ya? Anak itu merepotkan ya Dhit, terbiasa manja kalau dirumah."
"Nggak tante , Adhit suka kok."

Retno berdebar. Kata suka itu masih bernada suka yang lain. Ia harus segera mengatakannya.

"Itu, tante sudan menyiapkan minuman buat Adhit, diminum dulu lah, dan tante juga sudah masak enak buat Adhit."
"Terimakasih banyak tante, sungguh menyenangkan punya calon mertua seperti tante," kata Adhit setengah bercanda, tapi candaan itu membuat Retno ber debar-debar.
"Kok calon mertua?"
"Om Raharjo sudah menelpon Adhit, dan mengatakan ada berita baik untuk Adhit, Adhit sangat gembira mendengarnya."

Ya ampun, Adhit rupanya salah mengira. Berita gembira itu adalah ditemukannya darah daging yang tak pernah diduganya, dan Adhit menerimanya sebagai berita tentang hubungannya dengan Dinda yang sudah pasti diijinkan.

"Adhit, minum dan makanlah dulu, nanti tante akan menceritakan semuanya.

Bersambung #30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER